Share

BHARATA (Pendekar Naga Bumi)
BHARATA (Pendekar Naga Bumi)
Author: Sritelasih

Bab 1. Pangeran Ardakusuma

Tubuhnya kekar dan tegap. Meskipun usianya baru sekitar sepuluh tahun. Namun anak laki-laki itu sudah menampakkan ciri-ciri kegagahannya.

Di siang yang cukup terik, anak itu berjalan-jalan menyusuri jalanan yang banyak ditumbuhi pohon besar. Namun betapa terkejutnya orang-orang disekitarnya ketika tiba-tiba saja anak itu mengamuk. Dengan wajah merah padam, dicabutnya pohon besar di dekatnya. Dan pohon besar itu pun tumbang. Orang-orang berdatangan mendengar dentaman kayu besar itu.

“Raden Pragola telah menelusup ke dalam tubuhnya,” gumam sebagian orang yang hadir.

“Siapa yang bilang saya kerasukan??” rupanya anak itu mendengar gumaman orang-orang di sekitarnya.

Ditanya demikian, menunduklah orang-orang.

Berita kelakuan aneh anak itu sampailah kepada Prabu Wijaya Kusuma, ayahanda anak itu. Maka di utuslah seorang prajurit untuk memanggilnnya. Prajurit itupun datang menghampiri anak itu.

"Pangeran. Ayahanda Pangeran telah menunggu Pangeran,"

Anak tampan itu menegang sesaat. Namun dengan langkah angkuhnya ia pun segera berbalik menuju istana menghadap ayahandanya.

“Sudah beberapa kali kau pamer kesaktian. Pertama ketika datang seorang utusan dari Kerajaan Pagar Ruyung, kau menghajar mereka. Kau juga membunuh seorang begal sakti yang sulit ditangkap para perwira dan prajurit. Ayahanda suka punya anak yang sakti, tapi tidak untuk disalah gunakan.”

“Tapi ?” sahut anak itu sembari menunduk.

“Bila itu terus berlanjut, dapat membahayakan diri sendiri," Prabu Wijaya Kusuma memotong. "Di atas langit masih ada langit. Kau memang sakti sejak kau di lahirkan. Tapi, masih ada yang mampu melampaui kesaktianmu. Bagaimana jika suatu saat kau kebetulan berhadapan dengan orang yang lebih sakti darimu. Kau bisa apa ? Tentu kau akan mati karena kesombonganmu itu,"

Muka anak itu kian memerah. Ia menunduk di depan ayahnya. Kemudian ayahnya menjulurkan jari telunjuknya ke hadapan anaknya.

“Kau lihat telunjuk ini,” ayahnya mengajukan telunjuknya. “Jika kau orang sakti, patahkan telunjukku ini,” tantangnya.

Kemudian anak itu cepat-cepat memegang telunjuk ayahnya itu. Matanya menatap wajah ayahnya. Keduanya saling tatap. Anak itu berusaha mematahkan telunjuk ayahnya itu. Namun sia-sia. Kesaktiannya rupanya masih terlampau jauh di bawah ayahandanya. Ia pun menunduk malu di hadapan ayahandanya.

“Maafkan hamba, Ayahanda,” katanya kemudian sambil menghaturkan sembah sungkem.

Prabu Wijaya Kusuma tersenyum. Namun lelaki perkasa itu masih ragu, apakah anaknya benar-benar memohon ampun dengan ketulusan hati atau hanya pura-pura belaka? Maka disuruhnya anaknya itu ke tempat sepi untuk merenung. “Di sana kau bisa merenungkan nasehat-nasehatku. Jangan beranjak dari tempat itu selama sepekan. Atau aku akan menghukummu dua kali lipat,"

Anaknya itu tak menyahut. Kepalanya terus menunduk. Mukanya mengernyit seolah menampakkan kekecewaan atas dirinya dan ayahandanya yang telah mempermalukannya. Dengan nada lebih keras, ayahandanya menyuruh anaknya itu pergi untuk menjalankan hukumannya.

"Angger Prabu, terlalu keras padanya," desis seorang tua yang duduk di samping kanan Prabu Wijaya Kusuma.

"Anak itu harus di hukum, Paman. Sebagai putraku, Putra Raja Saung Galuh. Anak itu harus bisa menjaga wibawa dirinya sebagai seorang Pangeran dari Saung Galuh. Dia telah menjadi perhatian banyak pihak dengan kesaktiannya yang dimiliki sejak lahir. Apakah kelak dia akan menjadi harapan masa depan kerajaan,"

"Cucunda Pangeran Ardhakusuma itu masih anak-anak. Kenakalannya memang hal yang wajar untuk anak seusianya. Tetapi, karena di dalam dirinya sudah tersimpan suatu karunia yang luar biasa. Maka, kenakalan yang wajar maka akan terasa sulit di memgerti bagi orang lain yang tidak memahami keadaannya,"

Prabu Wijaya Kusuma menghela nafas dalam-dalam. Anak laki-lakinya yang paling muda dan masih anak-anak itu memang nakalnya bukan main. Bahkan sulit diatur. Meskipun sebenarnya dia anak yang tidak pernah membantah pada ayahandanya. Tetapi apa yang dilakukan anak itu memang selalu membuatnya berdebar-debar.

