Share

Bab 3. Kembali Di Hukum

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung yang membawa pertanda kuasa Prabu Wijaya Kusuma itu-pun telah membawa Pangeran Ardhakusuma dan memasuki ruang dalam lewat seketheng sebelah kiri.

Tumenggung Wiragiri itu sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang Senapati yang berada dihalaman itu berdesis, “Kenapa dengan Ki Tumenggung itu?,”

“Tumenggung Wiragiri mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Ardhakusuma” jawab seorang prajurit.

“Kenapa?” bertanya Senapati itu pula.

“Pangeran Ardhakusuma telah mengganggu ketenangan keluarga Tumenggung Wiragiri. Pangeran Ardhakusuma melepaskan seekor harimau di halaman Tumenggung itu” jawab prajurit yang sudah mendengar persoalan yang terjadi di rumah Tumenggung Wiragiri.

Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun ia-pun justru telah tertawa tertahan. Katanya, “Dan Tumenggung Wiragiri melaporkannya kepada ayahanda Pangeran Ardhakusuma?”

“Ya. Dan Sri Baginda telah memerintahkan Tumenggung Wiragiri untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya” jawab prajurit itu.

Senapati itu tertawa semakin keras. Tetapi Senapati itu-pun telah meninggalkannya.

Dalam pada itu, setelah melaporkan kepada seorang pengawal dalam yang menyampaikannya kepada Prabu Wijayakusuma, maka Tumenggung dan orang yang menjadi tawanannya dipersilahkannya masuk keruang dalam.

Beberapa saat lamanya Ki Tumenggung itu menunggu. Dengan dada tengadah sekali-sekali ia memandangi Pangeran Ardhakusuma yang duduk dengan kepala tunduk. Dilehernya masih tersangkut kain cinde, pertanda bahwa ia adalah seorang tahanan yang menunggu keputusan namun yang berasal dari keluarga terdekat raja. Dibelakangnya dua orang prajurit mengawalnya dengan kebanggaan sebagaimana Tumenggung bahwa mereka telah berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik.

Mereka menjadi berdebar debar ketika seorang pelayan dalam memberitahukan bahwa Prabu Wijaya Kusuma akan memasuki ruang dalam.

Sejenak kemudian, maka Prabu Wijaya Kusuma itu-pun memasuki ruangan yang menjadi hening. Semua orang menundukkan kepalanya, Prabu Wijaya Musuma kemudian duduk diatas sebongkah batu hitam yang dibentuk persegi yang dialasi dengan kulit harimau loreng yang garang.

Sejenak kemudian setelah suasana hening mencengkam ruangan itu, terdengar Prabu Wijaya Kusuma bertanya kepada Tumenggung Wiragiri, “Agaknya kau berhasil menangkap Ardhakusuma, Ki Tumenggung?,”

“Hamba Sri Baginda,” jawab Tumenggung Wiragiri, “sebagaimana Sri Baginda ketahui, hamba telah menghadapkan puteranda. Pangeran Ardhakusuma yang sebagaimana Sri Baginda perintahkan.”

Prabu Wijaya Kusuma mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berpaling ke arah putranya dan berseru, “Ardhakusuma. Ternyata kau telah melakukan kesalahan lagi. Sebelumnya aku telah memberimu peringatan. Bahkan aku sudah mengancammu. Karena kau ternyata masih juga berbuat, maka aku akan mengetrapkan ancaman yang pernah aku ucapkan. Kau akan dikurung selama sepekan. Jika kau berusaha untuk melarikan diri karena kau merasa mampu melakukannya, maka aku akan mengulangi hukuman itu dengan kelipatan dua dan bahkan tiga, menurut caramu melarikan diri. Kau memang berkemampuan tinggi, dan bahkan terlalu tinggi bagi umurmu dan kenakalanmu. Tetapi jangan menyangka bahwa kau akan luput dari hukuman.”

Pangeran Ardhakusuma mengerutkan keningnya. Namun ia tidak akan dapat membantah. Apapun yang diperintahkan oleh Ayahandanya yang juga penguasa di Saung Galuh, harus dijalaninya.

Dalam pada itu, Prabu Wijaya Kusuma pun berkata kepada Tumenggung Wiragiri, “Ki Tumenggung. Serahkan Ardhakusuma kepada yang berkewajiban mengurungnya atas perintahku. Ia dapat ditempatkan dimana saja, karena ia tidak akan melarikan dirinya, diawasi atau tidak diawasi.”

Pangeran Ardhakusuma mengeluh di dalam hati. ia sadar, bahwa dengan demikian ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Yang dikatakan oleh Ayahandanya adalah satu ancaman apabila ia berusaha untuk melepaskan diri dari kurungannya.

Tumenggung Wiragiri pun kemudian menunduk hormat sambil menyahut, “Hamba akan melakukan segala titah Sri Baginda.”

Dengan nada datar Prabu Wijaya Ksuma pun berkata, “Aku ambil kembali pertanda kuasaku.”

