Share

Chapter 4

"Aku sangat cemas! Kamu sudah seminggu lebih tidak masuk kampus dan susah dihubungi. Lalu, kenapa kamu tidak membalas pesanku?" gerutu Susan sahabat baiknya di kampus.

Puas memeluk meluapkan rindu pada sahabatnya, Susan langsung masuk ke dalam rumah Eliza tanpa menunggu dipersilahkan.

Susan langsung pergi ke meja makan untuk mencari makanan disana. Setelah pulang dari kampus perut Susan menjadi sangat berisik. Untuk itu ia memutuskan untuk mampir ke rumah Eliza melepas rindu sekaligus menumpang makan siang.

"Kamu tidak masak?" tanya Susan setelah membuka tudung saji diatas meja.

"A-aku,"

"Astaga, dikulkasmu juga tidak ada apapun. Hanya ada air putih dan, sisa susu hanya sedikit?" ujar Susan sambil menunjukkan kotak susu yang diambil dari dalam kulkas.

"Dan ini, roti yang sudah expired kenapa tidak kamu buang?" tambahnya setelah memeriksa isi kulkas Eliza lagi.

Susan masih tidak bisa berkata-kata, mengapa bisa kulkas sampai tidak ada makanan sedangkan saat ini dia sangat lapar sekali.

"Aku tidak punya yang kamu butuhkan. Pulanglah jika kamu ingin makan."

Eliza melangkah dengan malas dan melemparkan kembali tubuhnya ke kasur.

Baru Eliza merebahkan badannya, terdengar suara perutnya sangat ramai dan riuh.

Susan menautkan kedua alisnya, "Kamu belum makan?"

Eliza buru-buru bangkit dari tidurnya, lalu melingkarkan kedua tangan di perutnya yang kelaparan.

Susan segera menghampiri Eliza, memintanya untuk berkata jujur dengan apa yang terjadi padanya. Ya, benar. Tujuan Susan datang sebenarnya karena dirinya merasa curiga jika mungkin saja sahabatnya memiliki masalah yang disembunyikan. Terlebih, Susan belum mengetahui alasan Eliza tidak mengikuti aktivitas kuliah dalam waktu yang lama.

"Jujurlah padaku, El. Kita adalah sahabat baik. Mengapa kamu menyimpan kesedihanmu sendirian?"

Eliza mendongak menatap Susan. Mulutnya terasa sangat berat sekali untuk membuka suara dan bercerita mengenai masalah yang sedang menimpa dirinya. Namun nyatanya, Eliza tidak memiliki pilihan lain sekarang.

"Sebenarnya aku sedang punya masalah."

"Apa itu?"

"Akhir-akhir ini aku sedang mencari pekerjaan untuk membayar uang kuliah dan uang sewa rumah ini. Namun, aku belum mendapatkan hasil."

"Kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?" Jelas sekali raut wajah Susan spontan berubah menjadi iba padanya. Hal itulah yang tidak disukai oleh Eliza. Dia tidak ingin dikasihani oleh orang lain. Karena itu sangat menyakiti harga dirinya. Dan juga dapat merepotkan orang lain. "Aku tidak ingin membebanimu. Dan jangan melihatku dengan rasa kasihan seperti itu."

Sontak wajah Susan kembali dalam mode setelan awal. "Hei, kita adalah sahabat," ujar Susan sembari turut duduk di bibir ranjang.

"Jika besok aku tidak bisa membayar uang sewa rumah ini. Aku terpaksa harus meninggalkan rumah ini," ujar Eliza sambil memindai seluruh sudut ruang rumahnya.

"Apa?" Susan sontak berdiri sambil berkacak pinggang. "Kamu benar-benar keterlaluan. Kenapa masalah seserius ini kamu tidak cerita padaku?"

"Aku sudah bilang, aku tidak ingin merepotkan siapapun."

Susan menghela napas kasar. "Baiklah, ayo ikut aku." Susan menarik lengan Eliza untuk mengajaknya berbelanja kebutuhan bulanan dan kebutuhan pokok Eliza lainnya.

"Tunggu," pinta El, membuat Susan menghentikan langkahnya sekejap.

"Ada apa lagi?" tanya Susan merasa kesal.

"Aku ambil tasku dulu," ucap Eliza, lalu melepaskan pegangan tangan mereka.

Eliza mengambil tasnya yang tergantung di dinding lalu kembali menghampiri Susan.

Susan datang dengan membawa mobilnya sendiri. Ia berniat mengajak Eliza untuk berbelanja di supermarket di dekat rumah Eliza tinggal.

"Susan, kamu tidak perlu melakukan ini. Aku merasa tidak nyaman."

"Aku akan marah jika kamu menolaknya," ucap Susan sambil berfokus mengemudikan mobilnya.

Eliza akhirnya diam dan hanya menurut pada Susan. El tahu bahwa Susan adalah sahabat yang tidak akan membiarkannya kesusahan. Selama ini dia selalu menawarkan bantuan, akan tetapi Eliza yang selalu bersikeras menolaknya.

Mereka telah sampai di halaman parkir supermarket setelah perjalanan sepuluh menit dari rumah El. "Ayo, turunlah."

Eliza turun dengan malas. Susan mengambil sebuah troli yang tersedia di lobby supermarket agar memudahkan mereka berbelanja.

Susan mengambil beberapa bahan makanan yang dibutuhkan tanpa bertanya dulu pada El. Jika ia bertanya, pasti El akan menolak dan menolak.

