Share

Positive

Amira bangun dengan kepala pusing luar biasa. Ia masih berada di kamar dan tangannya diberikan infus. Ketika melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan jam sebelas siang, artinya ia tak sadarkan diri cukup lama, dan Amira tak tahu apa sebabnya. Padahal fisiknya tidak ada yang terluka sama sekali.

Saat ingin bangkit dari ranjang, tiba-tiba saja gadis cantik itu mencium aroma wangi cendana yang begitu kuat. Ia tahu ada yang mengikutinya. Amira tidak menyukai hal itu. Baginya kebersamaan dengan Abhiseka sudah tidak perlu diingat lagi.

“Pergi kamu dari sini. Aku nggak butuh dijaga sama siapa-siapa. Kehidupan kita berbeda. Aku manusia, kalian semua binatang!” ucap Amira tegas.

Lalu aroma cendana itu menghilang perlahan-lahan. Taksaka tidak sepenuhnya pergi, ia hanya mengawasi sang ratu dari kejauhan. Sudah menjadi tugasnya menjaga istri majikannya selagi Gusti Prabu Abhiseka tidak sadarkan diri.

***

“Amira, Nak, kamu udah sadar. Kenapa infusnya dilepas?” Nyonya Kasih baru saja ingin masuk ke kamar putrinya. Namun, ia justru melihat Amira berjalan begitu saja tanpa menunjukkan bahwa dirinya sakit sama sekali.

“Amira nggak apa-apa, kok, Ma. Mungkin cuman kecapean aja, kan, turun dari gunung. Ya udah cukup istirahatnya,” jawab gadis itu. Ia belum sadar ada yang telah berbeda dari dirinya.

“Terus sekarang kamu mau ngapain? Jangan keluar rumah dulu, Mama takut kamu masih sakit.”

“Mama jangan gitu, deh, bosan kali Amira seharian di kamar. Amira mau makan dulu, lapar.” Gadis itu turun ke dapur dan meminta dihidangkan oleh pembantu makanan kesukaannya.

Amira makan semuanya sampai habis tanpa ada drama apa-apa. Lalu ia masuk ke kamar dan memainkan ponsel yang dibelikan oleh papanya baru saja. Namun, perutnya terasa bergejolak lagi dan ia muntahkan lagi semuanya dengan rasa sakit yang luar biasa.

“Ini masuk angin atau kenapa, ya? Kok, nggak hilang-hilang juga?” tanya Amira sambil memegang perutnya.

Taksaka yang mendengar apa kata permaisuri Abhiseka sebenarnya ingin mejawab apa yang terjadi. Akan tetapi, sekali lagi titah dari gusti prabu agar ia menjauh sangat jelas. Taksaka hanya bisa mengawasi dari jauh saja.

***

Pagi harinya Amira melewati hari seperti layaknya manusia biasa pada umumnya. Atas kuasa dan uang yang papanya miliki, ia diizinkan masuk kembali ke kampus seperti biasa.

Amira mencoba menyapa teman-temannya walau sudah beda semester. Namun, tidak ada yang berani mendekat padanya. Semua karena aura gadis itu sudah jauh berbeda dari biasanya.

“Pada kenapa, sih, orang-orang. Emang aku serem apa?” tanya Amira ketika sendirian saja di dalam kelas.

Biasanya beberapa murid akan duduk-duduk di dalam menjelang dosen datang. Sekali lagi keberadaan seorang istri manusia harimau membuat mereka sungkan.

Kelas berjalan seperti biasa. Tidak ada yang mau duduk dekat-dekat dengan Amira. Normalnya gadis cantik pasti akan dikelilingi oleh beberapa lelaki yang ingin sok kenal sok dekat. Tidak dengan Amira, ia cantik tapi wibawanya luar biasa ketika kembali dari Gunung Kalastra.

Taksaka menjaga tuannya sangat baik. Sembari melihat Amira ia juga memperhatikan pola hidup orang-orang di kota. Ia pelajari bahasa keseharian mereka, cara berpakaian, cara berpikir, dan cara berbaur bersama yang lain. Semua demi andai suatu hari nanti ia terpaksa harus menampakkan diri menjaga sang ratu dari marabahaya, mungkin.

“Aduh, kepala aku kenapa lagi?” Amira merasa pusing luar biasa ketika pelajaran akan segera berakhir.

