Share

6. Benarkah Itu Allea?

"Pak Reno, dasinya masih belum rapi," ucap Monica saat aku sudah kembali ke ruangan.

"Jika diizinkan, saya akan membantu," ujarnya lagi.

Tidak mungkin juga aku bertemu orang-orang dengan dasi berantakan seperti ini. Aku terdiam menatap Monica kemudian mengangguk. "Silakan!" kataku terpaksa.

Monica mendekat dan merapikan dasiku. Aku memintanya agar melakukan itu dengan cepat karena takut ada karyawan lain yang melihat. Bisa jadi kacau kalau sampai ada yang salah paham.

"Memangnya istri Pak Reno ke mana, sih? Pakaian kusut, dasi berantakan. Apa sibuk ngurus tiga anak sampai lupa dengan suami?"

Segera aku menjauhkan diri dari Monica. Lancang sekali pertanyaannya. "Sopan kamu bertanya seperti itu?" hardikku.

"Ma–maaf! Saya tidak bermaksud begitu."

"Kamu tidak tahu apa saja yang Allea lakukan untuk saya. Jaga bicaramu tentang Allea jika ingin tetap bekerja di sini!" ancamku kepadanya.

Monica tertunduk. Entah apa yang dipikirkan sekarang. Apakah aku berlebihan? Mungkin, tapi yang jelas aku tidak suka istriku dibawa-bawa. Allea sudah mengurusku dengan sangat baik sampai dia lupa dengan dirinya sendiri.

Setelah melakukan pertemuan, aku lekas pergi untuk mencari Allea. Namun, Gideon menghentikan langkahku. "Ada apa?" tanyaku.

"Ini Allea, 'kan?" Gideon menunjukkan foto di ponsel pintarnya. Ada seorang wanita yang tengah membawa barang belanjaan. Sayangnya, wajah wanita itu tidak nampak jelas. Foto itu diambil dari samping dan separuh wajahnya tertutup rambut.

"Mustahil kalau kamu nggak mengenali istrimu," ucap Gideon lagi.

"Dari bentuk tubuh dan model rambutnya seperti Allea. Hidungnya memang seperti hidung Allea. Tapi Allea nggak punya baju ini. Apa ada foto lain yang menampakkan wajah depan?" tanyaku sambil memperbesar dan memperhatikan foto itu lekat-lekat.

"Nggak ada. Itu pun aku dapat dari istriku yang tadi belanja ke super market. Memang, istriku mengaku kalau wajahnya mirip Allea. Sayangnya, saat ambil foto, wanita itu menghadap samping dan langsung naik ke mobil," jelas Gideon.

"Mobil warna apa?" tanyaku.

"Hitam."

"Apa wanita itu juga belanja di super market?" tanyaku menjadi penasaran.

"Iya, dia belanja sendiri."

Aku terdiam sejenak. Rasanya mustahil jika Allea pergi sendiri. Di mana anak-anak? "Mungkin itu bukan Allea. Soalnya nggak mungkin Allea pergi tanpa anak-anak," kataku kemudian.

"Mungkin, sih, tapi apa salahnya mencari tahu? Tadi istriku sempat mengikuti dan mobil itu berhenti di rumah yang besar. Wajahnya memang mirip sekali dengan Allea," jelasnya yang membuatku terkejut.

"Ada fotonya pas di rumah besar itu?"

"Sayangnya, ponsel istriku mati karena baterainya kosong."

"Di mana alamat rumah itu? Siapapun itu, aku akan cari tahu. Siapa tahu itu memang Allea," kataku.

Tidak ada salahnya mencari tahu wanita di foto tersebut. Rumah besar? Apakah Allea tinggal bersama temannya? Semoga saja begitu. Setelah mendapatkan alamat dari Gideon, aku teringat sesuatu.

"Apa istrimu pergi ke super market di Jalan Planet?" tanyaku.

"Ya. Udah langganan ke sana. Apa istrimu juga?"

"Bisa jadi itu Allea. Tadi Mas Bram juga menelepon dan melihat Allea di sana," ucapku penuh semangat.

Tanpa basa-basi, aku segera menuju ke alamat rumah besar yang dimaksud oleh Gideon. Semoga saja memang benar itu Allea. Tak sabar rasanya ingin bertemu dengan istri dan anak-anakku.

***

Aku sudah berdiri di depan rumah yang sangat mewah ini. Entah ini rumah siapa, aku tidak tahu. Bergegas aku melangkahkan kaki ke tempat penjagaan di rumah itu. Namun, pria yang mengenakan seragam hitam itu mengaku tidak ada yang bernama Allea di rumah tersebut.

Tak mau berdebat cukup panjang, aku menunjukkan foto Allea yang dikirim oleh Gideon. Pria berkumis tebal itu membenarkan jika wanita yang kutunjukkan fotonya memang tinggal di rumah tersebut. Namun, namanya bukanlah Allea. Pria itu mengaku jika wanita dalam foto itu adalah asisten baru di rumah itu.

"Saya minta tolong untuk pertemukan saya dengan wanita itu, Pak. Saya hanya ingin memastikan," ujarku.

"Memang Anda ini siapa?"

"Tolong pertemukan saya dengan wanita itu. Saya sedang mencarinya selama ini," ucapku memohon.

Pria itu akhirnya masuk setelah bertanya banyak hal. Semoga saja memang benar Allea. Sudah tak sabar aku ingin meminta maaf dan memeluknya. Beberapa saat kemudian, pria itu kembali dengan wanita tua.

