Share

PERJUANGAN ADINDA

Meski hanya didasari oleh sesuatu selain cinta, tetapi pernikahan yang Adinda jalani sah menurut hukum dan agama. Jadi saat Marlina memintanya keluar dari kafe agar lebih fokus untuk mendekati Alvin, maka Adinda tidak berniat membantahnya sama sekali. Ia akan mengabdi pada ibu mertua dan suaminya dengan sepenuh hati, layaknya seorang istri. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan ini di depan sana nanti. Namun, untuk saat ini tugasnya adalah membayar hutangnya pada Marlina dengan cara yang sudah ditentukan.

Wanita dengan rambut sebatas punggung itu masuk ke kantor Alvin. Jika kemarin-kemarin kehadirannya tidak terlalu mendapat perhatian, maka berbeda dengan hari ini. Semua karyawan Alvin tahu jika dirinya adalah istri baru laki-laki itu. Banyak yang mengangguk sopan dengan aura tulus, ada juga yang terlihat melempar tatapan nyinyir, dan masih banyak jenis tatapan yang Adinda dapat. Namun, meski begitu ia memilih untuk tidak peduli karena tujuannya ke sini adalah untuk menemui Alvin.

“Eh Bu bos,” celetuk Tari saat melihat kemunculan Adinda. Wanita ini sebenarnya tidak diundang saat acara pernikan Adinda dan Alvin. Bukan hanya Tari, tetapi memang tidak satu pun orang kantor yang diundang. Jadi, bagaimana mereka bisa tahu tentang pernikahan  yang terkesan ditutupi itu? Tidak perlu bingung karena dalang di balik semua itu sudah pasti adalah Marlina. Yang entah menggunakan media apa sehingga seluruh penghuni kantor ini langsung tahu di hari itu juga.

Adinda membalas godaan Tari dengan senyuman ramah. Hal yang membuat sekretaris Alvin itu langsung merasa nyaman saat berada di dekatnya. Tidak ada rasa sungkan karena Adinda pun tidak memberi batas untuk orang mendekatinya.

“Mas Alvin ada, Mbak?” tanya Adinda yang tetap memanggil Tari dengan sebutan ‘mbak’ meski sudah dilarang oleh wanita itu.

“Tunggu sebentar, ya! Lagi ada tamu. Kayaknya sekitar sepuluh menitan lagi selesai kok, Mbak.” Adinda mengangguk, dan memilih untuk duduk di bangku depan meja Tari.

“Wah, makan siang buat Pak Alvin, ya?” Adinda segera mengangguk mendengar pertanyaan itu. Lalu, ia pun mengeluarkan satu kotak lain dari dalam tas makanan yang ia bawa.

“Ini buat kamu.” Adinda menyorongkan kotak itu ke arah Tari yang tentu saja disambut penuh antusias.

“Ih, Mbak Dinda pake repot-repot segala,” ujar Tari dengan nada malu yang dibuat-buat, Adinda hanya tertawa kecil mendengar hal itu.

“Makasih loh, Mbak. Tahu aja aku lagi dalam mode pengiritan,” kata Tari lagi dengan kikikan geli. Adinda ikut tertawa, bersyukur karena sekretaris yang Alvin pekerjakan adalah orang sebaik ini.

“Sama-sama. Jadi, kan, bos kamu nggak ada kesempatan buat buang makanan.” Tari langsung memanyunkan bibir saat mendengar hal itu.

“Jadi itu alasannya? Aku sakit hati.” Setelahnya wanita itu malah tertawa.

“Kan kalian udah nikah, Mbak. Kali ini nggak bakalan nolak lah dianter makanan kayak gini,” ujar Tari dengan wajah kepo.

“Doain aja yang terbaik buat kita, ya, Mbak.” Adinda memilih jalur aman karena tahu maksud terselubung dari kalimat yang Tari ucapkan. Ia tidak mungkin membeberkan fakta di balik pernikahannya kepada orang yang baru ia kenal. Dan beruntungnya, Tari juga orang yang tahu diri untuk tidak mengusik lebih jauh masalah orang lain.

