Share

Bab 4. Mimpi Buruk

Dalam pada itu, Pangeran Ardhakusuma dan Pawana-pun telah sampai di istana Padmanegaran. Seperti ketika mereka memasuki Kota Raja, maka mereka-pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan.

“Aku tinggal di bagian belakang” berkata Pangeran Ardhakusuma.

“Apakah Pangeran selalu berada di sini ? Tidak di kasatrian, di istana Ayahanda?” bertanya Pawana.

“Aku lebih banyak berada di sini sekarang, Ayahanda memerintahkan Eyang Pramanegara untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan” jawab Pangeran Ardhakusuma.

“Dan Pangeran menyadarinya?” bertanya Pawana.

“Ya. Aku menyadarinya. Tetapi akupun menyadari, bahwa akupun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri.” jawab Pangeran Ardhakusuma.

Pawana tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Pangeran Ardhakusuma itu.

“Nah sudahlah” berkata Pangeran Ardhakusuma, “marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.”

Pawana tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itupun sama sekali tidak menyapa ketika Pangeran Ardhakusuma lewat di hadapan mereka. Mereka hanya mengangguk hormat sementara Pangeran Ardhakusuma hanya tersenyum saja kepada mereka.

Ketika kedua orang itu memasuki bilik Pangeran Ardhakusuma. Pawana terkejut. Ia melihat pada dinding bilik itu tergantung segala jenis senjata. Senjata pendek, senjata bertangkai pendek dan panjang, senjata lontar dan senjata-senjata kecil yang dilemparkan dengan tulup. Di dalam bilik itu terdapat juga berbagai macam senjata bertangkai. Tombak, canggah, trisula, tombak berujung rangkap dan bermacam-macam jenis yang di antaranya berasal dari seberang. Sejenis kapak dan kapak yang bermata ganda. Perisai berbagai macam bentuk dan macamnya.

Pangeran Ardhakusuma yang melihat Pawana terheran-heran itu berkata, “Aku memang mempunyai kegemaran mengumpulkan segala jenis senjata. Tetapi aku sendiri jarang sekali membawa senjata.”

Pawana mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, “Darimana saja Pangeran mendapatkan berjenis-jenis senjata ini?”

“Dari mana-mana” jawab Pangeran Ardhakusuma, “sebagian besar aku sudah lupa.”

Pawana hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Ardhakusuma berkata, “Duduklah. Bilik ini kotor. Tetapi Eyang Pramanegara tidak berkeberatan melihat senjata-senjata ini aku tempel di dinding. Semula senjata ini aku tempel di dinding bilikku di kasatrian di dalam istana Ayahanda. Tetapi setelah aku berada di sini, maka semuanya telah aku pindahkan kemari.”

Pawana mengangguk-angguk. Ia-pun kemudian duduk di sebuah amben di sudut bilik yang agak luas itu. Sementara Pangeran Ardhakusuma-pun telah pergi ke sebuah gledeg di sudut yang lain.

“Aku haus” katanya sambil mengangkat sebuah gendi. Ternyata Pangeran Ardhakusuma telah minum dari gendi itu. Air dingin.

“Jika kau haus minumlah.” berkata Pangeran Ardhakusuma, “aku tidak terbiasa minum minuman panas dengan gula kelapa seperti seorang kakek-kakek yang kerjanya hanya minum dan makan jenang saja sambil duduk terkantuk-kantuk.”

Pawana mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Pangeran Ardhakusuma tentu bukan seorang yang manja. Karena itu, maka ia tidak akan telaten menunggu pelayan menghidangkan minuman panas jika ia merasa haus.

“Kau dapat beristirahat dengan tenang di sini” berkata Pangeran Ardhakusuma, “bilik ini adalah bilikku. Tidak ada orang yang berkeliaran di dalam bilik ini, selain seorang yang setiap hari membersihkan bilik ini. Di belakang bilik ini terdapat juga sebuah bilik yang aku pergunakan sebagai sanggar.”

“Di belakang bilik ini?” bertanya Pawana.

