Pada malam harinya, Daru baru saja selesai menidurkan anak perempuannya dan akan bersiap tidur. Tiba-tiba suara seperti gelas pecah dan sesuatu yang terjatuh terdengar dari dapur. Ia pun bergegas melangkah ke dapur untuk memeriksa.
Ketika tiba di dapur, ia melihat alat-alat masak jatuh dan beberapa barang berserakan di lantai. Tampak Mbok Inah datang dengan tergopoh-gopoh.
“Loh, ini kok berantakan, Pak?”
“Saya juga ga tau Mbok. Ga mungkin kan kalo ada tikus.”
Mbok Inah menggelengkan kepalanya, “Rasanya nggak mungkin, Pak. Bukankah minggu lalu Bapak sudah memeriksa semua lubang kecil yang ada di rumah ini supaya tikus dan serangga tidak bisa masuk."
Daru menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Apa yang dikatakan oleh Mbok Inah ada benarnya juga. Setiap 3 bulan sekali ia selalu memeriksa lubang-lubang kecil yang ada di rumahnya supaya tikus atau serangga-serangga tidak bisa masuk ke dalam rumah.
"Apa mungkin pencuri, Mbok?"
"Kalau itu saya nggak tahu, Pak. Loh, kok pisau yang besar ga ada ya Pak?"
Daru mengerutkan dahi, "pisau apa Mbok?"
"Itu Pak pisau yang biasa Mbok pake untuk memotong daging. Pisaunya kan ada satu set. Yang lain ada semua. Hanya pisau yang biasa Mbok pakai untuk memotong daging yang hilang."
Daru mengerutkan dahinya, rasanya tidak mungkin jika benda itu sebesar itu bisa hilang begitu saja.
"Ya sudahlah Mbok semuanya sudah rapi kan? Mbok masuk saja ke kamar biar saya yang berjaga."
Mbok Inah menuruti perkataan majikannya itu. Wanita separuh baya itu pun kemudian kembali ke kamarnya yang ada di belakang. Sementara Daru sendiri masuk ke dalam kamar kemudian mengambil pistolnya.
Lelaki itu mulai memeriksa ke setiap sudut rumah sambil memegang pistol miliknya. Tetapi tidak ada siapapun di dalam rumah itu selain keluarganya.
Lelaki itu kemudian masuk ke dalam kamar Soraya. Ternyata anak perempuannya itu tertidur dengan lelap. Tetapi dahi Daru kembali berkerut saat menyadari jika boneka Bella tidak ada di pelukan sang anak. Ia pun mulai mencari di kolong tempat tidur dan sekitar lantai. Mungkin saja boneka itu terjatuh. Akan tetapi boneka Bella tidak ia temukan di sudut kamar sang anak..
"Apa mungkin ada yang mencuri boneka Soraya? Tapi untuk apa mencuri boneka?" Pikir Daru.
Kalina yang menyadari jika sang suami tidak kembali ke kamar pun mulai menyusul. Ia melihat Daru baru saja keluar dari kamar Soraya sambil memegang pistolnya.
"Ada apa sih? Aku tadi mendengar di dapur ada suara berisik. Lalu kamu tiba-tiba membawa pistolmu keluar. Apa ada yang mencurigakan, Mas?" Tanya Kalina.
"Tadi aku mendengar ada suara jatuh. Ternyata di dapur sudah berantakan. Dan anehnya lagi pisau daging menghilang. Dan tadi ketika aku kamarnya Soraya boneka Bella milik Soraya juga tidak ada."
"Aneh sekali kalau boneka itu tidak ada Mas. Nggak mungkin kan boneka Bella itu bisa jalan sendiri? Aku rasa Soraya yang sudah lupa meletakkan bonekanya. Kamu kan tahu sendiri anak itu sering ceroboh menyimpan mainannya di sembarang tepat. Besok juga pasti ketemu."
Daru hanya tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya. Dia pun menggandeng tangan Kalina supaya sang istri masuk kembali ke kamar mereka.
Tak lama kemudian Kalina pun terlelap. Sementara Daru sendiri tidak bisa tidur dan merasa sangat gelisah. Dia melirik jam di dinding ternyata sudah pukul 12.00 malam. Nalurinya sebagai seorang polisi seolah memerintahkan untuk berjaga-jaga.
Hingga pada akhirnya Daru pun memejamkan mata sambil duduk bersandar di tempat tidurnya. Lelaki itu mulai terlelap, tetapi tiba-tiba saja bayangan jenazah Anwar yang mengerikan itu muncul kembali. Dan tiba-tiba saja terdengar suara yang membuatnya kembali terbangun.
Dengan cepat Daru pun bangkit dan keluar dari kamar. Masih menggenggam pistolnya Ia pun berjalan mengendap-ngendap memeriksa ke setiap sudut rumah. Tetapi tidak ada apapun.
