Share

3. Kau adalah Teritorialku

"Bagiku, kau adalah daerah teritorialku."

-Aksa Mahatma Khaera-

***

"Aku lagi gak ada kelas hari ini, kalo gak di gedung basket, ya nangkring di kantin. Kalo udah selesai kuliahnya kabarin aja," tutur Aksa sembari membuka seat belt yang dikenakan Cessa. 


Gadis itu tersenyum tipis, "Iya."


Lalu, seakan teringat sesuatu, Aksa membuka seat beltnya lalu meraih sesuatu yang ia simpan di jok belakang. "Look at this, kamu suka gak," ucap lelaki itu seraya menyerahkan sebuah paper bag pada Cessa. 

Cessa merogoh barang tersebut. Sebelah alisnya terangkat, namun ia tidak terkejut sama sekali. 

..

.

Sebuah ponsel baru.

Iphone 12 berwarna silver keluaran terbaru, rupanya Aksa mengganti ponsel Cessa dengan tipe yang serupa, dan warna yang sama, dengan yang telah dirusaknya kemarin. 

"Kalo gitu aku ke kelas dulu," ucap Cessa sembari hendak memegang handle pintu mobil. 

Cessa malas berterima kasih. Ini sudah sangat sering terjadi. Karena kebiasaan Aksa itu, sedari dulu ia seringkali kehilangan kontak teman-temannya. 

Aksa merangkulkan sebelah tangan kemudian mengecup sisi kening Cessa. "I love you, Princess," ucapnya sembari mengusap sayang puncak kepala gadis itu. 

"Me too," balas Cessa dengan senyum mengembang. 

Tepat setelah memegang handle pintu, gadis itu kembali menoleh, "jalanin janji kamu itu," titahnya sembari mengerlingkan salah satu mata, kemudian mengecup sekilas pipi Aksa. 

Aksa balas tersenyum. "Pasti, bee." 

Cessa melambaikan tangan saat Aksa pergi meninggalkan parkiran gedung fakultasnya, kemudian berjalan menuju kelas sembari menenteng paper bag tersebut. 

Gadis itu merasa lebih baik sekarang. 

Meskipun Aksa 'menculik' dan menyiksanya selama berhari-hari, setidaknya masalah yang sudah berlarut-larut selama empat tahun lamanya, akhirnya bisa dibahas dan diambil kesepakatan terbaik. 

Tidak bisa dibilang itu sebuah siksaan, karena nyatanya Cessa begitu terbuai oleh manisnya sentuhan Aksa padanya.

Menyebalkan memang. 

Cessa merasa lututnya seperti akan lumpuh. Lemas sekali, hingga sulit untuk sekedar berdiri saja. 

Seperti itulah hukuman yang Aksa maksud. 

Membuat Cessa memohon, dan mengiba padanya dalam desah napas yang saling beradu. 

Segera menepis pikiran kotor itu, tanpa sadar Cessa menggeleng pelan. "Aish! Mikir apa sih gue! Pagi-pagi gini ini otak udah ngeres aja," gerutunya pada diri sendiri.

"Hai, lo anak baru itu kan?" Tepukan di pundak serta sapaan orang asing itu menghentikkan langkah Cessa.

Cessa pun berbalik, "Ya?" Balasnya dengan sebelah alis terangkat.

Lelaki itu mengulurkan satu tangannya. "Kenalin, gue Radika, panggil aja Dika. Ketua HIMA fakultas lo, senior lo juga di sini, kita satu jurusan soalnya," kata lelaki itu dengan senyum ramah.

Cessa malah terlihat sedikit celingukan.

Ia takut, jika Aksa melihat pemandangan ini lalu membuat suatu kekacauan.

Ah, ia baru ingat. Bukankah lelaki itu sudah berjanji padanya?

Dengan senyum lebar, ia menjabat uluran tangan lelaki itu. "Princessa, panggil Cessa aja."

"Kalo lo ada kendala apapun di sini, lo bisa cari gue, atau anak HIMA yang lain yang lo kenal. Kita pasti bantu," imbuhnya seraya melepas jabatan tangan itu.

"Hm," jawab Cessa dengan senyum tipisnya.

Sembari berjalan menuju gedung fakultas, mereka sedikit berbincang, "...Gue gak nyangka sih sebenarnya, manusia es tanpa emosi macam si Aksa, bisa punya bucin juga ya ternyata, sampe empat tahun lagi," aku Dika sembari tertawa renyah.

"Gue tuh seangkatan sama dia. Emang sih, dia mahasiswa paling famous selain Andre di sini..," tutur Dika kembali.

"..Tapi gak ada cewek yang tahan ngejar dia. Seagresif apapun, dia gak pernah gubris sama sekali. Mau kayak gimana pun dia digangguin, dia gak pernah keliatan marah, bahkan cenderung gak peduli sama semua hal disekitarnya. Ngomong aja seperlunya banget. Dia sampe digosipin homo tau gak."

Tawa Cessa mengudara di koridor kampus kala itu, "Sekalinya marah gue ampe dibikin ngesot anjay," cicit Cessa dengan bibir cemberutnya. Begitu rendah, bahkan tak terdengar oleh Dika .

"Ha? Lo bilang apa barusan?"

Mendengarnya, Cessa mengibaskan satu tangan. "Gak kok, kak, bukan apa-apa."

"Yaudah, kalo gitu gue ke ruang HIMA dulu," pamit Dika dengan satu jari telunjuk mengarah ke kanan saat mereka sampai d persimpangan koridor.

Gadis itu tersenyum ramah. "Oke."

"Bye. See ya," kata lelaki itu sembari melambaikan tangan, lalu memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, kemudian berlalu.

Sementara Cessa hanya membalasnya dengan lambaian tangan kemudian melangkah menuju lift, karena kelasnya terletak di lantai empat.

Sesampainya di ruang kelas, netranya langsung menangkap sosok Lingga yang sedang berdiskusi serius dengan seorang gadis.

Cessa tak habis pikir, bisa-bisanya partner in-PRnya itu memendam rasa pada seorang gadis selama lebih dari tiga tahun.

Tentu Cessa tahu mengenai hal itu, karena satu-satunya teman 'berbagi' Lingga adalah dirinya.

Gadis itu adalah Reana Juwita Soeharno, puteri salah satu pengusaha Advertising di jakarta. Mereka bertiga, bersama Aksa, dan gengnya, satu sekolah sejak SMA.

Cessa melangkah riang menghampiri mereka berdua, "ihola, good people," sapa Cessa sembari menjatuhkan bokong di bangku depan Lingga.

Refleks Lingga menoleh ke depan, kemudian dengan gemas menyentil dahi gadis itu. "Lo kemana aja, sih. berhari-hari hp lo nggak aktif, gue cari di rumah gak ada."

Kemudian arah pandang lelaki itu berubah menatap paper bag yang Cessa taruh di atas meja.

"Dirusakin lagi sama do'i?" Tanya Lingga dengan ekspresi meringisnya. Butuh uang yang tidak sedikit, untuk membeli barang itu.

"Hm. Kayak lo baru kenal Aksa kemarin sore aja."

Raut muka Rea seketika berubah saat dua orang dihadapannya sedang membahas satu nama yang cukup sensitif untuknya.

"Long time no see, Sa. Setelah dua tahun, lo balik juga, ya, ternyata," tutur Rea sembari tetap fokus mencatat tugasnya.

"Gak pengen banget ya, Re, gue balik?" Tembak Cessa, membuat Rea refleks mendongak.

"Ah, ya. Itu.. Bukan, maksud gue bukan gitu. Tapi-" Rea menggaruk pelipisnya yang tak gatal.

"Astaga, Re. I was joking, you know," potong Cessa dengan tawa renyah sembari mengibaskan rambutnya yang menjuntai indah.

"Eh, eh, Ngga..," rengek manja Cessa sahabatnya itu.

Lingga memutar malas bola matanya. "Apa?" Tanyanya berbasa-basi dengan kedua tangan melipat di dada, padahal ia sudah tahu apa yang diinginkan gadis itu.

"Nyontek."

Kembali, Lingga memutar malas bola matanya. "Kapan rajinnya sih, lo," jawabnya sembari menyerahkan binder tugasnya pada Cessa.

Gadis itu tersenyum lebar.

..

.

"Entar, kalo otak pinter lo, udah lo warisin ke gue." 

Sementara itu, di tempat yang berbeda...

"Dik." 

Langkah Dika langsung terhenti mendengar sapaan yang ditujukan kepadanya tersebut. Refleks ia menoleh dan berbalik, "eh, Sa. Gue kira siapa," sapa balik Dika, sekedar basa-basi. 

