"Kamu pergi saja, Mas. Aku dan Soraya akan baik-baik saja. Lagi pula kan ada Mbok Inah juga,"kata Kalina kepada sang suami.
Wanita cantik itu amat sangat mengerti apa yang saat ini ada dalam pikiran Daru suaminya. Ia yakin jika saat ini Daru merasa bimbang antara meninggalkan keluarga atau bertugas.
Akan tetapi wanita itu tahu sebagai istri seorang Komisaris Besar polisi dia harus selalu siap untuk membiarkan sang suami pergi demi melaksanakan tugasnya.
"Apakah kalian akan baik-baik saja jika aku ke rumah sakit sebentar? Rekanku baru saja meninggal dunia. Dan aku harus melihat bagaimana tadi Yudistira memberi kabar jika saat ini jenazah sedang dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi," kata Daru.
Kalina menganggukkan kepalanya, "aku baik-baik saja. Seperti yang kamu lihat tidak ada apa-apa di rumah ini. Soal darah dan hal yang lainnya kita pikirkan saja nanti. Yang paling penting saat ini tidak ada orang lain selain aku Soraya dan Mbok Inah. Kamu tidak perlu khawatir. Jika ada apa-apa aku pasti akan langsung menelpon."
"Ya sudah kalau begitu. Sepertinya aku juga harus meningkatkan keamanan di rumah ini. Besok aku akan meminta beberapa anak buahku untuk menjaga rumah kita sekaligus juga mengantarkan kamu dan Soraya kemanapun kalian pergi," kata Daru.
Kalina hanya tersenyum dan menganggukan kepala. Ia tahu jika Daru memang sangat menyayanginya dan juga anak mereka. Lelaki itu tidak pernah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga meskipun dia sedang sibuk menyelesaikan kasus-kasus yang tengah dihadapinya.
Apalagi saat ini Kalina tahu jika Darus sedang menghadapi kasus pembunuhan yang cukup rumit.
Akhirnya Daru pun menguatkan hati dan kembali ke kamar tidur mereka untuk berganti pakaian. Sementara Kalina sendiri tidak tinggal diam. Dia ikut menyiapkan pakaian sang suami.
"Soraya sudah tidur lagi?" Tanya Daru saat melihat sang istri membantunya berpakaian.
Kalina menganggukkan kepala, "Tadi, Mbok Inah sudah menggantikan baju dan juga membersihkan tempat tidur Soraya yang basah. Tumben ya ... Sudah lama anak kita tidak pernah mengompol di tempat tidur. Tapi, kenapa tiba-tiba dia mengompol lagi," ujarnya.
Daru mencium kening sang istri dan tersenyum sambil menjawab, "Mungkin, tadi dia terlalu banyak minum air es sebelum tidur. Anak itu kan suka sekali makan es krim."
Kalina mengerutkan dahinya lalu berkata, "Seharian ini, Soraya tidak ada makan es krim, Mas."
"Ya sudahlah tidak usah terlalu dipikirkan. Namanya juga anak-anak. Ngompol sesekali itu biasa. Ya sudah, aku berangkat dulu. Yudistira sudah menungguku di rumah sakit."
"Baik. Jangan terlalu khawatir dengan kami. Aku akan menjaga Soraya. "
"Kunci pintu dan ingatkan Mbok Nah untuk selalu mengunci pintu gerbang. Kalau ada tamu yang tidak dikenal jangan dipersilahkan masuk apapun alasannya. Kalau tamu itu ngotot mau masuk, cepat telepon aku."
"Iya Mas, iya. Ya sudah, sana berangkat. Kasian anak buahku nanti terlalu lama menunggu," kata Kalina sambil menyonginkan senyum kepada sang suami.
Daru menganggukkan kepala kemudian ia pun langsung melangkah keluar kamar. Sementara Kak Lina mengikuti sang suami sampai mobil yang dikendarai Daru menghilang dari tikungan rumah mereka.
Wanita itu pun kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu sesuai dengan pesan yang diberikan oleh sang suami. Dan saat ia berbalik, wanita itu hampir saja menjerit karena melihat Mbok Inah berdiri di belakangnya dengan rambut terurai.
"Aduh Mbok, bikin kaget aja. Untung saya ga punya penyakit jantung!" protes Kalina.
Mbok Inah hanya cengengesan lalu berkata, "Aneh ya Bu. Kok tiba-tiba di dapur dan di kamar mandi belakang itu banyak darah. Anehnya lagi, non Soraya ngompol tapi ...."
"Tapi?"
"Anu, Bu ... ngompol itu kan biasanya bau pesing. Ini tidak sama sekali. Lalu ... Ibu liat sendiri, deh."
Mbok Inah pun secara spontan menarik tangan majikannya itu. Sementara Kak Lina hanya mengerutkan dahi sambil mengikuti langkah asisten rumah tangganya itu.