Tumenggung Wiragiri pun kemudian menyerahkan tunggul kerajaan. Selanjutnya bersama Pangeran Ardhakusuma ia bergeser ke luar dari ruang dalam, diikuti oleh prajurit yang semula mengawal Pangeran Ardhakusuma menghadap.

Demikian mereka sampai di luar bilik itu, terdengar Pangeran Ardhakusuma tertawa tertahan. Agaknya sudah terlalu lama ia berusaha untuk mencegah agar ia tidak tertawa, namun demikian mereka sampai di luar pintu, maka terlalu sulit baginya untuk tetap berdiam diri dengan dada yang sesak.

“Maaf Tumenggung Wiragiri,” berkata Pangeran Ardhakusuma, “tingkah laku Tumenggung Wiragiri memang sangat menggelikan. Setelah baru saja mengalami kesulitan melawan seekor harimau mabuk. Ki Tumenggung telah melaporkan aku kepada Ayahanda karena Ki Tumenggung merasa tidak akan bisa mengalahkan aku,"

Apalagi Tumenggung Wiragiri itu pun pernah mendengar apa saja yang pernah dilakukan oleh Pangeran Ardhakusuma sebagai seorang anak nakal yang kadang-kadang memang tidak masuk akal.

Karena itu, maka Tumenggung Wiragiri pun kemudian berkata, “Sudahlah Pangeran. Aku harus segera membawa Pangeran kepada para petugas yang akan mengurung Pangeran untuk waktu sepekan. Pangeran akan dapat berbuat sesuka hati Pangeran di dalam kurungan itu. Tetapi ingat akan pesan Ayahanda Pangeran, bahwa kurungan itu akan dapat berlipat menjadi dua atau tiga kali jika Pangeran berusaha untuk melepaskan diri, diawasi atau tidak diawasi.”

“Jangan takut aku lari Ki Tumenggung” jawab Pangeran Ardhakusuma, “aku akan dengan taat melakukan semua perintah Ayahanda. Adalah menyenangkan sekali berada didalam kurungan untuk waktu yang sepekan. Jika tidak demikian, maka bagiku akan sulit sekali mencari waktu untuk beristirahat.”

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Anak ini memang anak yang menjengkelkan sekali. Karena itu, maka ia tidak mau terlibat dalam pembicaraan lebih panjang lagi, yang mungkin akan dapat melepaskannya dari kendali.

Karena itu, maka katanya, “Sudahlah Pangeran. Kita akan kehabisan waktu.”

Namun, justru Pangeran Ardhakusuma lah yang kemudian berjalan cepat-cepat diiringi oleh dua orang pengawal.

Demikianlah Pangeran Ardhakusuma pergi untuk menjalankan hukumannya untuk sepekan dikurung disuatu tempat di dalam istana Saung Galuh.

Seorang remaja tampak berjalan agak terburu-buru menyusuri sebuah jalan di tengah rimba. Namun, ia langsung menghela nafas dalam-dalam ketika seorang remaja tanggung mencegat perjalanannya."Pangeran," desisnya

"Kau ini lambat sekali, Pawana. Sampai-sampai aku harus menyusulmu hingga keluar gerbang Kota Raja,"ujar Pangeran Ardhakusuma.

"Apakah Pangeran membebaskan diri dari hukuman Pangeran ?" Pawana malah bertanya.

"Hukuman itu sudah lewat beberapa hari yang lalu. Sehingga sekarang aku bisa bebas menunggumu disini,"

Pawana mengangguk-angguk pelan.

“Sudahlah. Kita akan kembali ke Kota Raja. Tetapi Kita tidak memasuki kota lewat gerbang utama” berkata Pangeran Ardhakusuma, “kita akan memasuki kota lewat gerbang samping.”

“Kenapa?” bertanya Pawana, “apakah karena Pangeran berjalan bersama aku?”

“Tidak” jawab Pangeran Ardhakusuma, “aku telah ke luar lewat gerbang itu. Biarlah para penjaga melihat bahwa aku sudah kembali bahkan bersama seseorang, sehingga para prajurit tidak mempunyai prasangka yang bukan-bukan terhadapku dan melaporkannya kepada eyang Pramanegara.” Pawana hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnya baginya tidak ada bedanya, apakah mereka akan memasuki kota lewat gerbang utama atau bukan.

Demikianlah, sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Ardhakusuma, maka mereka telah memasuki kota lewat pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas justru nampak terkejut ketika mereka melihat Pangeran Ardhakusuma lewat di hadapan mereka.

“Pangeran” bertanya perwira yang bertugas, “Pangeran pergi dari mana?”

Pangeran Ardhakusuma mengerutkan keningnya. Namun ia-pun menjawab, “Sekedar melihat-lihat. Sudah lama aku tidak menyusuri pematang di antara tanaman-tanaman padi.”

