Share

Chapter 3

Reiz sudah mengerti sikap kakaknya itu, hanya bisa menghela napas.

"Ayo kita keluar," ajaknya pada Eliza yang mengikutinya dari belakang.

Reiz tidak tahu sebelumnya, jika Eliza adalah masih berstatus sebagai mahasiswa. Jika ia tahu, dia juga tidak akan repot-repot membantunya untuk bertemu Vico. Karena Reiz saja sudah dapat memberikan jawabannya.

Wajah Eliza sangat terlihat putus asa. Namun Reiz tidak bisa membantunya meskipun ia adalah adik dari Vico sendiri.

Pria itu mengantar Eliza hingga ke lantai satu. "Saya akan pergi sendiri. Terima kasih Anda telah membantuku," ucap Eliza lalu membungkuk sebelum keluar dari lift.

"Maafkan aku," ucap Reiz.

"Anda tidak bersalah. Saya lah yang bersalah karena saya hanyalah seorang mahasiswa yang hampir putus kuliah."

Sekali lagi Eliza membungkukkan badannya sebelum akhirnya pergi meninggalkan pria itu.

------

Lima hari sudah berlalu, Eliza yang sudah hampir putus asa dengan hidupnya masih terlelap di kasur empuknya. Alarm ponsel dari tadi sudah berbunyi, namun Eliza abaikan. Itu adalah alarm yang biasa disetel untuk jadwal kuliahnya.

Berhubung dia belum dapat membayar uang semester, ia pun tidak menggubris alarm itu. Toh, jika dia bangun, Eliza tetap tidak akan bisa masuk mengikuti pembelajaran di kelasnya.

Cahaya matahari sudah sangat terik meskipun waktu masih pukul sepuluh pagi. Eliza benar-benar mengabaikan segalanya. Termasuk janjinya untuk pergi bersama sahabatnya, Susan.

Tok tok tok.

Suara seseorang mengetuk pintu dari luar. Namun suara itu juga tidak membuat Eliza terbangun. Semakin lama suara ketukan itu semakin keras saja. Seperti seorang penagih hutang yang datang untuk melabraknya.

TOK TOK TOK!

"ELIZA!!!!!"

Teriakan dengan volume paling tinggi itu memekakkan telinganya, sehingga berhasil membuatnya terperanjat bangun.

Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, Eliza berjalan terhuyung untuk segera membuka pintu.

"Ya, ada apa mencariku?" jawab Eliza setelah pintu terbuka.

Sungguh penampilan Eliza sangat kacau, rambutnya berantakan dan wajahnya sedikit berminyak dan terlihat sedikit lebam.

Seorang wanita paruh baya di hadapannya itu menghela napas dengan berat.

"Ada apa kau bilang? Kau sudah telat satu minggu untuk membayar uang sewa bulanan rumah ini!"

Suara nyaring ibu pemilik rumah itu sontak membuat Eliza membuka matanya lebar-lebar.

Tadinya Eliza mengira, orang yang datang hanyalah seorang sales susu yang biasa menawarkan susu untuknya. Jika ia sudah tahu dari awal itu adalah ibu pemilik rumah, pasti Eliza akan pura-pura sedang tidak ada di rumah.

"Bu Raya? Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu kalau Anda yang datang."

Wajah sinis ibu pemilik rumah itu menatapnya tajam. "Sudahlah, aku tidak mau basa basi. Berikan uang sewa bulanannya," ujarnya sambil berkacak pinggang.

Eliza tampak bingung menghadapi wanita itu. Ia sudah berusaha untuk mencari pekerjaan selama beberapa minggu terakhir ini, namun keberuntungan belum berpihak padanya. Eliza bahkan sampai sekarang belum mendapat pekerjaan apapun.

Sepertinya dia sudah harus bersiap untuk menjadi seorang tunawisma di kota. Ya, dia lebih memilih menjadi tunawisma daripada harus kembali ke rumahnya di desa.

"Kau tidak punya uang?"

Eliza hanya tersenyum pahit mendengar pertanyaan Raya. Namun memang benar begitu keadaannya sekarang.

