Sekarang aku tahu kenapa Gideon memaksa memasang kamera tersembunyi. Sekarang aku paham kenapa Gideon menyebut istriku gila. Aku mengerti kenapa Gideon memintaku untuk menjaga kewarasan Allea.
Layar di hadapanku telah menunjukkan semua aktivitas Allea. Apa itu wanitaku selama ini? Wanita yang bertahun-tahun meminta pengasuh atau asisten, tetapi tidak pernah kupenuhi. Di sela-sela kesibukan Allea sebagai ibu rumah tangga, kulihat rambutnya ditarik, tubuh kecilnya diperebutkan anak-anak untuk dinaiki. Namun, aku tidak melihat Allea marah dalam posisi itu. Dia justru menggoda anak-anak dan membuat mereka tertawa.Satu hal yang membuatku terkejut, yaitu Allea makan hanya saat anak-anak tidur, tepat di malam hari. Memang, saat libur kerja, aku pernah melihat Allea diganggu anak-anak ketika makan. Apakah itu berlangsung setiap hari sehingga membuat Allea baru bisa mendapatkan waktu makan saat malam? Bodoh! Aku sangat bodoh! Kenapa aku tidak bisa memahami istriku selama ini?Cukup! Aku tidak sanggup melihat rekaman kamera itu. Alleaku tampak kelimpungan dan kewalahan. Namun, sabarnya tak berbatas. Jika berada di posisi Allea, mungkin aku sudah gila. Beraktivitas sambil mengasuh tiga anak yang super aktif. Bagaimana bisa Allea melakukan semua itu dengan kedua tangannya? Jam tidurnya juga sangat singkat, tidak sampai lima jam.Aku mencoba memutar rekaman kamera yang ada di luar rumah. Siapa dia? Allea dan anak-anak dijemput oleh mobil berwarna silver. Setahuku, dia tidak memiliki teman pria karena aku membatasi komunikasinya dengan pria manapun."Halo, Mbak?" sapaku kepada Mbak Veni. Mungkin saja Allea pergi ke sana."Halo, Ren? Ada apa?""Allea ke sana nggak?" tanyaku to the point."Nggak, tuh. Ada apa kamu pagi-pagi nyari Allea? Jangan bilang kalau kalian berantem!"Belum apa-apa, Mbak Veni sudah semakain mengacaukan pikiranku dengan pertanyaannya. Kakak kandungku itu terus menyerocos bahkan memarahi diriku panjang lebar. Argh! Semakin pusing rasanya.Seharian ini aku gunakan waktu untuk mencari Allea, tetapi tidak kutemukan keberadaannya. Aku terlambat! Seharusnya aku memahami keadaannya dari dulu. Seharusnya aku ... Argh! Entahlah. Aku sangat kacau hari ini. Alleaku pergi bersama tiga buah hati kami.Hari sudah petang. Bertanya ke sana kemari sudah aku lakukan. Mbak Veni yang membantu mencari Allea juga belum memberikan informasi lagi. Gideon adalah satu-satunya orang luar yang juga aku mintai bantuan untuk mencari keberadaannya. Namun, sampai detik ini Gideon belum memberikan kabar apapun."Halo, Mbak? Gimana?" Aku sangat bersemangat menerima telepon dari Mbak Veni."Belum ada kabar. Mas Bram masih lanjut mencari lebih jauh lagi. Semoga Allea segera ditemukan dalam keadaan sehat. Besok, aku ke rumah kamu," jawabnya yang membuat hatiku semakin tak tenang. Mas Bram adalah suami Mbak Veni.Tadi Mbak Veni bilang jika dia akan datang ke rumah. Pasti dia akan menceramahiku tiada henti. Apalagi Mbak Veni sangat sayang kepada Allea.Pantang pulang sebelum menemukan istri dan anak-anakku. Namun, tubuhku lelah dan perutku sangat lapar. Sedari pagi belum ada satupun makanan yang mengisi perut ini.