Home / Rumah Tangga / (BUKAN) Duda Biasa / 6. Melihat Aset Suami

Share

6. Melihat Aset Suami

Author: Rahmani Rima
last update Last Updated: 2023-10-27 12:06:25

Alma menutup telinganya dengan lipatan bantal ketika matanya masih menangkap langit di luar jendela masih gelap. Tangannya meraba-raba nakas samping kasur untuk melihat jam digital yang bertengger disana. Matanya terbuka lebar dan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Masih jam lima. Yang benar saja, kenapa mahluk kecil itu terus menangis sepanjang malam.

“Arghhhhh! Kenapa sih nangis terus, Belle!” hardiknya kesal.

Alma terpaksa bangkit dari posisi tidur dan mengacak-acak rambutnya. Tidurnya semalam memang nyenyak setelah melakukan video call tiga jam dengan Sezan dan Audy karena ia sebagai nyonya baru, memiliki kesempatan memamerkan seisi rumah suaminya. Tapi tolong catat baik-baik, kalau Alma membutuhkan waktu tidur yang lebih lama.

Tidak, Alma sehat secara fisik dan mental. Ia juga bukan penderita hipersomnia. Ia hanya suka tidur.

Dengan terpaksa Alma turun dari kasur dan berjalan dengan kesal membuka pintu kamarnya. Ia berjalan lurus ke arah kamar Belle di sebelah kiri kamarnya.

“Sus, Belle kenapa, sih?” tanyanya sebelum sampai di kamar Belle dan bertemu suster Ruth.

Suster Ruth yang tengah menggendong Belle menatap tidak enak pada Alma yang menampakkan wajah super kesal, “Bu, maaf, kayaknya Belle rewel karena mau tumbuh gigi.”

“Alma, bukan ibu!”

“Oh iya, maaf, Alma.”

Alma melipat kedua tangannya, ia bersender di lawang pintu menatap Belle yang masih menangis, “Terus gimana caranya biar diem?”

“Biasanya saya kasih mainan gigi, Belle bisa tenang. Tapi gak tau kenapa ini rewel banget dari kemarin.”

“Tapi kalo di gendong papanya dia diem, kan?”

Suster Ruth mengangguk.

“Emang kangen kali tuh sama papanya.”

“Mungkin.”

Alma melapaskan lipatan tangannya dan berjalan ke arah kamar untuk mengambil ponselnya. Ia melihat last seen akun chat milik Audy. Pukul dua pagi. Anaknya sekarang pasti masih merajut mimpi. Ia melihat last seen akun milik Sezan, satu jam lalu. Sahabatnya itu pasti masih sibuk bantu-bantu orangtuanya di dapur untuk mempersiapkan keperluan caffe milik keluarganya.

“Pengantin lain bangun tidur mesra-mesraan, gue stress denger si Belle nangis. Mana mas Adam belum pulang lagi. Kenapa sih hidup gue merana gini. Gue butuh sosok suami yang bucin sama gue bukan bucin sama pasien.”

Dengan perasaaan masih super kesal, Alma berjalan keluar kamarnya membawa ponselnya. Ia berdiri di balkon melihat perubahan awan gelap menjadi terang. Udaranya terasa sejuk sekali. Matanya tertutup merasakan angin pagi menerpa kulit wajahnya.

“Permisi,”

Alma membuka matanya dan membalikkan badan, “Sus?”

“Mau kopi?”

“Aku gak suka kopi. Teh aja.”

Suster Ruth mengangguk, “Bentar ya.”

“Oke.”

Alma mengernyit. Kenapa suster Ruth menawarinya minum? Apakah mahluk kecil menyebalkan itu sudah tidur? Sepertinya sih begitu, karena suara raungannya tak lagi terdengar kemari. Ia mengendikkan bahunya tidak peduli.

Tak lama suster Ruth kembali membawa dua gelas berisi teh, “Minuman datang.”

Alma tertawa. Ia mengambil salah satu gelasnya, “Makasih, sus.”

“Sama-sama.”

Suster Ruth berdiri disamping Alma yang kini menggenggam gelas putih hangat itu, “Alma, maaf ya kalo tidurnya terganggu.”

