Share

2. Sisi Lain Aksa

"Welcome home, Princess!" Ungkap Aksa ketika tangannya membuka handle pintu.


"Ini Apartemen kamu! Bukan rumah aku," jawab Cessa sekedarnya sembari memutar bola mata.


Aksa hanya mengedikkan bahunya acuh. "My mine it's yours," ucapnya sembari menutup pintu.


Sesuai janji, ia pulang bersama Aksa. Namun, bukannya mengantar ia pulang ke rumah, Aksa malah membawa Cessa ke Apartemen miliknya.


Belum lama ia kembali ke Indonesia, bahkan belum seminggu ia berkuliah di Universitas Moonlight.


Baru kali ini ia kembali mengunjungi tempat ini, setelah dua tahun lamanya ia pindah ke London.


Bahkan, Cessa belum sempat memiliki quality time bersama Aksa sekembalinya ia dari Inggris.


Terlebih, hubungan mereka sempat rusak beberapa bulan ke belakang.


Cessa mengedarkan pandangan, menatap sekeliling.


Tidak ada yang berubah dari tempat ini, bahkan letak furniturenya tidak ada yang bergeser sedikitpun.


Semua masih sama, seperti empat tahun lalu.


Seolah dapat menebak isi kepala Cessa, lelaki itu tersenyum simpul. "Gak ada yang berubah setelah kamu pergi."


Kemudian Aksa mendekat, menatap lekat tubuh mungil itu dari belakang. Ia rangkulkan kedua lengannya di leher Cessa. Memeluknya, dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu.


Tercium aroma vanilla bercampur lemon, segar dan manis. Khas seorang Princessa. Aroma tubuh yang selalu ia rindukan, membuatnya menggila dan mendamba sentuhannya.


"Tepatnya, aku gak pernah mau ada yang berubah, termasuk kita."


Semua masih segar dalam memori Cessa, kebersamaan yang ia lalui bersama Aksa, Dewa, Chen dan Diaz, ketika mereka masih SMA.


Tak lama berselang, hawa di ruangan itu seketika panas. Bahkan Cessa merasa paru-parunya menyempit ketika Aksa mencium lembut bahunya, mengendus setiap senti leher jenjangnya, lalu naik ke telinga, memberikan gigitan-gigitan kecil di sana, membuat Cessa kesulitan bernapas.


Hidung mancung itu begitu menggoda Cessa untuk mendesah, ingin sekali ia gigit hidung nakal itu.


Aksa terbawa suasana, ia mulai memberikan kecupan-kecupan ringan di leher jenjang ini.


Cessa pun terkekeh geli. "stop it! Aksa, please ..."


Lelaki itu malah ikut terkekeh dibalik ceruk leher Cessa, "Poor you, Princess. I don't think so, actually."


Aksa sudah bertekad, ia harus memperbaiki apa yang sempat rusak beberapa bulan lalu.


Hubungannya dengan Cessa, tentu saja.


Ia harus memperbaikinya sekarang, sebelum muncul orang baru yang akan mempersulitnya mendapatkan kembali sang tuan putri.


Tuan putri manja ini hanyalah miliknya seorang.


Dering telpon yang berasal dari slingbag Cessa membuyarkan suasana.


Tak ingin merusak apa yang sudah ia mulai, dengan tergesa Aksa mengeluarkan ponsel tersebut dan melemparnya ke sofa.


Aksa sangat tidak suka diganggu.


Sepintas Cessa melihat nama Lingga tertera di sana. Refleks gadis itu menghentikkan semuanya, ia segera melepaskan diri dari kukungan Aksa.


"Sebentar, aku mau angkat telpon dulu," ucap Cessa tanpa berniat menatap Aksa.


Ia tahu, Aksa pasti sangat kesal sekarang. Ia tidak berani menatapnya.


Tapi, jangan harap Aksa akan berhenti.


Sial! Lagi-lagi si lelaki cupu, kenapa banyak sekali lelaki di sekitar tuan puterinya ini? Aksa sangat tidak menyukai Lingga, ia bahkan membencinya.


Bocah tionghoa itu selalu menjadi alasan pertengkaran mereka.


Aksa adalah tipikal cuek, calm, jarang marah karena tidak suka menanggapi hal yang menurutnya tidak penting.


Tapi, ketika emosi, bapak dajjal pun kalah menyeramkannya.


Melihat ponsel itu sudah hampir menempel di telinga pada dering terakhir, ia merampas ponsel itu dan melemparnya ke dinding hingga berserakan di lantai dan bentuknya tak karuan.


Rahang Aksa mengetat. Tangannya mengepal, wajahnya memanas, memerah menahan amarah yang sudah berada di puncak kepala.


Aksa yang sedang membelakangi Cessa, menolehkan kepala.


Seringai itu pun muncul, Cessa masih hafal betul pertanda apa itu.


Tentu saja bukanlah pertanda baik.


Aksa pun berbalik, membuka kancing lengan kemeja dan mulai menggulungnya sampai sikut.


Ia mulai maju mendekati Cessa, refleks gadis itu mundur beberapa langkah.


Namun sial, punggungnya kini beradu dengan tembok. Ia tak bisa lagi mundur, atau pergi kemana pun.


Pintu Apartemen berada dibelakang lelaki itu, tak mungkin ia lari ke sana. Percuma saja.


Cessa merasa jantungnya mulai berpacu. Tanpa sadar keringat di dahinya mulai bercucuran, ini adalah sisi lain seorang Aksa Mahatma. Yang tidak orang lain ketahui.


Sembari berjalan mendekati Cessa, Aksa mulai memecah keheningan, seringai itu masih tak hilang dari wajah tampannya.


"Kamu tahu betul kan, bee, aku orang yang possesive."


"Tapi kita lagi break. Don't you forget it!"


Mendengarnya, lelaki itu tertawa sumbang. Kini ia telah berdiri tepat dihadapan Cessa. Hidung mereka saling beradu, Cessa hanya memejam mata.


Lelaki itu pun berbisik halus, "Mau break, putus, atau kamu pacar orang sekalipun, i don't care, baby. Apapun statusnya, kamu. cuma. milik. aku."


"You're mine, Princessa Elliazer! Dan lupakan kemungkinan terakhir yang kusebutkan tadi, karena itu gak akan mungkin terjadi." Aksa mendesis tak suka.


Tanpa diduga, Aksa mengangkat tubuh mungil itu ke bahunya dan membawa gadis itu memasuki kamar, kemudian menutup pintu dengan satu kaki. Tidak sulit bagi Aksa karena gadis berbobot 42kg itu begitu ringan baginya.


Aksa mengempaskan tubuh Cessa ke ranjang, membuat gadis itu jatuh terlentang, lalu merangkak di atasnya.


Satu tangan ia gunakan untuk memegangi kedua lengan Cessa, satu tangan lagi meraih beberapa helai rambut gadis itu.


'Hah, percuma gue ngelawan. Cuman buang tenaga doang,' keluh Cessa dalam hatinya.


"Jangankan si cupu, sama kakak kamu aja aku cemburu," ucapnya lagi sembari menghirup dalam-dalam aroma shampoo yang selalu ia rindui.


"Kamu tahu itu, tapi selalu kamu ulangi," sambungnya.


"Dan kamu, udah tahu sumber masalah kita dimana tapi sama sekali gak berubah," sergah Cessa sembari membuang muka.


Aksa berdecak pelan, "Ck, kamu hobi banget bikin aku marah. Suka ya aku hukum, hm?" Tanya Aksa dengan sebelah alis terangkat.


Tangan kekar Aksa mulai bergerilya di balik kaos putih Cessa dan meremas dua gundukan yang selalu menjadi favoritnya. Tidak terlalu besar, namun sangat pas di genggaman.


Hidungnya mengendus setiap senti dari leher jenjang Cessa, hingga turun ke bagian dada. Ia menyingkap kaos itu, lalu memberikan kecupan serta beberapa jejak keunguan di sana.


Cessa hanya memejamkan mata dan mengigit bibir. Tangannya mengepal, meremas sprei kuat-kuat.


Aksa adalah satu-satunya lelaki di hidupnya. Lelaki pertama dan satu-satunya yang menyentuhnya.


Lelaki gila ... yang sialnya, mampu mencuri hatinya hingga ke relung terdalam.


Bibir nakal itu kembali naik ke lehernya, hendak memberikan jejak juga di sana. Namun segera dihalau oleh Cessa. "jangan, besok aku ada kelas," ucapnya sembari mengigit bibir, satu tangan ia gunakan untuk menahan mulut Aksa.


Lelaki itu tertawa kecil, kemudian beranjak. Lagi-lagi smirk itu tak hilang dari wajah tampannya.


"Kamu pikir kamu bisa kuliah besok, hm?" tanya Aksa dengan senyuman simpul sembari menggeleng pelan, seperti tidak habis pikir.


