"Aku sangat cemas! Kamu sudah seminggu lebih tidak masuk kampus dan susah dihubungi. Lalu, kenapa kamu tidak membalas pesanku?" gerutu Susan sahabat baiknya di kampus.
Puas memeluk meluapkan rindu pada sahabatnya, Susan langsung masuk ke dalam rumah Eliza tanpa menunggu dipersilahkan.Susan langsung pergi ke meja makan untuk mencari makanan disana. Setelah pulang dari kampus perut Susan menjadi sangat berisik. Untuk itu ia memutuskan untuk mampir ke rumah Eliza melepas rindu sekaligus menumpang makan siang."Kamu tidak masak?" tanya Susan setelah membuka tudung saji diatas meja."A-aku,""Astaga, dikulkasmu juga tidak ada apapun. Hanya ada air putih dan, sisa susu hanya sedikit?" ujar Susan sambil menunjukkan kotak susu yang diambil dari dalam kulkas."Dan ini, roti yang sudah expired kenapa tidak kamu buang?" tambahnya setelah memeriksa isi kulkas Eliza lagi.Susan masih tidak bisa berkata-kata, mengapa bisa kulkas sampai tidak ada makanan sedangkan saat ini dia sangat lapar sekali."Aku tidak punya yang kamu butuhkan. Pulanglah jika kamu ingin makan."Eliza melangkah dengan malas dan melemparkan kembali tubuhnya ke kasur.Baru Eliza merebahkan badannya, terdengar suara perutnya sangat ramai dan riuh.Susan menautkan kedua alisnya, "Kamu belum makan?"Eliza buru-buru bangkit dari tidurnya, lalu melingkarkan kedua tangan di perutnya yang kelaparan.Susan segera menghampiri Eliza, memintanya untuk berkata jujur dengan apa yang terjadi padanya. Ya, benar. Tujuan Susan datang sebenarnya karena dirinya merasa curiga jika mungkin saja sahabatnya memiliki masalah yang disembunyikan. Terlebih, Susan belum mengetahui alasan Eliza tidak mengikuti aktivitas kuliah dalam waktu yang lama."Jujurlah padaku, El. Kita adalah sahabat baik. Mengapa kamu menyimpan kesedihanmu sendirian?"Eliza mendongak menatap Susan. Mulutnya terasa sangat berat sekali untuk membuka suara dan bercerita mengenai masalah yang sedang menimpa dirinya. Namun nyatanya, Eliza tidak memiliki pilihan lain sekarang."Sebenarnya aku sedang punya masalah.""Apa itu?""Akhir-akhir ini aku sedang mencari pekerjaan untuk membayar uang kuliah dan uang sewa rumah ini. Namun, aku belum mendapatkan hasil.""Kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?" Jelas sekali raut wajah Susan spontan berubah menjadi iba padanya. Hal itulah yang tidak disukai oleh Eliza. Dia tidak ingin dikasihani oleh orang lain. Karena itu sangat menyakiti harga dirinya. Dan juga dapat merepotkan orang lain. "Aku tidak ingin membebanimu. Dan jangan melihatku dengan rasa kasihan seperti itu."Sontak wajah Susan kembali dalam mode setelan awal. "Hei, kita adalah sahabat," ujar Susan sembari turut duduk di bibir ranjang."Jika besok aku tidak bisa membayar uang sewa rumah ini. Aku terpaksa harus meninggalkan rumah ini," ujar Eliza sambil memindai seluruh sudut ruang rumahnya."Apa?" Susan sontak berdiri sambil berkacak pinggang. "Kamu benar-benar keterlaluan. Kenapa masalah seserius ini kamu tidak cerita padaku?""Aku sudah bilang, aku tidak ingin merepotkan siapapun."Susan menghela napas kasar. "Baiklah, ayo ikut aku." Susan menarik lengan Eliza untuk mengajaknya berbelanja kebutuhan bulanan dan kebutuhan pokok Eliza lainnya."Tunggu," pinta El, membuat Susan menghentikan langkahnya sekejap."Ada apa lagi?" tanya Susan merasa kesal."Aku ambil tasku dulu," ucap Eliza, lalu