***"Reno! Keterlaluan kamu, ya! Kalau aku jadi Allea, sudah aku tinggalkan kamu dari dulu. Sakit kamu, ya! Sakit! Dasar sakit!" Mbak Veni berteriak tepat di hadapanku. Dia terus saja marah setelah aku menceritakan akar masalahnya. Namun, aku tidak berani menunjukkan rekaman kamera tersembunyi itu kepadanya. Aku saja yang melihat aktivitas Allea rasanya hancur dan tidak tega, apalagi jika Mbak Veni yang sesama perempuan? Mungkin Mbak Veni akan seperti orang kesurupan dan menghajarku tanpa ampun.Seperti saat ini, telingaku sampai panas mendengar Mbak Veni tidak berhenti mengomel. "Mbak, udah, Mbak! Aku pusing," ujarku. Dia juga mengataiku segala macam."Aku marah sama kamu, Reno! Aku kecewa sama kamu! Setelah orangtuanya meninggal, hanya kita yang dia punya. Siapa lagi tempat dia berkeluh kesah? Kamu, Reno! Cuma kamu! Dia lelah dan butuh bantuan! Carikan asisten! Nggak mau pakai asisten? Gantian jagain anak! Suruh istrimu makan dan istirahat yang cukup! Minimal dengarkan semua keluhan dia! Beri dia semangat! Jangan malah dimarahi!" kata Mbak Veni panjang lebar."Mbak, aku tahu aku salah. Aku udah sadar letak kesalahanku di mana," balasku."Pantas, ya, kalau Allea terlihat lebih kurusan dan berbeda. Memang kamu nggak tahu diri. Menuntut istri untuk sempurna tanpa memberinya dukungan sedikit pun. Egois!""Iya, Mbak, iya. Aku tahu aku egois. Cukup! Jangan mojokin aku terus! Aku pusing, Mbak." Entah kenapa Mbak Veni tidak lelah berbicara sepanjang jalan kenangan dari tadi."Allea pergi dari hidupmu sekarang. Kalau Allea pergi dari hatimu juga, kamu akan tahu rasa! Aku akui dia sangat cantik dan seperti gadis yang belum menikah. Kalau di luar sana tiba-tiba Al—""Mbak! Udah! Jangan semakin mengacaukan pikiran! Hanya aku yang berhak memiliki dia sampai kapan pun!" sentakku kesal.Bukannya menenangkan adiknya ini, Mbak Veni justru membuat suasana kian memanas. Secepatnya aku harus menemukan dia. Allea tidak akan pernah aku lepas.Aku meninggalkan Mbak Veni untuk melanjutkan pencarian Allea dan anak-anak. Entah di mana mereka dan makan apa, terutama anak-anak. Biasanya, Allea selalu mempertimbangkan gizi makanan anak-anak kami. Bagaimana di luar sana?Allea tidak memiliki tempat tinggal lagi selain di rumah kami. Rumah mendiang orangtuanya dulu juga sudah dijual karena memang tidak digunakan dan tidak ada sanak saudara Allea di sana. Entah di mana istri dan anak-anakku tidur. Bodohnya aku menjadi lelaki!***Enam hari sudah Allea menghilang. Ya, enam hari. Kacau? Jelas aku sangat kacau. Diriku tidak terurus, pekerjaan menjadi berantakan karena pikiranku ke mana-mana, rumah pun terasa sangat sepi tanpa bidadari tak bersayap itu.Rasanya aku ingin mati! Hampa sekali tanpa istri dan anak-anak. Aku rindu kelembutan Allea, aku rindu senyumnya. Aku juga merindukan tawa anak-anak. Setelah mereka kutemukan, aku berjanji tidak akan memarahi anak-anak lagi ketika bermain. Aku juga berjanji tidak akan membentak Allea lagi dan akan menjadi suami siaga."Pak Reno! Pak Reno!"Monica membuyarkan lamunanku. "Ya?" sahutku singkat."Ada apa dengan Pak Reno? Akhir-akhir tampak berbeda. Apa Pak Reno ada masalah?" tanyanya."Tidak ada," jawabku lesu. Aku kembali memeriksa dokumen yang baru saja diberikan oleh Monica."Pak Reno beneran nggak apa-apa? Maaf, saya perhatikan ... penampilan Pak Reno sedikit berbeda. Biasanya selalu rapi dan wangi," celetuk Monica.Aku hanya tertawa kecil kemudian menggeleng pelan. "Saya baik-baik aja. Memangnya saya terlihat berantakan?" tanyaku iseng."Dasi Pak Reno selalu kurang rapi akhir-akhir ini. Pakaian Pak Reno juga sedikit kusut. Memangnya tidak disetrika dulu, Pak? Soalnya, kan, Pak Reno terkenal rapi dan wangi."Heran! Monica memperhatikan