Reiz sudah mengerti sikap kakaknya itu, hanya bisa menghela napas.
"Ayo kita keluar," ajaknya pada Eliza yang mengikutinya dari belakang.Reiz tidak tahu sebelumnya, jika Eliza adalah masih berstatus sebagai mahasiswa. Jika ia tahu, dia juga tidak akan repot-repot membantunya untuk bertemu Vico. Karena Reiz saja sudah dapat memberikan jawabannya.Wajah Eliza sangat terlihat putus asa. Namun Reiz tidak bisa membantunya meskipun ia adalah adik dari Vico sendiri.Pria itu mengantar Eliza hingga ke lantai satu. "Saya akan pergi sendiri. Terima kasih Anda telah membantuku," ucap Eliza lalu membungkuk sebelum keluar dari lift."Maafkan aku," ucap Reiz."Anda tidak bersalah. Saya lah yang bersalah karena saya hanyalah seorang mahasiswa yang hampir putus kuliah."Sekali lagi Eliza membungkukkan badannya sebelum akhirnya pergi meninggalkan pria itu.------Lima hari sudah berlalu, Eliza yang sudah hampir putus asa dengan hidupnya masih terlelap di kasur empuknya. Alarm ponsel dari tadi sudah berbunyi, namun Eliza abaikan. Itu adalah alarm yang biasa disetel untuk jadwal kuliahnya.Berhubung dia belum dapat membayar uang semester, ia pun tidak menggubris alarm itu. Toh, jika dia bangun, Eliza tetap tidak akan bisa masuk mengikuti pembelajaran di kelasnya.Cahaya matahari sudah sangat terik meskipun waktu masih pukul sepuluh pagi. Eliza benar-benar mengabaikan segalanya. Termasuk janjinya untuk pergi bersama sahabatnya, Susan.Tok tok tok.Suara seseorang mengetuk pintu dari luar. Namun suara itu juga tidak membuat Eliza terbangun. Semakin lama suara ketukan itu semakin keras saja. Seperti seorang penagih hutang yang datang untuk melabraknya.TOK TOK TOK!"ELIZA!!!!!"
Teriakan dengan volume paling tinggi itu memekakkan telinganya, sehingga berhasil membuatnya terperanjat bangun.Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, Eliza berjalan terhuyung untuk segera membuka pintu."Ya, ada apa mencariku?" jawab Eliza setelah pintu terbuka.Sungguh penampilan Eliza sangat kacau, rambutnya berantakan dan wajahnya sedikit berminyak dan terlihat sedikit lebam.Seorang wanita paruh baya di hadapannya itu menghela napas dengan berat."Ada apa kau bilang? Kau sudah telat satu minggu untuk membayar uang sewa bulanan rumah ini!"Suara nyaring ibu pemilik rumah itu sontak membuat Eliza membuka matanya lebar-lebar.Tadinya Eliza mengira, orang yang datang hanyalah seorang sales susu yang biasa menawarkan susu untuknya. Jika ia sudah tahu dari awal itu adalah ibu pemilik rumah, pasti Eliza akan pura-pura sedang tidak ada di rumah."Bu Raya? Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu kalau Anda yang datang."Wajah sinis ibu pemilik rumah itu menatapnya tajam. "Sudahlah, aku tidak mau basa basi. Berikan uang sewa bulanannya," ujarnya sambil berkacak pinggang.Eliza tampak bingung menghadapi wanita itu. Ia sudah berusaha untuk mencari pekerjaan selama beberapa minggu terakhir ini, namun keberuntungan belum berpihak padanya. Eliza bahkan sampai sekarang belum mendapat pekerjaan apapun.Sepertinya dia sudah harus bersiap untuk menjadi seorang tunawisma di kota. Ya, dia lebih memilih menjadi tunawisma daripada harus kembali ke rumahnya di desa."Kau tidak punya uang?"Eliza hanya tersenyum pahit mendengar pertanyaan Raya. Namun memang benar begitu keadaannya sekarang.Eliza langsung bersimpuh memeluk kaki Raya untuk memohon. "Bu, tolong beri waktu sedikit lagi. Saat ini saya sedang berusaha mencari pekerjaan. Jika saya sudah mendapatkannya, pasti saya langsung akan membayarnya. Jika perlu saya akan bayar untuk waktu enam bulan kedepan sekaligus," bujuk Eliza agar sang pemilik rumah berbelas kasihan padanya.Eliza tidak peduli lagi tentang harga diri. Yang terpenting baginya adalah dia tidak terusir dari satu-satunya tempatnya berlindung setelah lelah mencari pekerjaan.Sebenarnya Eliza memiliki beberapa teman baik dari kalangan orang kaya yang akan dengan mudah mengeluarkan