Home / Romansa / BUKAN MEMPELAI IMPIAN / Bab 04. Tak terpejam

Share

Bab 04. Tak terpejam

Author: HaniHadi_LTF
last update Huling Na-update: 2025-04-26 05:02:44

"Sebentar," kata Maryam, lalu menarik tangan putranya. Setelah berunding beberapa menit, akhirnya mereka keluar.

"Kamu boleh tinggal di sini sebentar, Dhuk, apalagi ini sudah malam. Kalau kamu pergi belum ada tujuan, bagaimana?" Biar nanti Liam yang bilang ke Pak RT," kata Maryam mengelus rambut Keya.

"O, ya...siapa namamu?"

"Keya, Bu,... panggil saja Key. Terima kasih sudah diperkenankan menginap di sini." Keya terlihat berbinar matanya. Setidaknya untuk sementara dia bisa tenang, tidak tahu bagaimana besok harus ke mana.

"Saya Bu Maryam, panggil saja...., Ibu, Dhuk." Maryam lalu menengok ke belakang.

"Itu anak ibu yang terakhir, namanya Liam."

Liam mengangguk dan tersenyum.

"Mana kontakmu, biar motormu dimasukkan Liam ke dalam, nanti kamu ibu tunjukkan kamarmu."

Keya merogoh kontaknya di saku celananya, dia kemudian baru menyadari di saku celananya yang satu, yang biasa dia letakkan handphone-nya, kini tak terasa tebal. Dia berdiri, dan sekali lagi dia merogoh sakunya,... Keya benar-benar kebingungan. Diangsurkannya kontaknya, dan dengan tergesa, dia pun beranjak keluar. Maryam dan Liam yang kebingungan, membuntutinya.

"Ada barangmu yang hilang?" Liam bertanya.

Keya menoleh sebentar ke sumber suara lalu kembali celingukan di teras depan.

"Handphone-ku, Kak. Sepertinya jatuh. Gak tahu jatuhnya di mana."

Liam dan ibunya pun ikut mencari, tapi semuanya tak menemukan suatu apa pun. Keya mengibas-ngibaskan jaketnya yang tadi ditaruh di motor. Bahkan mengeluarkan isi ranselnya untuk memastikan barang berharga itu.

"Sudahlah, Bu. Mungkin ini sudah nasib aku, aku menyerah."

"Kalau begitu, ayo, Dhuk, aku tunjukkan kamarmu. Kamu bisa mandi menghangatkan air, lalu sholat. Ini sudah malam."

Keya mengikuti langkah wanita tua yang sejak pertama sudah membuat Keya merasa disayang.

Sementara Liam memasukkan motor Keya.

Sambil masuk Keya mengedarkan pandangannya di rumah Jawa kuno yang ditempati Maryam. Rumah besar, rumah model dahulu yang pilar dan dindingnya masih dari kayu jati. Di depan ada ruang tamu ukuran besar, bisa untuk rapat satu RT. Di sudut ruangan ada meja kursi ukiran Jepara dengan di sisinya ada buket yang diisi dengan banyak foto keluarga sini, lalu masuk ke ruang keluarga yang juga besar, dihiasi ukiran jati Jepara juga di pernik-perniknya. Ada dua kamar besar di samping ruang keluarga sisi kiri, juga dua kamar besar di sisi kanan. Di samping ruang keluarga. Terlihat ada kamar mandi di tengah dua kamar itu.

"Kamar dua sebelah sana itu kamar Ibu sama Liam," kata Maryam menunjukkan kamarnya.

Lalu mengantar Keya ke kamar sebelah kiri.

"Ini dulu kamar putri Ibu, kamu pakai sekarang," kata Maryam setelah kamar terbuka. Sebuah kamar cukup luas dengan dipan kayu jati berukir. Di sisinya ada almari besar. Juga ada meja rias dari kayu jati juga.

"Kamu mandilah dulu, lalu sholat."

