“Gimana? Gue udah cantik, kan?” tanya Alma pada Sezan dan Audy, sahabatnya.
“Gilaaa lo udah cantik banget kayak Miss Universe, Ma hahaha.” goda Audy.“Euh, lo tuh ya, suka berlebihan.”“Zan, cantik gak gue?” tanyanya lagi pada satu sahabatnya yang belum menjawab.“Canti, Maa, cantik banget.”“Kayak Miss Universe?” ledeknya.“Yeee, dendam lo sama gue.” seloroh Audy kesal.Mereka tertawa.Di hadapan cermin Alma menatap kedua sahabatnya yang berdiri di belakang tubuhnya, “Gue... gak papa kan ya nikah sama duda beranak?”“Gak papa lah, lagi musim tau.” timpal Audy.“Musim, lo pikir rambutan ada musimnya?”“Ya lo emang gak tau banyak slogan duda semakin di depan? Itu artinya, lo mengikuti trend dengan baik hahaha, iya kan, Zan?”Sezan mengangguk.“Zan, lo mah diem aja kayak kena Malaria. Lo kasih tanggepan dong sama pertanyaan gue.”Sezan melirik Audy lalu menatap Alma lewat cermin, “Ya gak papa dong, Ma, kamu mau nikah sama yang single, sama yang duda, sama aja kok, gak ada bedanya. Yang penting jangan sama....” ia melirik Audy dan Alma.“Dudi dudi dam-dam dudi dudi dam, hahaha.” mereka kompak bernyanyi dan tertawa.“Pada gila lo ya, calon lakik gue lagi degdegan ngadepin ijab qabul, kita malah ketawa-tawa di sini.”Audy menepuk bahu Alma, “Kita sengaja bikin lo gak ikutan tegang. Kalo panik lo kambuh bahaya, bukannya jadi manten, lo jadi pasien lakik lo sendiri, Ma.”Alma nyengir kuda, “Hehe, iya bener juga lo.”Hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Alma memikirkan nasibnya yang akan menjadi istri dari seorang dokter bedah Ahli Dalam, Audy memikirkan nasib genk mereka karena salah satunya sudah sold out dan akan mempengaruhi jadwal rutin mereka untuk berkumpul. Sedang Sezan memikirkan nasib mujur sahabatnya yang di nikahi oleh dokter yang selama ini ia harapkan menjadi suamianya.“Alma, ayo keluar nak, ijab qabulnya udah selesai.” Mama nyelonong masuk ke dalam kamar hotel yang di jadikan ruang makeup.“Udah, ma? Kok cepet banget?”“Cepet lah, ngapain lama-lama?”“Bukan gitu maksud aku.”“Udah, kamu tuh ngomong terus. Awas ya nanti di pelaminan kamu ngomong macem-macem sama Adam.”“Iya, mamah.”Alma berdiri di bantu Audy dan Sezan yang akan memapah sahabatnya untuk keluar kamar dan berjalan menuju ballrom hotel. Alma mengenakan Wedding Dress bergaya Ball Gawn berwarna ivory yang begitu cocok di kenakannya. Rambutnya di gelung ala Lenght Hair yang di tempeli bros bernuansa daun berwarna emas. Tangannya membawa buket bunga tulip putih kesukaannya.“Gue degdegan banget ini.” curhatnya pada kedua sahabatnya yang dengan setia menuntunnya ketika pintu ballroom di buka.“Tenang, Ma, tarik nafas, hembusin. Yang teratur, jangan sampe lo kentut pokoknya.”“Kunyuk lo!” desis Alma pelan.Sezan sudah melotot ke arah Audy yang sempat-sempatnya bercanda ketika momen setengah genting seperti ini.“Iya-iya, maaf bestie.”Langkah kaki mereka kini di dahului oleh orang yang meniupkan sexophone yang memainkan instrumen I Can’t Falling in Love With You. Suasana terasa syahdu dan khidmat. Mata Alma beradu dengan mata Adam yang sudah menunggunya di depan meja ijab qabul bersama papa, penghulu dan beberapa saksi.Alma tidak pernah menyangka takdirnya akan semain-main ini, memiliki pacar yang enggan di ajak bicara serius mengenai hubungan mereka kedepannya, menikah dengan seorang duda beranak balita karena jatuh tempo dari waktu yang di berikan mama, dan menikah seperti tahu bulat yang dadakan gurih-gurih enyoy.“Pengantinnya cantik ya, masih muda.”“Iya, bener cantik. Adam gak salah pilih istri.”Suara-suara pujian itu datang dari tamu undangan yang entah dari pihak keluarga atau teman sejawat suaminya. Tapi Alma menikmati pujian itu. Ia sebagai perempuan tulen pastinya senang di berikan pujian.Mereka masih berjalan melewati foto prewedding yang tersuguh belasan figura. Dengan teknik foto cepat pakai fotografer yang di undang mama ke rumah kemarin setelah acara lamaran, foto prewedding di laksanakan dengan lancar. Sebagian fotonya di edit layaknya mereka sedang berada di padang rumput. Entahlah, Alma yang melihat itu ngakak sendiri rasanya.Begitu mereka sampai, Audy dan Sezan menyerahkan lengan Alma yang sedari tadi mereka pegangi ke arah Adam. Dengan sigap, lelaki yang sudah sah menjadi suami Alma itu menerima tangan kanan Alma dan mengajaknya untuk duduk di kursi ijab untuk menandatangani berkas pernikahan.