"Maaf, Anda sedang mencari siapa?" Wanita berkacamata bulat itu menatapku bingung. Dari penampilannya, dia seperti pemilik rumah mewah ini.

"Apakah di sini ada perempuan bernama Allea?" tanyaku.

"Maaf, tapi di sini tidak ada perempuan bernama Allea," jawabnya.

Aku menunjukkan foto yang diduga Allea kepada wanita bersanggul itu. Dia terdiam beberapa saat sambil memperhatikan foto yang kutunjukkan. "Dia memang asisten saya," ucapnya kemudian.

"Apa namanya Allea? Boleh saya bertemu dengannya?"

"Bukan, namanya bukan Allea. Maaf, asisten saya sedang sibuk dan tidak saya perkenankan meninggalkan pekerjaannya."

"Tolong! Sebentar saja!" kataku memohon. Entah kenapa susah sekali untuk bertemu dengan wanita yang kurasa memang Allea.

"Maaf, tidak bisa. Anda salah orang karena asisten saya namanya bukan Allea."

Dengan penuh putus asa, aku meninggalkan rumah mewah tersebut. Saat memasuki mobil, aku kembali melihat ke rumah itu. Entah kenapa firasatku mengatakan jika Allea ada di sana. Mungkin saja wanita tua itu menyembunyikan identitas Allea atau mungkin Allea yang memalsukan identitasnya.

Hati terasa berat untuk pergi dari rumah mewah tersebut. Namun, jika aku berdiam di sini, penjaga rumah akan curiga. Aku putuskan untuk memantau rumah itu di tempat lain.

Hari pun berganti malam. Mataku tak sanggup lagi untuk terbuka. Sedari tadi aku juga menahan lapar demi mengetahui wanita yang ada di rumah itu. Namun, sampai malam tiba, tidak ada tanda-tanda wanita itu keluar. Aku putuskan untuk tidur di mobil saja dan menunggu pagi menyapa.

***

Hari sudah berganti, malam pun telah berlalu. Kulihat jam tangan yang menunjukkan pukul setengah delapan. Siang sekali! Untung saja hari ini libur. Aku terkejut saat membuka ponsel. Mbak Veni telah meneleponku berkali-kali. Dia juga mengirimiku banyak pesan. Dia mengaku jika mengetahui keberadaan Ansel dan Afkar.

Aku semakin bingung. Mana informasi yang benar? Apakah benar di rumah itu bukanlah Allea?

"Halo? Di mana anak-anak, Mbak?" tanyaku.

"Cepat kamu ke Taman Pelangi! Sekarang! Aku juga dalam perjalanan ke sana. Ini temanku yang ngasih tahu. Dia video call dan nunjukin anak-anak. Memang benar itu Ansel dan Afkar sedang bermain di sana."

Bergegas aku melajukan mobil ke Taman Pelangi. Saat tiba di sana, aku segera menulusuri setiap tempat. Namun, tak kutemukan dua anakku. Kulihat Mbak Veni pun datang dengan tergesa-gesa. "Gimana?" tanyanya.

"Belum ketemu. Di mana, sih, Mbak?" tanyaku.

"Tadi di sekitar kolam."

"Tapi nggak ada."

Kami berpencar mencari Ansel dan Afkar. Namun, mereka memang tidak ada di taman itu. Isi kepalaku rasanya ingin meledak. Benar-benar pusing dan stres karena tidak kudapati mereka.

"Teman Mbak Veni nggak salah, 'kan?" tanyaku.

"Memang itu mereka."

"Kenapa nggak mencegah anak-anak?" tanyaku heran.

"Temanku bawa dua anjingnya jalan-jalan. Waktu video call tadi aku lihat sendiri Ansel sama Afkar lari ketakutan saat temanku berusaha mendekat. Makanya, dia menahan diri nggak mendekat lagi supaya anak-anak tetap di sini."

Aku hanya menghela napas saat mendengar penjelasan Mbak Veni. Sudah pasti dua anakku pergi dari taman ini. Mereka memang takut dengan anjing.

"Ke mana lagi aku harus mencari, Mbak?" tanyaku lesu.

"Informasi wanita di rumah itu bagaimana?" tanya Mas Bram. Aku hanya menggeleng pelan.

"Aku butuh istri dan anak-anak. Aku ingin bertemu mereka," ujarku seraya menutup wajah. Biarlah Mas Bram dan Mbak Veni tahu jika aku sedang menangis.

"Sabar! Allea dan anak-anak pasti ketemu. Mereka pasti nggak jauh dari sini. Kamu pulang aja! Kamu kelihatan lelah. Biar aku dan Mas Bram yang melanjutkan mencari Allea." Mbak Veni berbicara dengan lembut sambil menepuk pundakku pelan.

***

Aku kembali ke rumah. Udaranya cukup pengap karena tidak terawat lagi. Banyak daun kering berjatuhan dari tanaman-tanaman yang menghiasi rumah. Sebagian bunga pun mulai layu akibat tak pernah kusirami.

Aku memasuki kamar dan membuka lemari. Kupeluk semua pakaian Allea untuk mengobati rindu. Mungkinkah Allea tidak membawa pakaian satu pun karena aku mengunci pintu kamar pada saat itu? Ya, saat aku marah besar kepadanya, aku mengunci pintu kamar agar tidak ada yang mengganggu istirahatku. Bodohnya aku dengan segala keegoisanku!

"Ya, Mas?" tanyaku saat menjawab telepon Mas Bram.

"Reno, cepat kembali ke taman! Allea sama Veni. Allea keburu pergi bawa anak-anak, cepetan!" Suara Mas Bram di seberang sana membuatku panik setengah mati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status