Gusti Ratu Amira jatuh pingsan lagi, membuat satu kelas geger dan tak ada yang berani mendekatinya. Taksaka ingin menolong. Namun, tidak mungkin baginya untuk menampakkan diri. Lalu ia masuk dalam pikiran tiga orang gadis yang terlihat bingung. Tanpa basa-basi ketiganya sigap menolong. Membawa Amira masuk ke dalam mobil dan mengantar gadis itu ke rumah sakit.

***

Perlahan-lahan mata Amira terbuka. Ia memindai ruangan di mana ia dirawat, kemudian duduk dan memegang kepalanya yang terasa pusing.

Gadis itu menarik napas panjang, dan tak lama kemudian kedua orang tuanya datang dengan raut wajah cemas, disusul seorang dokter dan perawat yang baru saja tiba.

“Mohon maaf sebelumnya, Bapak, Ibuk, tapi ada baiknya Nona Amira ini melakukan tes urine dan darah, karena kami takutnya dia menderita penyakit yang tidak diketahui. Apalagi berdasarkan keterangan dia menghilang di gunung, ya? Kita berharap nggak ada apa-apa, semoga aja.” Ucapan dokter barusan diiyakan saja oleh kedua orang tua Amira. Tentu saja mereka ingin yang terbaik untuk putrinya.

Tercium lagi aroma cendana di antara bau obat di rumah sakit. Amira menoleh ke kiri dan kanan, mencari siapa yang berani mengikutinya. Apakah Taksaka atau Cakrabuana. Sebab dua pengawal itu memiliki kesamaan tinggi, tato, dan cara berpakaian.

“Kamu cari apa, Nak?” tanya Kasih pada putrinya.

“Nggak ada, kok, Ma. Lama banget, ya, hasil testnya keluar. Mudah-mudahan Amira nggak kena penyakit macem-macem.” Gadis cantik itu memainkan jari jemari tangannya karena gugup.

“Sebentar lagi selesai, kok, tunggu aja. Kalau memang harus dirawat ya nggak masalah.” Kasih membelai rambut putrinya. Ia rasakan sejak kembali dari Gunung Kalastra putrinya jadi bertambah cantik dan anggun. Seperti pembawaan seorang ratu di zaman dahulu.

Satu jam lebih menunggu hasil test darah dan urine keluar sudah. Dokter datang membawa dua buah surat. Yang pertama ia serahkan hasil test darah dan mengatakan bahwa Amira tidak mengidap penyakit apa pun. Lalu agak berat hati dokter itu menyerahkan hasil test urine.

“Mohon maaf, tapi berdasarkan hasil test di laboratorium, Nona Amira dinyatakan positif hamil,” ucap sang dokter.

Jantung Amira serasa ingin berhenti berdetak saat itu juga. Papa dan mamanya apalagi, seperti tidak percaya putrinya pulang dalam keadaan berbadan dua. Satu tahun tinggal di dalam gunung, tidak ada yang tidak mungkin terjadi pada Amira yang cantik jelita.

“Dokter salah kali, saya ini belum nikah loh!” Amira tidak terima, padahal dengan jelas ia ingat sendiri, bagaimana ia dan Abhiseka melewati hari yang begitu bahagia selama sebulan di Gunung Kalastra. Tidak mungkin tidak membuahkan hasil.

“Saya tahu Nona Amira akan bilang begitu. Kalau tidak percaya silakan test sendiri. Kalau hasilnya tanda tambah artinya anda benar-benar hamil. Saya tidak akan ikut campur apa pun urusan anda, saya hanya menyampaikan apa yang saya tahu saja.” Dokter itu menyerahkan satu buah test pack pada Amira. Benda yang terlihat berbahaya bagi Amira sekarang.

“Cepetan, Sayang, test. Semoga aja hasilnya negatif.” Tangan Kasih sampai terasa dingin karena gugup mendengar kabar kehamilan putrinya. Sedangkan Pak Bondan memegang jantungnya yang mulai terasa agak nyeri.

“Papa, tenang, Pa, jangan panik. Kalau Papa panik, Mama bingung harus gimana.” Kasih memegang tangan suaminya.

Lelaki paruh baya itu mengangguk sambil menarik napas panjang. Wajahnya serasa dilempar kotoran. Susah payah menjaga putri satu-satunya, saat pulang sudah tidak utuh lagi.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status