Benjamin memandang lurus ke depan, melihat bentangan jalan yang sedari tadi dilewatinya. Pikirannya melalang buana, masih membekas jelas dalam kepalanya mengenai perkataan ibunya mengenai pertemuan pernikahan yang diatur untuknya.
"Baiklah kalau kata Mama begitu. Aku rasa tidak ada salahnya menjalani pertemuan pernikahan ini, Ma. Atur saja jadwal temunya. Aku pasti akan datang.""Mama bersyukur kau berpikir begitu, Benjamin. Mama akan mengatur pertemuan kalian segera, lebih cepat lebih baik."Sementara itu, Adora yang duduk di sebelah Benjamin pun hanya melirikkan matanya ke arah Benjamin dan menemukan bosnya itu tengah larut dalam lamunannya.Adora mengamati ekspresi Benjamin yang datar, tampaknya laki-laki itu tidak menyadari bahwa Adora tengah memerhatikannya. Dalam hati kecil Adora, ia bertanya-tanya, benarkah perkataan Irish kemarin?"... Kalau tidak salah aku pernah mendengar rumornya. Pak Benjamin sudah memiliki anak. Sepertinya tidak. Tapi, sepertinya iya. Kalau tidak salah, anak perempuan? Atau anak laki-laki, ya? Aku lupa. Aku akan tanyakan Ghea dulu.Memang kenapa? Pak Benjamin benar sudah punya anak?""Kenapa? Ada yang salah?""Tidak, Pak, tidak! Mempunyai anak itu hak Bapak."Terkejut karena Benjamin tiba-tiba bersuara dan membuyarkan lamunannya, tanpa sadar Adora mengucapkan kata-kata tidak penting yang mungkin dapat menyinggung perasaan Benjamin.Wajah Adora memerah saat melihat Benjamin tampak mengernyit dan membenarkan posisi duduk serta jasnya setelah mendengar kata-kata Adora.Tampak jelas laki-laki itu merasa risih sebab Adora sudah melewati batasnya dengan mengusik kehidupan pribadinya. Hal ini sontak membuat Adora yang melihatnya pun ingin menenggelamkan dirinya sendiri karena rasa malu yang tak dapat tertahankan.Kau sungguh bodoh, Adora. Mau memiliki anak ataupun tidak, itu sama sekali bukan urusanmu. Urusanmu hanya mengurusi pekerjaan dan kebutuhannya, bukan kehidupan pribadinya.Benjamin berdeham, berusaha mencairkan suasana. "Jadi, apa jadwalku selanjutnya, Adora?"Beruntung Benjamin bukan seorang bos yang hobi membuat Adora menderita. Benjamin memiliki toleransi yang cukup baik dan tak ingin tersandung masalah dengan orang lain hanya karena hal-hal sepele.Sontak, kesempatan itu tak dibiarkan begitu saja oleh Adora. Demi meredam kecanggungan di antara mereka, Adora berpura-pura membuka tablet di pangkuannya dan membacakan jadwal Benjamin hari ini.Tentu saja hal itu hanyalah basa-basi di antara mereka berdua. Baik Benjamin dan Adora tahu mengenai jadwal hari ini. Tentu saja. Kalau tidak, kenapa mereka berada di dalam mobil dan berjalan menuju ke luar kota kalau tidak tahu apa-apa?Setelah sepuluh menit membicarakan jadwal, akhirnya Adora mengembuskan napasnya. Sedikit banyaknya ia bisa merasa lega sebab Benjamin tak lagi mengungkit kejadian memalukan tadi.Keadaan hening setelah Adora menjabarkan jadwal Benjamin hari itu. Adora menaruh macbook yang sedari dipegangnya itu kembali ke atas pangkuannya. Jari-jemarinya bermain satu sama lain, berusaha mengusir kecanggungan yang bersembunyi dalam keheningan di antara dirinya dan Benjamin.Benjamin yang memerhatikan gelagat Adora pun menyadari kecanggungan yang dirasakan sekretarisnya. Benjamin kemudian berdeham, membuka suara di antara keheningan yang tercipta di