"Jadi serius kamu sudah bisa mendapatkan ciuman dari Pak Gading?" tanya teman Bunga dengan penasaran.
Gading yang mendengar namanya disebut menghentikan langkah. Dia bersembunyi di balik pilar untuk mencuri dengar percakapan siswi-siswi populer itu.
"Gak cuma ciuman, aku malah bisa ngajak Pak Gading tidur," sahut Bunga jumawa.
DEG!
Gading sendiri tertohok mendengar jawaban Bunga. Dia tidak menyangka jika Bunga bisa berkata seperti itu dengan santainya.
"Nih kalo gak percaya." Bunga mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Sontak ketiga teman Bunga langsung berebut ingin melihat.
Gading kini ternganga. Pemuda itu teringat kejadian seminggu yang lalu. Di sela permainan panasnya dengan Bunga, Gading teringat jika remaja itu terlihat mengotak-atik ponselnya. Namun, karena nafsunya sedang di ubun-ubun, saat itu Gading tidak peduli.
"Gilaaa! Kalian bener-bener hot," seru ketiga teman Bunga begitu melihat video pada gadgetnya Bunga. Ketiganya saling bersitatap, lalu terbahak bersama.
"Lho-lho ... kalian kepergok orang?" tanya salah satu dari ketiga gadis itu.
"He-eh." Bunga mengangguk dengan bibir yang sedikit manyun, "kita ketahuan emaknya," ujarnya cengengesan.
"Terus-terus gimana?" Teman yang berponi kian penasaran.
"Ya kita udahan mainnya." Lagi-lagi Bunga menanggapi dengan santai.
Di belakang pilar, Gading memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia tidak menyangka jika Bunga sengaja merekam aksi gulat mereka. Bocah itu bahkan tidak risih sedikit pun mempertontonkan video mesum tersebut. Detik itu juga Gading membenci Bunga.
"Gimana aku menang kan?" ujar Bunga terlihat bangga. "Mana iPhone yang kalian janjikan itu?"
Jleb!
Gading meremas dadanya. Rasanya dia baru saja tertikam pisau belati mendengar penuturan Bunga. "Jadi aku dijadikan objek pertaruhan anak-anak nakal itu?" gumam Gading frustrasi.
Rasanya Gading ingin mendamprat Bunga saat itu juga. Namun, mengingat status dan situasi, pemuda itu menahan diri. Dirinya memilih mendengarkan kembali percakapan gadis-gadis urakan itu.
Salah seorang teman Bunga yang berponi tadi membuka tasnya. Gadis itu terkenal sebagai siswi populer nan tajir di sekolah ini.
"Nih iPhone 10. Harganya dua belas juta, Cuy." Remaja itu mengeluarkan kotak ponsel, lalu menyerahkannya pada Bunga.
"Waaah ... makasih." Bunga menerima kotak tersebut dengan girang. Dia menciumi dan memeluk benda tersebut dengan sayang.
"Bunga ... Bunga ... kamu rela menukar kesucianmu hanya demi sebuah gadget," sesal Gading tidak habis pikir.
"Oke ... setelah melihat keseriusan kamu, maka selain berhak atas iPhone itu, kamu juga sudah bisa bergabung dengan geng kita," putus gadis yang sepertinya leader dari keempat cewek itu.
"Yess!" Bunga melonjak senang. "Akhirnya aku bisa juga jadi member BLINK-BLINK." Dirinya lantas memeluk ketiga temannya dengan riang.
Gading sudah tidak bisa lagi menahan diri. Pemuda itu melangkah mendekati muridnya.
"Bunga!" Gading memanggil dengan tegas.
Sontak Bunga dan teman-temannya yang sedang tertawa-tawa seketika terkaget mendengar suara Gading.
"Pak Gading?" Keempat bocah itu saling merapat takut.
"Saya ada perlu sama Bunga," tutur Gading datar. Namun, tatapannya tertuju begitu dingin pada Bunga.