"aku udah bilang aku bakalan hukum kamu," lanjutnya, dengan satu tangan mulai melepas kait ikat pinggang.


'Anjir, mati gue. Bisa nggak pulang-pulang ntar yang ada,' Cessa membatin.


Cessa hanya menahan ludah. Bukannya tidak ingin kabur atau bersembunyi, tapi melawan Aksa yang sedang seperti ini hanya membuang tenaga saja.


Cessa sudah bersama lelaki ini empat tahun lamanya.


Sudahlah, mau tidak mau ia harus melewati malam-malamnya bersama Aksa, entah sampai malam yang mana.


Menikmati siksaan, yang juga ...


Memabukkan.

..

.

"Aku bakalan bikin kamu gak bisa bangun sampe berhari-hari."

.

***

"Dia gak lagi sama lo kan?"


"Gak, dia lagi nginep di rumah temennya, gue lagi gak sama dia sekarang."


"Dua hari hpnya gak aktif. Lo rusakin lagi?"


Samar-samar Cessa mendengar Aksa tengah berbincang dengan seseorang. Perlahan membuka mata, ia melihat rupanya Aksa sedang menerima telpon.


Melihat adanya pergerakan, Aksa menoleh pada gadis yang kini masih direngkuhnya dalam pelukan.


Satu jari telunjuk Aksa menempel di bibir, memberi isyarat pada Cessa agar tak bersuara.


"Hm. Biasalah, kayak lo gak tau aja."


"Come on, man. Gue heran banget sama lo, orang cuek yang jarang gubris apapun yang menurut lo gak penting. Tapi mendadak bisa kek setan minta di ruqyah cuman gegara adek gue senyumin temen cowok yang nyapa dia."


"Pfft. Hmmmppphhh—" Tawa Cessa hampir saja pecah jika Aksa tak langsung membungkam gadis itu dengan bibirnya.


"Woy, lagi ngapain lo, bangke! Jangan bilang lo lagi apa-apain adek gue. Awas aja, gue bunuh lo!"


Melepas pagutan itu, Aksa terkekeh ringan. "Gak, lo tenang aja. Udah gue bilang kan dia lagi gak sama gue. Gak percayaan amat sih, lo. dia lagi di rumah Sherin, temen barunya di kampus. Ntar siang gue jemput sekalian kasih hp baru," sanggah Aksa pada penelpon di sebrang sana.


'Iya enggak, gak salah, Wa. Malah udah dua hari kita gak keluar kamar.' Kekeh Aksa dalam batinnya.


"Fiuhh. Jujur aja, pas hp dia mendadak gak aktif gue udah tau itu pasti ulah lo..."


"...Gue juga gak terlalu nyariin dia karena ada lo di sana, walaupun gue khawatir banget. Karena gue percaya sama lo, lo bakalan selalu pastiin dia baik-baik aja selama gue masih di Yunani."


Sejenak, Aksa kembali menoleh pada gadis yang kini menyandarkan kepala di dadanya. "Hm, ya. Itu pasti."


"Ya udah, entar langsung kabarin gue kalo lo udah sama dia. Semaleman gue gak bisa tidur anjir karena si Princess gak ada kabarnya."


"Hm, oke. Ya udah, gue tutup du—"


"Wait. Lo inget pesan gue, Sa.."


".. Gak peduli lo sahabat gue, atau bahkan sodara sedarah sekalipun. Berani lo rusak adek gue ..."


.

.


"... Gue bunuh, lo. Lo inget itu."


Aksa memutar malas kedua bola matanya. "Ya, ya, ya. Lo udah ngomong itu jutaan kali, Arsenio. Kuping gue udah males dengernya."


Terdengar kekehan di seberang sana. "Ya udah, jangan lupa kabarin gue. Bye."


Tut.

Sambungan terputus.


Aksa pun kembali berbaring di sebelah Cessa, mengubah arah ke samping menghadap gadis itu.


Sejenak, Cessa menatap lekat lelaki yang sedang menatapnya intens.


Lelaki ini, benar-benar menjalankan hukumannya.


Dua hari lalu mereka bersitegang. Seperti tanpa lelah, Aksa terus saja memasukinya. Ia sudah mengiba, memohon padanya, namun Aksa sama sekali tak memberinya jeda.


Benar-benar membuat tubuhnya terasa remuk, hingga tidak sanggup untuk sekedar berdiri saja.


Hingga Cessa lelah untuk memohon padanya, dan membiarkan Aksa melakukan semua yang ia mau.