Pandangan matanya terarah ke dapur dan kamar mandi yang ada di belakang. Daru mengerutkan dahi karena lampu dapur dan kamar mandi menyala. Padahal dia ingat betul jika tadi sebelum ia masuk kamar lampu itu sudah dimatikan.
Dengan cepat Daru melangkah menuju ke dapur. Ia terkejut saat melihat pisau dapur yang sebelumnya dikatakan oleh Mbok Inah hilang setelah kembali dan berada di meja.
Perlahan tetapi tetap waspada Daru pun melangkah menuju ke kamar mandi yang ada di belakang. Dan laki itu spontan berteriak ketika melihat ada banyak sekali darah di sekitar kamar mandi.
Teriakandaru tentu saja membangunkan semua orang yang ada di rumah itu. Mbok indah dan Kalina tergopoh-gopoh menghampirinya ke belakang.
"Ada apa, Mas? Kamu berteriak kenapa? Apa ada pencuri?" Tanya Kalina.
"Lah ini darah apa Pak? Bapak berdarah?"
Mbok Inah tidak mau kalah bertanya kepada Daru saat melihat ada banyak sekali darah di dekat kamar mandi belakang
Tetapi Daru tetap diam dan tidak menjawab pertanyaan dari istri dan pembantunya.
"Mama ... Aku ngompol!"
Perhatian ketiga orang dewasa itu pun teralihkan ketika mendengar suara teriakan yang berasal dari kamar Soraya.
Gadis kecil itu tampak keluar dari kamarnya sambil memegang boneka Bella.
Daru pun langsung menghampiri sang anak.
"Ada apa sayang? Kok kamu bangun? Kamu dengar teriakan papa ya?"
Soraya menggelengkan kepala kemudian berkata, "aku ngompol jadi bonekaku basah."
Daru mengerutkan dahi dan ia terkejut saat melihat boneka Bella sudah kembali di pelukan sang anak.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya telepon genggamnya berdering dengan nyaring. Ternyata Yudistira yang menelpon.
Khawatir ada sesuatu yang penting Daru pun langsung mengangkat telepon itu.
"Siap Komandan!"
"Daru, IPTU Restu ditemukan meninggal dunia. Kondisinya hampir sama dengan Anwar."
BAB 17. ANCAMAN DARI ATASHujan tak kunjung reda sejak siang. Di luar jendela, kilatan petir menyambar langit malam, menyibak awan hitam seperti luka lama yang dipaksa terbuka. Suara rintik hujan beradu dengan genting markas kepolisian, menciptakan irama yang tak nyaman seperti detak jantung yang dipercepat rasa curiga.Daru berdiri di depan pintu kayu bertuliskan “KAPOLDA”. Jemarinya mengepal, menggenggam erat sisa-sisa kepercayaan dirinya yang terkikis. Panggilan mendadak dari IRJEN Gunawan datang tanpa aba-aba, hanya sepucuk memo rahasia dengan cap merah. PRIORITAS TINGGI.Ia mengetuk dua kali. Suara berat dari dalam menjawab, "Masuk."Ruangan itu gelap, hanya diterangi satu lampu meja yang nyalanya diredupkan. Aroma tembakau mengendap di udara, bercampur bau kayu tua dan kertas basah. IRJEN Gunawan duduk di balik meja, tubuhnya tegap seperti patung batu. Matanya tajam mengawasi Daru, tak menyembunyikan kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar tegur sapa antar atasan dan bawahan.“D
BAB 16. SORAYA DAN BELLAPagi itu langit mendung, seperti menggantungkan awan kelabu tepat di atas atap rumah mereka. Udara terasa lembap dan dingin, menyusup ke tulang-tulang, membuat suasana semakin muram.Kalina berdiri di depan kamar Soraya dengan segelas susu hangat di tangan. Ia baru saja selesai merapikan dapur ketika suara pelan seperti gumaman menyelinap keluar dari balik pintu yang sedikit terbuka.“.... Aké selowé .... anem-laa .... kuré .... kuré ....”Kalina menegang. Suara itu terdengar lirih, seperti nyanyian atau bisikan. Tapi bukan suara lagu anak-anak, bukan pula bahasa yang pernah ia ajarkan pada Soraya. Langkahnya pelan saat ia mendekat, menempelkan telinga ke daun pintu.“Bella, bilangin Om Kurir jangan marah ya, nanti Soraya takut.”Kalina menggenggam gelas lebih erat. Tangannya gemetar. Ia mendorong pintu dengan perlahan. Engsel tua itu mengeluarkan bunyi berderit samar.Soraya duduk di lantai dengan posisi bersila, menghadap boneka Bella yang ia letakkan di ata