melepaskan pegangan tangan mereka.Eliza mengambil tasnya yang tergantung di dinding lalu kembali menghampiri Susan.Susan datang dengan membawa mobilnya sendiri. Ia berniat mengajak Eliza untuk berbelanja di supermarket di dekat rumah Eliza tinggal."Susan, kamu tidak perlu melakukan ini. Aku merasa tidak nyaman.""Aku akan marah jika kamu menolaknya," ucap Susan sambil berfokus mengemudikan mobilnya.Eliza akhirnya diam dan hanya menurut pada Susan. El tahu bahwa Susan adalah sahabat yang tidak akan membiarkannya kesusahan. Selama ini dia selalu menawarkan bantuan, akan tetapi Eliza yang selalu bersikeras menolaknya.Mereka telah sampai di halaman parkir supermarket setelah perjalanan sepuluh menit dari rumah El. "Ayo, turunlah."Eliza turun dengan malas. Susan mengambil sebuah troli yang tersedia di lobby supermarket agar memudahkan mereka berbelanja.Susan mengambil beberapa bahan makanan yang dibutuhkan tanpa bertanya dulu pada El. Jika ia bertanya, pasti El akan menolak dan menolak."Susan, kau membeli selai dan roti terlalu banyak.""Diamlah. Aku berhak membeli apapun dengan uangku."Eliza terdiam seketika saat Susan menceramahinya. Dia menghela napasnya merasa pasrah.Disisi lain, Eliza merasa bersyukur dan terbantu atas kebaikan Susan. Setidaknya dia akan dapat bertahan hidup beberapa hari kedepan untuk melanjutkan usahanya mencari kerja.Hari ini dia terlalu lemas untuk pergi karena dari semalam dirinya belum mengisi perutnya dengan makanan."Apa kau sudah menerima panggilan wawancara?""Aku datang untuk wawancara beberapa hari lalu. Namun sayangnya mereka langsung menolakku.""Apa alasan mereka menolakmu?""Aku tidak tahu. Tapi, sepertinya karena aku belum mendapat ijazah universitas."Susan merasa iba pada Eliza. Ditatapnya wajah sahabat satu-satunya itu lekat-lekat. Susan tahu mengenai keluarga El yang berantakan, ditambah Eliza harus berjuang hidup seorang diri di kota tanpa bantuan siapapun.Ayah El terkena stroke dan tidak bisa berjalan. Saat ini ibu tirinya lah yang merawat ayahnya. Namun itu tidak gratis. El harus terus mengirim uang ke rumah untuk membayar ibu tirinya yang mengurus ayahnya.Jika El tidak mengirimkan uang, maka ayahnya tidak akan diurus dengan baik. Bahkan pernah terjadi, sang ayah tidak diberi makan satu hari karena El telat mengirimkan uang.Ibu tiri El hanya mencintai suaminya saat ia sehat saja. Saat ini ibu tirinya lebih pantas disebut pengasuh yang terus memeras nya. Wanita itu pun hampir setiap hari membawa pulang pria lain dan bermesraan di rumah. Tidak jarang ayah El melihat kelakuan wanita yang masih menjadi istrinya tersebut. Namun sang ayah hanya bisa diam, menangis dalam hatinya karena dia tidak berdaya."Apa kau sedang mengasihaniku?" ujar Eliza yang membuyarkan lamunan Susan.Susan segera sadar, lalu dia berusaha mengelak. Karena dia tahu, El sangat tidak suka dikasihani. Apalagi oleh sahabatnya sendiri. Jika dikasihani, itu berarti El merasa dianggap tidak mampu melewati apapun yang terjadi padanya."Oh tidak. Aku hanya sedang mengagumimu," jawab Susan sambil meneruskan langkah mereka ke kasir."Hei, jangan berani-berani jatuh cinta padaku. Aku masih menyukai pria.""Oh ya? Jika aku sanggup membiayai kamu apa kau akan menolakku untuk menjadi sugar girlfriend-mu?" canda Susan.Seketika saja, keduanya tertawa.Tak lama, keduanya memutuskan ke supermarket.