uang untuknya. Namun ia tidak ingin memiliki kebiasaan berhutang atau mengandalkan orang lain.Prinsipnya adalah, hidupnya adalah tanggung jawabnya. Bahagianya bukan tanggung jawab orang lain. Jadi secara tidak langsung, Eliza mendidik keras dirinya untuk memiliki mental bertahan hidup di tengah kerasnya masalah hidup yang menerpanya."Cih, gadis kecil sudah mau menipu orang sepertiku. Jika kau pergi akan ada orang yang langsung menyewa tempat ini.""Tapi saya bersungguh-sungguh. Dan tidak berniat untuk menipu Bu Raya. Saya mohon bantulah saya untuk sekali ini saja," lirih Eliza dengan suara serak dan memelas.Si pemilik rumah itu dengan kasar melepaskan kedua tangan Eliza yang memeluk kakinya. Bahkan ia juga sempat menendang gadis itu hingga terhuyung dan jatuh ke lantai."Aku beri waktu sampai besok. Jika kau tidak mengosongkan tempat ini dengan cepat. Maka aku akan menyuruh anak buahku untuk mengeluarkan barang milikmu dengan paksa, dan barang-barang berharga milikmu akan kutahan sebagai kompensasi pembayaran yang terlambat."Setelah mengatakan itu, si pemilik rumah langsung meninggalkan Eliza yang masih terduduk lemas di lantai.Eliza tidak menyalahkan tindakan si pemilik rumah, karena memang tujuannya menyewakan rumah adalah untuk mendapatkan uang.Namun Eliza kesal, karena wanita itu tidak memiliki rasa simpati pada gadis miskin sepertinya. Padahal dia telah memohon untuk diberikan sedikit waktu untuk berusaha mendapatkan pekerjaan."Ternyata miskin benar-benar menjadi masalah besar dalam hidup," lirihnya yang semakin putus asa.Eliza bangun, dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Disana ia menghempaskan tubuhnya kembali diatas ranjang.Sinar matahari menembus jendela kaca kamarnya. Eliza menutupi matanya dari cahaya yang menyilaukan itu. Ia masih memejamkan mata. Rasanya kepala mau pecah. Tanpa sadar air matanya mengalir dari kedua sudut mata.Dalam benaknya terlintas, Eliza sempat menyalahkan orang tua yang melahirkannya kedunia. 'Bukankah kelahiran anak untuk kebahagiaan, tapi mengapa mereka membiarkanku untuk menghadapi kesulitan demi kesulitan dindunia ini sendirian?'Eliza tergugu, ia menangis sepuasnya di kamarnya yang hening. Karena semua penghuni rumah lainnya sudah pergi bekerja ataupun kuliah. Hanya dia yang tidak memiliki kesibukan seperti orang normal lainnya.Tok tok tok!Eliza terperanjat. Lagi-lagi seseorang mengetuk pintu dari luar. Panik Eliza mengira, seseorang itu mungkin saja si pemilik rumah yang menghampirinya kembali untuk mengusirnya.Eliza merasa enggan membuka pintu karena tidak siap untuk menghadapi omelan wanita itu. Namun jika dia tidak segera membukanya, pasti wanita itu akan mendobrak pintu itu dengan paksa."Eliza!" seru Susan dan langsung memeluknya.Eliza menghela napas lega karena bukan si pemilik rumah yang datang ke rumahnya untuk menagih sewa."Kenapa kamu tiba-tiba ke sini?" tanya Eliza pada akhirnya."Aku...""Aku sangat cemas! Kamu sudah seminggu lebih tidak masuk kampus dan susah dihubungi. Lalu, kenapa kamu tidak membalas pesanku?" gerutu Susan sahabat baiknya di kampus.Puas memeluk meluapkan rindu pada sahabatnya, Susan langsung masuk ke dalam rumah Eliza tanpa menunggu dipersilahkan. Susan langsung pergi ke meja makan untuk mencari makanan disana. Setelah pulang dari kampus perut Susan menjadi sangat berisik. Untuk itu ia memutuskan untuk mampir ke rumah Eliza melepas rindu sekaligus menumpang makan siang."Kamu tidak masak?" tanya Susan setelah membuka tudung saji diatas meja."A-aku,""Astaga, dikulkasmu juga tidak ada apapun. Hanya ada air putih dan, sisa susu hanya sedikit?" ujar Susan sambil menunjukkan kotak susu yang diambil dari dalam kulkas."Dan ini, roti yang sudah expired kenapa tidak kamu buang?" tambahnya setelah memeriksa isi kulkas Eliza lagi.Susan masih tidak bisa berkata-kata, mengapa bisa kulkas sampai tidak ada makanan sedangkan saat ini dia sangat lapar sekali.