penampilanku sedetail itu. Tahu saja dia jika dasiku ini berantakan dan kemejaku juga kusut. Padahal, aku sudah menyetrikanya, tetapi tidak bisa licin. Entah bagaimana Allea bisa melakukannya dengan sempurna.Aku hanya melempar senyum kemudian meminta Monica kembali melakukan pekerjaannya. Saat ini, aku ingin menyendiri karena merasakan sesuatu di mataku. Bisa malu aku jika ketahuan menangis di depan Monica.Kuusap wajah dengan kasar. Mata terpejam dan kupijat pelan area kening. Terbukti, tanpa Allea aku tidak bisa apa-apa. Mengurus diriku sendiri saja aku tidak becus. Entah bagaimana Allea mengurus kami berempat dengan sempurna. Ya, dia sudah melakukannya dengan sempurna, tetapi aku masih menuntut kesempurnaan yang lebih darinya."Halo, Mas?" Aku menjawab telepon dari Mas Bram."Apa? Di mana?" tanyaku. Dengan penuh semangat aku beranjak kemudian bersiap untuk pergi setelah mendapatkan informasi tentang Allea."Pak Reno!" Monica membuka pintu. "Mau ke mana?" tanyanya."Saya ada urusan," jawabku."Penting?""Sangat penting.""Tapi sebentar lagi ada meeting."Ah, aku sampai lupa jika ada jadwal rapat setelah ini. "Jam berapa?" tanyaku."Lima belas menit lagi. Kita harus bersiap sekarang!"Oh, astaga! Kenapa mepet sekali? Terpaksa, aku batal menemui Allea sekarang. Segera aku menghubungi Mas Bram dan akan meluncur ke lokasi setelah rapat selesai."Pak Reno, permisi! Boleh saya melakukan sesuatu?"Aku mengernyit menatap Monica. "Apa?""Boleh saya membantu merapikan dasi Pak Reno? Bukan maksud apa-apa, cuma agar terlihat rapi di depan orang-orang. Tapi jika Pak Reno bisa melakukannya sendiri, silakan!"Perkataan Monica memang benar. Aku harus terlihat rapi, tapi entah kenapa aku risih dengan perhatiannya. Apalagi sampai berniat membantu membetulkan dasiku."Saya bisa sendiri," ujarku datar.Aku pergi ke toilet untuk merapikan dasi. Dasiku memang berantakan. Bentuknya tidak rapi. Aku sendiri bingung bagaimana melakukannya. Sejak Allea pergi, aku selalu melihat tutorial cara memasang dasi di internet. Namun, tetap saja aku tidak dapat melakukannya dengan baik. Hanya Allea yang bisa. Ck! Memang ada dasiku yang instan, tapi aku tidak tahu di mana Allea menyimpannya. Selama ini, selalu dia yang menyiapkan segala keperluanku."Allea, please! Aku membutuhkanmu!""Pak Reno, dasinya masih belum rapi," ucap Monica saat aku sudah kembali ke ruangan. "Jika diizinkan, saya akan membantu," ujarnya lagi. Tidak mungkin juga aku bertemu orang-orang dengan dasi berantakan seperti ini. Aku terdiam menatap Monica kemudian mengangguk. "Silakan!" kataku terpaksa.Monica mendekat dan merapikan dasiku. Aku memintanya agar melakukan itu dengan cepat karena takut ada karyawan lain yang melihat. Bisa jadi kacau kalau sampai ada yang salah paham. "Memangnya istri Pak Reno ke mana, sih? Pakaian kusut, dasi berantakan. Apa sibuk ngurus tiga anak sampai lupa dengan suami?"Segera aku menjauhkan diri dari Monica. Lancang sekali pertanyaannya. "Sopan kamu bertanya seperti itu?" hardikku. "Ma–maaf! Saya tidak bermaksud begitu.""Kamu tidak tahu apa saja yang Allea lakukan untuk saya. Jaga bicaramu tentang Allea jika ingin tetap bekerja di sini!" ancamku kepadanya. Monica tertunduk. Entah apa yang dipikirkan sekarang. Apakah aku berlebihan? Mungkin, tapi yang jelas
