"Jadi, tadi itu apa?"
Gosip, berita murahan, desas-desus memang santapan terbaik bagi lidah setiap para perempuan. Sebab dengan hal itu, mereka yang bergosip merasa dirinya superior apabila dibandingkan dengan orang yang digosipkan. Mereka merasa lebih baik, lebih sempurna, lebih-lebih lainnya apabila dibandingkan dengan orang yang digosipkan.Namun, ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rombongan penggosip karena mereka terlalu haus akan pengetahuan. Seakan tak cukup membaca buku pelajaran yang membosankan, mengetahui kehidupan pribadi seseorang nyatanya lebih meredakan rasa haus mereka.Seperti Irish ini, lagi-lagi dia berusaha mendapatkan berita panas mengenai Direktur Muda mereka dari sang biang onar---Adora. Pasalnya apa yang disaksikannya pagi ini begitu panas, saking panasnya, hal itu melewati perdebatan panasnya dengan Noah tadi malam.Adora yakin saat ini Irish bahkan tak ingat siapa itu Noah Octavio apabila topik pembicaraan sudah mengenai seorang Benjamin L. Maghani."Seperti yang kau lihat," Adora mengambil selai stroberi di meja dan mengolesnya pada roti panggang yang tadi disiapkan oleh Benjamin, kemudian memakannya dalam satu lahapan besar.Adora mengernyitkan alisnya saat lidahnya mencecap rasa renyah roti itu---saking renyahnya sampai Adora hanya merasakan rasa pahit di sana."Apa-apaan ini? Ini roti panggang atau roti gosong?" Komentar Irish mewakili isi pikiran Adora."Yah, setidaknya dari ini kita bisa mengambil hikmah bahwa seorang Benjamin L. Maghani itu juga masih manusia, yang masih ada kurang-kurangnya," Timpal Adora. Lagi, ia memakan rotinya. "Toh ini masih bisa dimakan."Mendengar hal itu, Irish menampakkan wajah mengernyit, tampak tak setuju dengan perkataan Adora."Tapi, Irish, omong-omong tentang Pak Benjamin, apa kau tahu ...""Hm?""... Pak Benjamin sudah memiliki anak?""Anak? Sepertinya aku pernah mendengar rumor itu. Kalau tidak salah ..."***"Papa!"Suara imut itu terdengar mengudara kala Benjamin menjajakkan kakinya di perkarangan rumah. Senyum Benjamin melebar saat kedua netranya menemukan penampakan gadis kecil menghampirinya dengan kaki mungilnya.Melihat hal itu sontak membuat Benjamin berjongkok dan merentangkan tangannya, menangkap anak perempuannya ke dalam pelukan. Sang anak tertawa renyah saat Benjamin menggelitik kecil perutnya sebelum mengangkatnya dalam gendongan."Bagaimana hari Fara tadi malam?" Adalah pertanyaan yang selalu Benjamin ajukan setiap harinya pada Fara---anak perempuannya. Setiap Benjamin pulang dari kantor atau urusan, hal yang Benjamin tanyakan pertama kali pada Fara adalah bagaimana hari gadis mungil itu. Benjamin selalu penasaran dengan apa saja yang dilalui gadis mungilnya dan mendengarkan celoteh Fara merupakan hal terbaik yang pernah ada dalam hidupnya."Tadi malam saat Papa tidak pulang, Fara tidur bersama Nenek."Mendengar hal itu, Benjamin berpura-pura mengernyitkan dahinya. "Kenapa Fara tidur bersama Nenek tadi malam?""Sini Papa, Fara bisikkan," Fara melambaikan tangannya, memberi pertanda untuk Benjamin supaya mendekatkan telinganya ke arah Fara. "Ini hanya Fara ceritakan pada Papa, jadi Papa tidak boleh mengatakannya pada siapapun. Janji?"Benjamkn terkekeh mendengar perkataan putri kecilnya. "Janji, Arra.""Sebenarnya di bawah kolong kasur Fara ada monster ompong yang mengerikan, Papa. Fara takut sekali.""Monster ompong?""Ya, monster ompong, monster pemakan anak-anak yang suka memakan permen."Benjamin hampir menyemburkan tawanya saat mendengar cerita anaknya. Ide darimana monster ompong itu sebenarnya?"Siapa yang memberitahu Fara mengenai monster ompong itu, Sayang?""Nenek yang bilang, Pa. Kata Nenek, Fara tidak boleh sering-sering makan permen, karena aroma permen mengundang monster ompong datang dan memakan Arra."Benjamin mengangguk mengerti, kini ia tahu darimana ide monster itu datang.Tak terasa karena terlalu hanyut dalam cerita Fara, kini Benjamin sudah berada di ruang tengah rumahnya. Dengan inisiatifnya, Benjamin menaruh Fara di salah satu bangku di ruang tengah, kemudian berjongkok untuk mensejajarkan wajahnya dengan Fara."Fara, tenang saja ya, Sayang. Karena Papa sudah ada di rumah, Papa akan mengusir monster ompong dari kolong kasur Fara.""Benar, Pa?""Tentu saja, Sayang. Tapi ada syaratnya.""Apa syaratnya, Pa? Apa? Fara akan melakukan apapun supaya monster ompong pergi dari kamar Fara!""Syaratnya .... Kita harus pergi ke dokter gigi, Sayang!"Sontak, mendengar perkataan Benjamin, Fara menggeleng keras. Binar pada matanya pun ikut menghilang. "Tidak, Papa! Jangan dokter gigi! Fara takut!"Benjamin tersenyum, lalu mengelus sayang kepala anaknya itu. "Jangan takut, Fara. Dokter gigi memiliki peri cantik yang akan melawan monster ompong. Fara suka peri, bukan?""Peri?""Iya, peri. Cring ...." Benjamin menggerakkan tangannya di udara, seolah memberikan efek magis di sana. "Peri akan melawan monster ompong dan menyuruhnya pergi dari kamar Fara.""..." Fara masih terlihat ragu dengan kebenaran perkataan Benjamin, membuat Benjamin kembali berujar."Atau Fara suka apabila monster ompong itu di kamar Fara dan hap! Memakan Fara?""Tidak, Papa, tidak. Fara suka peri, ayok, ke dokter gigi sekarang!""Baiklah, anak papa yang cantik," Ujar Benjamin puas saat anaknya itu menerima bujukannya. Tangannya kemudian mengelus rambut halus Fara yang jatuh bergelombang, "Anak papa memang anak paling cantik di muka bumi ini. Sangat-sangat cantik.""Nenek bilang kecantikan Fara turun dari Mama, Pa. Karena kata Papa, Fara sangat cantik, Mama juga pasti sangat cantik, kan, Pa?"Benjamin tersenyum saat mendengar perkataan Fara. "Iya, Fara. Mama adalah wanita tercantik yang pernah Papa lihat selama ini.""Papa, Bu Guru di sekolah memberikan Fara tugas.""Oh iya, tugas apa, Sayang?""Puisi tentang Ibu, Pa."Benjamin menipiskan senyumnya saat mendengar perkataan Fara. Ibu, ya..."Papa akan membantu Arra, kan?""Tentu saja, Sayang.""Kau sudah sampai, Nak?"Benjamin menoleh ke arah sumber suara dan menemukan ibunya yang berpakaian anggun bergerak mendekatinya. Tampak di wajah cantik ibunya tersirat gurat emosi menemukan anaknya baru sampai di rumah pada pukul sebelas siang."Fara, bagaimana kalau saat ini Fara bermain dengan Bibi? Bukankah Bibi berjanji untuk bermain dengan Fara siang ini?""Okay, Papa. Fara main dulu. Dadah, Papa.""Hati-hati. Jangan sampai terjatuh, Sayang." Nasihat Benjamin tampaknya tidak terdengar sebab Fara berlari secepat kilat, meninggalkan Benjamin dan Ibunya."Pagi, Ma.""Ini sudah siang, Benjamin, " Ibu Benjamin tampak protes dengan sapaan Benjamin. "Kau bilang akan segera pulang saat Mama menelponmu, tapi kenapa kau baru sampai?""Maaf, Ma, jalanan macet tadi."Ibu Benjamin tahu macet hanyalah alasan Benjamin, tapi beliau tidak ingin memperpanjang permasalahan ini. Matanya meniti penampilan Benjamin yang tidak mengganti pakaiannya semalaman.Apa memang benar perjalanan bisnis?"Sudahlah, Benjamin. Kau tadi mendengar perkataan Fara, bukan? Ibu gurunya memberikan tugas puisi mengenai Ibu.""Iya, Benjamin dengar, Ma.""Nak, ini sudah lama sekali. Mama tahu Mama tidak seharusnya menuntut ini. Tapi, Mama harap kau segera menikah dan memberikan sosok Ibu untuk Fara, Nak."Apa yang dikatakan Ibu Benjamin memang benar. Mengingat usianya yang sudah tidak lagi muda, Benjamin seharusnya segera menikah dan memberikan sosok Ibu untuk Fara. Bagaimanapun juga, Fara memang masih membutuhkan sosok Ibu untuk tumbuh kembangnya."Benjamin juga sedang berusaha, Ma. Tapi, saat ini Benjamin sedang disibukkan dengan pekerjaan dan tak memiliki waktu untuk berkencan.""Mama sudah menduga itu. Maka dari itu, Mama sudah menentukan calon menantu Mama, Benjamin. Mama harap kamu tidak menolak perjodohan ini, Nak."***Benjamin memandang lurus ke depan, melihat bentangan jalan yang sedari tadi dilewatinya. Pikirannya melalang buana, masih membekas jelas dalam kepalanya mengenai perkataan ibunya mengenai pertemuan pernikahan yang diatur untuknya. "Baiklah kalau kata Mama begitu. Aku rasa tidak ada salahnya menjalani pertemuan pernikahan ini, Ma. Atur saja jadwal temunya. Aku pasti akan datang.""Mama bersyukur kau berpikir begitu, Benjamin. Mama akan mengatur pertemuan kalian segera, lebih cepat lebih baik."Sementara itu, Adora yang duduk di sebelah Benjamin pun hanya melirikkan matanya ke arah Benjamin dan menemukan bosnya itu tengah larut dalam lamunannya. Adora mengamati ekspresi Benjamin yang datar, tampaknya laki-laki itu tidak menyadari bahwa Adora tengah memerhatikannya. Dalam hati kecil Adora, ia bertanya-tanya, benarkah perkataan Irish kemarin? "... Kalau tidak salah aku pernah mendengar rumornya. Pak Benjamin sudah memiliki anak. Sepertinya tidak. Tapi, sepertinya iya. Kalau tidak salah
Mendengar Adora menyebut namanya, Virendhra tak kuasa menahan semburat merah yang muncul di kedua pipinya, membuat Adora yang melihat pemandangan itu tak kuasa menahan dirinya untuk tidak melebarkan senyumannya. Benar kata para gadis di grup, Virendhra memang terlihat sangat imut apabila bertemu langsung. Apalagi, laki-laki itu terlihat malu-malu di hadapannya, membuat Adora gemas sendiri saat melihatnya, rasanya dia ingin mencubit kedua pipi laki-laki itu, tapi Adora masih ingat tempat dimana dia berada. Dia harus menjaga sikap kalau tidak mau membuat masalah. Adora kemudian mengalihkan pikiran kotornya dengan kembali berbincang, "Bagaimana kabarmu, Vi? Masih kuat dengan Direktur Wawan?" Ujar Adora dengan nada bercanda, tetapi Virendhra menanggapinya dengan serius---terlihat dari punggung laki-laki itu yang langsung menegap begitu nama Direktur Wawan disebut dalam pembicaraan. Virendhra membenarkan kacamatanya dengan gerakan tubuh yang kaku saat menjawab pertanyaan Adora, "Aku bai
Adora mengembuskan napasnya perlahan, merasakan sensasi menenangkan yang mulai merangkak naik dari ujung kakinya kini berusaha menguasai hampir seluruh tubuhnya. Adora menenggelamkan setengah wajahnya, indra penghidunya dapat mencium aroma lavender yang berasal dari air yang kini membasuh bagian bawah tubuhnya, aroma bunga yang menghantarkannya pada ketenangan, sementara itu telapak tangannya bermain di dalam air hangat pada permandian kolam panas hotel. Sudah lama Adora tidak merasakan ketenangan seperti ini. Seluruh otot tegangnya saat ini mulai mengendur. Adora merasa bersyukur karena Benjamin telah memberikan fasilitas ini untuknya, untuk melepas penat sejenak dari pekerjaan. Benjamin, laki-laki itu memberi Adora voucher sebelum dirinya masuk ke kamar, sebuah voucher yang mampu membuat mata Adora berbinar karenanya. Katanya sebagai bentuk apresiasi pada Adora, Benjamin memberikan voucher kolam mandi permandian panas privat untuknya. Adora tentu berterima kasih karenanya, sebab
Mendengar pintu yang terbuka tentu membuat Adora ingin melepaskan pagutan bibirnya dengan Benjamin, tetapi Benjamin seakan tidak ingin menyudahi permainan mereka, justru sebaliknya, ia malah menahan tengkuk Adora agar gadis itu tak melepaskan pertautan bibir mereka. Di pertengahan acuan permainan mereka, Adora dapat mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat, sontak hal itu memacu degup jantung Adora berdebar kencang. Adora menajamkan indra pendengarannya guna memperkirakan pergerakan orang lain yang bersama mereka saat ini, tetapi tindakan Benjamin yang lagi-lagi berusaha merangsang dirinya membuat fokus Adora terpecah belah, dirinya kini sedang berada di antara kenikmatan dan ketakutan yang merayap di sekujur tubuhnya. Dan, Adora merasa tersiksa karena itu. Beberapa menit berlalu, keheningan yang tadi menyapa kini mulai sirna, membuat mata Adora terbelalak saat mendengar suara orang di balik sekat, "Woah, Pak Benjamin memang yang terbaik."Betapa terkejutnya Adora mendenga
