Share

BODYGUARD KESAYANGAN
BODYGUARD KESAYANGAN
Penulis: Rosa Rasyidin

Gunung Keramat

“Oh, ini yang namanya Gunung Kalastra,” ucap Amira sembari memandang gunung yang konon kata orang sangat keramat.

Tidak hanya itu saja, selain keramat ada keindahan tiada tanding di dalamnya. Jangan lupakan juga, masih konon kata orang-orang gunung itu didiami oleh ribuan manusia harimau yang menjadi penghuni pertama di sana.

“Akhirnya kita sampai juga. Yok, gercep, nggak usah nunggu lama-lama. Biar bisa buat tenda nanti malam.” Roni—kekasih Amira, membawa pacarnya mendaki gunung sembari mengisi libur semester genap yang sangat panjang.

Tidak hanya Amira dan Roni saja yang pergi, tapi tiga orang teman lelaki yang lain juga ikutan. Mereka tidak mengindahkan pantangan yang sering disebutkan para penduduk di sekitar Gunung Kalastra, bahwa ada larangan mendaki gunung dalam jumlah ganjil.

Selain itu pula, bukankah akan sangat bahaya jika Amira perempuan sendirian. Laki-laki akan selalu cari kesempatan dalam kesempitan. Amira—dia gadis cantik dan terpelajar. Anak tunggal dari pemilik perkebunan teh yang sudah diwariskan bertahun-tahun dari zaman nenek moyangnya.

Untuk paras sudah pasti kualitasnya grade A, ditambah isi kepala yang tidak main-main. Namun, satu kelemahannya, mudah percaya dengan Roni. Padahal namanya lelaki jangan sepenuhnya dipercaya, karena mereka bisa lebih ganas daripada harimau.

Amira dan empat teman lelakinya mulai melangkah mendaki gunung. Hari itu kabut turun cukup tebal. Ya, penghuni asli Gunung Kalastra tengah berkabung. Gusti Prabu Abhiseka sedang dalam masa berkabung selama dua bulan setelah permaisurinya mangkat.

Entah sampai kapan kabut itu akan terus mengukung gunung yang begitu angkuh. Para penduduk tidak ada yang tahu. Dan kelima pemuda juga pemudi itu masih nekat mendaki.

Amira berada di barisan paling depan. Ia menggunakan celana jeans ketat dan baju kaus panjang. Langkah kakinya mengundang decak kagum empat pemuda di belakangnya. Lucu, padahal seharusnya para lelaki ada di depan. Namun, mereka telanjur tak bisa mengelak dari pesona gadis cantik dan masih tak tersentuh di depan mereka.

“Ron, kok, lu tahan, sih, nggak ngapa-ngapain sama Amira. Gilak, gue aja gak tahan lihat cewek secantik dia,” ucap teman Roni yang mulai berpikiran mesum.

“Susah, Bro. Dia anak mami sama papi. Apa-apa kudu lapor, gue jadi susah gerak. Nah, ini aja dia kabur dari rumah orang tuanya baru bisa ikutan. Agak bodo dikit Mira hari ini, tapi nggak apa-apa. Kita cari kesempatan emas, ya, nggak, Bro?” bisik Roni pada dua temannya.

Mereka berpikiran mesum di tengah gunung keramat, di mana seorang raja yang adil memerintah di sana sangat tidak suka tanahnya dibuat tempat mesum. Gunung Kalastra merupakan tempat suci, tempat di mana kekuasaan harimau tidak pernah ada yang berani mengusik.

Ucapan Roni dan teman-temannya membuat mata sang prabu terbuka. Gusti Prabu Abhiseka menyudahi semedinya. Ia turun dari puncak gunung bersama dua pengawal setianya. Taksaka dan Cakrabuana. Dua orang manusia harimau berwarna kuning hitam. Sedangkan Gusti Prabu sendiri manusia harimau putih.

“Lancang sekali mulutnya di gunung ini.” Tangan kanan Cakrabuana terkepal. Sekali hantam juga empat orang pemuda mesum itu akan mati dengan mudah.

“Tahan dulu, kita lihat sampai sejauh mana mereka berani. Apakah perbuatan akan sejalan dengan isi kepala mereka?” Perintah sang prabu. Taksaka dan Cakrabuana mengangguk saja.

Tiga manusia harimau itu kemudian menghilang. Mereka masih di sekitar Gunung Kalastra menanti para pemuda bertindak gegabah. Lumayan, dagingnya bisa dibagi-bagi dengan rakyat yang lain.

***

“Amira, kita buat tenda di sini aja, ya. Bisa ini spotnya untuk foto-foto cantik.” Roni berhenti di sebuah tanah lapang bersama teman-temannya yang lain.