Dan betapa terkejutnya Kalina saat melihat ada sedikit noda darah di sprei milik sang anak.
"Darah?"
"Iya Bu. Non Soraya itu kan masih kecil. Tidak mungkin kan kalau mengalami menstruasi. Tapi ini ada darah dan saya yakin sekali bukan darah nyamuk. Apa Ibu tidak merasa aneh?" tanya Mbok Inah.
Kalina menghela napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Tanpa sengaja ia melihat boneka Bella yang diletakkan oleh Mbok indah di atas mesin cuci. Perlahan dipegangnya boneka itu, terasa basah di tangannya.
"Non Soraya minta supaya bonekanya dicuci Dan dikeringkan Bu. Tapi coba Ibu lihat ini,"ujar Mbok Inah saat melihat majikannya sedang memegang boneka Bella.
Mbok Inah menunjukkan sesuatu yang ada pada tangan boneka berbentuk bayi cantik itu kepada Kalina. Dan saat melihatnya, Kalina membelalakkan matanya.
"Kok, ada darah di tangan boneka ini, ya?"
"Naah itu dia, Bu. Aneh sekali kan?"
Kalina hanya menghela napas panjang. Tiba-tiba saja wanita itu teringat sesuatu dan segera berjalan menuju ke ruangan kerja sang suami diikuti oleh Mbok Inah yang merasa penasaran.
"Ibu mau ngapain ke ruang kerja bapak?" Tanya Mbok Inah.
"Saya baru ingat kalau rumah ini kan ada CCTV. Saya hanya mau lihat CCTV rumah ini. Tidak mungkin kan tiba-tiba saja ada darah di kamar mandi dan dapur," kata Kalina.
Wanita itu pun segera membuka laptop yang ada di ruangan itu dan memeriksa rekaman CCTV. Tapi, wanita itu harus dihadapkan kembali pada rasa kecewa.
Mbok Inah yang melihat wajah majikannya itu sedih langsung memegang tangan Kalina.
"Kenapa, Bu?"
Kalina menggelengkan kepalanya, "CCTV tidak memperlihatkan apa-apa. Bahkan saya tidak melihat ada gerakan orang yang berjalan ke kamar mandi dan dapur Kita. Aneh sekali kan, Mbok? Kalau memang ada orang yang menyusup masuk pasti pintu rumah kita sudah rusak. Atau minimal jendela rumah kita ada yang pecah. Tapi ini tidak sama sekali. Dan CCTV pun tidak menunjukkan adanya kegiatan sejak jam sepuluh sampai dua belas malam tadi. Saya jadi bingung."
"Apa cctv-nya tidak rusak,Bu?" tanya Mbok Inah.
"Mbok lihat ke sini. Kalau cctv-nya rusak sekarang kita tidak bisa melihat Soraya dan juga diri kita sendiri. Di ruangan ini juga sudah dilengkapi oleh CCTV. Lihat ini kita sedang duduk terlihat di sini. Soraya tidur pun ada di CCTV. Lihat ini di rumah cuci. Ada kan boneka Bella. Kalau cctv-nya rusak tidak mungkin bisa merekam semua ini, Mbok. Lagipula, Mas Daru itu orangnya sangat teliti. Dia pasti mengecek CCTV setiap satu bulan sekali. Kalo rusak, pasti dia tau," kata Kalina panjang lebar.
