Share

6. Janji Bunga

"Jadi serius kamu sudah bisa mendapatkan ciuman dari Pak Gading?" tanya teman Bunga dengan penasaran. 

Gading yang mendengar namanya disebut menghentikan langkah. Dia bersembunyi di balik pilar untuk mencuri dengar percakapan siswi-siswi populer itu.

"Gak cuma ciuman, aku malah bisa ngajak Pak Gading tidur," sahut Bunga jumawa.

DEG!

Gading sendiri tertohok mendengar jawaban Bunga. Dia tidak menyangka jika Bunga bisa berkata seperti itu dengan santainya.

"Nih kalo gak percaya." Bunga mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Sontak ketiga teman Bunga langsung berebut ingin melihat.

Gading kini ternganga. Pemuda itu teringat kejadian seminggu yang lalu. Di sela permainan panasnya dengan Bunga, Gading teringat jika remaja itu terlihat mengotak-atik ponselnya. Namun, karena nafsunya sedang di ubun-ubun, saat itu Gading tidak peduli. 

"Gilaaa! Kalian bener-bener hot," seru ketiga teman Bunga begitu melihat video pada gadgetnya Bunga. Ketiganya saling bersitatap, lalu terbahak bersama. 

"Lho-lho ... kalian kepergok orang?" tanya salah satu dari ketiga gadis itu.

"He-eh." Bunga mengangguk dengan bibir yang sedikit manyun, "kita ketahuan emaknya," ujarnya cengengesan.

"Terus-terus gimana?" Teman yang berponi kian penasaran.

"Ya kita udahan mainnya." Lagi-lagi Bunga menanggapi dengan santai.

Di belakang pilar, Gading memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia tidak menyangka jika Bunga sengaja merekam aksi gulat mereka. Bocah itu bahkan tidak risih sedikit pun mempertontonkan video mesum tersebut. Detik itu juga Gading membenci Bunga.

"Gimana aku menang kan?" ujar Bunga terlihat bangga. "Mana iPhone yang kalian janjikan itu?" 

Jleb!

Gading meremas dadanya. Rasanya dia baru saja tertikam pisau belati mendengar penuturan Bunga. "Jadi aku dijadikan objek pertaruhan anak-anak nakal itu?" gumam Gading frustrasi.

Rasanya Gading ingin mendamprat Bunga saat itu juga. Namun, mengingat status dan situasi, pemuda itu menahan diri. Dirinya memilih mendengarkan kembali percakapan gadis-gadis urakan itu.

Salah seorang teman Bunga yang berponi tadi membuka tasnya. Gadis itu terkenal sebagai siswi populer nan tajir di sekolah ini.

"Nih iPhone 10. Harganya dua belas juta, Cuy." Remaja itu mengeluarkan kotak ponsel, lalu menyerahkannya pada Bunga.

"Waaah ... makasih." Bunga menerima kotak tersebut dengan girang. Dia menciumi dan memeluk benda tersebut dengan sayang.

"Bunga ... Bunga ... kamu rela menukar kesucianmu hanya demi sebuah gadget," sesal Gading tidak habis pikir. 

"Oke ... setelah melihat keseriusan kamu, maka selain berhak atas iPhone itu, kamu juga sudah bisa bergabung dengan geng kita," putus gadis yang sepertinya leader dari keempat cewek itu.

"Yess!" Bunga melonjak senang. "Akhirnya aku bisa juga jadi member BLINK-BLINK." Dirinya lantas memeluk ketiga temannya dengan riang.

Gading sudah tidak bisa lagi menahan diri. Pemuda itu melangkah mendekati muridnya.

"Bunga!" Gading memanggil dengan tegas.

Sontak Bunga dan teman-temannya yang sedang tertawa-tawa seketika terkaget mendengar suara Gading.

"Pak Gading?" Keempat bocah itu saling merapat takut.

"Saya ada perlu sama Bunga," tutur Gading datar. Namun, tatapannya tertuju begitu dingin pada Bunga.

"Eee ... ada perlu apa, Pak?" sahut Bunga sedikit tergagap. Wajahnya mendadak pucat. Dia dan kawan-kawannya tentu takut obrolan mereka terdengar semua oleh Gading.

TEEET! TEEEET!

Bel masuk kelas menyelamatkan Bunga dan teman-temannya.

"Eh masuk, yuk!" ajak Bunga pada kawan-kawannya. Pemudi itu berusaha menghindar.

"Bunga, saya mau bicara." Tangan Gading mencegat lengan Bunga.

"Ada apa sih, Pak? Udah bel masuk nih."

Bunga mencoba melepaskan pegangan tangan Gading. Tetapi, pria itu justru mencengkeram erat lengannya. Sementara kawan-kawannya sudah terbirit pergi duluan.

"Kita harus bicara sepulang sekolah!" tegas Gading dingin. 

