“Papa, Mama, Amira mau pulang,” ujar Amira.
Gadis tak perawan itu menangis sambil berjalan menurun dari Gunung Kalastra. Ada banyak mata gaib yang melihat sang permaisuri menangis. Namun, tanpa titah sang prabu tentu mereka tak akan ada yang berani menyentuh Amira. Sedangkan Abhiseka sendiri sedang sekarat.Tak Amira pedulikan bagaimana keadaan kekasih yang baru ia temui selama satu tahun. Akan mati atau hidup ia sudah tak peduli lagi. Terus saja gadis itu turun hingga ia terjatuh dan jubah putih permaisurinya tersangkut di sebatang pohon.“Ih, nyusahin aja!” gerutu Amira.Jubah itu ia buka hingga terlihat sudah bagian pundak dan punggung yang putih dan mulus. Ia berjalan terus sampai kelelahan dan akhirnya bertemu dengan beberapa orang lelaki yang memang ditugaskan untuk mencari Amira.“Pak, tolong,” ucap Amira sambil duduk. Ia sudah lelah luar biasa, tak sanggup lagi berjalan.“Eh, bentar-bentar, ini, kan, Non Amira yang disuruh cari sama Pak Bondan, ya.” Seseorang mengenali wajah putri majikannya.“Iya, Pak, ini Amira, tolong.” Tangan gadis cantik itu terulur.Kemudian seseorang menyambut dan membantunya berjalan. Hari hampir gelap ketika mereka berhasil keluar dari Gunung Kalastra. Untuk terakhir kalinya—mungkin—Amira mendongak ke arah puncak. Tempat di mana Abhiseka bertakhta.“Aku benci kamu. Aku janji nggak akan pernah mau ketemu sama kamu!” Janji sang permaisuri yang didengarkan oleh ribuan rakyat Abhiseka.Kemudian tanpa belas kasihan lagi, Amira pergi dengan menaiki mobil yang telah disediakan untuk evakuasi dari Pak Bondan—papanya.***“Non, Mira, ke mana aja, kok, bisa sampai setahun nggak balik-balik? Apa bener di Gunung Kalastra itu banyak manusia harimaunya?” tanya salah satu pesuruh Pak Bondan ketika mengawal kembalinya sang permaisuri.“Nggak tahu, Pak, Mira nggak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu bangun udah pakai baju ginian. Jangan tanya lagi, ya, Pak, Mira pusing.”Gadis itu berpura-pura tidur demi menghindari pertanyaan lebih lanjut. Jika pun ia menjawab tentu dari satu kebohongan ke kebohongan lainnya akan terus bertambah. Sedangkan Mira tak suka dibohongi, seperti yang dilakukan Abhiseka padanya.Beberapa jam setelahnya Amira sudah sampai di rumah yang lebih tepatnya bisa dikatakan seperti istana. Walau masih kalah jauh dari mewah istana sang prabu di Gunung Kalasrta. Gadis itu turun dari mobil dengan langkah gontai. Ia patah hati dan berakibat pada lemah fisiknya.“Ya ampun, Nak, kamu pulang juga, Mama khawatir banget sama kamu.” Nyonya Kasih memeluk putrinya yang telah hilang selama satu tahun.Cantik wajah Amira menurun dari mamanya. Tuan Bondan lekas keluar menyambut kedatangan anak tunggalnya. Mereka tak punya penerus lain lagi selain Amira.“Amira, Sayang, akhirnya kamu pulang juga. Ada yang luka-luka, Nak? Biar Papa panggilan dokter, ya?” Pak Bondan tak kalah gembira dengan kepulangan putrinya.“Amira, nggak apa-apa, kok. Cuman capek aja butuh istirahat. Amira masuk ke kamar, ya, Pa, Ma. Jangan diganggu dulu.” Gadis itu naik ke lantai dua rumahnya.Kedua orang tuanya hanya bisa memandang dengan prihatin. Mereka sempat mengira tidak akan bertemu dengan putri kesayangan keduanya. Sebab, lagi-lagi kata orang. Siapa pun yang sudah ditawan di Gunung Kalastra tidak akan pernah bisa kembali tanpa seizin pemiliknya.“Mama perhatikan Amira terus, ya. Papa harus bayar orang-orang yang udah berjasa menemukan Amira, dan menurut Mama apa kita perlu panggil orang pintar? Papa takutnya Amira kenapa-kenapa di gunung itu, sudah setahun di sana,” tanya lelaki penyayang itu.“Gimana ya, Pa, Mama juga nggak ngerti gitu-gituan. Atau kita tunggu aja dulu sampai Amira bisa bicara sama kita. Kan kita nggak tahu dia di sana ngapain aja,” jawab Kasih.Wanita berusia 45 tahun itu hanya bisa bersyukur saja putrinya pulang dalam keadaan utuh tanpa kekurangan satu apa pun. Mitosnya, gunung itu tempat bersarang ribuan manusia harimau. Tentu saja harimau makan daging segar seperti manusia. Dan Amira juga manusia biasa.***Amira masuk ke dalam kamar di mana sudah setahun tak ia tempati. Ruang itu masih sama, baju, lemari, kasur dan pernak-pernik serba perempuan. Yang berbeda hanya pemiliknya saja. Amira memang kembali utuh-utuh. Namun, ada yang berkurang dari dirinya. Hal yang sangat berharga, yaitu kegadisan Amira. Tidak bisa dikatakan direnggut paksa, karena keduanya mau sama mau, walau sihir Abhiseka bermain di sana.“Aku kenapa begok banget jadi orang. Bisa-bisanya mau diajak tidur sama dia.”Gadis cantik itu masuk ke dalam kamar mandi. Ia buka semua pakaian serba putih yang merupakan pemberian sang prabu. Amira masukkan ke dalam tong sampah. Ia berendam dalam bak tubh. Ribuan busa sabun Amira gunakan untuk membersihkan sisa-sisa sentuhan Abhiseka pada kulitnya. Ia tak berani terlalu terisak tangis. Takut kedua orang tuanya curiga apa yang sebenarnya terjadi pada putri kesayangan mereka.“Maafin, Amira, Pa, Ma. Amira nggak bisa jaga nama baik keluarga. Amira udah kotor. Amira janji nggak akan mau menjalin hubungan sama lelaki mana pun lagi. Semuanya pembohong. Roni, Abhiseka nggak ada bedanya ternyata.” Terakhir sebelum berendam di dalam bak tubh. Amira membasahi rambut dengan sampo. Semua kenangan dari Abhiseka harus musnah saat itu juga.“Duh, ini kenapa cincinnya nggak mau lepas, sih!” Berkali-kali wanita bermata hitam kelam itu mencoba mencopot cincin pemberian sang prabu. Namun, benda tersebut seolah-olah terpasang begitu erat di jari tengah sang permaisuri.“Ah, bodo amat. Mau ada cincin atau nggak. Aku bukan siapa-siapa kamu lagi.” Amira keluar dari kamar mandi. Ia cari baju tidur dan keringkan rambut dengan hair dryer.Wangi tubuhnya sudah kembali seperti sedia kala. Aroma parfum blue saphire yang begitu menggoda. Selama dengan Abhiseka, ia sering mencium wangi gaharu dari tubuh sang prabu. Sedangkan dua pengawal setianya lebih sering tercium wangi cendana. Para pelayan dan rakyat lainnya beraroma wangi bunga sesuai dengan kasta masing-masing.“Ingat, aku udah bukan gadis suci lagi. Aku nggak layak untuk dapat cinta dari siapa-siapa. Aku harus jadi perempuan yang kuat. Perempuan yang bisa mengurus kebun teh Papa sendirian!”Amira berbicara dengan bayang dirinya di depan cermin. Ia menanamkan sugesti yang begitu kuat bahwa ia tak layak untuk lelaki mana pun lagi. Perkataan sang permaisuri yang hampir tidak ada bedanya dengan sang prabu. Atau memang begitu lebih baik daripada ia bersama lelaki lain. Cinta Abhiseka tidak musnah, hanya terjeda karena kena racun saja.“Amira, Nak, keluar kamar, donk, Sayang. Kita makan malam sama-sama, ya.” Kasih mengetuk pintu kamar putrinya. Sejak tadi Amira seperti sengaja mengurung dirinya di dalam kamar.“Iya, Ma, bentar, ya,” jawab gadis bermata hitam kelam itu. Mata yang pernah terperdaya oleh tatapan tajam sang prabu, lalu hanyut dalam keindahan sentuhan seekor manusia harimau putih.Amira keluar dan turun dari lantai dua rumahnya. Di meja makan sudah terhidang makanan kesukaan Amira semua. Ayam goreng tepung, ikan nila saus tiram, cah kangkung dan buah-buahan segar. Gadis itu mengambil nasi seperti biasa.Tanpa ada rasa curiga sama sekali ia makan semua hidangan yang tersedia. Sikap Amira seolah-olah ia tak mendapat gangguan berarti di Gunung Kalastra selama menghilang. Nyatanya, memang ia tak pernah mendapat gangguan. Justru disambut dengan sangat baik.“Mama seneng banget kamu sehat aja keluar dari sana, Nak. Kirain bakalan jadi orang linglung seperti kata orang.” Kasih memegang tangan putrinya. Suhu tubuh Amira jadi lebih hangat terasa di tangan manusia biasa.“Berarti kamu besok langsung kuliah atau gimana, Nak?” tanya Pak Bondan.Lelaki berkaca mata itu merasa aura putrinya berbeda sejak kembali dari Gunung Kalastra. Cantik tetap cantik, hanya saja terlihat lebih dewasa dan berwibawa. Seperti berhadapan dengan bangsawan keraton.“Lihat besok, ja, Pa, soalnya Ami—” Tiba-tiba saja gadis itu diam. Perutnya terasa bergejolak.Tak tahan lagi Amira pun langsung ke dapur dan menuju tempat cuci piring. Di sana ia muntahkan semua makanan yang baru saja masuk.Mendadak kepala gadis itu pusing, dan pandangan mata berkunang-kunang. Beberapa detik kemudian Amira roboh. Sebelum benar-benar pingsan, ia seperti melihat kehadiran salah satu pengawal Abhiseka di dalam rumahnya.Bersambung ...Amira bangun dengan kepala pusing luar biasa. Ia masih berada di kamar dan tangannya diberikan infus. Ketika melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan jam sebelas siang, artinya ia tak sadarkan diri cukup lama, dan Amira tak tahu apa sebabnya. Padahal fisiknya tidak ada yang terluka sama sekali.Saat ingin bangkit dari ranjang, tiba-tiba saja gadis cantik itu mencium aroma wangi cendana yang begitu kuat. Ia tahu ada yang mengikutinya. Amira tidak menyukai hal itu. Baginya kebersamaan dengan Abhiseka sudah tidak perlu diingat lagi.“Pergi kamu dari sini. Aku nggak butuh dijaga sama siapa-siapa. Kehidupan kita berbeda. Aku manusia, kalian semua binatang!” ucap Amira tegas.Lalu aroma cendana itu menghilang perlahan-lahan. Taksaka tidak sepenuhnya pergi, ia hanya mengawasi sang ratu dari kejauhan. Sudah menjadi tugasnya menjaga istri majikannya selagi Gusti Prabu Abhiseka tidak sadarkan diri.***“Amira, Nak, kamu udah sadar. Kenapa infusnya dilepas?” Nyonya Kasih baru saja ingin masu
