“Oh, ini yang namanya Gunung Kalastra,” ucap Amira sembari memandang gunung yang konon kata orang sangat keramat.
Tidak hanya itu saja, selain keramat ada keindahan tiada tanding di dalamnya. Jangan lupakan juga, masih konon kata orang-orang gunung itu didiami oleh ribuan manusia harimau yang menjadi penghuni pertama di sana.“Akhirnya kita sampai juga. Yok, gercep, nggak usah nunggu lama-lama. Biar bisa buat tenda nanti malam.” Roni—kekasih Amira, membawa pacarnya mendaki gunung sembari mengisi libur semester genap yang sangat panjang.Tidak hanya Amira dan Roni saja yang pergi, tapi tiga orang teman lelaki yang lain juga ikutan. Mereka tidak mengindahkan pantangan yang sering disebutkan para penduduk di sekitar Gunung Kalastra, bahwa ada larangan mendaki gunung dalam jumlah ganjil.Selain itu pula, bukankah akan sangat bahaya jika Amira perempuan sendirian. Laki-laki akan selalu cari kesempatan dalam kesempitan. Amira—dia gadis cantik dan terpelajar. Anak tunggal dari pemilik perkebunan teh yang sudah diwariskan bertahun-tahun dari zaman nenek moyangnya.Untuk paras sudah pasti kualitasnya grade A, ditambah isi kepala yang tidak main-main. Namun, satu kelemahannya, mudah percaya dengan Roni. Padahal namanya lelaki jangan sepenuhnya dipercaya, karena mereka bisa lebih ganas daripada harimau.Amira dan empat teman lelakinya mulai melangkah mendaki gunung. Hari itu kabut turun cukup tebal. Ya, penghuni asli Gunung Kalastra tengah berkabung. Gusti Prabu Abhiseka sedang dalam masa berkabung selama dua bulan setelah permaisurinya mangkat.Entah sampai kapan kabut itu akan terus mengukung gunung yang begitu angkuh. Para penduduk tidak ada yang tahu. Dan kelima pemuda juga pemudi itu masih nekat mendaki.Amira berada di barisan paling depan. Ia menggunakan celana jeans ketat dan baju kaus panjang. Langkah kakinya mengundang decak kagum empat pemuda di belakangnya. Lucu, padahal seharusnya para lelaki ada di depan. Namun, mereka telanjur tak bisa mengelak dari pesona gadis cantik dan masih tak tersentuh di depan mereka.“Ron, kok, lu tahan, sih, nggak ngapa-ngapain sama Amira. Gilak, gue aja gak tahan lihat cewek secantik dia,” ucap teman Roni yang mulai berpikiran mesum.“Susah, Bro. Dia anak mami sama papi. Apa-apa kudu lapor, gue jadi susah gerak. Nah, ini aja dia kabur dari rumah orang tuanya baru bisa ikutan. Agak bodo dikit Mira hari ini, tapi nggak apa-apa. Kita cari kesempatan emas, ya, nggak, Bro?” bisik Roni pada dua temannya.Mereka berpikiran mesum di tengah gunung keramat, di mana seorang raja yang adil memerintah di sana sangat tidak suka tanahnya dibuat tempat mesum. Gunung Kalastra merupakan tempat suci, tempat di mana kekuasaan harimau tidak pernah ada yang berani mengusik.Ucapan Roni dan teman-temannya membuat mata sang prabu terbuka. Gusti Prabu Abhiseka menyudahi semedinya. Ia turun dari puncak gunung bersama dua pengawal setianya. Taksaka dan Cakrabuana. Dua orang manusia harimau berwarna kuning hitam. Sedangkan Gusti Prabu sendiri manusia harimau putih.“Lancang sekali mulutnya di gunung ini.” Tangan kanan Cakrabuana terkepal. Sekali hantam juga empat orang pemuda mesum itu akan mati dengan mudah.“Tahan dulu, kita lihat sampai sejauh mana mereka berani. Apakah perbuatan akan sejalan dengan isi kepala mereka?” Perintah sang prabu. Taksaka dan Cakrabuana mengangguk saja.Tiga manusia harimau itu kemudian menghilang. Mereka masih di sekitar Gunung Kalastra menanti para pemuda bertindak gegabah. Lumayan, dagingnya bisa dibagi-bagi dengan rakyat yang lain.***“Amira, kita buat tenda di sini aja, ya. Bisa ini spotnya untuk foto-foto cantik.” Roni berhenti di sebuah tanah lapang bersama teman-temannya yang lain.Tak jauh dari tanah lapang itu ada sebuah air terjun yang sangat deras. Dilengkapi dengan bebatuan alami yang berukuran besar. Konon aliran sungainya jika hanyut dan beruntung maka akan bertemu dengan satu istana yang begitu megah dan mengilat. Itu kalau beruntung, jika sedang ketiban sial, tercabik-cabik sudah daging oleh cakaran harimau.