BAB 17. ANCAMAN DARI ATASHujan tak kunjung reda sejak siang. Di luar jendela, kilatan petir menyambar langit malam, menyibak awan hitam seperti luka lama yang dipaksa terbuka. Suara rintik hujan beradu dengan genting markas kepolisian, menciptakan irama yang tak nyaman seperti detak jantung yang dipercepat rasa curiga.Daru berdiri di depan pintu kayu bertuliskan “KAPOLDA”. Jemarinya mengepal, menggenggam erat sisa-sisa kepercayaan dirinya yang terkikis. Panggilan mendadak dari IRJEN Gunawan datang tanpa aba-aba, hanya sepucuk memo rahasia dengan cap merah. PRIORITAS TINGGI.Ia mengetuk dua kali. Suara berat dari dalam menjawab, "Masuk."Ruangan itu gelap, hanya diterangi satu lampu meja yang nyalanya diredupkan. Aroma tembakau mengendap di udara, bercampur bau kayu tua dan kertas basah. IRJEN Gunawan duduk di balik meja, tubuhnya tegap seperti patung batu. Matanya tajam mengawasi Daru, tak menyembunyikan kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar tegur sapa antar atasan dan bawahan.“D
BAB 16. SORAYA DAN BELLAPagi itu langit mendung, seperti menggantungkan awan kelabu tepat di atas atap rumah mereka. Udara terasa lembap dan dingin, menyusup ke tulang-tulang, membuat suasana semakin muram.Kalina berdiri di depan kamar Soraya dengan segelas susu hangat di tangan. Ia baru saja selesai merapikan dapur ketika suara pelan seperti gumaman menyelinap keluar dari balik pintu yang sedikit terbuka.“.... Aké selowé .... anem-laa .... kuré .... kuré ....”Kalina menegang. Suara itu terdengar lirih, seperti nyanyian atau bisikan. Tapi bukan suara lagu anak-anak, bukan pula bahasa yang pernah ia ajarkan pada Soraya. Langkahnya pelan saat ia mendekat, menempelkan telinga ke daun pintu.“Bella, bilangin Om Kurir jangan marah ya, nanti Soraya takut.”Kalina menggenggam gelas lebih erat. Tangannya gemetar. Ia mendorong pintu dengan perlahan. Engsel tua itu mengeluarkan bunyi berderit samar.Soraya duduk di lantai dengan posisi bersila, menghadap boneka Bella yang ia letakkan di ata
BAB 15. GANGGUAN TENGAH MALAMSuara tawa itu datang tiba-tiba, memecah keheningan rumah yang nyaris beku oleh dingin malam.Mbok Inah terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdebar keras. Sekilas ia pikir hanya suara dari mimpi buruk yang terbawa ke alam nyata. Tapi tidak. Itu nyata. Terdengar jelas. Lirih dan mengerikan.Tawa anak kecil.Bukan tawa riang seperti biasanya, tapi tawa pelan yang mengandung nada sumbang seperti sedang mengejek, atau menyimpan kebencian. Ia duduk tegak di atas dipan kecilnya di dapur belakang, matanya menatap ke arah lorong gelap yang mengarah ke kamar Soraya.Perasaan tidak enak langsung merayapi sekujur tubuhnya. Mbok Inah mengambil senter kecil dari bawah bantal. Langkahnya pelan, tapi gemetar. Ia meniti ubin satu demi satu, suara detak jantungnya seakan lebih keras daripada langkah kakinya.Saat tiba di depan kamar Soraya, suara itu menghilang. Yang tersisa hanya desau angin dari jendela yang sedikit terbuka.Mbok Inah mendorong pintu dengan pelan.Sor
Hujan deras menyelimuti Jakarta malam itu, menyapu jalanan yang lengang dengan suara berirama. Di sebuah rumah susun kumuh di daerah Tanjung Priok, lampu koridor berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di sepanjang dinding berlumut.Seorang pria paruh baya tergeletak di lantai ruang tamunya sendiri. Mulutnya terbuka lebar seolah hendak berteriak, tapi tak pernah berhasil. Lehernya teriris bersih, darah mengering di lantai. Tubuhnya masih dalam posisi sujud. Di meja kecil dekat jenazah, hanya ada secarik potongan benang berwarna pink.Daru berdiri di tengah ruangan dengan tubuh kaku dan wajah muram. Yudistira berdiri di sampingnya, sama pucatnya."Tatang Salim. Mantan sopir pengantar logistik. Saksi kunci kasus narkoba lima tahun lalu," kata Yudistira perlahan.Daru mengangguk tanpa suara. Tubuhnya tegang. Tatang adalah satu dari sedikit orang yang tahu tentang rantai pasokan narkoba dari gudang fiktif di Marunda. Ia yang dulu sempat membocorkan jalur pengiriman r