Tanpa menunggu lama, aku segera meluncur ke taman. Aku melaju dengan kecepatan tinggi supaya cepat sampai. Mudah-mudahan saja mereka masih di sana. Untung jarak rumah ini ke Taman Pelangi tidaklah jauh. Pandanganku langsung tertuju ke arah Mbak Veni di tempat parkir mobil. Kulihat dia seperti menghalangi Allea. Aku segera ke sana dan turun dari mobil. "Allea!" seruku. Allea berlari entah ke mana. Aku dan Mbak Veni mengejar. Sementara, Mas Bram kulihat bersama anak-anakku di mobil. Allea terus berlari ke arah keramaian sehingga membuatku susah mendapatkannya. Dia seperti orang ketakutan saat melihatku. "Argh! Sial!" Aku tak sengaja menabrak seseorang yang tengah makan sosis. Sosisnya terjatuh dan sausnya mengotori pakaianku. Dia marah dan ibunya menahanku. Sementara, kulihat Mbak Veni terus mengejarnya. Anak remaja yang sosisnya terjatuh itu minta ganti rugi. Aku memberinya selembar uang berwarna biru. Kulanjutkan langkah dan mendapati Mbak Veni tengah berhenti dengan napas tersen
(POV Allea)Dia adalah pria yang mengejarku enam tahun lalu. Baru beberapa bulan menjadi sekretaris pribadinya, dia sudah melamar diriku. Dia mengungkapkan ketertarikannya kepada diri ini. Awalnya aku ragu dan tidak memberi jawaban. Namun, dia tidak menyerah dan terus mendatangi orangtuaku. Bahasa cintanya selalu tersirat. Mas Reno ibarat tokoh fiksi di dunia novel yang sering kubaca. Seorang atasan yang bucin terhadap bawahannya. Ya, itulah Mas Reno. Pada akhirnya, Mas Reno berhasil mengambil hati orangtuaku. Akhirnya, ayah dan ibu mendesakku supaya menerima lamaran Mas Reno. Mbak Veni sering menemuiku agar menerima lamaran adiknya itu. Sedikit memaksa, bukan? Ya sudah, aku terima saja karena dari berbagai pihak sudah banyak yang mendukung. Mas Reno bahkan tidak sungkan menunjukkan ketertarikannya kepadaku di hadapan teman-teman kantor. Seiring berjalannya waktu, pernikahan kami berlangsung bahagia. Kelahiran anak pertama—Afkar—semakin menambah kebahagiaan kami. Selang beberapa bu
(POV Allea)Bu Yeni menemuiku dan mengajakku bicara empat mata. Wanita tua itu meminta kejelasan, sejelas-jelasnya tentang hubunganku dengan Mas Reno. Jujur, aku tidak bisa berbicara banyak karena mengingat dirinya saja sudah membuatku sangat tertekan. Lagi-lagi Bu Yeni memahamiku. Entah mimpi apa aku bisa bertemu orang sebaik Bu Yeni. ***Hari ini Bu Yeni ingin mengajak anak-anak ke Taman Pelangi. Awalnya aku keberatan dan tidak setuju karena taman itu dekat dengan rumah Mas Reno. Namun, Bu Yeni memaksa karena ingin melihat anak-anak bermain bebas dan jajan di sana. Memang, taman itu sangat luas. Cocok untuk semua kalangan dan sudah dilengkapi aneka jajanan yang cukup banyak."Sekali ini aja, Lia! Aku juga pengin jalan-jalan sama anak kecil. Aku suka iri kalau lihat seseorang main sama cucu-cucunya. Apalagi si Arga itu nggak nikah-nikah," curhatnya kepadaku. Memang, Bu Yeni hanya memiliki satu putra, yaitu Arga. Apalagi di usianya yang tak lagi muda ini sedang membutuhkan teman agar
(Kembali ke POV Reno)Sudah tiga hari ini, aku mengurus anak-anak seorang diri. Mbak Veni? Pulang karena si kembar mendadak sakit. Allea juga tidak datang sampai detik ini. Entah kenapa ibu dari anak-anakku itu sangat tega. Kupikir dia akan kembali. Jika tidak demi diriku, setidaknya demi anak-anak. Rumah, aku bersihkan seadanya. Makan, aku pesan melalui aplikasi. Aku tidak sanggup jika harus memasak. Selain tidak ahli, anak-anak juga selalu mengganggu. Semua pakaian mereka kusut karena aku tidak bisa menyetrikanya bahkan tidak ada waktu. Belum lagi mereka kompak mencari ibunya. Pekerjaan juga menjadi kacau. Terpaksa aku harus bekerja dari rumah. Datang ke kantor hanya beberapa saat kemudian kembali lagi. Saat pergi, anak-anak kutinggal di rumah. Seluruh pintu dan jendela aku kunci. Barang-barang yang mudah pecah dan benda tajam sudah aku amankan. Semua mainan mereka aku berikan supaya tidak mencari saat aku pergi. Pengasuh? Ya, aku saat ini sedang berusaha mencari pengasuh. Aku ti
