Share

5. Hampa Tanpamu

Sekarang aku tahu kenapa Gideon memaksa memasang kamera tersembunyi. Sekarang aku paham kenapa Gideon menyebut istriku gila. Aku mengerti kenapa Gideon memintaku untuk menjaga kewarasan Allea.

Layar di hadapanku telah menunjukkan semua aktivitas Allea. Apa itu wanitaku selama ini? Wanita yang bertahun-tahun meminta pengasuh atau asisten, tetapi tidak pernah kupenuhi. Di sela-sela kesibukan Allea sebagai ibu rumah tangga, kulihat rambutnya ditarik, tubuh kecilnya diperebutkan anak-anak untuk dinaiki. Namun, aku tidak melihat Allea marah dalam posisi itu. Dia justru menggoda anak-anak dan membuat mereka tertawa.

Satu hal yang membuatku terkejut, yaitu Allea makan hanya saat anak-anak tidur, tepat di malam hari. Memang, saat libur kerja, aku pernah melihat Allea diganggu anak-anak ketika makan. Apakah itu berlangsung setiap hari sehingga membuat Allea baru bisa mendapatkan waktu makan saat malam? Bodoh! Aku sangat bodoh! Kenapa aku tidak bisa memahami istriku selama ini?

Cukup! Aku tidak sanggup melihat rekaman kamera itu. Alleaku tampak kelimpungan dan kewalahan. Namun, sabarnya tak berbatas. Jika berada di posisi Allea, mungkin aku sudah gila. Beraktivitas sambil mengasuh tiga anak yang super aktif. Bagaimana bisa Allea melakukan semua itu dengan kedua tangannya? Jam tidurnya juga sangat singkat, tidak sampai lima jam.

Aku mencoba memutar rekaman kamera yang ada di luar rumah. Siapa dia? Allea dan anak-anak dijemput oleh mobil berwarna silver. Setahuku, dia tidak memiliki teman pria karena aku membatasi komunikasinya dengan pria manapun.

"Halo, Mbak?" sapaku kepada Mbak Veni. Mungkin saja Allea pergi ke sana.

"Halo, Ren? Ada apa?"

"Allea ke sana nggak?" tanyaku to the point.

"Nggak, tuh. Ada apa kamu pagi-pagi nyari Allea? Jangan bilang kalau kalian berantem!"

Belum apa-apa, Mbak Veni sudah semakain mengacaukan pikiranku dengan pertanyaannya. Kakak kandungku itu terus menyerocos bahkan memarahi diriku panjang lebar. Argh! Semakin pusing rasanya.

Seharian ini aku gunakan waktu untuk mencari Allea, tetapi tidak kutemukan keberadaannya. Aku terlambat! Seharusnya aku memahami keadaannya dari dulu. Seharusnya aku ... Argh! Entahlah. Aku sangat kacau hari ini. Alleaku pergi bersama tiga buah hati kami.

Hari sudah petang. Bertanya ke sana kemari sudah aku lakukan. Mbak Veni yang membantu mencari Allea juga belum memberikan informasi lagi. Gideon adalah satu-satunya orang luar yang juga aku mintai bantuan untuk mencari keberadaannya. Namun, sampai detik ini Gideon belum memberikan kabar apapun.

"Halo, Mbak? Gimana?" Aku sangat bersemangat menerima telepon dari Mbak Veni.

"Belum ada kabar. Mas Bram masih lanjut mencari lebih jauh lagi. Semoga Allea segera ditemukan dalam keadaan sehat. Besok, aku ke rumah kamu," jawabnya yang membuat hatiku semakin tak tenang. Mas Bram adalah suami Mbak Veni.

Tadi Mbak Veni bilang jika dia akan datang ke rumah. Pasti dia akan menceramahiku tiada henti. Apalagi Mbak Veni sangat sayang kepada Allea.

Pantang pulang sebelum menemukan istri dan anak-anakku. Namun, tubuhku lelah dan perutku sangat lapar. Sedari pagi belum ada satupun makanan yang mengisi perut ini.