Mereka berbelanja cukup banyak di sana, hingga memutuskan antri di kasir.Di Depan mereka ada dua orang lagi yang sedang mengantri. Sambil menunggu, Susan bermain ponselnya lalu membuka aplikasi kamera untuk mengambil gambar.
"El, mendekatlah. Aku ingin mengupload foto kita," pinta Susan segera membuat pose cantik.
Eliza yang tidak terlalu suka berfoto hanya berpose datar saja. "El, senyum!" Gerutu Susan yang cemberut lalu kembali berpose imut dengan senyum manisnya.
Eliza berusaha melebarkan senyumnya, menyenangkan hati sahabatnya.
Cekrek cekrek cekrek.
Mereka mengambil beberapa foto dengan poses yang hanya sedikit berbeda. Jika bukan karena sudah tiba antriannya untuk melakukan pembayaran, mungkin Susan masih saja mengambil puluhan gambar untuk memilih angel paling bagus dan pada akhirnya hanya menyisakan 3 atau 5 foto saja di galerinya.
Eliza membantu Susan mengeluarkan semua belanjaannya dari troli untuk di scan oleh mesin kasir.
"Totalnya adalah tiga ratus dollar," ujar seorang kasir yang melayani mereka.
Tanpa menjawab, Susan langsung mengeluarkan kartu debitnya. "Aku membayar debit," ucapnya enteng.
Eliza hanya diam melihat sahabatnya dengan enteng membayar semua belanjaan itu. Jika itu dia, pasti akan sangat sulit menggesekkan kartu debitnya untuk melepas uang tiga ratus dolar.
Eliza membuang napas nya dalam. 'Seandainya aku bisa seperti Susan. Dapat mengeluarkan uang tanpa harus berpikir dua kali.'
Usai melakukan pembayaran, mereka pun membawa barang belanjaan dalam kantong besar yang di dorong dalam troli ke parkiran. Eliza lalu memasukkan tiga kantong belanja yang besar itu ke dalam bagasi mobil.
Usai menutup pintu bagasi, El segera masuk ke dalam mobil. Susan sudah siap menyalakan mesin untuk melajukan mobilnya.
Sesampainya di rumah, mereka sudah disambut dengan wanita pemilik rumah yang tadi. Kali ini dia tidak datang sendiri. Dia datang bersama dua orang pria berbadan gempal, seolah sengaja membawanya untuk menakuti Eliza.
Eliza yang terkejut sontak membeku sekejap. "Wanita itu mengapa sudah datang padahal masih sore?" lirihnya panik.
Eliza menaiki tangga dan menghampiri wanita pemilik rumah yang sudah melihatnya dengan kedua tangan yang berkacak pinggang."Bu Raya, bukankah Anda memberikanku kesempatan hingga besok?""Aku datang karena melihat kau memiliki orang yang bisa diandalkan," jawab wanita itu sambil memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat Susan yang baru muncul setelah memastikan dirinya telah memarkir mobil dengan benar.Eliza turut menoleh ke belakangnya, dimana Susan baru muncul. "Maaf Bu. Tapi saya tidak dapat mengandalkan siapa-siapa. Dia hanyalah teman saya.""Aku tidak peduli. Tampaknya dia memiliki banyak uang. Hei kau, apa kau teman gadis ini?"Susan sontak mengangkat kedua alisnya bingung, namun dari wajahnya Susan bisa menebak, sepertinya wanita paruh baya itu memiliki urusan uang dengan Eliza."Ya, aku sahabat baiknya. Ada apa?""Baguslah. Kalau kau memang sahabatnya, bayarkan uang sewa untuknya. Dia sudah telat selama satu minggu!" Eliza mengerjapkan kedua matanya menahan malu. Lalu meno
