Share

Aborsi

Amira keluar dari kamar mandi dengan raut wajah cemas. Takut-takut ia menunjukkan test pack itu pada mamanya. Kasih mengambil benda tersebut dan detik itu juga kedua orang tuanya memejamkan mata.

Sebuah aib telah terjadi dalam keluarga mereka. Walau tentu saja tidak di kerajaan Gunung Kalastra. Ada alasan mengapa Taksaka harus terus-terusan menjaga sang ratu. Keturunan Abhiseka yang baru akan segera lahir.

“Amira, cerita, Nak, siapa yang melakukan ini sama kamu? Kamu ingat siapa orangnya. Kita bisa tuntut dia ke penjara atas tuduhan pemerkosaan.” Kasih duduk di ranjang yang sama dengan putrinya. Bagaimanapun juga aib itu harus hilang, kalau tidak nama baik mereka sekeluarga akan tercoreng.

“Amira nggak ingat apa-apa, Ma? Sumpah, Amira nggak bohong. Amira merasa kalau Amira masih suci.” Gadis itu tak henti-hentinya berpaling dari kenyataan. Semudah itu mencampakkan kenangan malam pertama yang begitu indah dan berlanjut dengan malam-malam lainnya.

“Gusti Ratu, kau berdusta!” jawab Taksaka dari kejauhan. Ia yakin sekali kalau Amira tidak akan bisa melupakan Abhiseka.

“Mama takutnya ini bukan anak manusia, Nak. Bisa aja, loh, yang gitu sama kamu itu hantu atau siluman. Kamu di gunung, Nak, bukan di hotel!”

“Ma,” panggil Pak Bondan perlahan.

“Pa, please, nggak ada yang nggak mungkin. Kita harus bertindak cepat, Pa.” Mata Kasih sudah berembun mengenang nasib putrinya yang sial.

“Kalau misalnya siluman, Ma, kita gimana mau nangkap dia? Mama nggak ingat dulu kita panggil dukun buat ambil Amira pulang, mereka mati, kan?”

“Udah, Pa, Ma, jangan diributkan lagi. Amira juga nggak mau hamil, aborsi aja anak ini. Amira belum siap jadi ibu,” jawab gadis itu tanpa pikir panjang.

Taksaka yang mendengar kata aborsi bingung dengan maksud dari gusti ratu. Belum semua hal ia pelajari selama dua hari di dunia manusia.

“Apa, digugurkan? Kamu yakin, Nak?” Kasih bertanya lebih jelas-jelas lagi.

“Yakin, Ma. Bapaknya juga nggak jelas siapa. Ngapain dipertahankan, anak haram juga kalau hidup. Kasihan dia nanti menderita diejek sama teman-temannya.” Amira memejamkan mata dalam mengambil keputusan. Buah cintanya bersama Abhiseka tidak ia anggap penting sama sekali.

“Tidak bisa begitu, Gusti Ratu. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada putri Gusti Prabu.” Taksaka menghilang dari sisi Gusti Ratu Amira. Dia memang bukan sosok yang banyak bicara. Lebih suka melakukan aksi nyata langsung.

Segera saja kedua orang tua Amira mengurus prosedur untuk aborsi bayi di rumah sakit yang sama. Jelas mendapat penolakan. Malam itu juga ketiganya keluar dari rumah sakit dan mencari tempat di mana biasanya dilakukan aborsi.

“Bapak cari klinik, atau apalah di mana biasanya orang-orang gugurin kandungan,” perintah Kasih pada supir mereka.

“Ini uang untuk tutup mulut, jangan sampai saya dengar berita ini tersebar atau kamu yang kepalanya saya dor!” ancam Pak Bondan sambil memberikan uang tunai pada supirnya.

Lelaki yang telah melayani Pak Bondan selama puluhan tahun itu menghubungi teman-temannya. Berbekal info dari sana sini mobil mewah itu bergerak ke sebuah klinik bidan yang agak jauh dari perkotaan.

Suasana di dekat klinik aborsi sangat mengerikan. Di belakang kliniknya menjadi kuburan massal bagi bayi-bayi yang tak diinginkan orang tua mereka. Yang datang kebanyakan bersama pacarnya.

