Segera aku pamit pulang karena hari juga sudah malam. Khawatir apabila Bu Dewi kewalahan menghadapi Ansel dan Afkar yang penuh drama saat hendak tidur. Bu Dewi adalah pengasuh anak-anak. Kesabarannya hampir setara dengan Allea. ***"Papa, kenapa Mama belum pulang?" Pertanyaan itu kerap kali ditanyakan oleh Afkar saat aku hendak menidurkannya. "Mama kerja, Sayang. Mama akan pulang jika uangnya sudah banyak. Mama ingin membeli mainan yang banyak untuk kalian," kataku mencoba menghibur kerinduan Afkar kepada Allea. Sungguh, pedih hati ini melihat anak-anak yang merindukan ibunya. Kuusap lembut kepala mereka. Ansel terlihat sudah terlelap. Afkar pun perlahan mulai memejamkan mata. Allea, kembalilah demi anak-anak! Aku berjanji tidak akan bersikap seperti dulu. Usai menidurkan anak-anak, aku kembali ke kamar. Kurebahkan tubuh di sana sambil memandang foto pernikahanku dengan Allea yang tercetak dalam ukuran besar.Sayang, kamu sangat cantik! Dulu, mendapatkan Allea penuh perjuangan.
"Allea, kamu Allea, 'kan? Kamu Allea, istriku." Aku menggenggam tangannya dan kupaksa dia untuk mendekat. Namun, dia menolak. "Siapa Allea? Saya bukan Allea, maaf," katanya. "Aku tahu kamu Allea. Buka maskermu, Sayang! Aku dapat mengenalimu dari mata dan caramu menatap. Ayo pulang, Sayang! Anak-anak rindu," ujarku. "Tolong lepaskan saya! Saya bukan Allea. Saya tidak mengenal Anda." "Lepaskan dia!" Seorang laki-laki menarik tangan Allea dan menjauhkannya dariku. "Anda ...." Laki-laki itu menatapku dengan lekat. Aku pun sama karena seperti mengenalnya. "Pak Arga?" Ya, aku baru ingat. Dia adalah Arga, rekan bisnis Mas Bram. "Pak Reno, ya? Kenapa Pak Reno menarik tangan dia? Dia calon istri saya, Pak." Pernyataan Arga membuatku terkejut. "Calon istri?" gumamku bertanya-tanya.Aku kembali melirik wanita yang bersembunyi di belakang Arga. Wanita itu enggan menunjukkan dirinya lagi. Mungkin dia ketakutan karena kutarik-tarik tadi. Entah kenapa aku merasa bahwa dia adalah Allea. "Pak
Aku mengikuti mobil Arga. Tibalah kami di sebuah rumah makan. Namun, aku masih menunggu Arga dan Allea keluar dari mobil. Beberapa saat kemudian, aku terkejut sekaligus senang bercampur sedih.Wanita itu ... dia memang benar Allea. Dia adalah istriku. Segera aku turun dan menghampirinya. Kuhadang mereka yang tengah bergandengan tangan. "Allea!" Kudekap Allea dengan erat. "Kenapa kamu bisa dengan laki-laki ini? Kamu masih sah menjadi istriku. Kasihan anak-anak merindukanmu!" lanjutku. "Lepaskan saya!"Lepaskan Lia!" Arga menarik Allea dan memasang badan di hadapanku. "Berhenti mengganggu Lia! Dia adalah Lia, bukan Allea. Dia adalah calon istri saya, bukan istri Anda!" kata Arga kepadaku."Dia itu Allea. Dia istri saya yang selama ini menghilang," balasku. "Dia adalah Lia. Apa pendengaran Anda terganggu, Pak Reno? Dia itu Lia.""Ayo, Lia! Kita masuk sekarang!" Kutahan tangan Allea yang hendak diajak masuk oleh Arga. Allea menatapku penuh kebingungan. Entah kenapa Allea menjadi begi
***Hari telah berganti. Kami segera menuju ke kediaman ibunya Arga sepulang dari kantor. Mobil kulajukan dengan cepat sambil mengikuti arahan dari Dani. Namun, aku terkejut ketika Dani memintaku berhenti di sebuah rumah besar yang pernah kudatangi dulu. "Di sini, Dan?" tanyaku. "Iya. Ini rumah ibunya Pak Arga," jawabnya."Apa? Berarti ... yaudah kita turun aja sekarang!" ajakku. Perihal aku yang pernah mendatangi rumah ini satu tahun lalu akan kuceritakan kepada Dani nantinya. Saat ini aku perlu bertemu dengan ibunya Arga secepatnya. Kami turun dan mendapati penjaga di sana. Penjaga di rumah itu sepertinya sudah ganti karena berbeda dengan yang kutemui dulu. "Selamat sore, Pak!""Ya, selamat sore. Ada kepentingan apa?" "Kedatangan kami kemari untuk menjenguk Bu Yeni," kata Dani. "Maaf, tapi Bu Yeni tidak bisa diganggu.""Beneran saya tidak boleh masuk? Apa perlu saya telepon Pak Arga dan mengatakan bahwa saya tidak diizinkan masuk? Soalnya Pak Arga juga menitipkan ini untuk Bu
"Allea, aku Reno suamimu," kataku. Namun, Allea pergi menjauh."Allea! Ingat Arvin, Ansel, dan Afkar!" Aku terus mengejar Allea yang memasuki kamar. Dia mengunci rapat pintu sehingga aku tidak bisa membukanya. "Allea, tolong ingat bahwa kamu adalah istriku! Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.""Argh!" Dani mengerang karena tangannya digigit oleh Arga. Arga menghampiri dan hendak menghajarku, tetapi kutahan serangannya. "Jangan pernah merebut Lia dariku!""Seharusnya kamu sadar diri karena Allea adalah istriku," sahutku sambil terus berusaha menahan tangan Arga. "Dia sudah melupakanmu. Permintaannya untuk menghilangkan dirimu dari ingatannya sudah terkabul. Mau apa kamu sekarang, ha? Dia sama sekali tidak mengenalmu." "Meski dia tidak mengenaliku, tetapi dia adalah istriku. Aku akan tetap membawanya pulang.""Tidak akan bisa karena dia akan segera kunikahi.""Jangan bermimpi, Arga! Aku masih sah menjadi suaminya." Aku terkejut saat tiba-tiba penjaga menahan kami berdua. Kut
"Kamu yang gila!""Mbak Veni yang gila! Allea itu—""Stop! Berhenti menyebut nama Allea, Reno! Lupakan dan relakan! Allea sudah tena—""Mbak, dia masih hidup dan hilang ingatan!" sentakku sambil berteriak lantang. Entah kenapa susah sekali menjelaskan hal ini kepada manusia satu ini. Napasku masih memburu menatap Mbak Veni yang mendadak diam. "Hi–hilang ingatan?""Makanya kalau orang ngomong itu didengarkan sampai selesai. Jangan main potong!" sentakku kesal. Mbak Veni menggeleng pelan. "Itu nggak mungkin. Kalau memang Allea ada bersama Pak Arga, sudah pasti Pak Arga akan memberitahu Mas Bram dan aku. Nyatanya, dia tidak memberitahu apa-apa. Memang benar, ya? Kegilaanmu semakin tidak terkendali." Bibirku tersenyum miring. Rasanya percuma saja menjelaskan kepada Mbak Veni yang tidak tahu apa-apa. Kupikir dia akan percaya kepada adik kandungnya, ternyata dia masih tetap mempercayai rekan bisnis suaminya yang tidak jelas itu. "Dasar gila!" makiku lagi."Kamu yang gila! Kalau Mas Bram
"Pak! Saya serius mau membantu Pak Reno." "Saya tidak butuh bantuanmu," kataku menolak. "Pak Reno ingin bebas atau tidak?" "Kalau syaratnya seperti itu, lebih baik kamu pergi saja! Saya tidak suka berpura-pura seperti itu.""Pak Reno, saya serius dan tidak meminta berpura-pura. Pak Reno bisa bebas asalkan Pak Reno bersedia menikahi saya nantinya."Gila! Wanita macam apa dia? Memaksa seorang pria beristri untuk menikahinya. "Stres kamu, Mon!" "Bukan hanya bisa bebas dari sini. Saya juga bisa membantu mengembalikan pekerjaan Pak Reno. Apa Pak Reno nggak sayang sama pekerjaannya? Itu perusahaan besar, loh, Pak. Pak Reno sudah lama bekerja di sana.""Monica, cukup! Saya tidak akan tergiur dengan semua tawaran kamu. Masih banyak pekerjaan lain yang bisa saya dapatkan nantinya. Satu lagi, saya tidak akan pernah menikahi kamu sampai kapan pun. Dasar gila kamu!" kataku kesal. "Pak Reno yang gila. Pak Reno nggak bisa melihat wanita cantik di hadapan Pak Reno. Memangnya saya kurang apa? S
Tengah malam pun tiba. Namun, Bu Dewi tak kunjung menemuiku. Mbak Veni? Mungkin dia sedang bertepuk tangan atas kebahagiaan si bejat itu. Aku penasaran dengan reaksi Mbak Veni setelah mengetahui bahwa yang dinikahi Arga adalah Allea.Tubuh ini seperti mati rasa karena terlalu lama berbaring. Tidak apa, lebih baik aku tiada saja daripada harus melihat Allea menjadi istri orang lain. Esok, akan kuminta Mas Bram untuk menambahkan ikatan ini atau aku akan menyuruhnya menghabisiku secara terang-terangan.Lelah rasanya hidup di tengah orang-orang munafik. Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Allea kala itu. Janganlah kita terlalu mempercayai orang lain meski itu saudara sendiri. Allea juga pernah mengatakan supaya kami tidak terlalu berharap kepada sesama manusia sekalipun itu sedarah sekandung. Meski tidak semua orang begitu, tetapi berjaga-jaga itu lebih baik. Dalamnya hati manusia tak ada yang tahu. Khawatir ujung-ujungnya akan mengecewakan seperti yang kualami.Tuhan. Ya, selama ini aku