"Mereka tidak akan peduli padaku." Susan mengambil sebuah apel lalu langsung menggigitnya. Susan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang tempatnya biasa menginap."Apa sebaiknya aku mengganti beberapa perabotan yang sudah tidak layak?" "Tidak perlu. Semuanya masih sangat bagus. Jangan lakukan apapun lagi, mengerti?" Susan hanya mencebik sambil mengangguk perlahan.----------Pagi-pagi ini Eliza sudah sangat rapi, ia mengenakan kemeja berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Penampilannya sangat rapi seperti seorang anak magang baru. Eliza kembali memperhatikan penampilannya dari kaca. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kerapian dirinya dalam mengenakan pakaian.Lalu ia mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan riasannya sudah menempel dengan baik. Diraihnya sebuah lipstik di atas meja lalu mengoleskannya ke bibir tipisnya. Beberapa kali Eliza mengatupkan bibirnya untuk meratakan warna lipstiknya.Sedangkan Susan masih baru membuka mata. Itu pun kare
Eliza berbalik, menatap kelakuan pria itu yang semakin membuatnya geram. Napasnya tersengal naik turun menahan emosi dan takut secara bersamaan."Kemarilah. Percuma jika kau ingin melawan. Semua pegawaiku akan langsung senang ketika aku menawarkannya.""Aku berbeda dengan mereka. Dan aku sama sekali tidak tertarik lagi untuk bekerja disini. Jadi biarkan aku pergi." "Tentu tidak semudah itu. Aku sudah meloloskan interview mu. Jadi kau sudah resmi menjadi karyawan restoran ini. Dan kau juga harus melakukan prosedur sesuai kontrak."Pria itu mengantongi kembali kunci pintu ruangan itu. Lalu ia berjalan ke mejanya percaya diri, meskipun dengan celana dalam yang masih terlihat jelas. Pria itu mengambil sebuah kertas dari laci, lalu melemparkannya ke hadapan Eliza."Baca baik-baik peraturan itu."Eliza bergegas mengambil kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tertera beberapa poin prosedur pekerjaan yang membuatnya tercengang. Poin dua adalah setelah interview dan diterima maka karyawan
Susan langsung paham, kemudian menarik kembali tubuh Eliza dalam pelukannya."Katakan padaku, dimana toko itu berada?"Eliza mengangguk sambil kembali terisak dalam dekapan sahabatnya.Dua hari setelah kejadian itu, Eliza sudah dapat mengontrol traumanya berkat bantuan Susan.Susan terus membantu Eliza memberikan doktrin-doktrin yang baik untuk otaknya. Mereka telah membuat sebuah rencana untuk melakukan pembalasan. Mereka akan melakukannya malam ini. Eliza dan Susan menyeringai seram, saat menatap rentetan rencana pembalasan di sebuah papan tulis yang tergantung di dinding kamar mereka."Apa kamu siap, El?" "Yes, girl. I am ready for sure.""Ok. Just kill him then."Jadi di sinilah Susan. Dia sudah melakukan pengintaian selama dua malam sebelum hari eksekusi rencana bersama El.Jadwal pria pemilik restoran itu telah dikantongi dengan rapi. Demikian juga jadwal para pelayan yang dan kunjungan pelanggan ke restoran. Mereka juga telah melakukan riset tentang pria itu melalui media sos
Keesokan harinya, Eliza bangun sangat awal. Dia langsung ke dapur,membuat sandwich untuk sarapan dan juga bekal. Eliza tampak sangat bersemangat, dia bersenandung lirih sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kadang-kadang.Susan yang mencium aroma kopi cappucino dan sandwich panggang itu pun bangkit dari ranjangnya. Dia beranjak mengikuti indra penciumannya hingga sampai ke meja makan. Dengan mata kantuknya, Susan menarik kursi lalu menempelkan pantatnya pada alas kursi yang sedikit empuk itu, menunggu hidangan sampai di hadapannya. "Mana kopi untukku?" tanya Susan "Ouh hallo, morning Baby. Kopi untukmu, segera datang." Eliza mengantarkan secangkir kopi cappucino hangat untuk Susan.Susan mengambilnya lalu menyeruput kopi miliknya itu, sementara El sudah lebih dulu menyeruput miliknya tadi.Susan melebarkan matanya perlahan kala mendengar nyanyian yang lebih mirip suara tangisan itu samar. Kedua tangan Susan menyangga dagunya. "Apa kamu sedang sedih, El? Kenapa kamu menangis sambil