Seperti janji Benjamin, laki-laki itu melanjutkan permainan mereka. Adora sama sekali tidak diberikan istirahat oleh bosnya itu.Tangan besar Benjamin kemudian membalikkan tubuh Adora, mengubah posisi Adora yang tadi membelakanginya jadi berdiri berhadapan dengannya. Adora mengerjapkan matanya saat Benjamin tersenyum miring ke arahnya, Adora tahu niatan nakal yang bermain dalam kepala Benjamin saat ini.Dalam seperkian detik, Benjamin kemudian memasukkan alatnya ke dalam diri Adora, membuat Adora meringis kesakitan karenanya. Sisi wanita Adora berkedut, menyesuaikan diri dengan bentuk Benjamin yang panjang dan besar."Kau suka sekali mempermainkanku ya, Adora?" Benjamin melenguh saat merasakan tubuh Adora menjepit miliknya dengan kuat, membuatnya merasakan nikmat dari tubuh Adora yang kini tengah membungkus dirinya.Benjamin perlahan menggoyangkan pinggulnya; maju dan mundur secara perlahan, dan pergerakan Benjamin nyatanya berhasil membuat Adora meloloskan desahannya. Adora kemudian m
Disclaimer: part ini mungkin tidak akan nyaman bagi beberapa orang karena beberapa kata yang menyinggung seksualitas, mohon untuk kebijaksanaan dari para pembaca, terima kasih. ***Setelah mendapatkan notifikasi pesan dari Virendhra, Benjamin dan Adora berangkat menuju restoran yang dituju sekaligus pulang setelah menyelesaikan dinas mereka. Adora di tempatnya tampak gelisah sendiri, kakinya bergerak---menendang-nendang kecil udara di depannya, tentu pemandangan ini tak luput dari penglihatan Benjamin.Benjamin yang tampak tenang sedari tadi nyatanya selalu mengawasi gerak-gerik Adora, mulai dari saat gadis itu membaca pesan Virendhra sampai gadis itu berada di dalam mobil bersamanya. Tampak Adora resah karena sesuatu, apakah pengaruh Virendhra sebegitu besarnya pada Adora sampai membuat Adora gelisah seperti itu? Benjamin tidak tahu bahwa ternyata pengaruh Virendhra sebesar itu terhadap Adora. "Tenang saja," Ujar Benjamin yang berhasil menarik perhatian Adora. Gadis itu mengerjapka
"Maaf, apa kata Anda barusan, Direktur Wawan?"Adora mengangkat kepalanya saat suara Benjamin mengudara dalam ruangan. Tampak Benjamin memasang ekspresi serius pada wajahnya, berbeda dengan Direktur Wawan yang meringis dan tersenyum kecil."Hoho, Direktur Benjamin, tidak usah serius seperti itu, memiliki sekretaris seperti Sekretaris Adora juga aku akan senang setiap harinya. Melihat penampilannya siapa yang tidak senang? Aku akan betah melihatnya seharian, tidak hanya di kantor, bahkan mungkin di luar kantor juga. Aku tidak akan melepaskannya dari pandanganku sedetik pun."Adora mengalihkan pandangannya saat Direktur Wawan meliriknya genit. Matanya mengerjap beberapa kali, berusaha untuk menahan air mata yang hampir meleleh keluar dari pelupuk matanya. Seluruh tubuhnya merasa merinding saat kalimat-kalimat menjijikkan itu keluar dari mulut Direktur Wawan seakan menghinanya. "Direktur Wawan, bukankah seharusnya Anda memerhatikan kata-kata yang keluar dari mulut Anda? Melihat Anda sep
Note: Part ini adalah part masa lalu. ***Saat itu malam yang dingin menyelimuti keduanya. Setelah melakukan pekerjaan yang begitu keras, keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu mereka berdua dengan menyesap segelas minuman alkohol berkadar rendah untuk meluapkan perasaan stres dan lelah yang menerjang tubuh mereka. Baik Benjamin dan Adora memilih bungkam, tidak membuka suara. Pun Adora sedari tadi hanya menjatuhkan pandangannya pada Benjamin, laki-laki itu tampak serius memandangi ponselnya, membuat bibir Adora merasa gatal dan terbuka untuk memanggil Benjamin. "Pak Benjamin."Pada panggilan pertama, Benjamin sama sekali tidak menoleh ke arah Adora ---masih sibuk dengan ponselnya--- dan hanya berdeham sebagai balasan terhadap panggilan Adora. Hal itu tentu tidak membuat Adora menyerah pada percobaan pertama. Adora berusaha kembali, kali ini dengan debaran gila yang menerjang jantungnya.Kali ini bukan hanya sekedar memanggil Benjamin, melainkan Adora juga memancing laki-laki