Senyumku hilang seketika. Kupikir dia adalah Allea, ternyata bukan. "Hai, Pak Reno!" "Ada apa, Mon?" tanyaku kepada Monica. "Saya bawa makanan untuk Pak Reno dan anak-anak."Monica menyerahkan rantang susun kepadaku. "Kenapa kamu repot-repot?" tanyaku. "Nggak repot, kok, Pak. Saya cuma ingin berbagi makanan aja." Aku menerima makanan pemberian Monica. Memang, dia sudah tahu perihal kepergian Allea. "Terima kasih," ujarku kemudian. "Di mana anak-anak? Boleh saya menemui mereka?" Aku hanya mengangguk kemudian mempersilakan Monica untuk masuk. "Hai!" Monica menyapa anak-anak. Mereka hanya menoleh kemudian mengalihkan pandangan ke arahku. Ansel menghampiriku yang membawa rantang. "Apa itu, Pa?" tanyanya penasaran. "Makanan dari Tante Monica. Mau?" tawarku. Ansel mengangguk. Afkar yang sibuk dengan makanannya pun turut mendekat. "Biar saya bantu siapkan, ya. Saya ambilkan sesuatu, ya, Pak." Monica berdiri dan entah akan ke mana. "Kamu mau ke mana?" tanyaku. "Ke dapur." "Dudu
Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku? Di saat aku dan anak-anak sedang membutuhkan Allea, kabar buruk tengah menimpa kami. Pantas jika tadi perasaan mendadak tidak enak saat melihat mobil yang kecelakaan di dekat jembatan. Mbak Veni dan Monica berada di rumah untuk menjaga anak-anak. Aku dan Mas Bram pergi untuk mencari keberadaan Alleaku yang dikabarkan jatuh ke bawah jembatan.Pikiran dan perasaanku saat ini benar-benar tidak karuan. Segala kemungkinan buruk terus terlintas. Meski Mas Bram memintaku untuk tetap berpikir positif, tetap saja tidak bisa. Alleaku mengalami kecelakaan dan jatuh ke bawah jembatan. Bagaimana aku bisa berpikir positif?Setibanya di lokasi kejadian, pikiran semakin kacau melihat ada mobil yang terguling di tepian sungai yang mengalir. Kupikir tadi adalah kecelakaan tunggal, ternyata di bawah sini ada mobil yang katanya ditumpangi oleh Allea. Separuh jiwaku seolah hilang. Tubuh mendadak lemas apalagi saat mengetahui sungai yang mengalir di bawah sini cuku
(POV ARGA)Aku mengusap lembut tangan wanita cantik yang ada di hadapanku. Senyum yang dia berikan adalah senyum paling indah yang pernah kudapat. Kami memang tidak terlalu dekat saat SMP dulu. Kami hanya berbeda kelas, tetapi saling tahu.Sudah sejak SMP aku mengincarnya, tetapi tak berani mendekati. Alasannya sepele, yaitu tidak ingin mengganggu prestasinya. Dia cukup terkenal di sekolah. Dia sangat aktif di berbagai organisasi. Jangankan mendekati, mengobrol satu menit saja itu sudah syukur.Kupikir akan mendekatinya saat SMA nanti. Namun, rencana tidak sesuai ekspektasi. Aku harus pindah kota mengikuti keinginan kedua orangtua. Mereka menyekolahkan aku di sekolah ternama yang ada di salah satu kota besar di Indonesia.Rindu? Jelas sekali aku sangat merindukan Allea. Tidak ada akses untuk menghubungi dirinya. Teman-teman juga tidak tahu di mana dan berapa nomor telepon Allea. Kabar yang kudengar saat itu Allea juga pindah ke luar kota. Sudah, harapanku untuk mendapatkan Allea semak