BAB 15. GANGGUAN TENGAH MALAMSuara tawa itu datang tiba-tiba, memecah keheningan rumah yang nyaris beku oleh dingin malam.Mbok Inah terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdebar keras. Sekilas ia pikir hanya suara dari mimpi buruk yang terbawa ke alam nyata. Tapi tidak. Itu nyata. Terdengar jelas. Lirih dan mengerikan.Tawa anak kecil.Bukan tawa riang seperti biasanya, tapi tawa pelan yang mengandung nada sumbang seperti sedang mengejek, atau menyimpan kebencian. Ia duduk tegak di atas dipan kecilnya di dapur belakang, matanya menatap ke arah lorong gelap yang mengarah ke kamar Soraya.Perasaan tidak enak langsung merayapi sekujur tubuhnya. Mbok Inah mengambil senter kecil dari bawah bantal. Langkahnya pelan, tapi gemetar. Ia meniti ubin satu demi satu, suara detak jantungnya seakan lebih keras daripada langkah kakinya.Saat tiba di depan kamar Soraya, suara itu menghilang. Yang tersisa hanya desau angin dari jendela yang sedikit terbuka.Mbok Inah mendorong pintu dengan pelan.Sor
Hujan deras menyelimuti Jakarta malam itu, menyapu jalanan yang lengang dengan suara berirama. Di sebuah rumah susun kumuh di daerah Tanjung Priok, lampu koridor berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di sepanjang dinding berlumut.Seorang pria paruh baya tergeletak di lantai ruang tamunya sendiri. Mulutnya terbuka lebar seolah hendak berteriak, tapi tak pernah berhasil. Lehernya teriris bersih, darah mengering di lantai. Tubuhnya masih dalam posisi sujud. Di meja kecil dekat jenazah, hanya ada secarik potongan benang berwarna pink.Daru berdiri di tengah ruangan dengan tubuh kaku dan wajah muram. Yudistira berdiri di sampingnya, sama pucatnya."Tatang Salim. Mantan sopir pengantar logistik. Saksi kunci kasus narkoba lima tahun lalu," kata Yudistira perlahan.Daru mengangguk tanpa suara. Tubuhnya tegang. Tatang adalah satu dari sedikit orang yang tahu tentang rantai pasokan narkoba dari gudang fiktif di Marunda. Ia yang dulu sempat membocorkan jalur pengiriman r
Daru memandangi papan tulis putih yang penuh dengan catatan merah dan foto-foto korban. Di ruang penyelidikan khusus yang kini hanya diisi oleh dua orang penyidik tua dan tumpukan berkas, ia merasa kembali ke masa lalu. Pekerjaan yang dulu ia jalani dengan keyakinan mutlak kini menjadi labirin tak berujung dan boneka itu, Bella, berada di tengah-tengahnya.“Apa kau yakin pembunuhan-pembunuhan ini berkaitan dengan kasus lama?” tanya Kompol Hendra, salah satu senior yang dulu pernah membimbing Daru.Daru mengangguk pelan. “Polanya mirip, Pak. Luka-luka aneh, tidak ada saksi, dan ... bau terbakar samar di TKP. Sama seperti di penggerebekan narkoba lima tahun lalu.”Kompol Hendra menyandarkan tubuhnya. Napasnya berat. “Kasus itu ... terlalu banyak yang ditutupi. Termasuk soal salah satu kurir yang kabur malam itu.”“Kurir yang kecelakaan?” potong Daru cepat.“Iya. Namanya Bayu Darmawan. Masih muda. Saat tertangkap kamera CCTV terakhir, dia memegang sesuatu ... seperti boneka.”Daru bergid
Bab 12. Pengantar TerakhirFlashbackGerimis membasahi aspal yang sudah mengilap sejak siang. Angin sore menggiring aroma tanah basah bercampur asap knalpot dari jalan raya utama. Di antara puluhan kendaraan yang lalu-lalang, sebuah motor bebek tua melaju pelan, sesekali goyah diterpa angin.Di atasnya, seorang pemuda kurir berjaket lusuh dengan logo jasa pengiriman "Satria Express" menatap jalan di depannya dengan mata sayu.Namanya Bayu, dua puluh lima tahun. Tubuhnya kurus, wajah tirus, dan kulit legam khas anak jalanan yang terbiasa diterpa matahari. Ia baru dua bulan bekerja sebagai kurir lepas. Gaji kecil, kerja berat, tapi cukup untuk menyambung hidup bersama istrinya, Ratih, dan anak perempuannya yang baru menginjak usia lima tahun. Hari ini, ulang tahun si kecil.Di dalam tas pengiriman berwarna biru yang tergantung di belakang motornya, terdapat satu paket khusus tanpa label pengirim, hanya alamat tujuan dan tulisan besar merah VIP - URGENT. Bayu sempat bertanya kepada petug