Pagi hari Kartika bangun dengan segar. Ia langsung mengambil air wudhu dan segera menunaikan ibadah Solat subuh. Entah sudah berapa lama ia tidak menjalankan ibadah. Dalam sujudnya Kartika mengucap syukur atas segala kebaikan yang sudah Allah berikan kepadanya.
Tak lupa ia mengirimkan doa untuk almarhum ayahnya tercinta. Juga untuk ibu dan adiknya. Mengingat ibunya membuat hati Kartika terasa begitu sakit. Ibu yang sudah mengandung dan melahirkan. Namun,ibunya juga yang sudah menjualnya. Menjerumuskan ke dalam dunia yang sangat kelam dan hitam.
Kartika menangis terisak-isak, ia tidak mengerti mengapa Sulastri begitu membencinya. Meski ia hadir akibat kecelakaan, tapi bukankah ayahnya bertanggung jawab? Setidaknya Sulastri tau siapa ayah Kartika. Sementara dirinya dulu, sempat mengandung tapi tidak tau siapa ayahnya. Saking banyaknya pria yang sudah menidurinya.
Setelah menunaikan ibadah solat subuh dan men
Tak terasa sudah tiga bulan Kartika bekerja di tempat Rivan. Ia merasa betah, gaji yang diberikan oleh Rivan lebih dari cukup untuk kebutuhannya sehari-hari. Bahkan dia masih bisa menabung karena tidak perlu membayar uang kos sampai beberapa bulan ke depan. Dan, sore itu Kartika melihat Rivan datang dengan seorang gadis yang cantik sekali. Kartika menelan salivanya. Ia merasa sedikit iri kepada gadis itu. "Kau punya kasir baru, Mas?" katanya sambil melirik dan memperhatikan penampilan Kartika dari atas sampai bawah.Rivan tersenyum manis, "Kartika,ini calon istri saya, Salsa. Ini Kartika, sayang. Dia ini masih saudara jauh dari papaku. Kedua orangtuanya sudah meninggal dunia. Jadi, aku membantunya untuk bekerja di sini." Kartika menahan napasnya dan mengangguk hormat pada wanita cantik di samping Rivan. Salsa, wanita itu hanya tersenyu
Sudah beberapa hari ini Kartika merasa perutnya mual. Beberapa kali ia muntah-muntah di tempat kerjanya. Hal itu tak lepas dari perhatian dari Ella dan Sari sebagai teman Kartika yang paling dekat selama ini."Kau kenapa?" tanya Ella."Iya,Tika. Kau sakit,ya?""Aku mungkin masuk angin karena beberapa malam ini aku tidur terlalu malam," jawab Kartika."Kau punya pacar,Tika?" tanya Sari sedikit berbisik saat Ella sudah berjalan menuju meja pelanggan yang kebetulan baru datang. Kartika menatap Sari dengan dahi sedikiit berkerut."Memangnya kenapa, Sar?" tanya Kartika tidak mengerti."Nanti saja sepulang kerja kita bicarakan," kata Sari. Kartika hanya menganggukkan kepalanya dan melanjutkan pekerjaannya.
Rivan menepati janjinya untuk datang di sore hari. Namun, Kartika menolak saat Rivan mengajaknya untuk ke dokter kandungan."Kita harus cepat, Kartika. Kalau sudah terlalu besar mana mungkin bisa digugurkan lagi." Kecewa!Itulah yang Kartika rasakan saat ini. Ia merasa dunianya runtuh dan hancur. Tidak mengapa jika Rivan tidak mau bertanggung jawab. Tapi, jangan suruh ia mengugurkan kandungannya."Mas, beri aku waktu 3 hari untuk berpikir," kata Kartika. Rivan menghela napas panjang, "Baiklah, tiga hari saja. Jangan lebih.""Iya, aku janji hanya tiga hari," ujar Kartika. Pada akhirnya Rivan pun mengalah, ia pamit pulang. Sebelumnya ia mengulurkan amplop berisi uang kepada Kartika."Ini untukmu," ujarnya. Kartika tidak menolak pemberian Rivan. Ia mengambil amplop itu dan langsung menyimpannya.