Eliza menaiki tangga dan menghampiri wanita pemilik rumah yang sudah melihatnya dengan kedua tangan yang berkacak pinggang."Bu Raya, bukankah Anda memberikanku kesempatan hingga besok?""Aku datang karena melihat kau memiliki orang yang bisa diandalkan," jawab wanita itu sambil memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat Susan yang baru muncul setelah memastikan dirinya telah memarkir mobil dengan benar.Eliza turut menoleh ke belakangnya, dimana Susan baru muncul. "Maaf Bu. Tapi saya tidak dapat mengandalkan siapa-siapa. Dia hanyalah teman saya.""Aku tidak peduli. Tampaknya dia memiliki banyak uang. Hei kau, apa kau teman gadis ini?"Susan sontak mengangkat kedua alisnya bingung, namun dari wajahnya Susan bisa menebak, sepertinya wanita paruh baya itu memiliki urusan uang dengan Eliza."Ya, aku sahabat baiknya. Ada apa?""Baguslah. Kalau kau memang sahabatnya, bayarkan uang sewa untuknya. Dia sudah telat selama satu minggu!" Eliza mengerjapkan kedua matanya menahan malu. Lalu meno
"Mereka tidak akan peduli padaku." Susan mengambil sebuah apel lalu langsung menggigitnya. Susan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang tempatnya biasa menginap."Apa sebaiknya aku mengganti beberapa perabotan yang sudah tidak layak?" "Tidak perlu. Semuanya masih sangat bagus. Jangan lakukan apapun lagi, mengerti?" Susan hanya mencebik sambil mengangguk perlahan.----------Pagi-pagi ini Eliza sudah sangat rapi, ia mengenakan kemeja berwarna putih dan celana kain berwarna hitam. Penampilannya sangat rapi seperti seorang anak magang baru. Eliza kembali memperhatikan penampilannya dari kaca. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kerapian dirinya dalam mengenakan pakaian.Lalu ia mendekatkan wajahnya ke cermin, memastikan riasannya sudah menempel dengan baik. Diraihnya sebuah lipstik di atas meja lalu mengoleskannya ke bibir tipisnya. Beberapa kali Eliza mengatupkan bibirnya untuk meratakan warna lipstiknya.Sedangkan Susan masih baru membuka mata. Itu pun kare
Eliza berbalik, menatap kelakuan pria itu yang semakin membuatnya geram. Napasnya tersengal naik turun menahan emosi dan takut secara bersamaan."Kemarilah. Percuma jika kau ingin melawan. Semua pegawaiku akan langsung senang ketika aku menawarkannya.""Aku berbeda dengan mereka. Dan aku sama sekali tidak tertarik lagi untuk bekerja disini. Jadi biarkan aku pergi." "Tentu tidak semudah itu. Aku sudah meloloskan interview mu. Jadi kau sudah resmi menjadi karyawan restoran ini. Dan kau juga harus melakukan prosedur sesuai kontrak."Pria itu mengantongi kembali kunci pintu ruangan itu. Lalu ia berjalan ke mejanya percaya diri, meskipun dengan celana dalam yang masih terlihat jelas. Pria itu mengambil sebuah kertas dari laci, lalu melemparkannya ke hadapan Eliza."Baca baik-baik peraturan itu."Eliza bergegas mengambil kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tertera beberapa poin prosedur pekerjaan yang membuatnya tercengang. Poin dua adalah setelah interview dan diterima maka karyawan