"Padahal aku membawa anak itu ke Saung Galuh bukan untuk membuatnya menjadi anak yang angkuh seperti itu. Dia salah satu puteraku. Sebagai seorang ayah, aku tidak tega melihat anak itu menjadi seorang pengembala. Sementara kakak-kakaknya hidup dalam kemewahan di dalam istanaku ini,"

"Mungkin puteri ingin mengajarkan sesuatu kepada cucunda Pangeran Ardhakusuma. Bukankah mereka tidak pernah kekurangan kebutuhannya sehari-hari,"

Prabu Wijaya Kusuma tampak tidak mengatakan apa-apa lagi.

Beberapa pekan telah berlalu. Semenjak itu Prabu Wijaya Kusuma belum mendengar lagi masalah baru yang di timbulkan putra bungsunya itu. Untuk sementara Prabu Wijaya Kusuma bisa bernafas lega di balik kesibukannya sebagai seorang raja yang menjalankan segala kewajibannya atas kerajaan yang di pimpinnya.

Hingga suatu ketika datang serombongan pengamen di Kota Raja. Mereka memiliki keahlian macam-macam, seperti sulap, sihir, memukul orang dengan rotan, main pedang, orang tidur dijatuhi batu sebesar gajah, dan lain-lain. 

Ketika orang-orang yang menyaksikan dengan kagumnya, tiba-tiba Pangeran Ardhakusuma menyeruak maju. 

Dia berpakaian seperti layaknya orang kebanyakan sehingga orang yang belum pernah bertemu dengannya memang akan sulit mengenalinya sebagai putra raja yang bertahta di Saung Galuh. Pangeran Ardhakusuma maju ke depan, menuju pemimpin rombongan pengamen.

"Kang, saya ikut main. Saya akan merentangkan tangan. Lima orang di sebelah kanan dan lima orang di sebelah kiri menarik tangan saya. Kalau kalian berhasil menarikku, saya beri upah lima keping uang emas," tantang Pangeran Ardhakusuma dengan gagah. 

Pemimpin rombongan pengamen penasaran akan kesombongan anak itu. Kemudian menyuruh sepuluh orang pengikutnya untuk menarik kedua tangan Pangeran Ardhakusuma, masing-masing lima orang.

Ternyata Pangeran Ardhakusuma benar-benar memiliki tenaga yang ampuh. Meskipun ditarik lima orang dari kanan kiri, tubuhnya tak bergeming sedikitpun.

Dua orang yang ikut menarik, tiba-tiba merasa dipermainkan. Keduanya ingin memukul Pangeran Ardhakusuma, lalu oleh Pangeran Ardhakusuma kedua orang itu dibanting ke tanah. Pemimpin rombongan menjadi gusar. 

Para penonton kaget setengah mati. Pangeran Ardhakusuma tertawa terbahak-bahak. Orang-orang lalu tahu bahwa itu Pangeran Ardhakusuma, putra bungsu Prabu Wijaya Kusuma. Mengetahui siapa itu, semua orang diam. Satu persatu mulai menyingkir.

"Kenapa kalian pergi. Bukankah kita belum selesai bermain !" seru Pangeran Ardhakusuma. Namun, orang-orang memang sudah membubarkan diri. Bahkan kedua orang yang telah di lemparkannya dengan tertatih-tatih segera berdiri. Pangeran Ardhakusuma hendak menolong kedua orang itu. Namun dengan tatapan kesal dan kecewa kedua orang itupun telah meninggalkan Pangeran Ardhakusuma yang berdiri termangu-mangu.

Namun dalam pada itu, tanpa di sadari Pangeran Ardhakusuma. Ada seseorang yang secara tidak sengaja melihat apa yang dilakukan anak itu sejak ia melakukan permainan dengan para pengamen tadi. Setelah anak itu beranjak dari tempat itu. Orang itu bertanya kepada beberapa orang tentang anak itu.

Tanpa menarik perhatian secara khusus, maka orang itu bertanya kepada seorang prajurit, “Aku belum pernah melihat anak itu sebelumnya.”

Prajurit itu menjawab. Katanya, “Ia belum lama berada di Saung Galuh. Sebelumnya ia berada di Kadipaten Taruma. Pernah tinggal untuk beberapa lama di Kerajaan Kendan bersama kakeknya. Namun akhirnya ia berada di istana ayahandanya.”

“Jadi, dia putra Sri Baginda Prabu Wijaya Kusuma?" bertanya itu.

“Ya. Dia anak laki-laki dari Puteri Kusuma Gandawati dari Kendan. Tetapi karena hubungan Puteri agak terbelit-belit dengan Sri Baginda Prabu. Anak itu memang tidak lahir di Kendan melainkan di Taruma, lalu di bawa ke Kendan. Baru kemudian sekarang tinggal di Saung Galuh. Sementara Puteri sendiri tinggal di Kendan tidak ikut ke Saung Galuh,"

Orang itu mengangguk-angguk. Seakan-akan tanpa disengaja ia bertanya, “Siapakah nama putera Prabu Wijaya Kusuma itu?”

Prajurit itu memang tidak menaruh curiga. Dengan ringan ia menjawab, “Pangeran Ardhakusuma.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia mengulang, “Pangeran Ardhakusuma. Nama yang pantas untuk anak yang luar biasa itu.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Ki Sanak tahu bahwa anak itu adalah anak yang luar biasa ?”

Orang itu tersenyum sambil menjawab, “Bukankah baru saja kita melihatnya.”

“Kau benar, Ki Sanak” jawab prajurit itu, “tetapi nakalnya bukan main. Kau pernah mendengar cerita tentang Prabu Wijaya Kusuma di masa mudanya ? Yang mampu memukul kepala seekor kerbau yang sedang mengamuk dan tidak dapat dikuasai sekelompok prajurit yang sedang berburu di hutan ?”

“Ya, aku memang pernah mendengarnya” jawab orang itu, “Prabu Wijaya Kusuma dimasa mudanya itu telah memukul kepala kerbau yang sedang mengamuk itu sehingga pecah.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Anak itu juga telah melakukannya. Ketika anak itu berada di sebuah padukuhan, seekor kerbau yang lepas dari ikatannya, sesaat sebelum disembelih telah mengamuk. Tidak seorang pun yang berani menangkap kerbau yang sedang mengamuk itu. Tetapi, ternyata Pangeran Ardhakusuma dengan tenang telah menyongsong kerbau yang mengamuk itu. Ketika kerbau itu menyerangnya dengan tanduknya yang runcing, maka dengan kedua tangannya, sepasang tanduk itu telah ditangkapnya. Kepala kerbau itu dipuntirnya dan dengan sekali pukul, kerbau itu telah jatuh terguling di tanah. Mati.”

Orang mengangguk-angguk. ia sama sekali tidak menyangkal. Melihat apa yang baru saja dilakukannya, maka hal seperti yang dikatakan oleh prajurit itu memang mungkin sekali terjadi.

“Tetapi anak itu terlalu mudah menuruti perasaannya” berkata prajurit itu, “ia kadang-kadang tanpa berpikir panjang, telah melakukan sesuatu yang ingin dilakukan. Ia tidak mau membuat pertimbangan yang cukup apalagi minta pendapat orang lain. Dengan demikian maka kadang-kadang tingkah lakunya telah mengejutkan orang lain.”

Orang mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab, “Agaknya demikian sifat anak-anak.”

“Tetapi sifat itu agak berlebihan, Ki Sanak” berkata prajurit itu.

“Jika umurnya bertambah, maka pertimbangannya pun akan bertambah pula” berkata orang itu.

“Mudah-mudahan” jawab prajurit itu “tetapi dalam waktu yang pendek selama ia berada di Saung Galuh, sifatnya telah membuat ayahandanya beberapa kali marah. Selain membunuh seekor kerbau, maka anak itu telah membunuh pula seorang gembong perampok yang tidak terkalahkan di tlatah Tegal Sari,"

“Tegal Sari di Daerah Pakuwon ?” bertanya orang itu.

“Ya. Dan hal itu telah menyebabkan Ki Demang Pakuwan agak kecewa. Ki Demang Pakuwon merasa dikecilkan, seolah-olah Ki Demang Pakuwon tidak dapat mengatasinya sendiri. Padahal kita tahu, bahwa Ki Demang Pakuwon adalah seorang yang mumpuni” berkata prajurit itu.

“Lalu?” bertanya orang itu.

“Untunglah bahwa Prabu Wijaya Kusuma dapat memaksa Pangeran Ardhakusuma untuk menemui Ki Demang Pakuwon untuk menjelaskan kenapa ia telah membunuh gembong perampok di daerah Tegal Sari itu” berkata perwira itu, “Dan ternyata alasan Pangeran Ardhakusuma yang masih anak-anak itu dapat dimengerti oleh Ki Demang Pakuwon.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mempunyai gambaran yang semakin jelas tentang anak itu.

Ternyata bahwa sesuai dengan cerita-cerita yang didengarnya tentang Pangeran Ardhakusuma, tidak ada persoalan yang dapat dianggap bahwa Pangeran Ardhakusuma mempunyai tabiat yang kurang baik. Pangeran Ardhakusuma yang masih anak-anak itu terlalu menuruti kehendaknya sendiri. Sulit sekali bagi keluarganya untuk mengaturnya, apalagi dengan ikatan-ikatan yang ketat sebagaimana seharusnya bagi seorang putera raja di sebuah kerajaan yang besar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status