"Susan, kau membeli selai dan roti terlalu banyak."

"Diamlah. Aku berhak membeli apapun dengan uangku."

Eliza terdiam seketika saat Susan menceramahinya. Dia menghela napasnya merasa pasrah.

Disisi lain, Eliza merasa bersyukur dan terbantu atas kebaikan Susan. Setidaknya dia akan dapat bertahan hidup beberapa hari kedepan untuk melanjutkan usahanya mencari kerja.

Hari ini dia terlalu lemas untuk pergi karena dari semalam dirinya belum mengisi perutnya dengan makanan.

"Apa kau sudah menerima panggilan wawancara?"

"Aku datang untuk wawancara beberapa hari lalu. Namun sayangnya mereka langsung menolakku."

"Apa alasan mereka menolakmu?"

"Aku tidak tahu. Tapi, sepertinya karena aku belum mendapat ijazah universitas."

Susan merasa iba pada Eliza. Ditatapnya wajah sahabat satu-satunya itu lekat-lekat. Susan tahu mengenai keluarga El yang berantakan, ditambah Eliza harus berjuang hidup seorang diri di kota tanpa bantuan siapapun.

Ayah El terkena stroke dan tidak bisa berjalan. Saat ini ibu tirinya lah yang merawat ayahnya. Namun itu tidak gratis. El harus terus mengirim uang ke rumah untuk membayar ibu tirinya yang mengurus ayahnya.

Jika El tidak mengirimkan uang, maka ayahnya tidak akan diurus dengan baik. Bahkan pernah terjadi, sang ayah tidak diberi makan satu hari karena El telat mengirimkan uang.

Ibu tiri El hanya mencintai suaminya saat ia sehat saja. Saat ini ibu tirinya lebih pantas disebut pengasuh yang terus memeras nya. Wanita itu pun hampir setiap hari membawa pulang pria lain dan bermesraan di rumah. Tidak jarang ayah El melihat kelakuan wanita yang masih menjadi istrinya tersebut. Namun sang ayah hanya bisa diam, menangis dalam hatinya karena dia tidak berdaya.

"Apa kau sedang mengasihaniku?" ujar Eliza yang membuyarkan lamunan Susan.

Susan segera sadar, lalu dia berusaha mengelak. Karena dia tahu, El sangat tidak suka dikasihani. Apalagi oleh sahabatnya sendiri. Jika dikasihani, itu berarti El merasa dianggap tidak mampu melewati apapun yang terjadi padanya.

"Oh tidak. Aku hanya sedang mengagumimu," jawab Susan sambil meneruskan langkah mereka ke kasir.

"Hei, jangan berani-berani jatuh cinta padaku. Aku masih menyukai pria."

"Oh ya? Jika aku sanggup membiayai kamu apa kau akan menolakku untuk menjadi sugar girlfriend-mu?" canda Susan.

Seketika saja, keduanya tertawa.

Tak lama, keduanya memutuskan ke supermarket.

Mereka berbelanja cukup banyak di sana, hingga memutuskan antri di kasir.

Di Depan mereka ada dua orang lagi yang sedang mengantri. Sambil menunggu, Susan bermain ponselnya lalu membuka aplikasi kamera untuk mengambil gambar.

"El, mendekatlah. Aku ingin mengupload foto kita," pinta Susan segera membuat pose cantik.

Eliza yang tidak terlalu suka berfoto hanya berpose datar saja. "El, senyum!" Gerutu Susan yang cemberut lalu kembali berpose imut dengan senyum manisnya.

Eliza berusaha melebarkan senyumnya, menyenangkan hati sahabatnya.

Cekrek cekrek cekrek.

Mereka mengambil beberapa foto dengan poses yang hanya sedikit berbeda. Jika bukan karena sudah tiba antriannya untuk melakukan pembayaran, mungkin Susan masih saja mengambil puluhan gambar untuk memilih angel paling bagus dan pada akhirnya hanya menyisakan 3 atau 5 foto saja di galerinya.

Eliza membantu Susan mengeluarkan semua belanjaannya dari troli untuk di scan oleh mesin kasir.

"Totalnya adalah tiga ratus dollar," ujar seorang kasir yang melayani mereka.

Tanpa menjawab, Susan langsung mengeluarkan kartu debitnya. "Aku membayar debit," ucapnya enteng.

Eliza hanya diam melihat sahabatnya dengan enteng membayar semua belanjaan itu. Jika itu dia, pasti akan sangat sulit menggesekkan kartu debitnya untuk melepas uang tiga ratus dolar.

Eliza membuang napas nya dalam. 'Seandainya aku bisa seperti Susan. Dapat mengeluarkan uang tanpa harus berpikir dua kali.'

Usai melakukan pembayaran, mereka pun membawa barang belanjaan dalam kantong besar yang di dorong dalam troli ke parkiran. Eliza lalu memasukkan tiga kantong belanja yang besar itu ke dalam bagasi mobil.

Usai menutup pintu bagasi, El segera masuk ke dalam mobil. Susan sudah siap menyalakan mesin untuk melajukan mobilnya.

Sesampainya di rumah, mereka sudah disambut dengan wanita pemilik rumah yang tadi. Kali ini dia tidak datang sendiri. Dia datang bersama dua orang pria berbadan gempal, seolah sengaja membawanya untuk menakuti Eliza.

Eliza yang terkejut sontak membeku sekejap. "Wanita itu mengapa sudah datang padahal masih sore?" lirihnya panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status