"Iya, Bu. Terima kasih. Tapi saya nggak usah mandi."

"Bawa mukena, Dhuk?"

"Iya, Bu," jawab Keya lagi sambil mengeluarkan mukena dan baju ganti, juga handuk. Keya memang tidaklah rajin beribadah, sholatnya setengah-setengah. Tadi Maghrib juga tidak sholat. Walau begitu dia akan membutuhkan mukena hingga saat berangkat pergi dari rumahnya, mukena turut dia bawa.

"Ini kamar Ratna, putri pertama ibu yang sekarang tinggal jauh di Banjarmasin. Di dalam almari itu baju-baju dia masih disimpan rapi saat dia remaja dulu, seusiamu tinggal di sini. Karena tugas suaminya dia ikut ke Banjarmasin, pulang paling kalau lebaran atau liburan sekolah. Dia juga mengajar seperti Liam," kata Maryam sambil beranjak pergi. "Ibu rasa baju Ratna pas di kamu, kamu boleh pakai."

"Terima kasih, Bu. Gak usah, lagian besok Keya kan juga harus pergi," kata Keya getir, mengingat dia harus pergi ke mana.

Setelah mengambil air wudhu di pancuran belakang, Keya sholat di mushola yang terletak di belakang, di samping dapur besar rumah ini. Mushola juga terbilang besar, 10 orang saja muat. Di belakangnya ada kaca besar yang menghadap ke sawah juga. Rumah ini memang terletak di sisi kanan sebuah sawah, jika mata memandang dari jendela kamar, yang terlihat adalah sawah, begitu juga jika kita melihat ke belakang, juga sawah.

Maryam menutup korden panjang untuk menutupi kacanya karena sudah malam.

Keya meneteskan air mata. Selama ini ternyata dia begitu jauh dari Tuhan, dengan mengerjakan sholat sesukanya, padahal maminya juga sering menegurnya. Mungkin karena itu hingga Tuhan menghukumnya dengan semua kejadian ini.

Keya lalu ke kamarnya.

"Key!" terdengar ibu memanggil. "Sudah tidur, Dhuk?"

Dengan cepat Keya mengusap air matanya. Dibukanya pintu dan tersenyum.

"Keya tidak bisa tidur, Bu."

"Kenapa gak keluar saja tadi kalau gak tidur?"

Liam yang datang dari masjid karena ada rapat desa, menatap Keya. Mengenakan sarung coklat dengan baju taqwa senada, dia tampak tampan dengan kulitnya yang kuning langsat dan tubuhnya yang tinggi besar.

Sesaat Keya menatap pria itu dengan menyunggingkan senyumnya. Demikian juga dengan Liam yang kemudian segera menundukkan wajahnya. Maryam merasa tak enak hati dengan melihat pakaian Keya. Sebuah rok setinggi lutut yang menampakkan kaki putihnya yang jenjang.

Keya yang kemudian masuk kamar, menekuk lututnya. Dia tak dapat tidur. Entah apa yang bisa dia kerjakan esok setelah keluar dari rumah itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 07. Buang saja

    Nabil sudah menyelesaikan ospeknya. Pagi sekali dia bermaksud pulang ke desanya.Dia menatap layar handphonenya. Wajah ceria Keya yang duduk dengannya masih menjadi wallpapernya. Kali ini kerinduan yang sangat membuat dia mencoba menelpon handphone Keya, ternyata berdering."Alhamduuulillah, tidak diblokir lagi."Nabil kembali teringat masa-masa SMA-nya bersama Keya. Walau dia tak pernah satu tim dengan Keya, dia sering bersama Keya mewakili sekolah mereka sebagai duta anak-anak yang gemar lomba karya ilmiah. Dari sanalah akhirnya cinta itu tumbuh. Kebersamaan yang kerap mengundang kagum, bahkan mengundang iri yang menimbulkan bencana. Nabil sendiri sampai sekarang tidak dapat memastikan, di antara dua puluh temannya yang mengajak mereka ke puncak, apakah semua terlibat memberi dia dan Keya obat itu. Yang jelas setelah kejadian itu, dia tak ingin lagi mengenal nama anak-anak itu, apalagi berhubungan dengan mereka—yang rata-rata juga murid berprestasi sekaligus anak orang tajir.SMA ya