“Ya, sudah hadir bersama-sama kita mempelai pengantin perempuan yang cantik sekali ya. Almaira Indira Priyawan yang sudah sah menjadi istri dari Adam Peter. Almaira ini merupakan anak tunggal dari Bapak Handoko Priyawan dan Ibu Yuanita Lestari, sedangkan Adam merupakan anak kedua dari Bapak Jordan Peter dan Ibu Asry Putri.” ucap MC acara begitu Alma duduk di samping Adam.Adam tak henti-hentinya melirik ke arah Alma yang duduk di sampingnya. Semua terasa seperti mimpi. Tak lama Alma juga ikut meliriknya. Ia pun tak henti melirik Adam yang tampak tampan dengan setelan jas berwarna hitam yang cocok di kenakannya.“Cantik.”“I know.” balas Alma cekikikkan, “Kamu jelek.”Adam tertawa. Ia harus terbiasa dengan joke anak muda seperti Alma. Bagaimana pun perbedaan usia mereka tidak bisa di ubah. Tahun ini Adam genap berusia 35 tahun, sedangkan Alma baru menginjak 22 tahun. Perbedaan zaman yang mereka jalani mau tak mau akan membuat dua orang ini berbeda persepsi dari segi apapun.***Acara berjalan lancar hingga kini sudah ada di penghujung acara. Tamu yang di undang hanya keluarga inti, teman sejawat dan rekan bisnis orang tua masing-masing. Alma hanya mengundang kedua sahabatnya, sedangakan Adam hanya mengundang satu sahabatnya yang kini sudah pulang duluan karena ada jadwal operasi mendadak.“Alma, gue sama Sezan pamit duluan ya.” Audy berpamitan ketika tamu satu per satu juga berpamitan pada pengantin dan orang tua mempelai.“Loh, kok cepet banget. Ini acaranya kelar bukan berarti lo sama Sezan juga ikut pulang dong.” protes Alma.Audy melirik keberadaan mama Alma yang sedang ngobrol entah dengan siapa. Sebenarnya ia masih ingin di sini, menemani Alma yang baru menjadi istri sehari. Tapi ibu temannya itu memaksanya dan Sezan untuk pulang agar Alma memiliki waktu untuk berduaan dengan Adam.“Gue ada urusan. Si Sezan juga. Iya kan, Zan?” tanyanya pada Sezan.Sezan hanya mengangguk. Orang ini memang kurang banyak bicara.“Pengangguran kayak lo punya acara apaan sih, gaya banget.”“Ih, nyebelin lo. Kemaren-kemaren lo juga pengangguran sibuk terus kan sama si Rio. Gue juga sibuk sama pacar aplikasi gue.”“Pacaran sama aplikasi lo. Ya udah sana pada balik.”Audy mengelus dagu Alma, “Kok ngambek sih. Nanti kan kita bisa ketemu lagi. Kita double date sama dokter Adam. Boleh kan, dok?”Adam yang sedari tadi hanya menjadi pemerhati obrolan istri dan sahabatnya mengangguk, “Dengan syarat gak ada yang manggil dokter. Kalian bukan pasien saya, jadi just call me Adam.”“Kalo mas Adam boleh gak?” goda Audy.“Suaminya Artis Inul kali ah.” lerai Alma.“Yeeee, elo kan manggilnya mas.”“Gak papa lah, gue kan istrinya.”“Huuu dasar, emang gak mau kalah lo. Ya udah gue sama Sezan pamit ya.” Audy bergerak memeluk Alma, di susul Sezan.“Uuuh, kalian harus janji kita tetep bisa kumpul ya.” pinta Alma ketika pelukkan mereka terlepas.Audy dan Sezan mengangguk.“Gampaaang. Lo nanti bawa Tinkerbelle buat kumpul sama kita.” ucap Audy yang di sambut pelotottan dari Alma.Alma melirik Adam yang sudah meliriknya lebih dulu, “Bukan Tinkerbelle, guys namanya.”“Apa dong? Annabelle?” tebak Audy.Alma menggeleng, “Bukan.”“Belle Swans?” tebak Sezan.“Bukan juga. Namanya Belleza.”Audy melongo, “Kayak nama type kulkas.”“Ssssssst, bagus tau namanya. Belleza tuh bahasa Spanyol, artinya cantik.” jawab Alma sambil melirik takut ke arah Adam.“Oh, hehehe, iya cantik banget ya artinya.” Sezan melirik Audy yang masih diam keheranan dengan nama anak sambung Alma.“Ya udah kita balik ya, Ma, happy honeymoon dan sampe ketemu di jadwal kumpul. Byeee. Byee mas Adam ganteng.” goda Audy genit.“Alma, mas, kita pamit ya.” Sezan juga berpamitan.“Iya, hati-hati ya, Dy, Zan.”Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda