Share

5. Bagaimana Ini, Irish?

"Jadi, tadi itu apa?"

Gosip, berita murahan, desas-desus memang santapan terbaik bagi lidah setiap para perempuan. Sebab dengan hal itu, mereka yang bergosip merasa dirinya superior apabila dibandingkan dengan orang yang digosipkan. Mereka merasa lebih baik, lebih sempurna, lebih-lebih lainnya apabila dibandingkan dengan orang yang digosipkan.

Namun, ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rombongan penggosip karena mereka terlalu haus akan pengetahuan. Seakan tak cukup membaca buku pelajaran yang membosankan, mengetahui kehidupan pribadi seseorang nyatanya lebih meredakan rasa haus mereka.

Seperti Irish ini, lagi-lagi dia berusaha mendapatkan berita panas mengenai Direktur Muda mereka dari sang biang onar---Adora. Pasalnya apa yang disaksikannya pagi ini begitu panas, saking panasnya, hal itu melewati perdebatan panasnya dengan Noah tadi malam.

Adora yakin saat ini Irish bahkan tak ingat siapa itu Noah Octavio apabila topik pembicaraan sudah mengenai seorang Benjamin L. Maghani.

"Seperti yang kau lihat," Adora mengambil selai stroberi di meja dan mengolesnya pada roti panggang yang tadi disiapkan oleh Benjamin, kemudian memakannya dalam satu lahapan besar.

Adora mengernyitkan alisnya saat lidahnya mencecap rasa renyah roti itu---saking renyahnya sampai Adora hanya merasakan rasa pahit di sana.

"Apa-apaan ini? Ini roti panggang atau roti gosong?" Komentar Irish mewakili isi pikiran Adora.

"Yah, setidaknya dari ini kita bisa mengambil hikmah bahwa seorang Benjamin L. Maghani itu juga masih manusia, yang masih ada kurang-kurangnya," Timpal Adora. Lagi, ia memakan rotinya. "Toh ini masih bisa dimakan."

Mendengar hal itu, Irish menampakkan wajah mengernyit, tampak tak setuju dengan perkataan Adora.

"Tapi, Irish, omong-omong tentang Pak Benjamin, apa kau tahu ..."

"Hm?"

"... Pak Benjamin sudah memiliki anak?"

"Anak? Sepertinya aku pernah mendengar rumor itu. Kalau tidak salah ..."

***

"Papa!"

Suara imut itu terdengar mengudara kala Benjamin menjajakkan kakinya di perkarangan rumah. Senyum Benjamin melebar saat kedua netranya menemukan penampakan gadis kecil menghampirinya dengan kaki mungilnya.

Melihat hal itu sontak membuat Benjamin berjongkok dan merentangkan tangannya, menangkap anak perempuannya ke dalam pelukan. Sang anak tertawa renyah saat Benjamin menggelitik kecil perutnya sebelum mengangkatnya dalam gendongan.

"Bagaimana hari Fara tadi malam?" Adalah pertanyaan yang selalu Benjamin ajukan setiap harinya pada Fara---anak perempuannya. Setiap Benjamin pulang dari kantor atau urusan, hal yang Benjamin tanyakan pertama kali pada Fara adalah bagaimana hari gadis mungil itu. Benjamin selalu penasaran dengan apa saja yang dilalui gadis mungilnya dan mendengarkan celoteh Fara merupakan hal terbaik yang pernah ada dalam hidupnya.

"Tadi malam saat Papa tidak pulang, Fara tidur bersama Nenek."

Mendengar hal itu, Benjamin berpura-pura mengernyitkan dahinya. "Kenapa Fara tidur bersama Nenek tadi malam?"

"Sini Papa, Fara bisikkan," Fara melambaikan tangannya, memberi pertanda untuk Benjamin supaya mendekatkan telinganya ke arah Fara. "Ini hanya Fara ceritakan pada Papa, jadi Papa tidak boleh mengatakannya pada siapapun. Janji?"

Benjamkn terkekeh mendengar perkataan putri kecilnya. "Janji, Arra."

"Sebenarnya di bawah kolong kasur Fara ada monster ompong yang mengerikan, Papa. Fara takut sekali."

"Monster ompong?"

"Ya, monster ompong, monster pemakan anak-anak yang suka memakan permen."

Benjamin hampir menyemburkan tawanya saat mendengar cerita anaknya. Ide darimana monster ompong itu sebenarnya?

"Siapa yang memberitahu Fara mengenai monster ompong itu, Sayang?"

"Nenek yang bilang, Pa. Kata Nenek, Fara tidak boleh sering-sering makan permen, karena aroma permen mengundang monster ompong datang dan memakan Arra."

Benjamin mengangguk mengerti, kini ia tahu darimana ide monster itu datang.

Tak terasa karena terlalu hanyut dalam cerita Fara, kini Benjamin sudah berada di ruang tengah rumahnya. Dengan inisiatifnya, Benjamin menaruh Fara di salah satu bangku di ruang tengah, kemudian berjongkok untuk mensejajarkan wajahnya dengan Fara.