antara keduanya, "Adora, tolong kosongkan jadwalmu akhir minggu nanti.""Maaf, Pak?"Benjamin tersenyum saat melihat ekspresi bingung tercetak jelas di muka Adora saat mendengar permintaan tiba-tibanya. "Kuharap kau dapat mengosongkan jadwalmu akhir minggu ini karena aku ingin memperkenalkanmu pada anakku, Adora."Mata Adora membeliak saat mendengar perkataan Benjamin. Apa Benjamin bersungguh-sungguh dengan perkataannya? Belum sempat Adora melontarkan pertanyaan yang bersemayam dalam benaknya, mobil yang membawa dirinya dan Benjaminberhenti di perkarangan hotel---tempat meeting mereka.Benjamin dengan sikap cueknya membuka pintu, bersiap pergi menuju ruang meeting, melupakan Adora yang masih membeku di tempatnya. "Ayok, Adora, kau tidak ingin membuatku terlambat, bukan?"Mendengar perkataan Benjamin, Adora berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan. Buru-buru dia membuka pintu mobil di sebelahnya dan berjalan mengikuti Benjamin yang berada tak jauh di depannya.Dari tempatnya berdiri, Adora dapat memandangi punggung kokoh Benjamin yang bergerak gagah di depannya. Berbeda dengan Adora yang merasakan degupan gila yang menyerang jantungnya, Benjamin sang pelaku justru bersikap seolah tak terjadi apa-apa.Adora mendesis, masih bertanya-tanya dengan kebenaran yang tadi didengar oleh indra pendengarnya, hingga ia tak sadar bahwa mereka kini sudah berada di ruang meeting yang sudah disiapkan oleh pihak hotel.Ruang meeting kali ini berbeda dengan ruang meeting sebelumnya. Apabila sebelum-sebelumnya, Benjamin melakukan meeting secara formal, kali ini sedikit informal, di mana para tamu dapat bebas berkeliaran di ruangan sembari menyantap sajian yang disiapkan. Sedikit lebih santai.Dalam ruang meeting, Adora dapat melihat jajaran direksi perusahaan, baik perusahaan multinasional maupun internasional. Jajaran direksi itulah yang akan Benjamim incar untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Benjamin berhenti sebentar, menoleh ke arah Adora yang berada di belakangnya. "Kau tunggu di sini sebentar, aku akan berkeliling seraya bertegur sapa dengan para pimpinan perusahaan."Adora menganggukkan kepalanya dan Benjamin yang melihatnya pun segera menghambur ke dalam kerumunan, meninggalkan Adora yang berada di sudut ruangan, memerhatikan Benjamin yang bertegur sapa baik dengan para pimpinan perusahaan.Benjamin yang tersenyum lebar sembari melemparkan sapaan sangat berbeda dengan sosok yang biasa Adora lihat dalam keseharian. Sosok Benjamin yang saat ini begitu berwibawa dengan kepemimpinannya, tak biasanya kaku seperti saat ia berhadapan dengan karyawan lainnya, atau nakal saat berhadapan dengan Adora.Ya, Adora sudah terlalu banyak melihat sosok Benjamin di matanya, sehingga tak mungkin apabila saat ini Adora tak dapat mengklaim bahwa dia mengenal Benjamin luar dalam.Tak mau berlama-lama memandangi Benjamin, Adora kemidian mengambil langkah menuju meja panjang yang berada dalam ruangan. Di atas meja panjang yang beralaskan kain biru tua itu terdapat jajaran makanan yang mengunggah selera.Adora meraih piring kecil di meja adan memutuskan mengambil beberapa kue untuk ditaruhnya di atas piring. Saat lidahnya mencecap kue kering yang memiliki buah kiwi, jeruk, dan stroberi sebagai topping di atasnya; rasa segar menguasai