“Tapi dari semua cewek yang pernah ke sini, aku paling suka sama Mbak Dinda,” ujar Tari tiba-tiba. Adinda hanya tersenyum tanpa mau menanyakan lebih. Ia paling enggan membicarakan orang lain, di saat ia merasa dirinya juga bukan manusia sempurna.

“Kalau yang lain mah, sok banget tahu Mbak. Mana ada yang mau ramah tamah sama aku kaya Mbak gini?” cibir Tari yang memancing kerutan di dahi Adinda muncul.

“Kenapa begitu?”

“Ya … kan, aku cuma jongosnya Pas Alvin.”

“Huus! Jangan ngomong gitu, ah!”  tegur Adinda. Ia paling tidak suka saat mendengar orang merendahkan dirinya sendiri. Menurut Adinda, semua orang berharga dengan pekerjaan dan latar belakang yang ia miliki.

Tari meringis, lalu melanjutkan kalimatnya yang tertunda. “Dan aku seneng banget karena Pak Alvin dapetin istri kayak Mbak. Mbak itu baru pertama lihat juga sudah keliatan baik.”

Adinda tersenyum dengan gelengan pelan, dan memilih untuk tidak menanggapi. Apalagi selanjutnya pintu ruangan Alvin terbuka dan memunculkan dua laki-laki. Yang satu tentu saja Alvin, dan yang satu laki-laki yang Adinda tebak sebagai klien suaminya itu.

“Ini istri kamu, kan?” Nadanya memang berbisik, tetapi masih terdengar dari posisi Adinda dan juga Tari duduk.

Alvin tidak menjawab, malah mengalihkan topik pada hal yang tidak Adinda mengerti. Tidak lama kemudian, laki-laki yang Alvin panggil Rama itu pamit. Ada seringai nakal yang laki-laki itu tunjukkan pada Adinda, tetapi tidak wanita itu sadari. Tari yang melihatnya merasa risi karena memang dirinya juga sering mendapat tatapan tidak menyenangkan semacam itu.

“Tar, jadwal saya selanjutnya?” tanya Alvin pada Tari tanpa mau melihat ke arah Adinda.

“Kosong sampai jam satu, Pak,” jawab Tari sembari melirik ke arah Adinda yang hanya diam di tempatnya. Sementara tanpa merespon, Alvin masuk begitu saja ke ruangannya sembari menutup pintu seolah sosok Adinda tidak pernah ada.

“Mbak Tari aku masuk dulu, ya! Makasih udah ditemenin ngobrol.” Adinda mengatakan itu tanpa beban, seolah sikap yang Alvin tunjukkan tadi tidak berarti sama sekali.

“Aku loh yang makasih, Mbak. Udah dibawain makanan.”

Adinda tersenyum lembut, lalu berkata, “Sama-sama, semoga kamu suka.”

“Tunggu, Mbak!” Adinda menoleh dengan alis terangkat sebagai isyarat tanya. Bukannya melanjutkan kalimat yang belum usai, Tari malah terlihat seperti orang bingung.

“Semangat ya, Mbak! Aku ngedukung Mbak kok.” Hanya itu yang wanita itu katakan, alih-alih menyuarakan isi kepalanya. Hal yang langsung dibalas senyuman geli oleh Adinda. Namun, meski begitu Adinda tetap mengangguk, lalu berjalan ke arah ruangan Alvin yang untungnya tidak dikunci.

*

Adinda bersyukur karena Alvin tidak mengusirnya, meskipun laki-laki itu bersikap seolah tidak ada dirinya di sana. Laki-laki itu terus sibuk mengerjakan sesuatu yang ada di depannya. Waktu sudah menunjuk pukul duabelas lewat, dan seharusnyaAlvin beristirahat.

“Mas Alvin mau makan sekarang?” tanya Adinda hati-hati, sudah menyiapkan diri jika jawaban pedas yang akan ia dapat. Namun, laki-laki itu sama sekali tidak meresponnya. Masih tetap diam seolah tidak ada orang lain di ruangan itu.