Ada juga bersama orang tua. Tujuan mereka sama, untuk menutupi aib. Padahal saat membuat anak mereka tidak memikirkan semau itu

Ada banyak penampakan di dekat klinik itu. Salah satunya seorang lelaki yang menggunakan kain dari perut sampai ke atas lutut. Dari pancaran matanya yang berwarna kuning, Taksaka sudah terlihat mengerikan, bahkan sanggup mengusir hantu-hantu di sekitar klinik.

“Kamu yakin, ya, Nak? Aborsi itu pasti sakit, melahirkan normal aja sakit.” Kasih meyakinkan putrinya sekali lagi. Bagi wanita itu tak apa dilahirkan, toh anak tidak berdosa, tapi mau bagaimana lagi kalau Amira tidak mau.

“Yakin, Ma. Daripada hidup menanggung malu,” jawab Amira saat keluar dari mobil.

Nyonya Kasih dan Pak Bondan mengurus pendaftaran putri mereka terlebih dahulu. Bahkan lelaki itu berani bayar tiga kali lipat asalkan kandungan putrinya diluruhkan malam ini juga. Demi melihat tumpukan uang, bidan yang menangani klinik aborsi tersebut pun tersenyum lebar.

“Masuk,” pinta wanita berseragam putih itu pada Amira.

“Sakit nggak nanti?” tanya sang permaisuri.

“Nggak, kan masih sekecil kuku, nggak terlalu sakit. Kayak digigit semut aja, nggak akan terasa keluarnya. Udah bener kamu datang sekarang. Kalau tunggu dua atau tiga bulan bisa lebih sakit lagi.” Bidan itu meminta Amira untuk ganti baju dengan pakaian berwarna biru dan memintanya berbaring di ranjang eksekusi.

“Kenapa digugurin, Sayang? Pacar kamu nggak tanggung jawab, ya? Mau enaknya aja?” Sang eksekutor telah memakai sarung tangan dan mulai membuka lebar-lebar dua kaki Amira.

“Bukan, ini pemerkosaan, Bu.” Amira menarik napas panjang. Ia pasrahkan nasib anak tak diinginkan itu pada ibu bidan.

“Lakik di mana-mana emang sama aja bangsatnya.” Dengan entengnya bidan itu memaki Abhiseka.

“Dusta!” Taksaka ada di dalam kamar aborsi itu. Ia memejamkan mata dan lampu ruangan mati dan hidup tiba-tiba saja. Amira yang mencium aroma cendana sadar siapa yang ada di dalam sana.

“Kenapa lagi lampu kamar ini.” Ibu bidan berdiri dan ingin menghidupkan lampu yang hidup mati setiap sebentar. Namun, tiba-tiba saja benda-benda tajam yang ada di dalam kamar operasi itu bergerak ke sembarang arah sendirian.

“Eh, kenapa ini?” Bidan itu berlindung dan merunduk. Sebuah gunting tajam nyaris saja menancap di lehernya.

“Nggak, jangan! Jangan bunuh orang!” jerit Amira. Tak ia perhitungkan bahwa dirinya selalu diikuti oleh manusia harimau.

Bidan tersebut tentu saja merasa bingung. Beberapa detik setelahnya pisau bedah yang tipis dan tajam bergerak cepat dan menggorok leher ibu bidan hingga darah mengucur membasahi seragam putihnya.

Amira yang ketakutan langusung sembunyi di bawah kolong ranjang. Sang eksekutor mati di tangan Taksaka. Tidak ada yang boleh menyakiti anak keturunan Gusti Prabu Abhiseka.

“Gusti Ratu, pahamilah kedudukanmu sekarang, kau bukan gadis lagi, kau sudah ada yang punya. Anak ini tak hanya milikmu saja, tapi milik Gusti Prabu juga. Kau punya hak, gustri prabu juga begitu dan aku yang ditugaskan menjaga kalian berdua. Jangan coba-coba untuk mengulangi perbuatan ini lagi. Aku pasti akan membunuh semua yang terlibat. Sekalipun itu kedua orang tuamu.” Suara Saka terdengar begitu tegas dan mengerikan di telinga sang ratu.

Amira menggigil dan berkeringat dingin di dalam kolong ranjang. Mata sang ratu tertuju pada jenazah bidan yang mati dengan mata terbuka. Bayangnnya tertuju pada kedua orang tua, bagaimana kalau Taksaka benar membunuh mereka yang menjadi sandaran Amira sekarang.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status