Kartika menjalani masa kehamilannya dengan tabah dan sabar. Ia bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Gazali setiap hari. Pekerjaannya hanya mencuci dan menggosok pakaian. Itupun khusus untuk cucian yang berat, Kartika diizinkan memakai mesin cuci. Layaknya wanita hamil terkadang Kartika ingin merasakan kasih sayang, namun ia hanya bisa membayangkan Rivan yang dulu sering memeluk dan memberikan rasa aman dan nyaman kepadanya. Untunglah Kartika dulu sempat meminta foto Rivan sebagai kenang-kenangan, sehingga jika ia merasa rindu ia akan menatap foto itu lama-lama dan memejamkan matanya sambil berdoa semoga Rivan juga merasakan kerinduan yang sama, meski rasanya itu adalah hal yang mustahil terjadi. Usia kandungan Kartika sudah memasuki minggu terakhir. Bu Rokayah, istri Pak Gazali mengizinkan Kartika untuk istirahat dulu menjelang lahiran. Bahkan, Rokayah memberikan banyak baju bayi lungsu
Rivan mengembuskan napas panjang sambil melangkah ke dalam rumah. Sudah empat bulan ini ia menikah dengan Salsa. Tapi, setiap kali ia pulang ke rumah Salsa selalu tak ada di rumah."Bik!" serunya. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya."Sudah pulang,Pak?" tanya Bik Sum."Ibu ke mana?""Anu ... ibu ...." Bik Sum tampak ketakutan , wanita separuh baya itu meremas kedua tangannya dengan panik."Ibu ke mana?" Rivan mengulangi pertanyaannya."Ibu sejak siang tadi pergi. Katanya arisan di Bogor.""Gila! Arisan sampai ke Bogor, lain kali kalau sembunyikan kunci mobilnya, Bik!""Mana Bibik berani, Pak. Nanti Ibu ngamuk." Rivan mendengus kesal, kemudian tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun kembali menyambar kunci mobilnya dan bergegas per
_10 tahun kemudian_ Kartika terkejut saat Dania pulang dengan pakaian yang kotor dan kaki yang luka. Wanita itu segera memeluk putrinya."Dania kenapa?" tanya Kartika. Alih-alih menjawab, Dania menatap Kartika dengan air mata yang menetes."Bu, Papa Dania sebenarnya ke mana? Ibu selalu bilang Papa kerja. Tapi, kenapa Papa nggak pernah pulang? Ayahnya Lia juga bekerja, tapi setiap sore pulang ke rumah. Ayahnya Eka meskipun kerjanya di Bandung, tapi setiap hari sabtu pasti pulang. Tapi, sejak kecil Dania belum pernah ketemu Papa."Duh, Gusti!Dada Kartika terasa begitu sesak. Ada luka yang tidak berdarah, di dalam hatinya. Selama sembilan tahun ini , Kartika bekerja banting tulang demi menghidupi Dania. Mencuci gosok dan menjadi pembantu rumah tangga di beberapa tempat. Semua itu Kartika lakukan agar semua kebutuhan Dania tercukupi.
Kartika melangkah masuk ke dalam rumah begitu Ibu Siti pergi. Ia melihat Dania baru saja keluar dari kamar mandi dan sedang membereskan cucian piring yang belum sempat ia cuci."Nak, ini tas sekolah dari Bu Siti. Nanti, kalau ketemu beliau jangan lupa bilang terima kasih, ya. Sebentar lagi, Ibu mau ke rumah Bu Anisa. Cucian dan gosokan di rumahnya sudah banyak. Kamu, makan dan belajar. Jangan keluar rumah,ya. Menonton televisi saja di rumah," kata Kartika.Dania mengangguk patuh."Bu, maafkan sikap Dania tadi. Pasti Ibu sangat sedih dengan perkataan Dania. Dania janji ,Bu. Mulai besok Dania tidak akan menangis lagi dan tidak akan mendengarkan perkataan orang-orang lagi."Kartika merasa batinnya tersayat , sedih sekali melihat putri semata wayangnya bersedih seperti ini. Kartika pun memeluk Dania dengan erat."Ibu sangat mencintaimu, Dania.""Bu, tidak apa jika Papa tidak pernah menengok ki
"Kamu nggak pernah benar ya urus anak! Gimana bisa nilai anak kita sampai merah semua begini?! Kamu nggak ajarin dia belajar?!" hardik Rivan pada sang istri, Salsa.Namun, Salsa dengan berani melompat marah dan dengan kasar ia menuding Rivan."Mas, aku ini istri. Bukan pengasuh anak atau babu. Atau pembantumu! Aku sudah melahirkan dan membesarkan dia. Sehari-hari ya dia harus mandiri dong. Dia itu sudah besar. Masa iya aku harus terus menerus ajarin dia. Lagi pula kan ada baby sitter ada Mbak juga di rumah ini. Apa salahnya kalau kamu bayar sekalian guru les buat ajarin anak kamu itu belajar !" bentak Salsa.Rivan benar-benar emosi luar biasa. Selama ini ia selalu saja mengalah dan mengalah pada Salsa. Tapi, istrinya itu seolah lupa bahwa tugasnya sebagai ibu bukan hanya melahirkan dan membesarkan anak saja."Jadi, tugas istri dan ibu itu apa menurutmu?!" seru Rivan."Apa aku kurang melayani suami?!" balas Salsa.