Amira keluar dari kamar mandi dengan raut wajah cemas. Takut-takut ia menunjukkan test pack itu pada mamanya. Kasih mengambil benda tersebut dan detik itu juga kedua orang tuanya memejamkan mata. Sebuah aib telah terjadi dalam keluarga mereka. Walau tentu saja tidak di kerajaan Gunung Kalastra. Ada alasan mengapa Taksaka harus terus-terusan menjaga sang ratu. Keturunan Abhiseka yang baru akan segera lahir. “Amira, cerita, Nak, siapa yang melakukan ini sama kamu? Kamu ingat siapa orangnya. Kita bisa tuntut dia ke penjara atas tuduhan pemerkosaan.” Kasih duduk di ranjang yang sama dengan putrinya. Bagaimanapun juga aib itu harus hilang, kalau tidak nama baik mereka sekeluarga akan tercoreng.“Amira nggak ingat apa-apa, Ma? Sumpah, Amira nggak bohong. Amira merasa kalau Amira masih suci.” Gadis itu tak henti-hentinya berpaling dari kenyataan. Semudah itu mencampakkan kenangan malam pertama yang begitu indah dan berlanjut dengan malam-malam lainnya. “Gusti Ratu, kau berdusta!” jawab Ta
“Hah, Papa, Mama, tolooong!” jerit Amira dari ruang operasi.Beberapa saat kemudian Nyonya Kasih dan Tuan Bondan sampai. Mereka terkejut melihat bidan mati mengenaskan dengan mata terbuka dan ruangan jadi berantakan.“Cepet pergi dari sini. Sebelum kita jadi tersangka!” Tuan Bondan menarik Amira keluar dari kolong ranjang. Andai mereka berdua bukan orang tua dari permaisuri Abhiseka, mungkin nyawa keduanya akan melayang di tangan Taksaka.Setelah mereka bertiga pergi, jasad ibu bidan hilang begitu saja tanpa jejak. Jelas sekali itu ulah dari manusi harimau penunggu Gunung Kalastra. Tidak hanya sampai di sana, klinik aborsi tersebut terbakar tanpa sebab yang jelas. Amira memperhatikan kobaran api yang semakin mengganas dari dalam mobil. Ia tahu itu ulah siapa. Namun, sang permaisuri memilih bungkam.“Kita pulang dulu. Kita pikirin soal kandungan kamu besok saja!” Pak Bondan memerintahkan supir untuk terus melaju. Mereka tak tahu kalau Taksaka ikut berdiri di atas atap kendaraan. Ia ak
Tiga hari telah berlalu lagi. Pak Bondan membawa calon suami untuk Amira. Gadis itu turun dari lantai dua dengan model rambut baru. Amira memotong rambut sampai pendek sekali persis seperti laki-laki. Ia tak mau membuat siapa pun jatuh hati padanya lagi.“Amira, kenalin, ini calon suami kamu.” Pak Bondan memperkenalkan seorang lelaki pada putrinya. Taksaka hadir dalam pertemuan itu. Hanya saja dia masuk ke dalam patung yang ada di dalam rumah Pak Bondan.“Dia udah tahu, kan, kalau Amira lagi hamil,” ucap gadis cantik itu. Ia tak mau ada yang ditutup-tutupi.“Udah, Nak. Dia terima kamu apa adanya, dia ini pegawai terbaik Papa. Ternyata dia menyimpan rasa sama kamu dari dulu.”“Kamu sadar nggak, kamu dimanfaatin sama keluarga ini?” Amira memandang calon suaminya.“Saya sadar, tapi saya sudah telanjur cinta sama Non Amira,” jawab lelaki bernama Gilang. Ia terlihat seperti pemuda baik-baik.“Oke. Berarti kamu sudah siap jadi ayah? Tapi terserah, sih, mau ngakuin anak ini atau nggak ya say
“Saya izinkan kamu buat punya perempuan lain di luar sana. Ingat di luar, jangan sampai dibawa ke rumah.” Ucapan Amira membuat Gilang dan Taksaka sama-sama kaget. Mereka pikir Amira akan mengikat layaknya tuan pada seekor anjing. “Aneh kamu, biasanya perempuan nggak mau diduakan, kamu malah mengizinkan saya buat melakukannya.” Gilang memastikan terlebih dahulu apakah pendengarannya tadi salah atau tidak. Takutnya jadi senjata makan tuan, maklum orang kaya bisa berbuat apa saja. “Saya memang perempuan luar biasa. Terserah kamu mau punya perempuan dua, lima, sepuluh, itu bukan urusan saya. Tapi ingat, jangan sekali-sekali kamu bawa dia ke depan muka saya. Atau kesempatan itu akan saya gunakan untuk memecat dan menceraikan kamu tanpa pesangon apa pun!” tegas sang permaisuri. Ketegasannya ditularkan dari percampuran dengan Abhiseka. “Saya seperti seorang badut di rumah ini. Sudah diperintah ini itu oleh kedua orang tua kamu, diperlakukan tidak manusiawi pula sama istri sendiri.” Gilang