Alma melirik suster Ruth tersenyum, “Gak papa, nanti aku bisa tidur siang, itu pun kalo Belle gak rewel.”

Suster Ruth tertawa.

“Mas Adam biasanya pulang jam berapa?” tanyanya sambil menyesap teh.

“Biasanya jam delapan.”

Alma mengangguk. Ia kembali melirik suster Ruth, “Suster udah kerja sama mas Adam sejak Belle bayi?”

Suster Ruth mengangguk, “Iya. Dulu saya kerja di RS yang sama dengan dokter Adam. Waktu itu saya mutusin resign karena terlibat masalah sama rekan kerja.”

“Hah? Kenapa?”

“Biasa, saya di bilang kerjanya gak bener, selalu datang telat. Saya pikir temen saya itu emang gak suka sama saya, ternyata emang begitu sifatnya. Sama yang lain juga begitu.”

“Oh, dia cari muka kali.”

“Bisa jadi. Saya ngerasa gak kuat kalo terus-terusan berantem sama rekan kerja, rasanya jadi gak nyaman. Saya mutusin resign, eh dokter Adam bilang mending saya kerja sama beliau buat jaga anaknya dirumah.”

“Seneng dong gak jadi nganggur?”

“Hahaha.” mereka tertawa bersama.

“Mas Adam galak gak sih?”

Suster Ruth menatap Alma. Sebelum menjawab pertanyaan itu, ia menyesap teh miliknya terlebih dulu, “Gimana ya. Dokter Adam itu tegas sih menurut saya. Meskipun jarang senyum, tapi baik dan pengertian.”

“Oyah?”

Suster Ruth mengangguk, “Temen saya juga ada yang memutuskan jadi baby sitter di rumah. Dia bilang majikannya galak gak jelas. Kerjanya protesss mulu. Kalo dokter Adam gak akan marah kalo ada apa-apa sama Belle di luar kuasa saya sebagai sitternya.”

“Oh gitu. Oyah, kalo suster kerja sama mas Adam dari Belle lahir, berarti suster kenal sama mamanya Belle?”

Suster Ruth mengangguk, “Kenal. Mamanya Belle dokter di rumah sakit yang sama di tempat saya kerja.”

“Dokter bedah juga?”

“Iya. Dulu mereka saingan. Gak ada yang pernah nyangka mereka jadi suami istri.”

Alma tersenyum.

Ketika mereka sama-sama tengah menyesap teh masing-masing, dari dalam terdengar suara tangisan menggelegar dari Belle, siapa lagi. Suster Ruth melirik tidak enak membuat Alma tertawa dan mengusap-usap bahunya.

“Sus, aku yang minta maaf.”

Suster Ruth mengernyit, “Kok Ibu, eh kok kamu yang minta maaf?”

“Belle kan anak aku sekarang. Maaf ya dia resek.”

Mereka tertawa bersama-sama.

“Saya masuk dulu ya, mau nenangin anak kamu.”

Alma mengangguk sambil tertawa.

Suster Ruth berlalu ke dalam rumah. Alma kembali menyesap teh miliknya. Ia senang bisa menjalin hubungan baik dengan suster Ruth. Memang harus begitu. Ia tidak mungkin hanya diam saja dirumah ini tanpa teman bicara karena suaminya entah kapan ada di rumah.

“Badan gue kok pegel-pegel ya? Berendam dulu kayaknya enak deh.”

Alma berjalan masuk ke dalam kamar dan akan memanjakkan dirinya dengan berendam di temani lilin aromaterapi dengan aroma bunga ros dan alunan instrumen.

Ia melenggang berjalan memakai piyama tidur berwarna biru navy ke dalam toilet kamar utamanya yang luas. Perlahan, tangannya membuka tali piyama dan memamerkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Andai malam tadi terjadi malam pertamanya dengan Adam, entah, Alma akan suka atau tidak.

Alma terkikik sendiri membayangkan bayangan gila dalam pikirannya. Meski belum mencintai Adam, tapi ia tidak bisa memungkiri bahwa suaminya adalah lelaki tampan berbadan atletis yang pasti di inginkan banyak wanita. Ia beruntung menjadi istrinya meski belum bisa memiliki waktu intim berdua.