Susan langsung paham, kemudian menarik kembali tubuh Eliza dalam pelukannya."Katakan padaku, dimana toko itu berada?"Eliza mengangguk sambil kembali terisak dalam dekapan sahabatnya.Dua hari setelah kejadian itu, Eliza sudah dapat mengontrol traumanya berkat bantuan Susan.Susan terus membantu Eliza memberikan doktrin-doktrin yang baik untuk otaknya. Mereka telah membuat sebuah rencana untuk melakukan pembalasan. Mereka akan melakukannya malam ini. Eliza dan Susan menyeringai seram, saat menatap rentetan rencana pembalasan di sebuah papan tulis yang tergantung di dinding kamar mereka."Apa kamu siap, El?" "Yes, girl. I am ready for sure.""Ok. Just kill him then."Jadi di sinilah Susan. Dia sudah melakukan pengintaian selama dua malam sebelum hari eksekusi rencana bersama El.Jadwal pria pemilik restoran itu telah dikantongi dengan rapi. Demikian juga jadwal para pelayan yang dan kunjungan pelanggan ke restoran. Mereka juga telah melakukan riset tentang pria itu melalui media sos
Keesokan harinya, Eliza bangun sangat awal. Dia langsung ke dapur,membuat sandwich untuk sarapan dan juga bekal. Eliza tampak sangat bersemangat, dia bersenandung lirih sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kadang-kadang.Susan yang mencium aroma kopi cappucino dan sandwich panggang itu pun bangkit dari ranjangnya. Dia beranjak mengikuti indra penciumannya hingga sampai ke meja makan. Dengan mata kantuknya, Susan menarik kursi lalu menempelkan pantatnya pada alas kursi yang sedikit empuk itu, menunggu hidangan sampai di hadapannya. "Mana kopi untukku?" tanya Susan "Ouh hallo, morning Baby. Kopi untukmu, segera datang." Eliza mengantarkan secangkir kopi cappucino hangat untuk Susan.Susan mengambilnya lalu menyeruput kopi miliknya itu, sementara El sudah lebih dulu menyeruput miliknya tadi.Susan melebarkan matanya perlahan kala mendengar nyanyian yang lebih mirip suara tangisan itu samar. Kedua tangan Susan menyangga dagunya. "Apa kamu sedang sedih, El? Kenapa kamu menangis sambil
Rasa penasaran Vico membuahkan sebuah pertanyaan di benaknya, Vico segera menyadarkan diri. Tidak ada gunanya dia merasa penasaran pada perempuan yang tidak jelas itu. Vico segera memencet tombol lift untuk menutup pintunya. Ada sebuah rapat penting sedang menunggunya pagi ini. Sebuah mega proyek baru yang sedang direncanakannya, akan mulai dilaksanakan per awal bulan depan mendatang.Ting tung.Eliza memencet bel ruang kerja Reiz, dimana secara otomatis kunci pintu itu terbuka setelahnya. Eliza melongokkan kepalanya ke dalam sebelum memasuki ruangan itu. Guna memastikan dirinya tidak salah masuk ruangan, meskipun dia tahu ruangan itu benar seperti dalam ingatannya."Masuklah," perintah Reiz yang melihat Eliza sudah datang.Eliza tersenyum simpul, kemudian masuk sesuai perintah pria yang sudah menunggunya. "Selamat pagi, Tuan.""Pagi. Duduklah."Gegas, Eliza duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja pria itu."Saya ucapkan terima kasih, karena Anda telah berbesar hati memberi
Merasa percuma jika dia menegur wanita itu, Vico akhirnya melenggang pergi tanpa mengindahkan perkenalan diri Eliza.Eliza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa dengannya? Aneh." Eliza kembali membuatkan kopi yang atasannya minta. Setelah itu Eliza bergegas membawa kopinya ke dalam ruangan bosnya. Namun saat dia memasuki ruangan Reiz, Eliza sedikit terkejut mengetahui Vico telah duduk di ruangan Reiz, sang atasannya.Eliza tetap masuk dan menyuguhkan kopi milik Reiz. "Silahkan Tuan, ini kopi Anda."Vico melirik tajam ke arah Eliza. "Lihatlah, dia lebih cocok menjadi pelayan cafe daripada bekerja sebagai sekretaris. Kau ini ceroboh sekali."Sakit rasanya ketika Vico berkata dengan menghinanya. Raut wajah Eliza yang semula tersenyum ramah menjadi muram. "Apa kau bilang barusan? Dasar CEO sombong." Brak! Eliza memukulkan baki yang tadi digunakan untuk membawa cup kopi ke kepala Vico. Vico meringis kesakitan sampai berdiri dari kursinya. "Apa yang kau lakukan?""Rasakan akiba