Dalam beberapa bulan Amira berubah dari gadis cantik dan periang, menjadi pribadi yang bengis dan tanpa kasihan. Mungkin karena pengaruh bayi manusia harimau yang ia bawa dalam perutnya. Yang tak sampai satu bulan lagi akan dilahirkan ke dunia.“Gilang, kamu yang sabar, ya, sama Amira. Kalau kamu perlu kenaikan gaji tinggal bilang sama saya.” Pak Bondan turut bersuara. “Kenaikan gaji harus melalui persetujuan Amira, Pa. Sebentar lagi juga Papa akan Amira gantikan. Papa, kan, mulai nggak sehat. Mending Papa istirahat,” ucap sang permaisuri tanpa direm lagi. “Amira!” tegur Nyonya Kasih.“Ma, udah, apa yang dibilang Amira itu bener, kok. Papa semakin nggak sehat akhir-akhir ini. Nanti, Nak, setelah kamu melahirkan silakan ambil semua kepempimpinan. Papa cuman ingin di rumah aja main sama cucu. Papa semakin tua.” Pak Bondan menghela napas panjang. Sejak putri semata wayangnya turun dari gunung dan kembali dalam keadaan hamil, kesehatan lelaki itu menurun drastis. Sejak kepulangan Amira
Amira menjalani operasi caesar setelah meminum racun kelabang dari secangkir teh pemberian Gilang. Taksaka di mana? Ia sedang dalam keadaan lemah. Baru saja tadi demi kelangsungan hidup keturunan terakhir sang prabu yang masih hidup, ia salurkan semua tenaga dalamnya agar janin di dalam kandungan sang permaisuri tidak mati begitu saja.Dan kini sang pengawal yang amat setia itu sedang kembali dalam wujud aslinya. Di kaki Gunung Kalastra dan menunggu sampai dirinya membaik. Racun kelabang itu bukanlah cairan yang main-main. Astina merupakan musuh abadi sang prabu sejak dahulu. Tentu saja wanita berpakaian serba hitam tersebut tahu cara menyerang Abhiseka.Sementara itu di ruang operasi para dokter sedang berjuang menyelamatkan ibu dan anak yang berada di antara hidup dan mati. Berkat tenaga yang diberikan oleh Taksaka, anak Amira dan Abhiseka berhasil lahir dengan selamat tanpa kekurangan satu apa pun.Anak perempuan, dengan mata biru persis seperti ayahnya. Tidak ada yang aneh, wujudn
Pak Bondan dan Nyonya Kasih bangun di pagi hari sambil merawat cucunya. Cahaya tumbuh layaknya bayi pada umumnya. Di hari ketujuh anak itu sudah minum susu menggunakan alat bantu yang sangat lunak. Namun, tetap saja Cahaya terlihat seperti kehausan terus menerus. Anak itu keturunan manusia harimau putih, tentu saja …“Ma, kita lihat Amira siang ini. Cahaya kasih saja sama pengasuh. Tadi malam Amira telpon sampai tiga kali nggak Papa angkat,” ucap Pak Bondan.Gilang yang baru turun dari lantai dua tertahan langkahnya mendengar Amira berhasil selamat. Masih ingat lelaki polos itu kata Ratih kalau racun itu sangat ampuh merenggut nyawa orang.“Kamu ini, ya, pantas aja Amira marah terus-terusan sama kamu. Jadi laki nggak ada gunanya, makan, tidur, gaji juga dikasih sama suami saya.”Kasih menyindir menantunya yang tidak punya empati sedikit pun atas kelahiran putri Amira. Yang di atas kertas merupakan anak Gilang. Status penting bagi keluarga Pak Bondan Argani.“Kalau tidak keberatan, sil