“Ngaco. Ma, lo mikir apa sih. Bisa-bisanya lo mikirin hal gila sama mas Adam sedangkan status lo masih pacar Mario.” tuturnya pada diri sendiri sambil menyiapkan sabun dan memasukkannya ke dalam bathub. “Tapi... salah siapa Rio gak maju-maju, keburu di embat kan gue jadinya.”

Alma mengumpulkan air hingga perlahan air berbusa itu sudah hampir memenuhi isi bathub. Ia menyalakan lilin aromaterapi milik suaminya. Setelah beberapa saat ia membaui aromanya. Aroma apa ini?

Alma berkacak pinggang kesal, “Dasar tua, beli lilin aromaterapi wangi bunga kek, Eucalyptus gitu, atau Chamomile. Ini apaan, bau kayu.”

Meski kurang menikmati aroma yang ia hirup, Alma tidak mau merusak harinya yang sudah berantakkan dengan masalah sepele begini. Ia melangkah masuk ke dalam bathub dan terduduk santai memainkan ponselnya untuk memutar instrumen lagu.

“Enak banget.” gumamnya menikmati air hangat yang memasuki celah porinya.

Ponsel Alma sudah memutar lima lagu instrumen. Sejak instrumen pertama selesai, matanya sudah terkatup sempurna. Alma memang kebo. Tidak peduli sedang dimana dan sedang apa, ia akan tetap tertidur dengan pulas. Apalagi kini di dukung rendaman air hangat, makin cepat pulasnya.

Ketika Alma dengan santai tidur di bathub, mobil Adam baru sampai halaman rumah. Dengan tidak enak ia berjalan cepat untuk menemui istrinya yang mungkin tengah merajuk karena ia tidak menemaninya tidur semalam sebagai pasangan pengantin baru. Bagaimana pun Alma belum terbiasa dengan statusnya menjadi seorang istri, juga belum terbiasa dengan pekerjaannya sebagai dokter bedah yang memiliki waktu sedikit di rumah.

Namun, betapa terkejutnya ketika Adam masuk kamar dan tidak mendapati Alma di kasur. Ia pikir istrinya masih tidur atau sedang memainkan ponsel di kasur. Ia bergerak ke kamar mandi dan menahan tawa ketika melihat istrinya ternyata sedang tidur dan berendam di bathub.

“Dasar putri tidur. Bisa-bisanya tidur sambil berendam.”

Adam membuka bajunya. Ia mencuci tangan dan membasuh mukanya. Ketika akan beranjak keluar, ia melirik Alma yang mengecap ketika tidur. Adam tertawa kecil dan memutuskan untuk mandi lalu membangunkan Alma dan mereka akan sarapan bersama.

Adam membuka celana bahan Chino berwarna cream. Ia menaruhnya di atas tumpukkan baju kotor di pojok ruangan. Perlahan, tangannya membuka celana boxer serta celana dalamnya sambil bersenandung riang.

Alma yang merasa ada orang lain disini membuka matanya. Ia mendapati ada Adam yang tengah merapikan baju kotor dengan keadaan telanjang bulat. Ia yang belum sadar sepenuhnya mengira ini mimpi. Namun perasaan dingin yang kulitnya rasakan, karena air yang menggenang di bathub sudah berubah dingin, membuatnya tersadar kalau ini bukanlah mimpi. Matanya melotot ketika hal pertama yang di lihatnya secara jelas adalah aset pribadi milik suaminya.

“AAAAAA!” pekik Alma kencang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • (BUKAN) Duda Biasa   196. HAPPY ENDING?

    Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam

  • (BUKAN) Duda Biasa   195. Pura-Pura Marah

    Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m

  • (BUKAN) Duda Biasa   194. Kejutan

    “Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.

  • (BUKAN) Duda Biasa   193. Menjenguk Mario

    Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar

  • (BUKAN) Duda Biasa   192. Kepincut?

    Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen

  • (BUKAN) Duda Biasa   191. Tidak Jadi Benci

    Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status