Eliza langsung bersimpuh memeluk kaki Raya untuk memohon. "Bu, tolong beri waktu sedikit lagi. Saat ini saya sedang berusaha mencari pekerjaan. Jika saya sudah mendapatkannya, pasti saya langsung akan membayarnya. Jika perlu saya akan bayar untuk waktu enam bulan kedepan sekaligus," bujuk Eliza agar sang pemilik rumah berbelas kasihan padanya.

Eliza tidak peduli lagi tentang harga diri. Yang terpenting baginya adalah dia tidak terusir dari satu-satunya tempatnya berlindung setelah lelah mencari pekerjaan.

Sebenarnya Eliza memiliki beberapa teman baik dari kalangan orang kaya yang akan dengan mudah mengeluarkan uang untuknya. Namun ia tidak ingin memiliki kebiasaan berhutang atau mengandalkan orang lain.

Prinsipnya adalah, hidupnya adalah tanggung jawabnya. Bahagianya bukan tanggung jawab orang lain. Jadi secara tidak langsung, Eliza mendidik keras dirinya untuk memiliki mental bertahan hidup di tengah kerasnya masalah hidup yang menerpanya.

"Cih, gadis kecil sudah mau menipu orang sepertiku. Jika kau pergi akan ada orang yang langsung menyewa tempat ini."

"Tapi saya bersungguh-sungguh. Dan tidak berniat untuk menipu Bu Raya. Saya mohon bantulah saya untuk sekali ini saja," lirih Eliza dengan suara serak dan memelas.

Si pemilik rumah itu dengan kasar melepaskan kedua tangan Eliza yang memeluk kakinya. Bahkan ia juga sempat menendang gadis itu hingga terhuyung dan jatuh ke lantai.

"Aku beri waktu sampai besok. Jika kau tidak mengosongkan tempat ini dengan cepat. Maka aku akan menyuruh anak buahku untuk mengeluarkan barang milikmu dengan paksa, dan barang-barang berharga milikmu akan kutahan sebagai kompensasi pembayaran yang terlambat."

Setelah mengatakan itu, si pemilik rumah langsung meninggalkan Eliza yang masih terduduk lemas di lantai.

Eliza tidak menyalahkan tindakan si pemilik rumah, karena memang tujuannya menyewakan rumah adalah untuk mendapatkan uang.

Namun Eliza kesal, karena wanita itu tidak memiliki rasa simpati pada gadis miskin sepertinya. Padahal dia telah memohon untuk diberikan sedikit waktu untuk berusaha mendapatkan pekerjaan.

"Ternyata miskin benar-benar menjadi masalah besar dalam hidup," lirihnya yang semakin putus asa.

Eliza bangun, dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Disana ia menghempaskan tubuhnya kembali diatas ranjang.

Sinar matahari menembus jendela kaca kamarnya. Eliza menutupi matanya dari cahaya yang menyilaukan itu. Ia masih memejamkan mata. Rasanya kepala mau pecah. Tanpa sadar air matanya mengalir dari kedua sudut mata.

Dalam benaknya terlintas, Eliza sempat menyalahkan orang tua yang melahirkannya kedunia. 'Bukankah kelahiran anak untuk kebahagiaan, tapi mengapa mereka membiarkanku untuk menghadapi kesulitan demi kesulitan dindunia ini sendirian?'

Eliza tergugu, ia menangis sepuasnya di kamarnya yang hening. Karena semua penghuni rumah lainnya sudah pergi bekerja ataupun kuliah. Hanya dia yang tidak memiliki kesibukan seperti orang normal lainnya.

Tok tok tok!

Eliza terperanjat. Lagi-lagi seseorang mengetuk pintu dari luar. Panik Eliza mengira, seseorang itu mungkin saja si pemilik rumah yang menghampirinya kembali untuk mengusirnya.

Eliza merasa enggan membuka pintu karena tidak siap untuk menghadapi omelan wanita itu. Namun jika dia tidak segera membukanya, pasti wanita itu akan mendobrak pintu itu dengan paksa.

"Eliza!" seru Susan dan langsung memeluknya.

Eliza menghela napas lega karena bukan si pemilik rumah yang datang ke rumahnya untuk menagih sewa.

"Kenapa kamu tiba-tiba ke sini?" tanya Eliza pada akhirnya.

"Aku..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status