“Udah malam aja, ya, Ron. Padahal setengah juga belum selesai kita daki.” Amira duduk di atas rerumputan yang aromanya sangat segar. Ia lelah, tapi tetap semangat. Biasa hidup dalam pengawasan ketat kedua orang tuanya, kini ia bisa kabur demi mendaki gunung bersama pacar tercinta.“Masih ada hari esok, Yang. Kamu bisa, kok, mandi di air terjun sana kalau gerah. Ntar aku yang jagain.” Roni menunjuk ke arah sungai. Derasnya air terdengar sampai ke telinga mereka.“Sumpah, gunung ini indah banget, gilak. Aku mau deh tinggal di sini selamanya.” Amira asal bicara.Dia tidak tahu kalau sang prabu dari tadi memperhatikan raut wajahnya yang amat menawan hati. Hati seorang raja yang baru ditinggal mati oleh belahan jiwanya. Hati yang kesepian.“Bukankah dia sangat cantik?” tanya Gusti Prabu Abhiseka pada dua pengawalnya. Tentu saja dijawab iya. Mata lelaki mana yang membantah kecantikan Amira. Manusia harimau saja memujinya, apalagi manusia biasa.“Gusti Prabu menginginkannya? Biar hamba bawa gadis itu kemari.” Cakrabuana menawarkan diri. Di antara dua pengawal itu, Taksaka jauh lebih pendiam dan sangat jarang bahkan tak pernah terlihat tersenyum.“Aku masih ingin melihatnya dari jauh. Dia tadi mengatakan ingin tinggal di sini selamanya. Tidak sulit bagiku untuk mewujudkannya.” Gusti Prabu merapikan kain putihnya yang beterbangan terkena angin gunung.Raut wajah berusia ribuan tahun itu, masih tetap segar bugar seperti lelaki biasa berusia matang. Dua pengawalnya masih berusia ratusan tahun dan tetap sama saja tak terlihat tua. Dari atas singgasananya Gusti Prabu terus memperhatikan Amira. Gadis itu pintar secara akademis tapi sayangnya tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang modus.Dari atas singgasana itu jelas terlihat Roni sedang merayu Amira. Nyaris aja gadis cantik tersebut menurut ketika bibirnya ingin dicium. Sang prabu mengirimkan nyamuk hutan berukuran besar untuk memberi pelajaran pada Roni. Hasilnya pipi lelaki itu gatal luar biasa.“Hanya aku yang boleh menyentuh gadis itu.” Sudah keluar titah sang prabu. Titah yang selalu menjadi ketetapan bagi seluruh rakyat Gunung Kalastra.Taksaka sangat paham apa maksud dari tuannya. Ia kemudian turun dari istana dan mengawasi Amira dari atas batu besar. Malam terus beranjak di Gunung Kalastra. Tenda ada dua, satu untuk Amira satu untuk empat teman lelakinya.Dua orang pemuda tidak tidur karena harus menjaga tenda dari ancaman binatang buas, contohnya ular. Harusnya bukan ular yang mereka takutkan. Melainkan sesosok manusia harimau yang terus memandang empat pemuda itu dengan tajam.Taksaka, dia tidak menggunakan baju, melainkan hanya sehelai kain berwarna kuning keemasan yang dililit dari pinggang sampai ke bawah lutut. Ikat kepala berwarna belang kuning hitam selalu Taksaka kenakan. Rambutnya yang panjang ia sanggul sangat rapi. Dua tangannya yang kekar diberikan gelang emas di bagian atas sebagai pertanda dia sang pengawal yang sangat setia.“Ron, psst, psst, bangun!” Salah satu pemuda membangunkan Roni.“Apaan, sih!” Pacar Amira menggerutu. Gatal karena gigitan nyamuk hutan belum juga reda sampai sekarang.“Kapan bisa cobain Amira. Mumpung malam, sepi, dingin lagi. Dia lagi tidur, kan, ayok cepetan. Lu duluan habis itu baru kita,” bujuk salah satu teman Roni.“Tapi gue agak takut, nih. Nggak enak perasaan gue,” jawab Roni.“Perasan lu nanti beda kalau udah dapat ngegap si Amira. Cepetan, udah nggak sabaran gue.”Karena didesak terus oleh temannya, mau tak mau Roni beranjak dari tenda. Pemuda beringasan itu sekarang ada di depan tenda Amira. Taksaka masih memperhatikan, dan belum berbuat apa-apa. Hanya saja tenda calon permaisuri Gustri Prabu Abhiseka macet, tidak bisa dibuka.BersambungAbhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k