rongga mulutnya, membuatnya larut dalam kenikmatan kue itu sampai tak menyadari seorang laki-laki yang memakai kacamata bulat sedang mendekatinya.Laki-laki itu memiliki wajah bertipe kelinci dengan bentuk wajah yang mungil. Sekali lihat saja, semua orang tahu pesona imut yang dimiliki laki-laki itu."Halo, Senior," Sapa laki-laki itu yang membuat Adora menolehkan kepalanya.Laki-laki itu tersenyum tipis, sedikit mengulum bibirnya, merasa ragu apakah dia harus melanjutkan pembicaraannya, tetapi melihat Adora berada di depannya, bibir laki-laki itu sedikit gatal, jadi dia melanjutkan kembali ucapannya."Apakah Senior masih mengingat diriku?"Adora tersenyum saat melihat laki-laki itu mengalihkan pandangannya, kemudian mengintip lagi. "Tentu saja, Sekretaris Virendhra."Diari FaraHari ini Fara tahu akhir cerita dari Peri dalam kisah dongeng CinderellaMereka tidak menghilangMereka justru mendapatkan kebahagiaan milik merekaHari ini Peri Fara, Kak Fai-Rina, berbahagia dengan PapaFara senang sekali karena Kak Fai-Rina menjadi Mama Fara"Fara!!"Fara menutup buku diarinya saat mendengar Thalita memanggil namanya."Iya, Nek!""Sini, Sayang! Kita foto bersama!"Mendengar hal itu Fara membawa kaki kecilnya ke luar kamar, sedikit berlari ke arah Adora dan Benjamin yang berada di tengah kapal. Fara kemudian berdiri di antara Benjamin dan Adora.Fotografer yang ada tepat di hadapan Fara pun mengambil jepret gambar. Dalam hitungan ketiga, gambar-gambar terus diambil. Tak ada satupun momen yang terlewati.Setelah beberapa menit kemudian, para keluarga berhamburan. Fara dapat melihat Nenek Thalita dan Nenek Yuni sedang bercengkrama. Mereka terlihat bahagia ketika melemparkan tawa."Fara! Ayok, main!"Kak Nindy menepuk bahu Fara menyadarkan Fara dari lamunann
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam, acara panggang dan makan bersama juga telah berakhir empat puluh menit lalu. Semua orang yang tadi berpartisipasi dalam acara tersebut juga sudah tertidur di kamar masing-masing dengan perut yang penuh dan perasaan gembira.Namun, hal itu justru berbeda dengan Benjamin dan Adora yang masih betah berada di luar. Keduanya duduk bersama di depan teras rumah Nenek Yuni, menikmati secangkir jahe panas untuk mengusir angin malam yang dingin.Benjamin lantas melirik ke arah Adora yang duduk di sebelahnya, tampak gadis itu sedang menikmati menyeruput jahe hangat yang ada di tangannya. Sesekali Benjamin juga mengedarkan matanya ke arah lain, memandangi langit malam yang kini berhamburan banyaknya bintang yang kelap-kelip, seakan mendukung keadaannya malam ini."Ini adalah malam terakhirku di sini," kata Benjamin yang berhasil menarik perhatian Adora.Adora memandang lirih ke arah Benjamin. Kedua tangannya menggenggam erat gelas, merasakan pa
Selama dua hari belakang ini, Jason baru merasa untuk pertama kalinya tidak aman di rumahnya sendiri. Bukan karena apa-apa, keberadaan Benjamin begitu mengintimidasinya. Benjamin kerap kali memandangi wajah Jason, bahkan juga tubuh ataupun otot lengan Jason. Jason pikir Jason salah mengira atau sudah melakukan kesalahan kepada Benjamin, maka dari itu Jason menegur Benjamin saat Benjamin sibuk memandanginya."Kenapa? Ada yang salah?"Benjamin hanya memalingkan wajahnya, bersikap seperti ia tidak pernah memandangi tubuh Jason, tetapi beberapa detik setelahnya Benjamin akan kembali sibuk memandangi Jason.Pertama, kedua, ketiga, masih oke. Tapi, kejadian itu terus berulang dalam rentan waktu yang sering, membuat Jason nyaris gila karenanya. Satu-satunya cara hanyalah Jason tidak mengacuhkan keberadaan Benjamin, tetapi Nenek Yuni yang mampir ke toko menegur menarik perhatian Benjamin."Nak Jason, apa boleh Nenek minta tolong untuk membawakan