"Eee ... ada perlu apa, Pak?" sahut Bunga sedikit tergagap. Wajahnya mendadak pucat. Dia dan kawan-kawannya tentu takut obrolan mereka terdengar semua oleh Gading.
TEEET! TEEEET!
Bel masuk kelas menyelamatkan Bunga dan teman-temannya.
"Eh masuk, yuk!" ajak Bunga pada kawan-kawannya. Pemudi itu berusaha menghindar.
"Bunga, saya mau bicara." Tangan Gading mencegat lengan Bunga.
"Ada apa sih, Pak? Udah bel masuk nih."
Bunga mencoba melepaskan pegangan tangan Gading. Tetapi, pria itu justru mencengkeram erat lengannya. Sementara kawan-kawannya sudah terbirit pergi duluan.
"Kita harus bicara sepulang sekolah!" tegas Gading dingin.
Lelaki itu melepaskan pegangan. Kakinya melangkah menuju kantor. Percakapan Bunga dan teman-temannya benar-benar mengusik hatinya. Alhasil Gading tidak bisa fokus saat mengajar.
Beruntung satu jam sebelum pulang dia tidak ada mata pelajaran. Sehingga bisa langsung menghampiri kelas Bunga. Bunga sendiri lumayan ketakutan ketika keluar kelas sudah berdiri Gading menunggunya.
"Bunga, nilai ulangan kamu jeblok. Bapak mau bicara sama kamu tentang jadwal remidi," ujar Gading sedikit mengelabui. Pasalnya ada beberapa murid sekelas Bunga yang menatapnya curiga.
"Eum ... iya, Pak." Bunga mengangguk pasrah.
Gadis itu mengikuti langkah Gading hingga parkiran. Ada beberapa teman ceweknya yang men-cie-cie-kan mereka. Pasalnya Gading merupakan salah satu guru bujang favorit. Ada juga siswa cowok yang memandang tidak suka melihat Gading memboncengkan Bunga.
Gading tidak peduli. Lelaki itu memacu motor maticnya dengan lumayan cepat. Pandangannta lurus ke depan. Dia menghentikan motornya di pinggir danau.
Gading berjalan menuju bangku di pinggir danau. Lelaki itu duduk pada bangku kayu bercat putih tersebut. Di belakang, Bunga menyusul dengan ogah-ogahan.
"Mau ngomong apa sih, Pak?" tanya Bunga masih dengan berdiri.
Gading melirik gadis imut di sampingnya. "Duduk!"
Bunga menurut dengan bibir yang manyun. Anak itu duduk di ujung bangku. Lumayan agak renggang jarak keduanya.
"Saya sudah dengar semuanya," ujar Gading tanpa mau memandang wajah Bunga. Hatinya sudah cukup sakit. "Saya gak nyangka kamu bisa berbuat hal senakal itu, Nga," semprot Gading berusaha menahan emosi.
"Ini bukan kenakalan remaja lagi. Tapi ini sudah tindakan kriminal. Bisa-bisanya anak delapan belas tahun punya pikiran menjebak seorang pria demi sebuah taruhan," tutur Gading dengan kesal. "Kamu bahkan rela menjual kesucian hanya demi bisa masuk geng sekolah. Di mana otak kamu, Nga?" cecar Gading mulai kasar.
"Ma-maafkan saya, Pak." Bunga menunduk takut. Baru kali ini dia melihat wajah Gading sedingin itu.
"Kamu tahu? Gara-gara kelakuan kamu hubungan saya dengan ibu menjadi renggang."
"Maaf, Pak."
"Saya itu sudah anggep kamu seperti adik sendiri, Nga," ungkap Gading jujur. "Dan perlu kamu ketahui, saya dan Embak kamu sedang tahap penjajakan ke hubungan serius," ceplosnya tanpa bisa dicegah.