"Fara, tenang saja ya, Sayang. Karena Papa sudah ada di rumah, Papa akan mengusir monster ompong dari kolong kasur Fara."

"Benar, Pa?"

"Tentu saja, Sayang. Tapi ada syaratnya."

"Apa syaratnya, Pa? Apa? Fara akan melakukan apapun supaya monster ompong pergi dari kamar Fara!"

"Syaratnya .... Kita harus pergi ke dokter gigi, Sayang!"

Sontak, mendengar perkataan Benjamin, Fara menggeleng keras. Binar pada matanya pun ikut menghilang. "Tidak, Papa! Jangan dokter gigi! Fara takut!"

Benjamin tersenyum, lalu mengelus sayang kepala anaknya itu. "Jangan takut, Fara. Dokter gigi memiliki peri cantik yang akan melawan monster ompong. Fara suka peri, bukan?"

"Peri?"

"Iya, peri. Cring ...." Benjamin menggerakkan tangannya di udara, seolah memberikan efek magis di sana. "Peri akan melawan monster ompong dan menyuruhnya pergi dari kamar Fara."

"..." Fara masih terlihat ragu dengan kebenaran perkataan Benjamin, membuat Benjamin kembali berujar.

"Atau Fara suka apabila monster ompong itu di kamar Fara dan hap! Memakan Fara?"

"Tidak, Papa, tidak. Fara suka peri, ayok, ke dokter gigi sekarang!"

"Baiklah, anak papa yang cantik," Ujar Benjamin puas saat anaknya itu menerima bujukannya. Tangannya kemudian mengelus rambut halus Fara yang jatuh bergelombang, "Anak papa memang anak paling cantik di muka bumi ini. Sangat-sangat cantik."

"Nenek bilang kecantikan Fara turun dari Mama, Pa. Karena kata Papa, Fara sangat cantik, Mama juga pasti sangat cantik, kan, Pa?"

Benjamin tersenyum saat mendengar perkataan Fara. "Iya, Fara. Mama adalah wanita tercantik yang pernah Papa lihat selama ini."

"Papa, Bu Guru di sekolah memberikan Fara tugas."

"Oh iya, tugas apa, Sayang?"

"Puisi tentang Ibu, Pa."

Benjamin menipiskan senyumnya saat mendengar perkataan Fara. Ibu, ya...

"Papa akan membantu Arra, kan?"

"Tentu saja, Sayang."

"Kau sudah sampai, Nak?"

Benjamin menoleh ke arah sumber suara dan menemukan ibunya yang berpakaian anggun bergerak mendekatinya. Tampak di wajah cantik ibunya tersirat gurat emosi menemukan anaknya baru sampai di rumah pada pukul sebelas siang.

"Fara, bagaimana kalau saat ini Fara bermain dengan Bibi? Bukankah Bibi berjanji untuk bermain dengan Fara siang ini?"

"Okay, Papa. Fara main dulu. Dadah, Papa."

"Hati-hati. Jangan sampai terjatuh, Sayang." Nasihat Benjamin tampaknya tidak terdengar sebab Fara berlari secepat kilat, meninggalkan Benjamin dan Ibunya.

"Pagi, Ma."

"Ini sudah siang, Benjamin, " Ibu Benjamin tampak protes dengan sapaan Benjamin. "Kau bilang akan segera pulang saat Mama menelponmu, tapi kenapa kau baru sampai?"

"Maaf, Ma, jalanan macet tadi."

Ibu Benjamin tahu macet hanyalah alasan Benjamin, tapi beliau tidak ingin memperpanjang permasalahan ini. Matanya meniti penampilan Benjamin yang tidak mengganti pakaiannya semalaman.

Apa memang benar perjalanan bisnis?

"Sudahlah, Benjamin. Kau tadi mendengar perkataan Fara, bukan? Ibu gurunya memberikan tugas puisi mengenai Ibu."

"Iya, Benjamin dengar, Ma."

"Nak, ini sudah lama sekali. Mama tahu Mama tidak seharusnya menuntut ini. Tapi, Mama harap kau segera menikah dan memberikan sosok Ibu untuk Fara, Nak."

Apa yang dikatakan Ibu Benjamin memang benar. Mengingat usianya yang sudah tidak lagi muda, Benjamin seharusnya segera menikah dan memberikan sosok Ibu untuk Fara. Bagaimanapun juga, Fara memang masih membutuhkan sosok Ibu untuk tumbuh kembangnya.

"Benjamin juga sedang berusaha, Ma. Tapi, saat ini Benjamin sedang disibukkan dengan pekerjaan dan tak memiliki waktu untuk berkencan."

"Mama sudah menduga itu. Maka dari itu, Mama sudah menentukan calon menantu Mama, Benjamin. Mama harap kamu tidak menolak perjodohan ini, Nak."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status