Benjamin berjalan beriringan dengan Adora. Cuaca siang itu tidak begitu terik sebab pepohonan besar yang menjulang ada di sepanjang bahu jalan, dedaunan yang rimbun dari pohon-pohon itu tentu tidak memberikan celah untuk sinar mentari menembus kulit.Musim panas membiarkan semilir angin menerpa wajah Benjamin, terkadang juga memainkan surai panjang milik Adora, sehingga mereka berkibar di udara—menggoda Benjamin dengan aroma sampo yang digunakan Adora.Lamunan Benjamin buyar kala Adora menghentikan langkahnya di depan sebuah toko. Benjamin melirik sebentar ke arah toko itu. Sekilas toko itu memiliki penampilan toko yang sederhana, tetapi berhasil menciptakan kesan khas keluarga. Adora lantas masuk ke dalam toko bertuliskan Toko Keluarga Jun itu yang tentunya diikuti Benjamin di belakangnya."Permisi~~" Adora menyapa saat tidak ada seorang pun di balik meja kasir.Butuh beberapa menit bagi Benjamin dan Adora menunggu sampai akhirnya figure seorang
"Oh iya—" Nenek Yuni melirik ke arah Adora, berusaha mengamati reaksi Adora. Adora memiliki reaksi yang sebelas dua belas dengan milik Nenek Yuni. Keduanya sama-sama bingung ketika menemukan keberadaan Benjamin yang begitu tiba-tiba di hadapan mereka.Akan tetapi, Nenek Yuni menutupi kebingungannya dengan menyambut hangat kedatangan Benjamin."—silakan duduk, Nak Benjamin."Mendengar Nenek Yuni mempersilakannya, Benjamin kemudian menuntun Fara untuk duduk berdekatan dengan Jason yang juga berada di rumah Nenek Yuni. Semua orang di rumah Nenek Yuni menampakkan ekspresi bingung, kecuali Benjamin, Fara, dan Nindy.Adora yang merasa atmosfer canggung pun mendekat ke arah Nenek Yuni dan berbisik, "... Nek, Adora mau ngomong dulu bentar ya sama Pak Benjamin.""Iya."Adora segera berjalan mendekati Benjamin, kemudian melingkarkan tangannya ke lengan Benjamin. Benjamin tampak tersentak sejenak sebelum akhirnya ia menerima sentu
Keesokkan harinya,Setelah menempuh enam jam perjalanan, mobil yang kini membawa Benjamin sudah memasuki area pedesaan yang terasa asing bagi Benjamin dan Fara. Dari dalam mobil, Benjamin dapat melihat beberapa anak-anak yang sedang bermain di jalanan memutuskan untuk menepi kala mobil Benjamin menyusuri jalanan. Anak-anak itu memandang bingung saat melihat mobil Benjamin melintas melewati mereka.Fara yang duduk di sebelah Benjamin pun terpukau saat melihat anak-anak yang tengah bermain di jalanan desa. Kisaran usia anak-anak itu beragam, mulai dari remaja dewasa sampai juga seusia Fara. Mereka tampak senang bermain permainan sederhana. Pemandangan yang jauh berbeda dengan teman sebaya Fara di sekolah yang sibuk dengan gadget masing-masing ataupun berkutat dengan buku teks yang sangat tebal."Papa, lihat," tunjuk Fara. Benjamin mengikuti arah pandang Fara. "Fara nanti boleh main ya Pah?"Benjamin terdiam sebentar, menimang-nimang sebelum akhirnya