"Jadi beneran Bapak ada hubungan dengan Mbak Nona?" sahut Bunga lumayan terkesima mendengar pengakuan jujur dari Gading.
"Hubungan kami bisa hancur gara-gara ulah tidak beradab kamu!" cerca Gading saking dongkolnya.
Bunga menunduk. "Maaf."
"Sekarang saya mau nanya," ujar Gading mulai sedikit melunak, "selain agar bisa masuk gengnya Elina, apa alasan lain yang mendorong kamu berbuat nekad seperti itu?" cecar Gading menyebut nama teman Bunga yang paling tajir itu.
Bunga menggigit bibirnya. "Alasan lainnya biar dapat iPhone 10 itu, Pak," akunya jujur.
"Itu saja?" tanya Gading tidak percaya.
"Iya." Bunga mengangguk takut.
"Hanya demi hape mahal kamu sampai menggadaikan keperawanan? Otak kamu di mana?"
"Ya habis gimana? Hape aku butut." Bunga merubah posisi menjadi menyamping, "minta dibelikan, ayah ibu pasti nggak ngijinin. Mereka kan pelit. Mbak Nona juga sama pelitnya dengan mereka," tuturnya terdengar merajuk.
"Astaghfirullah hal adzim, Bunga." Gading sampai harus mengusap dada mendengar alasan sepele dari Bunga.
Bunga menghadap Gading kembali. "Bapak gak usah stress mikirin saya. Saya gak papa kok. Dan saya juga berjanji, saya gak akan nyari Bapak kalo sampai terjadi apa-apa dengan saya."
Gading melongo.
Bunga sendiri memilih bangkit dari bangkunya. "Lagian kita cuma sekali melakukannya, mana bisa saya hamil," ujar Bunga terlihat percaya diri. "Oke ... saya pamit pulang, Pak."
Bunga berlalu meninggalkan Gading yang masih membisu.
"Bunga beneran bilang seperti itu?" tanyaku tidak percaya ketika Gading merampungkan ceritanya."Iya, Bu. Buat apa aku bohong?" sahut Gading terlihat jujur, "makanya setelah dengar pengakuan Bunga, aku memutuskan untuk berhenti kasih les ke dia.""Bener-bener bocah nakal ya si Bunga itu," timpal Galang seraya geleng-geleng."Salah pergaulan kalo menurut aku." Gading menanggapi omongan adiknya."Kok kamu bisa tahu, Ding?" Kini aku yang penasaran."Walau gak begitu dekat, tapi aku tahu dengan siapa Bunga bergaul.""Anak-anak nakal?" Aku dan Galang menebak bersamaan."Lebih tepatnya anak-anak yang kurang kasih sayang." Gading meralat."Elina, ketua gengnya Bunga setahuku anak broken home. Walau pun kedua orang tuanya berada, tapi selalu kesepian karena tinggal sendiri. Kalo Bunga ... kedua orang tuanya terlalu sibuk menurutku. Seperti gak punya waktu buat anaknya," jelas Gading menerangkan. Anak itu adalah guru privat keduanya, jadi wajar jika sedikit paham kondisi keluarga mereka. "Kasi
Walau pun terlihat tidak begitu bersemangat, tetapi Gading mengindahkan nasihatku. Dia memang anak yang penurut. Makanya saat kusuruh untuk menghubungi Mas Arif tanpa banyak bicara dia mengiyakan. Kuperintahkan agar Gading memberi tahu pada keluarga Bunga, bahwa kami akan bertandang. Tidak lama Gading mendapat balasan."Pak Arif bilang, mereka siap terima kita kapan saja, Bu," kata Gading saat membacakan balasan pesan dari Mas Arif."Baguslah," tanggapku tenang. Tangan ini tengah sibuk melipati baju-baju yang baru saja dijemur tadi siang. "Kira-kira kapan kita bersilaturahmi ke rumah Bunga, Ding?""Terserah Ibu," sahut Gading tampak tidak bersemangat."Kenapa lesu begitu?" tegurku menatap wajah Gading yang terlihat muram."Aku ... aku takut ketemu Nona, Bu." Gading mengaku dengan jujur."Jadi kamu belum bicara soal Bunga sama Nona." Aku menerka dengan heran. "Kenapa?" tanyaku saat Gading hanya menggeleng lemah."Nona kerja di Baturaja, Bu. Jadinya kami jarang ketemu," terang Gading p