"Ada apa nih? Tumbenan amat orang penting kek elo, nyari remahan keripik kek gue," canda Dika, berniat mencairkan suasana yang ia rasa mendadak terasa mencekam. 

Namun, si lawan bicara hanya menampilkan segaris senyum tipis, yang bahkan hampir tak terlihat. 

Aksa yang nampak tengah bersender di dinding dengan kedua lengan melipat di dada pun angkat suara, "gue ada keperluan nih sama lo, makanya gue ke sini."

Alis Dika terangkat, ada keperluan apa mahasiswa famous seperti Aksa sengaja datang mencari dirinya seperti ini? 

Aksa pun memberi isyarat arah menggunakan dagunya. 

..

.

"Ikut gue."

***

Bugh! 

Lelaki itu terbatuk. Lagi, ia kembali mendapat pukulan itu. Tubuhnya sudah lemas tak berdaya.

Dika tak menyangka, tujuan Aksa mencari dirinya adalah untuk menghajarnya seperti ini.

Aksa mengajak Dika ke sebuah gedung tak terpakai yang terletak di ujung belakang kampus.

Disana sudah ada beberapa mahasiswa berandal pengikut Aksa yang sudah siap dengan segala alat hajarnya.

Ia pun sama sekali tak pernah membayangkan, sosok manusia tanpa emosi seperti Aksa bisa berubah menjadi seberingas ini hanya karena seorang perempuan. 

Tubuh jangkung Aksa yang berdiri membelakang Dika tampang menjulang, Dika yang sedang terkapar dengan beberapa luka lebam di tubuh tak mampu berbuat banyak. 

"Ini hukuman karena lo udah berani deketin cewek gue." Nada suara Aksa yang terdengar rendah itu membuat orang-orang yang berada di sana bergidik. Auranya terasa begitu menyeramkan.

"Demi Tuhan, Sa. Gue cuman nyapa dia doang," ucap Dika dengan nada lemah. 

Mendengarnya, Aksa menolehkan kepala. Melihat tatapan tajam tak bersahabat itu, Dika menelan ludah. 

Sepertinya Dika telah salah berbicara. 

"Gue gak peduli motif lo apa," balas Aksa dengan singkat.

Bagi Aksa, Princessa adalah daerah teritorialnya. 

Ia tidak akan pernah membiarkan siapapun mengusik, mendekati, apalagi mencoba mengambil alih apapun yang ia klaim sebagai wilayah jangkauannya.

Terlebih Cessa, gadis itu adalah hidupnya. Titik center kawasan teritorial seorang Aksa Mahatma.

Aksa pun berbalik, ia terlihat seakan meremas tangannya sendiri. Kemudian berjongkok tepat di sebelah Dika, "Gue bisa aja sebenarnya, habisin lo pake tangan gue sendiri ..."

"... Tapi gue gak mungkin ninggalin jejak di badan gue, karena cewek gue pasti bakalan langsung curiga dan marah sama gue kalo dia tau soal ini," akunya lagi dengan senyum licik.

Kemudian Aksa pun kembali berdiri. 

"Arghh!!" 

Dika berteriak kencang saat Aksa menginjak dengan keras telapak tangan dan jari-jarinya. 

"Dan ini hukuman karena lo udah sentuh cewek gue pake tangan busuk lo," ujar Aksa penuh penekanan, tak ada ekspresi apapun di raut mukanya. 

Aksa maju beberapa langkah, meraih tongkat baseball yang sedang dipegang salah satu pengikutnya. 

Memukul ringan tongkat itu ke telapak tangan, Aksa menatap lelaki sialan yang sudah berani menggoda gadisnya itu. 

"Dasar, psikopat gila," ucap lemah Dika diantara kesadarannya yang sudah hampir hilang. 

Bukannya raut marah, malah seringai licik yang Aksa tampilkan. 

Orang-orang yang berada dalam gedung, termasuk Dika. Baru pertama kali ini melihat kemarahan seorang Aksa Mahatma Khaera, dan itu sangatlah menyeramkan. 

Ia pun kembali berjalan menghampiri Dika yang sudah terkulai lemah, dengan rahang mengetat dan gigi yang bergemelatuk. 

Dengan penuh amarah, Aksa memberikan Dika satu pukulan telak terakhir.

..

.

"Sekali lagi lo berani deketin cewek gue, gue matiin lo, njing!"

- TBC -

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rindi
nexxxtttttt
goodnovel comment avatar
Rindi
Aksa psiko 🤐
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status