Melawan Aksa, adalah hal yang percuma.


Membenci lelaki itu karena kejadian kemarin? Tentu saja tidak.


Kejadian seperti ini bukanlah kali pertama bagi Cessa. Setiap kali marah, Aksa memang tak pernah sekalipun memukul, menampar, atau hal lain. Namun ia akan melampiaskan segala emosinya di ranjang.


Aksa refleks memejam, kala jemari lentik Cessa menyusuri dahi, pipi, hidung, dan berhenti di bibirnya.


"Bajingan. Brengsek," guman Cessa dengan tatapan menerawang.


Membuka mata, Aksa terkekeh pelan. "Brengsek gini juga kamu cinta, bee."


Cessa memutar malas bola matanya.


"Aku capek, Aksa. Kita selalu berantem untuk hal yang sama," ungkap Cessa dengan tatapan sendunya.


Menyisir rambut dengan jari, Aksa mengerang frustasi. "Jangan rusak mood aku, bee."


Hembusan napas lelah terdengar di telinga Aksa.


Kemudian Aksa merasakan jemari lentik itu mengenggam halus tangannya, satu tangan membelai lembut wajah Aksa. "Aku sayang sama kamu..," ungkap Cessa menatap lembut lelaki itu.


".. Tapi aku capek, kalo kita kayak gini terus," sambungnya lagi.


Mengembuskan napas kasar, mau tak mau, kali ini Aksa memang harus mengalah. "Oke, kali ini aku bakalan bener-bener berusaha."


Ya, Aksa pun merasa Cessa sudah mulai lelah dengan hubungan mereka, terlebih dengan sikap over protectifnya.


Namun tetap saja, bagi Aksa, tidak ada yang salah dengan sikapnya selama ini.


Aksa hanya menjaga apa yang sudah menjadi miliknya.


Tapi, ia harus berhati-hati kali ini. Salah satu langkah saja, gadis ini bisa kapan saja meninggalkannya. Lagi.


Seperti yang ia lakukan dua tahun lalu.


Saat Cessa memilih bersekolah di London, hanya untuk menghindarinya karena Aksa tak terima Cessa memutuskannya secara sepihak. Namun tentu saja, itu tak berpengaruh pada Aksa.


Jangankan Inggris, ke ujung dunia pun akan Aksa susul.


Melihat Aksa yang tak kenal lelah mengejarnya, juga ia yang tak pulang-pulang hingga kuliahnya di Indonesia terbengkalai, beberapa bulan setelah Cessa pindah mereka kembali bersama, lalu Aksa akhirnya kembali dan mereka menjalin hubungan jarak jauh lintas negara.


Namun lagi-lagi badai menerpa hubungan mereka, selalu dengan alasan yang sama.


Berpacaran langsung saja sifat possesive Aksa sudah hampir over limit. Apalagi berhubungan jarak jauh, lintas negara pula.


Setelah mereka berhubungan jarak jauh, Aksa malah semakin menjadi. Semakin possesive, kecemburuannya semakin diluar nalar.


Membuat Cessa memutuskan untuk break sejenak dari hubungan mereka. Tentu saja, Aksa semakin menggila dibuatnya.


Sampai akhirnya Cessa lah yang memutuskan untuk kembali pindah ke Indonesia.


Sebelum Aksa menghancurkan masa kuliahnya dengan kelulusan yang sudah di depan mata, ditengah tuntutan keluarga Aksa agar lelaki itu segera menyelesaikan studynya, lalu melanjutkan ke jenjang S2, dan mulai meneruskan perusahaan Ayahnya.


Sudahlah, itu sudah berlalu.


Aksa takkan lagi mengulangi kesalahan yang sama.


Jangan sampai Cessa memutuskan untuk benar-benar pergi dari hidupnya.


Yang paling Aksa takuti adalah ....


Cessa berhenti mencintainya.


"Aku janji, sekalipun aku cemburu, aku gak akan menunjukkan rasa cemburuku depan kamu," ungkap Aksa dengan sungguh-sungguh.


'Saat itu terjadi, aku bakalan selesein semuanya diam-diam.'

Aksa membatin.


"Promise?" Tanya Cessa dengan binar di matanya.


Lelaki itu tersenyum. Melihat binar itu, membuat hati Aksa menghangat.


Kemudian ia meraih jemari yang sedang membelai wajahnya itu dan mengecupnya dengan mesra.


..

.


"I'm promise."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rindi
shit, otak gw traveling
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status