***

"Reno! Keterlaluan kamu, ya! Kalau aku jadi Allea, sudah aku tinggalkan kamu dari dulu. Sakit kamu, ya! Sakit! Dasar sakit!" Mbak Veni berteriak tepat di hadapanku. Dia terus saja marah setelah aku menceritakan akar masalahnya. Namun, aku tidak berani menunjukkan rekaman kamera tersembunyi itu kepadanya. Aku saja yang melihat aktivitas Allea rasanya hancur dan tidak tega, apalagi jika Mbak Veni yang sesama perempuan? Mungkin Mbak Veni akan seperti orang kesurupan dan menghajarku tanpa ampun.

Seperti saat ini, telingaku sampai panas mendengar Mbak Veni tidak berhenti mengomel. "Mbak, udah, Mbak! Aku pusing," ujarku. Dia juga mengataiku segala macam.

"Aku marah sama kamu, Reno! Aku kecewa sama kamu! Setelah orangtuanya meninggal, hanya kita yang dia punya. Siapa lagi tempat dia berkeluh kesah? Kamu, Reno! Cuma kamu! Dia lelah dan butuh bantuan! Carikan asisten! Nggak mau pakai asisten? Gantian jagain anak! Suruh istrimu makan dan istirahat yang cukup! Minimal dengarkan semua keluhan dia! Beri dia semangat! Jangan malah dimarahi!" kata Mbak Veni panjang lebar.

"Mbak, aku tahu aku salah. Aku udah sadar letak kesalahanku di mana," balasku.

"Pantas, ya, kalau Allea terlihat lebih kurusan dan berbeda. Memang kamu nggak tahu diri. Menuntut istri untuk sempurna tanpa memberinya dukungan sedikit pun. Egois!"

"Iya, Mbak, iya. Aku tahu aku egois. Cukup! Jangan mojokin aku terus! Aku pusing, Mbak." Entah kenapa Mbak Veni tidak lelah berbicara sepanjang jalan kenangan dari tadi.

"Allea pergi dari hidupmu sekarang. Kalau Allea pergi dari hatimu juga, kamu akan tahu rasa! Aku akui dia sangat cantik dan seperti gadis yang belum menikah. Kalau di luar sana tiba-tiba Al—"

"Mbak! Udah! Jangan semakin mengacaukan pikiran! Hanya aku yang berhak memiliki dia sampai kapan pun!" sentakku kesal.

Bukannya menenangkan adiknya ini, Mbak Veni justru membuat suasana kian memanas. Secepatnya aku harus menemukan dia. Allea tidak akan pernah aku lepas.

Aku meninggalkan Mbak Veni untuk melanjutkan pencarian Allea dan anak-anak. Entah di mana mereka dan makan apa, terutama anak-anak. Biasanya, Allea selalu mempertimbangkan gizi makanan anak-anak kami. Bagaimana di luar sana?

Allea tidak memiliki tempat tinggal lagi selain di rumah kami. Rumah mendiang orangtuanya dulu juga sudah dijual karena memang tidak digunakan dan tidak ada sanak saudara Allea di sana. Entah di mana istri dan anak-anakku tidur. Bodohnya aku menjadi lelaki!

***

Enam hari sudah Allea menghilang. Ya, enam hari. Kacau? Jelas aku sangat kacau. Diriku tidak terurus, pekerjaan menjadi berantakan karena pikiranku ke mana-mana, rumah pun terasa sangat sepi tanpa bidadari tak bersayap itu.

Rasanya aku ingin mati! Hampa sekali tanpa istri dan anak-anak. Aku rindu kelembutan Allea, aku rindu senyumnya. Aku juga merindukan tawa anak-anak. Setelah mereka kutemukan, aku berjanji tidak akan memarahi anak-anak lagi ketika bermain. Aku juga berjanji tidak akan membentak Allea lagi dan akan menjadi suami siaga.