Lelaki itu melepaskan pegangan. Kakinya melangkah menuju kantor. Percakapan Bunga dan teman-temannya benar-benar mengusik hatinya. Alhasil Gading tidak bisa fokus saat mengajar. 

Beruntung satu jam sebelum pulang dia tidak ada mata pelajaran. Sehingga bisa langsung menghampiri kelas Bunga. Bunga sendiri lumayan ketakutan ketika keluar kelas sudah berdiri Gading menunggunya.

"Bunga, nilai ulangan kamu jeblok. Bapak mau bicara sama kamu tentang jadwal remidi," ujar Gading sedikit mengelabui. Pasalnya ada beberapa murid sekelas Bunga yang menatapnya curiga.

"Eum ... iya, Pak." Bunga mengangguk pasrah. 

Gadis itu mengikuti langkah Gading hingga parkiran. Ada beberapa teman ceweknya yang men-cie-cie-kan mereka. Pasalnya Gading merupakan salah satu guru bujang favorit. Ada juga siswa cowok yang memandang tidak suka melihat Gading memboncengkan Bunga.

Gading tidak peduli. Lelaki itu memacu motor maticnya dengan lumayan cepat. Pandangannta lurus ke depan. Dia menghentikan motornya di pinggir danau.

Gading berjalan menuju bangku di pinggir danau. Lelaki itu duduk pada bangku kayu bercat putih tersebut. Di belakang, Bunga menyusul dengan ogah-ogahan.

"Mau ngomong apa sih, Pak?" tanya Bunga masih dengan berdiri.

Gading melirik gadis imut di sampingnya. "Duduk!"

Bunga menurut dengan bibir yang manyun. Anak itu duduk di ujung bangku. Lumayan agak renggang jarak keduanya.

"Saya sudah dengar semuanya," ujar Gading tanpa mau memandang wajah Bunga. Hatinya sudah cukup sakit. "Saya gak nyangka kamu bisa berbuat hal senakal itu, Nga," semprot Gading berusaha menahan emosi.

"Ini bukan kenakalan remaja lagi. Tapi ini sudah tindakan kriminal. Bisa-bisanya anak delapan belas tahun punya pikiran menjebak seorang pria demi sebuah taruhan," tutur Gading dengan kesal. "Kamu bahkan rela menjual kesucian hanya demi bisa masuk geng sekolah. Di mana otak kamu, Nga?" cecar Gading mulai kasar.

"Ma-maafkan saya, Pak." Bunga menunduk takut. Baru kali ini dia melihat wajah Gading sedingin itu.

"Kamu tahu? Gara-gara kelakuan kamu hubungan saya dengan ibu menjadi renggang."

"Maaf, Pak."

"Saya itu sudah anggep kamu seperti adik sendiri, Nga," ungkap Gading jujur. "Dan perlu kamu ketahui, saya dan Embak kamu sedang tahap penjajakan ke hubungan serius," ceplosnya tanpa bisa dicegah.

"Jadi beneran Bapak ada hubungan dengan Mbak Nona?" sahut Bunga lumayan terkesima mendengar pengakuan jujur dari Gading. 

"Hubungan kami bisa hancur gara-gara ulah tidak beradab kamu!" cerca Gading saking dongkolnya.

Bunga menunduk. "Maaf."

"Sekarang saya mau nanya," ujar Gading mulai sedikit melunak, "selain agar bisa masuk gengnya Elina, apa alasan lain yang mendorong kamu berbuat nekad seperti itu?" cecar Gading menyebut nama teman Bunga yang paling tajir itu.

Bunga menggigit bibirnya. "Alasan lainnya biar dapat iPhone 10 itu, Pak," akunya jujur.

"Itu saja?" tanya Gading tidak percaya.

"Iya." Bunga mengangguk takut.

"Hanya demi hape mahal kamu sampai menggadaikan keperawanan? Otak kamu di mana?"

"Ya habis gimana? Hape aku butut." Bunga merubah posisi menjadi menyamping, "minta dibelikan, ayah ibu pasti nggak ngijinin. Mereka kan pelit. Mbak Nona juga sama pelitnya dengan mereka," tuturnya terdengar merajuk.

"Astaghfirullah hal adzim, Bunga." Gading sampai harus mengusap dada mendengar alasan sepele dari Bunga.

Bunga menghadap Gading kembali. "Bapak gak usah stress mikirin saya. Saya gak papa kok. Dan saya juga berjanji, saya gak akan nyari Bapak kalo sampai terjadi apa-apa dengan saya."

Gading melongo.

Bunga sendiri memilih bangkit dari bangkunya. "Lagian kita cuma sekali melakukannya, mana bisa saya hamil," ujar Bunga terlihat percaya diri. "Oke ... saya pamit pulang, Pak."

Bunga berlalu meninggalkan Gading yang masih membisu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status