“Tetapi kami tidak melihat Pangeran ke luar? Apakah Pangeran ke luar dari gerbang yang lain?” bertanya perwira itu pula.

“Sejak kapan kau bertugas disini?” Pangeran Ardhakusuma ganti bertanya.

“Lewat fajar, kami sekelompok mendapat giliran bertugas di sini” jawab perwira itu.

“Dan kawan-kawanmu yang kau gantikan tidak mengatakan bahwa aku ke luar menjelang dini hari?” bertanya Pangeran Ardhakusuma pula.

“Tidak Pangeran” jawab perwira itu.

“Jika demikian maka biarlah aku yang memberitahu-kan kepadamu. Aku ke luar menjelang dini hari lewat pintu gerbang ini pula. Dan sekarang aku telah memasuki Kota Raja kembali” berkata Pangeran Ardhakusuma.

Perwira itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baik Pangeran. Silahkan.”

Pangeran Ardhakusuma tidak menjawab lagi. Tetapi beberapa langkah kemudian ia bergumam, “Ternyata para petugas di gerbang itu sudah berganti orang.”

Pawana hanya mengangguk-angguk saja. Sementara kaki mereka berdua sudah mulai menyelusuri jalan-jalan kota.

Ternyata Pangeran Ardhakusuma memang seorang yang sudah terlalu dikenal oleh orang-orang Saung Galuh. Di sepanjang jalan banyak orang yang menyapanya, mengangguk hormat dan bahkan berbicara sepatah dua patah kata. Anak-anak muda nampaknya menyukainya dan mengaguminya.

Namun nampaknya orang-orang Saung Galuh juga sudah terbiasa melihat Pangeran Ardhakusuma berjalan sendiri atau bersama satu dua orang seperti yang mereka lihat saat itu. Tanpa pengawalan dan tanpa pertanda-pertanda apapun. Bahkan orang-orang Saung Galuh sudah terbiasa melihat Pangeran Ardhakusuma masuk ke dalam pasar dan duduk di dekat pandai besi yang sedang sibuk bekerja. Bahkan agaknya menjadi kesenangan Pangeran Ardhakusuma menunggui pandai besi yang sedang menempa bermacam-macam alat, terutama alat pertanian.

Tetapi, sekali Pangeran Ardhakusuma membuat seorang pandai besi kehilangan akal ketika pandai besi itu mencari alat untuk mengambil besinya yang sudah membara untuk ditempa.

“He, dimana tanggemku?” ia bertanya kepada pembantunya.

Pembantunya menjadi sibuk. Namun tiba-tiba saja sambil tersenyum Pangeran Ardhakusuma mengambil besi yang membara itu dengan tangannya.

“Tempalah” berkata Pangeran Ardhakusuma.

Orang itu menjadi bingung. Tetapi Pangeran Ardhakusuma berkata, “Jangan takut memukul. Biar saja jika tanganku terkena.”

Tetapi pandai besi itu tidak berani mengayunkan alat pemukulnya untuk menempa besi yang telah membara yang dipegangi oleh Pangeran Ardhakusuma meskipun terletak di atas paron.

Pangeran Ardhakusuma tersenyum. Sekali lagi berkata, “Tempalah.”

Tetapi pandai besi itu menggeleng sambil berdesis, “Tidak Pangeran.”

Pangeran Ardhakusuma tertawa. Dilepaskannya besi yang telah membara itu sambil berkata, “Itu tanggemmu berada dibawah tempat dudukmu.”

“O” pandai besi itu bangkit. Tanggem yang dicarinya memang berada di bawah tempat duduknya, dan di belakang.

“Bagaimana tanggem ini dapat sampai di sini.” geram pandai besi itu, “aku tidak bangkit sejak pagi.”

“Tanggemmu memang dapat merayap sendiri” jawab Pangeran Ardhakusuma masih tertawa.

Pandai besi itu mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat mengerti bagaimana tanggemnya dapat berada di bawah tempat duduknya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, ia telah meninggalkan tempat duduknya untuk minum beberapa teguk. Mungkin pembantunya telah berbuat sesuatu dan tanpa sengaja kakinya telah menggeser tanggem itu.

Namun dengan demikian, pandai besi itu menjadi semakin kagum terhadap Pangeran Ardhakusuma. Jika Pangeran Ardhakusuma datang menungguinya bekerja, rasa-rasanya pekerjaannya menjadi lebih cepat selesai. Apalagi jika sekali-kali Pangeran Ardhakusuma itu telah menggerakkan tangkai ububan. Rasa-rasanya apinya panasnya menjadi berlipat.

Demikianlah Pangeran Ardhakusuma ternyata sering berada diantara orang-orang kebanyakan, sehingga orang-orang itu-pun menjadi akrab dengannya. Namun orang-orang itu-pun menyadari, bahwa kadang-kadang Pangeran Ardhakusuma telah melakukan permainan yang terasa memusingkan kepala banyak orang.

Wajah Ki Tumenggung Wiragiri menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status