"Pak Reno! Pak Reno!"

Monica membuyarkan lamunanku. "Ya?" sahutku singkat.

"Ada apa dengan Pak Reno? Akhir-akhir tampak berbeda. Apa Pak Reno ada masalah?" tanyanya.

"Tidak ada," jawabku lesu. Aku kembali memeriksa dokumen yang baru saja diberikan oleh Monica.

"Pak Reno beneran nggak apa-apa? Maaf, saya perhatikan ... penampilan Pak Reno sedikit berbeda. Biasanya selalu rapi dan wangi," celetuk Monica.

Aku hanya tertawa kecil kemudian menggeleng pelan. "Saya baik-baik aja. Memangnya saya terlihat berantakan?" tanyaku iseng.

"Dasi Pak Reno selalu kurang rapi akhir-akhir ini. Pakaian Pak Reno juga sedikit kusut. Memangnya tidak disetrika dulu, Pak? Soalnya, kan, Pak Reno terkenal rapi dan wangi."

Heran! Monica memperhatikan penampilanku sedetail itu. Tahu saja dia jika dasiku ini berantakan dan kemejaku juga kusut. Padahal, aku sudah menyetrikanya, tetapi tidak bisa licin. Entah bagaimana Allea bisa melakukannya dengan sempurna.

Aku hanya melempar senyum kemudian meminta Monica kembali melakukan pekerjaannya. Saat ini, aku ingin menyendiri karena merasakan sesuatu di mataku. Bisa malu aku jika ketahuan menangis di depan Monica.

Kuusap wajah dengan kasar. Mata terpejam dan kupijat pelan area kening. Terbukti, tanpa Allea aku tidak bisa apa-apa. Mengurus diriku sendiri saja aku tidak becus. Entah bagaimana Allea mengurus kami berempat dengan sempurna. Ya, dia sudah melakukannya dengan sempurna, tetapi aku masih menuntut kesempurnaan yang lebih darinya.

"Halo, Mas?" Aku menjawab telepon dari Mas Bram.

"Apa? Di mana?" tanyaku. Dengan penuh semangat aku beranjak kemudian bersiap untuk pergi setelah mendapatkan informasi tentang Allea.

"Pak Reno!" Monica membuka pintu. "Mau ke mana?" tanyanya.

"Saya ada urusan," jawabku.

"Penting?"

"Sangat penting."

"Tapi sebentar lagi ada meeting."

Ah, aku sampai lupa jika ada jadwal rapat setelah ini. "Jam berapa?" tanyaku.

"Lima belas menit lagi. Kita harus bersiap sekarang!"

Oh, astaga! Kenapa mepet sekali? Terpaksa, aku batal menemui Allea sekarang. Segera aku menghubungi Mas Bram dan akan meluncur ke lokasi setelah rapat selesai.

"Pak Reno, permisi! Boleh saya melakukan sesuatu?"

Aku mengernyit menatap Monica. "Apa?"

"Boleh saya membantu merapikan dasi Pak Reno? Bukan maksud apa-apa, cuma agar terlihat rapi di depan orang-orang. Tapi jika Pak Reno bisa melakukannya sendiri, silakan!"

Perkataan Monica memang benar. Aku harus terlihat rapi, tapi entah kenapa aku risih dengan perhatiannya. Apalagi sampai berniat membantu membetulkan dasiku.

"Saya bisa sendiri," ujarku datar.

Aku pergi ke toilet untuk merapikan dasi. Dasiku memang berantakan. Bentuknya tidak rapi. Aku sendiri bingung bagaimana melakukannya. Sejak Allea pergi, aku selalu melihat tutorial cara memasang dasi di internet. Namun, tetap saja aku tidak dapat melakukannya dengan baik. Hanya Allea yang bisa. Ck! Memang ada dasiku yang instan, tapi aku tidak tahu di mana Allea menyimpannya. Selama ini, selalu dia yang menyiapkan segala keperluanku.

"Allea, please! Aku membutuhkanmu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status