"Ibu ... Ibu lagi gak bercanda kan?" cecar Nona masih gemetar."Apa untungnya ibu bohong sama kamu?" sergah Sarita secepatnya, "tadi kupingmu dengar sendiri kan kalo ibunya Gading mau membahas masalah Gading dan Bunga bukan dengan kamu."Manik Nona kini beralih ke Gading. "Mas, tolong katakan kalo ini semua adalah bohong," pintanya penuh pengharapan.Gading mendesah bimbang. "Apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan, Non," ujar Gading tidak berdaya."Jadi benar kamu telah menodai adikku?!" sergah Nona mulai naik pitam."Bunga jebak aku, Non." Gading membela diri."Lelaki pengecut!" Sarita meradang, "bukannya minta maaf telah berbuat asusila, malah tega menuduh anakku yang tidak-tidak," makinya sembari menunjuk-nunjuk Gading dengan geram."Sarita, jaga bicaramu!" Mas Arif memperingatkan."Aku marah karena anak kita dihamili gurunya, apa itu salah?!" sahut Sarita ketus. "Bukan kah kita sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin?" Lagi-lagi Mas Arif meng
"Dari kecil aku sudah terbiasa dinomorduakan." Bunga bercerita dengan air mata yang terus luruh membasahi pipi. "Kalian selalu mendahulukan kepentingan Nona. Jika kami bertengkar aku yang disalahkan. Kalo ketahuan Nona yang salah, aku disuruh memaafkan dan mengalah. Di sini aku seperti anak pungut kalian," tuturnya berapi-api dalam kesedihan.Mas Arif, Sarita, dan Nona diam seribu bahasa. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyangkal. Pertanda omongan Bunga adalah kebenaran."Apa pun alasannya, tindakan kamu ikut taruhan itu gak bener," ujar Mas Arif dingin."Kalo ayah beli apa yang aku minta aku juga gak bakalan mau ngelakuin itu." Bunga lekas merespon."Jangan-jangan ini bagian dari akalan kamu untuk menarik perhatian ayah dan ibu, benar?" Nona membuat asumsi.Bunga mengelak. "Gak juga, aku udah capek menarik perhatian mereka. Kejadian ini murni karena kebodohan aku." Bunga meraih tisu kembali. "Aku pikir gak papa ngelakuin itu karena gak bakalan hamil kalo cuma sekali. Ternyata ak
"Maaas! Sini naik cepetan!" Sarita berteriak dari atas. Mas Arif lekas bangkit. Pria itu setengah berlari menaiki tangga. Nona pun mengikuti ayahnya menyusul sang ibu. "Bungaaa, jangan main-main pisau!" Terdengar suara Mas Arif berseru. "Biarkan aku mati saja, Yah. Toh aku gak pernah dianggap juga," balas Bunga di sela isakannya. "Ding, kita lihat ke atas, yuk! Sepertinya Bunga berbuat nekat," ajakku dengan menarik lengan Gading. Gading melepas pegangan tanganku. "Biar saja, Bu. Itu bukan urusan kita," tolak Gading acuh tak acuh. "Kalo sampai terjadi apa-apa dengan Bunga bagaimana?" "Itu kemauan dia. Kita bisa apa?" sahut Gading datar. Sama sekali anak itu tidak tersentuh. Aku menghela napas. "Ibu tahu kamu sangat gedeg melihat kelakuan Bunga, tapi ada benihmu di rahimnya." Gading melengos. "Kamu sudah cukup salah dengan melakukan perzinahan kemarin. Sekarang jangan buat dosa lagi dengan menutup mata pada kondisi Bunga." Aku menasihati dengan lembut. "Bungaaa!" Teriakan dar
Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya ada sedikit kepedulian Sarita pada Bunga. "Terserah keluarga Bunga saja. Kami pihak laki-laki menurut saja.""Minggu ini konveksiku lagi banyak dapat orderan. Kalo memang keduanya mau diijabkan sebaiknya minggu depan saja." Sarita mengusulkan."Kami nurut, Mbak." Aku menyetujui."Dan ingat, ijab qobulnya jangan di sini. Tetangga kami akan curiga nanti." Sarita kembali memberi syarat."Boleh diselenggarakan di rumah saya." Aku memberikan penawaran.Pembicaraan sudah menemukan ujungnya. Aku dan Gading pun pamit undur diri. Apalagi waktu kian beranak malam.Dalam perjalanan pulang Gading memilih duduk di depan. Tidak di belakang menemaniku seperti saat berangkat. Anak itu memilih bungkam. Hingga sampai rumah Gading benar-benar tidak bersuara."Sudah pulang?" sambut Galang ketika membukakan pintu untuk kami. Aku tersenyum mengiyakan. Sementara Gading menerobos Galang dan langsung melenggang menuju kamarnya. Lelah membuatku menghempaskan tubuh di sofa.
Acara benar-benar berlangsung dengan sederhana. Penghulu memberikan wejangan sepatah dua patah kata untuk mempelai. Setelah itu para saksi dan Pak penghulu baru menikmati hidangan yang aku siapkan.Sementara Sarita langsung berlalu menuju kamarnya Galang. Dirinya sama sekali tidak melirik sajian yang sudah aku tawarkan. Wanita itu tampak cemas dengan keadaan putri sulungnya. "Aku juga mau lihat kondisi Nona, Bu," pamit Gading ketika kutawari makanan."Kamu temani istrimu makan dulu," suruhku saat melihat Bunga duduk sendirian. "Kasihan mungkin dia sudah kelaparan.""Tapi aku cemas dengan keadaan Nona, Bu." "Cemaskan saja istrimu. Dia lagi hamil muda. Kasihan kalo sampai kelaparan," tukasku sedikit memaksa.Gading mendesah pelan. Anak itu memang penurut. Walau pun sangat ingin melihat keadaan Nona. Namun, Gading tidak membantah. Pria yang kini resmi menyandang status suami itu mendekati Bunga. Gading mengambil makanan ala kadarnya. Lalu duduk di samping Bunga untuk makan bersama. B
Aku dan Galang mengantar kepergian kakak beradik itu hingga pintu. Masing-masing mengendarai motor. Ketika kami masuk terdengar suara Mas Arif. Ternyata pria itu sedang berbicara dengan Pak penghulu dan adik kandungnya.Mas Arif tampak menyerahkan amplop pada Penghulu tersebut. Tidak lama pria berpeci itu berpamitan pada kami. Mas Arif dan adiknya mengantar Pak Penghulu sampai ke luar. Ternyata pria itu sudah memesan taksi untuk pak penghulu. Aku dan Galang menuju ruang tengah kembali. Rupanya Nona dan Sarita sudah pindah duduk di situ. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada pundak sang ibu."Mas, Nona minta pulang terus ini," kata Sarita begitu melihat suaminya kembali."Makan dulu, Mbak," tawarku hangat. Sementara Galang sudah melangkah pergi ke meja makan sendiri."Kami gak lapar," sahut Sarita tidak bersahabat."Tapi Mas Arif dan adiknya pasti lapar," balasku terus berusaha sabar."Betul, kami memang sudah lapar." Mas Arif menimpali omonganku. Sarita mencibir. Namun, wanita itu b