Daru memandangi papan tulis putih yang penuh dengan catatan merah dan foto-foto korban. Di ruang penyelidikan khusus yang kini hanya diisi oleh dua orang penyidik tua dan tumpukan berkas, ia merasa kembali ke masa lalu. Pekerjaan yang dulu ia jalani dengan keyakinan mutlak kini menjadi labirin tak berujung dan boneka itu, Bella, berada di tengah-tengahnya.“Apa kau yakin pembunuhan-pembunuhan ini berkaitan dengan kasus lama?” tanya Kompol Hendra, salah satu senior yang dulu pernah membimbing Daru.Daru mengangguk pelan. “Polanya mirip, Pak. Luka-luka aneh, tidak ada saksi, dan ... bau terbakar samar di TKP. Sama seperti di penggerebekan narkoba lima tahun lalu.”Kompol Hendra menyandarkan tubuhnya. Napasnya berat. “Kasus itu ... terlalu banyak yang ditutupi. Termasuk soal salah satu kurir yang kabur malam itu.”“Kurir yang kecelakaan?” potong Daru cepat.“Iya. Namanya Bayu Darmawan. Masih muda. Saat tertangkap kamera CCTV terakhir, dia memegang sesuatu ... seperti boneka.”Daru bergid
Bab 12. Pengantar TerakhirFlashbackGerimis membasahi aspal yang sudah mengilap sejak siang. Angin sore menggiring aroma tanah basah bercampur asap knalpot dari jalan raya utama. Di antara puluhan kendaraan yang lalu-lalang, sebuah motor bebek tua melaju pelan, sesekali goyah diterpa angin.Di atasnya, seorang pemuda kurir berjaket lusuh dengan logo jasa pengiriman "Satria Express" menatap jalan di depannya dengan mata sayu.Namanya Bayu, dua puluh lima tahun. Tubuhnya kurus, wajah tirus, dan kulit legam khas anak jalanan yang terbiasa diterpa matahari. Ia baru dua bulan bekerja sebagai kurir lepas. Gaji kecil, kerja berat, tapi cukup untuk menyambung hidup bersama istrinya, Ratih, dan anak perempuannya yang baru menginjak usia lima tahun. Hari ini, ulang tahun si kecil.Di dalam tas pengiriman berwarna biru yang tergantung di belakang motornya, terdapat satu paket khusus tanpa label pengirim, hanya alamat tujuan dan tulisan besar merah VIP - URGENT. Bayu sempat bertanya kepada petug
Pagi itu, langit Jakarta diselimuti awan kelabu, seakan mencerminkan perasaan berat yang bergelayut di hati Kalina. Ia duduk di teras rumah, memandangi halaman kecil yang basah oleh hujan semalam. Boneka Bella lama yang kini disimpan di lemari terkunci terus menghantui pikirannya.Tak jauh dari pagar, Bu Saroh, tetangga tua mereka, sedang menyapu halaman dengan gerakan pelan. Kalina, yang biasanya hanya bertegur sapa seadanya, kali ini merasa terdorong untuk mendekat."Bu Saroh," sapa Kalina sambil tersenyum sopan.Wanita tua itu menoleh, senyumnya ramah. "Eh, Bu Kalina. Ada apa, nak?"Kalina ragu sejenak sebelum mengeluarkan ponsel dari saku, memperlihatkan foto boneka Bella."Bu, ibu pernah lihat boneka kayak gini?"Begitu matanya menangkap gambar itu, wajah Bu Saroh berubah. Senyumnya memudar, dan sapunya terhenti di tengah udara."Astaghfirullah," bisiknya, suaranya gemetar. "Buang aja, Bu. Jangan dipelihara boneka kayak begitu."Kalina menelan ludah. "Ibu tahu sesuatu?"Bu Saroh
Ketukan itu masih terngiang di telinga Daru saat ia memandangi boneka yang kini tergeletak di meja kerjanya. Boneka bergaun pink lusuh itu menatap kosong ke arah langit-langit, seolah mengabaikan dunia di sekitarnya.Di luar, angin malam menggerakkan tirai jendela dengan suara berdesir pelan. Rumah itu, yang biasanya terasa hangat, kini seperti menjadi sarang bisikan yang tak kasatmata.Kalina mengetuk pelan pintu kamar kerja. "Mas ... kamu baik-baik saja?"Daru menoleh. "Aku baik," jawabnya pendek. Ia tak ingin Kalina tahu betapa rapuhnya dirinya saat ini.Kalina masuk, membawa secangkir teh hangat. Ia menatap boneka itu dengan sorot takut. "Itu boneka yang kamu bawa dari kantor, kan?"Daru mengangguk. Ia menarik napas panjang, menimbang-nimbang, lalu berkata, "Aku ingin cari tahu dari mana asalnya."Kalina tampak berpikir sejenak. "Besok, aku bisa tanya ke beberapa toko mainan di sekitar sini. Mungkin ada yang pernah lihat."Daru tersenyum tipis. "Hati-hati. Jangan bilang apa-apa so
Mobil hitam yang mereka naiki melaju perlahan membelah jalanan basah Jakarta. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak air di sepanjang trotoar. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya keemasan yang buram di atas aspal.Daru menatap kosong ke luar jendela, pikirannya melayang pada boneka yang kini tergeletak diam di dalam kantong bukti. Semakin ia menatapnya tadi, semakin ia merasa boneka itu ... mengamati mereka."Komandan, kamu yakin ini bukan cuma perasaan kita?" suara Yudistira memecah keheningan. Ia memandang Daru dari kursi kemudi dengan sorot mata khawatir.Daru menghela napas panjang, matanya masih tak lepas dari jendela. "Aku berharap begitu. Tapi ada sesuatu yang salah, Yudis. Sangat salah.""Boneka itu ...." Yudistira menggantungkan kalimatnya. "Aku pernah dengar cerita. Dulu, waktu kecil, nenekku suka bercerita tentang benda-benda yang bisa jadi perantara. Medium."Daru menoleh, tertarik. "Perantara apa?""Perantara roh. Atau lebih buruk lagi, dendam," kata Yudistira lirih.S