Rasa penasaran Vico membuahkan sebuah pertanyaan di benaknya, Vico segera menyadarkan diri. Tidak ada gunanya dia merasa penasaran pada perempuan yang tidak jelas itu. Vico segera memencet tombol lift untuk menutup pintunya. Ada sebuah rapat penting sedang menunggunya pagi ini. Sebuah mega proyek baru yang sedang direncanakannya, akan mulai dilaksanakan per awal bulan depan mendatang.Ting tung.Eliza memencet bel ruang kerja Reiz, dimana secara otomatis kunci pintu itu terbuka setelahnya. Eliza melongokkan kepalanya ke dalam sebelum memasuki ruangan itu. Guna memastikan dirinya tidak salah masuk ruangan, meskipun dia tahu ruangan itu benar seperti dalam ingatannya."Masuklah," perintah Reiz yang melihat Eliza sudah datang.Eliza tersenyum simpul, kemudian masuk sesuai perintah pria yang sudah menunggunya. "Selamat pagi, Tuan.""Pagi. Duduklah."Gegas, Eliza duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja pria itu."Saya ucapkan terima kasih, karena Anda telah berbesar hati memberi
Merasa percuma jika dia menegur wanita itu, Vico akhirnya melenggang pergi tanpa mengindahkan perkenalan diri Eliza.Eliza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa dengannya? Aneh." Eliza kembali membuatkan kopi yang atasannya minta. Setelah itu Eliza bergegas membawa kopinya ke dalam ruangan bosnya. Namun saat dia memasuki ruangan Reiz, Eliza sedikit terkejut mengetahui Vico telah duduk di ruangan Reiz, sang atasannya.Eliza tetap masuk dan menyuguhkan kopi milik Reiz. "Silahkan Tuan, ini kopi Anda."Vico melirik tajam ke arah Eliza. "Lihatlah, dia lebih cocok menjadi pelayan cafe daripada bekerja sebagai sekretaris. Kau ini ceroboh sekali."Sakit rasanya ketika Vico berkata dengan menghinanya. Raut wajah Eliza yang semula tersenyum ramah menjadi muram. "Apa kau bilang barusan? Dasar CEO sombong." Brak! Eliza memukulkan baki yang tadi digunakan untuk membawa cup kopi ke kepala Vico. Vico meringis kesakitan sampai berdiri dari kursinya. "Apa yang kau lakukan?""Rasakan akiba
*Tanggal gajian tiba*Pagi ini Eliza berangkat kerja dengan penuh semangat. Dia melempar senyum hampir pada setiap karyawan yang berpapasan dengannya. Dari karyawan sebanyak itu, ada yang membalas senyumnya ada juga yang mengacuhkannya dan menganggapnya aneh.Setibanya di ruangannya, Eliza langsung menaruh tas dan masuk ke ruangan bosnya. Dengan raut wajah gembira dia merapikan meja Reiz, juga membersihkan debu-debu kecil dengan tisu basah dengan hati-hati. 'Ayah, tunggulah. Nanti malam aku akan pulang.'Rencananya hari ini Eliza akan meminta izin pada Reiz untuk pulang sebentar guna menjenguk sang ayah yang sakit. Dalam hati, Eliza yakin, Reiz yang baik hati akan mengizinkannya untuk cuti esok hari.Klek. Sontak Eliza menatap ke arah pintu. Eliza langsung membungkukkan badannya sedikit dan menyapa atasannya. "Selamat pagi, Tuan Reiz," sapa Eliza dengan senyum ramahnya."Pagi, El. Kau berangkat pagi sekali.""Rumah saya lumayan jauh, Tuan. Saya berusaha untuk tidak terlambat."Reiz