Tak jauh dari tanah lapang itu ada sebuah air terjun yang sangat deras. Dilengkapi dengan bebatuan alami yang berukuran besar. Konon aliran sungainya jika hanyut dan beruntung maka akan bertemu dengan satu istana yang begitu megah dan mengilat. Itu kalau beruntung, jika sedang ketiban sial, tercabik-cabik sudah daging oleh cakaran harimau.

“Udah malam aja, ya, Ron. Padahal setengah juga belum selesai kita daki.” Amira duduk di atas rerumputan yang aromanya sangat segar. Ia lelah, tapi tetap semangat. Biasa hidup dalam pengawasan ketat kedua orang tuanya, kini ia bisa kabur demi mendaki gunung bersama pacar tercinta.

“Masih ada hari esok, Yang. Kamu bisa, kok, mandi di air terjun sana kalau gerah. Ntar aku yang jagain.” Roni menunjuk ke arah sungai. Derasnya air terdengar sampai ke telinga mereka.

“Sumpah, gunung ini indah banget, gilak. Aku mau deh tinggal di sini selamanya.” Amira asal bicara.

Dia tidak tahu kalau sang prabu dari tadi memperhatikan raut wajahnya yang amat menawan hati. Hati seorang raja yang baru ditinggal mati oleh belahan jiwanya. Hati yang kesepian.

“Bukankah dia sangat cantik?” tanya Gusti Prabu Abhiseka pada dua pengawalnya. Tentu saja dijawab iya. Mata lelaki mana yang membantah kecantikan Amira. Manusia harimau saja memujinya, apalagi manusia biasa.

“Gusti Prabu menginginkannya? Biar hamba bawa gadis itu kemari.” Cakrabuana menawarkan diri. Di antara dua pengawal itu, Taksaka jauh lebih pendiam dan sangat jarang bahkan tak pernah terlihat tersenyum.

“Aku masih ingin melihatnya dari jauh. Dia tadi mengatakan ingin tinggal di sini selamanya. Tidak sulit bagiku untuk mewujudkannya.” Gusti Prabu merapikan kain putihnya yang beterbangan terkena angin gunung.

Raut wajah berusia ribuan tahun itu, masih tetap segar bugar seperti lelaki biasa berusia matang. Dua pengawalnya masih berusia ratusan tahun dan tetap sama saja tak terlihat tua. Dari atas singgasananya Gusti Prabu terus memperhatikan Amira. Gadis itu pintar secara akademis tapi sayangnya tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang modus.

Dari atas singgasana itu jelas terlihat Roni sedang merayu Amira. Nyaris aja gadis cantik tersebut menurut ketika bibirnya ingin dicium. Sang prabu mengirimkan nyamuk hutan berukuran besar untuk memberi pelajaran pada Roni. Hasilnya pipi lelaki itu gatal luar biasa.

“Hanya aku yang boleh menyentuh gadis itu.” Sudah keluar titah sang prabu. Titah yang selalu menjadi ketetapan bagi seluruh rakyat Gunung Kalastra.

Taksaka sangat paham apa maksud dari tuannya. Ia kemudian turun dari istana dan mengawasi Amira dari atas batu besar. Malam terus beranjak di Gunung Kalastra. Tenda ada dua, satu untuk Amira satu untuk empat teman lelakinya.

Dua orang pemuda tidak tidur karena harus menjaga tenda dari ancaman binatang buas, contohnya ular. Harusnya bukan ular yang mereka takutkan. Melainkan sesosok manusia harimau yang terus memandang empat pemuda itu dengan tajam.

Taksaka, dia tidak menggunakan baju, melainkan hanya sehelai kain berwarna kuning keemasan yang dililit dari pinggang sampai ke bawah lutut. Ikat kepala berwarna belang kuning hitam selalu Taksaka kenakan. Rambutnya yang panjang ia sanggul sangat rapi. Dua tangannya yang kekar diberikan gelang emas di bagian atas sebagai pertanda dia sang pengawal yang sangat setia.

“Ron, psst, psst, bangun!” Salah satu pemuda membangunkan Roni.

“Apaan, sih!” Pacar Amira menggerutu. Gatal karena gigitan nyamuk hutan belum juga reda sampai sekarang.

“Kapan bisa cobain Amira. Mumpung malam, sepi, dingin lagi. Dia lagi tidur, kan, ayok cepetan. Lu duluan habis itu baru kita,” bujuk salah satu teman Roni.

“Tapi gue agak takut, nih. Nggak enak perasaan gue,” jawab Roni.

“Perasan lu nanti beda kalau udah dapat ngegap si Amira. Cepetan, udah nggak sabaran gue.”

Karena didesak terus oleh temannya, mau tak mau Roni beranjak dari tenda. Pemuda beringasan itu sekarang ada di depan tenda Amira. Taksaka masih memperhatikan, dan belum berbuat apa-apa. Hanya saja tenda calon permaisuri Gustri Prabu Abhiseka macet, tidak bisa dibuka.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status