Adinda tidak lantas putus asa, ia memilih menyiapkan makanan  yang ia bawa, ke atas meja di depan sofa santai ruangan tersebut. Masih ada waktu setengah jam sebelum Alvin keluar untuk bertemu klien.

“Aku tinggal ya, Mas, ini udah aku siapin makan siangnya.” Setelah itu Adinda memilih pergi. Mungkin Alvin akan memakan masakannya jika ia tidak berada di sana. Namun, pesan yang Tari beri cukup membuat Adinda kecewa. Karena Tari menjelaskan jika makanan yang sudah rapi di meja itu terpaksa diberikan pada security karena Alvin menyuruhnya untuk membuang makanan tersebut.

Adinda tidak lantas menyerah mendapat perlakuan seperti itu. Ia mencoba berpikir dan berusaha mencari cara lain. Di sini, ia dan Alvin seolah sedang bertarung, dan yang memiliki kekuatan sabar luas lah yang akan menang.

‘Mbak, aku disuruh pesan makanan buat Pak Alvin.’ Pesan yang Adinda dapat beberapa jam kemudian.

‘Memangnya Mas Alvin belum makan dari siang tadi?’ Jam padahal sudah menunjuk angka lima.

‘Belum, Mbak. Meeting-nya dialihkan ke kantor dan sejak Mbak Dinda pergi tadi Pak Alvin belum makan.’

Adinda mendesah kecil melihat barisan pesan tersebut. Lalu, ia pun memutar otak hingga mendapatkan satu ide.

 *

“Ini makan siangnya, Pak.” Tari menyorongkan makanan yang tersedia di bok dengan wajah takut. Takut rencananya dan Adinda akan terbongkar.

“Kamu beli di mana?” tanya Alvin. Ia merasa aneh dengan kotak makanan yang hanya berupa kardus putih tanpa ada logo restoran.

Tari merasa beruntung karena Adinda sudah memberinya kalimat untuk menjawab pertanyaan Alvin ini.

“Itu teman saya buka rumah makan baru, Pak. Menurut saya enak, dan Bapak suka masakan rumahan, kan?” Tari merasa jantungnya langsung kebat-kebit karena takut Alvin akan langsung curiga.

“Ya sudah, terima kasih.” Wanita itu pun mampu mengembus napas lega, dan segera keluar dari ruangan tersebut sebelum ada pertanyaan lain yang akan bosnya itu lontarkan.

Wanita dengan rambut sebahu itu pun segera menghubungi Adinda dan mengatakan jika makanannya sampai di tangan Alvin dengan selamat. Tidak lupa ada sisipan doa semoga rencana mereka berhasil. Tidak perlu bertanya dengan detail bagaimana kondisi rumah tangga yang dibangun oleh kedua manusia itu. Dengan menyaksikan semua ini juga Tari sudah bisa membaca situasinya. Dan karena Alvin orang baik, serta Adinda pun tak kalah baik, maka Tari langsung memutuskan untuk membantu menyatukan dua hati itu agar bisa bersatu.

“Tari!” Wanita itu berjengit, dan langsung berdiri dengan wajah waspada saat Alvin  tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu ruangannya.

“I-iya, Pak?” Keringat dingin sudah menitip di pelipis wanita itu.

“Yang tadi itu benar punya teman kamu?”

Jantung Tari makin berdentum kuat saat firasat buruk mulai merambat. Alvin selalu memasang wajah datar yang tidak mampu dibaca oleh lawan bicaranya. Dan Tari tidak bisa membaca apa yang sekarang laki-laki ini rasakan saat ini. Maka dari itu, ia memilih mengangguk dengan senyum tipis yang terkesan dipaksakan.

“Mulai besok tolong pesankan makanan di situ untuk makan siang saya.”

Mata Tari membulat, tetapi langsung menjawab iya saat Alvin menutup pintu ruangannya. Laki-laki itu berjalan ke arah lift sembari mengatakan jika ia harus pulang sebentar untuk menjenguk istrinya.

Tanpa menyadari apa yang Alvin katakan, Tari pun segera mengetikkan pesan pada Adinda yang langsung dibalas emoticon bahagia dari seberang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status