“Ya” jawab Pangeran Ardhakusuma, “marilah. Jika kau ingin melihat, lihatlah.”

Pawana memang ingin melihat apa yang terdapat di dalam sanggar. Bilik Pangeran Ardhakusuma sudah penuh dengan senjata. Apalagi sanggarnya, tentu penuh dengan bermacam-macam senjata yang lebih baik dari yang terdapat di bilik ini.

Pangeran Ardhakusuma-pun kemudian telah membawa Pawana memasuki sebuah pintu yang terdapat di dinding bilik itu pula.

Namun ketika Pawana memasuki bilik itu ia menjadi heran. Bilik itu bukanlah bilik yang cukup luas dipergunakan untuk berlatih olah kanuragan. Bahkan tidak terdapat sebuah alat-pun yang dapat dipergunakan untuk itu. Yang terdapat di bilik itu justru sebuah pembaringan. Hanya itu.

“Bagaimana mungkin bilik ini dapat dipergunakan sebagai sanggar? Apakah Pangeran dapat berlatih di tempat yang sesempit ini?” bertanya Pawana.

Pangeran Ardhakusuma menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pawana sejenak, lalu katanya, “Aku tidak mengatakan kepada setiap orang. Tetapi aku akan mengatakan kepadamu. Aku tidak mengalami istilah-istilah sebagaimana sering kita lakukan jika aku berada di tepian sungai bersamamu. Aku tidak berlatih di sanggar sebagaimana kau lakukan.”

“Jadi apa yang Pangeran lakukan di dalam sanggar ini?” bertanya Pawana.

Pangeran Ardhakusuma tiba-tiba telah terduduk di pembaringan. Wajahnya tiba-tiba menjadi sayu. Pawana yang selalu melihat wajah itu cerah dan penuh kegembiraan, tiba-tiba dihadapkan pada satu kesan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Kenapa?” bertanya Pawana termangu-mangu.

“Duduklah” berkata Pangeran Ardhakusuma.

Pawana-pun kemudian telah duduk di sebelah Pangeran Ardhakusuma. Tetapi ia tidak bertanya sepatah kata-pun. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Ardhakusuma itu.

“Pawana” berkata Pangeran Ardhakusuma, “aku menyadari, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada diriku. Tetapi aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Yang terjadi itu adalah di luar kuasaku. Karena itu, maka aku hanya dapat menerimanya sebagai satu kenyataan. Memang kadang-kadang terbersit di dalam hati untuk melepaskan diri dari ikatan yang tidak dapat aku mengerti, tetapi aku sadari adanya.”

Pawana hanya dapat mengangguk-angguk saja.

Sementara itu Pangeran Ardhakusuma berkata, “Tetapi semuanya itu akan segera berlalu.”

“Apa maksud Pangeran?” bertanya Pawana.

Pangeran Ardhakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pawana. Ada rahasia yang menyelubungi diriku. Rahasia tidak dapat aku pecahkan sendiri. Tetapi itu terjadi dan mengikat diriku pada satu keadaan yang serba samar. Jika kau lihat sanggar ini, maka kau tentu menjadi heran. Justru itu adalah sangat wajar. Yang tidak wajar adalah yang terjadi di dalam sanggar ini.”

“Apa yang telah terjadi?” hampir di luar sadarnya Pawana bertanya.

“Nampaknya perjalananku sudah terlalu jauh, sehingga aku harus kembali pulang” berkata Pangeran Ardhakusuma, “maka mungkin ada baiknya aku mengatakan kepadamu, setidak-tidaknya ada seseorang yang akan mengenangku dengan segala macam rahasianya yang tidak akan pernah dapat aku pecahkan.”

Pawana menjadi berdebar-debar.

“Pawana” berkata Pangeran Ardhakusuma, “di pembaringan inilah aku selalu menempa diri sehingga aku memiliki kelebihan dari kebanyakan orang, apalagi yang seumur dengan aku.”

Pawana mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya bibirnya telah bergerak, “Bagaimana mungkin.”

“Tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang”, berkata Pangeran Ardhakusuma, “Aku selalu berlatih dalam dunia yang lain dari dunia kita sekarang ini.”

“Aku tidak tahu yang Pangeran maksudkan,” desis Pawana.

“Aku berlatih di dalam mimpi” jawab Pangeran Ardhakusuma, “dalam tidur aku menempa diri. Rahasia itulah yang tidak aku mengerti. Demikian aku terbangun, maka kemampuan dan ilmuku selalu bertambah-tambah. Waktuku di dalam mimpi rasa-rasanya berlipat dari waktu yang kita jalani bersama. Dalam sekejap aku tertidur disini, maka rasa-rasanya aku sudah berlatih untuk waktu lebih dari setengah hari. Itulah agaknya maka umurku-pun merupakan umur ganda. Sebagai aku dalam kehidupan ini, maka aku memang masih sangat muda. Tetapi agaknya waktu-waktu yang terdapat di dalam mimpi menjadi dua kali lipat dari umurku sebagaimana kau lihat. Sementara itu kemampuanku pun menjadi dengan sangat cepat, menurut ukuran-mu, meningkat dan bertambah-tambah. Tetapi aku tidak akan dapat mengajarkannya kepada siapa-pun dengan cara sebagaimana aku tempuh. Karena itu, yang dapat aku lakukan, adalah sekedar bermain-main melawanmu dalam latihan-latihan yang tentu kau anggap berat.”

Pawana mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya kulitnya telah meremang. Agaknya Pangeran Ardhakusuma memang bukan orang kebanyakan betapapun tekunnya ia berlatih. Sebagaimana diduganya, bahwa ia tentu mempunyai rasa berlatih yang lain.

Di dunia mimpi Pangeran Ardhakusuma ternyata hadir secara utuh sebagaimana di dalam hidupnya sehari-hari. Unsur wadag di dalam dunia mimpinya bukanlah wadagnya yang terbaring di pembaringan, namun Pangeran Ardhakusuma tetap utuh. Yang berlaku di dalam mimpinya atas wadag semuanya, dapat ditrapkan di dalam kehidupannya dengan wadag kasarnya. Sementara itu, ternyata waktu mempunyai kedalaman tersendiri, sehingga terasa waktunya di dalam dunia mimpinya jauh lebih panjang dari waktu di dunia wadag kasarnya. Tetapi Pangeran Ardhakusuma mampu memanfaatkan waktu itu untuk berlatih dan menguasainya dalam dunia wadag kasarnya.

Karena Pawana agaknya dicengkam oleh berbagai perasaan yang asing, maka Pangeran Ardhakusuma itu-pun kemudian berkata dengan nada dalam, “Pawana, agaknya waktu yang diberikan kepadaku untuk hidup dalam dunia wantah ini tidak akan terlalu lama. Rasa-rasanya di setiap mimpi, dalam latihan tangan yang melambai memanggilku untuk kembali. Kadang-kadang aku melihat kereta yang meluncur di atas roda-roda yang besar, ditarik oleh beberapa ekor kuda semberani yang bersayap seperti sayap seekor burung rajawali raksasa melintas di atas gelombang-gelombang raksasa yang menghempas ke pantai.

Dan aku-pun kadang-kadang melihat ibuku duduk di atas kereta yang demikian dalam ujud yang asing dan hampir tidak dapat aku kenali, selain kelembutan wajahnya serta senyumnya yang selalu membelai perasaanku. Pakaiannya yang cemerlang seperti matahari, serta tatapan matanya yang bercahaya bagaikan bulan bulat, selalu membuat hatiku berdebaran. Dalam kehidupan sehari-hari, ibuku adalah seorang yang sangat sederhana meskipun ia adalah seorang puteri keraton.”

Pangeran Ardhakusuma berhenti sejenak menelan ludahnya. Pandangannya menjadi redup dan kata-katanya-pun menjadi sendat, “Pawana. Waktuku tidak akan lama lagi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status