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 06. Tawaran

    "Kamu mau menggugurkan bayimu?" tanya Maryam mengikuti pertanyaan Liam.Keya menganggukkan kepala dengan tertunduk. Dia sudah tak dapat berfikir lain. Hatinya terombang ambing."Sabar, Dhuk, jangan melakukan dosa besar. Yang telah kamu lakukan itu salah, jangan menambah dosa lagi.""Bukan salah saya, Bu. Saya hanya korban. Kami dijebak dengan diberi minuman yang dicampur obat," bela Keya."Maksud kamu?" Liam heran dengan perkataan Keya."Aku dan..." Keya menutup mulutnya agar tak keceplosan bicara tentang Nabil. "Aku dan dia dijebak hingga kami melakukan perbuatan tak bermoral itu, Bu. Bukan keinginan kami."Maryam dan Liam menatap prihatin. Dari awal mereka memang tidak yakin jika gadis seperti Keya bukanlah gadis baik-baik. Sikapnya bahkan seperti seorang anak polos yang masih tak memahami hal-hal yang aneh-aneh."Masih ada waktu saya masuk kuliah, Bu. Tinggal beberapa hari lagi, jika saya tak masuk saya dianggap tidak menjadi mahasiswi lagi. Sedangkan menjadi dokter adalah impian s

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 05. Terkejut

    Liam mengucek matanya. Sepertinya dia tertidur setelah melaksanakan shalat tahajut. Hanya sekejap, tapi yang sekejap itu memberinya jawaban. Pertanyaan yang sejak kemarin dia seperti pernah melihat gadis itu entah di mana. Ternyata dia adalah gadis yang pernah hadir di mimpi-mimpi Liam beberapa hari yang lalu. Mimpi sekejap seperti saat ini. Biasanya setelah sholat Tahajut dia tak pernah tidur, tapi berzikir atau membaca Al Qur'an sampai Subuh pergi ke masjid, tapi saat itu, sama seperti hari ini, dia mengantuk sekali dan terlelap dalam duduk, lalu datanglah mimpi itu.Kembali Liam mempertanyakan makna mimpinya, terlebih gadis itu kini telah di rumahnya dengan keadaan yang sepertinya tak baik.-baik saja. Maryam ataupun dirinya belum berani menanyakan apa sebab dia pergi dari rumahnya. Padahal dia masih teramat muda, belum mengenal apapun.Apakah ini artinya mereka harus menolong gadis itu seperti yang kini Maryam dan dia lakukan? Liam tak memiliki adik. Dia bungsu dari 3 bersaudara. B

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 04. Tak terpejam

    "Sebentar," kata Maryam, lalu menarik tangan putranya. Setelah berunding beberapa menit, akhirnya mereka keluar."Kamu boleh tinggal di sini sebentar, Dhuk, apalagi ini sudah malam. Kalau kamu pergi belum ada tujuan, bagaimana?" Biar nanti Liam yang bilang ke Pak RT," kata Maryam mengelus rambut Keya."O, ya...siapa namamu?""Keya, Bu,... panggil saja Key. Terima kasih sudah diperkenankan menginap di sini." Keya terlihat berbinar matanya. Setidaknya untuk sementara dia bisa tenang, tidak tahu bagaimana besok harus ke mana."Saya Bu Maryam, panggil saja...., Ibu, Dhuk." Maryam lalu menengok ke belakang."Itu anak ibu yang terakhir, namanya Liam."Liam mengangguk dan tersenyum."Mana kontakmu, biar motormu dimasukkan Liam ke dalam, nanti kamu ibu tunjukkan kamarmu."Keya merogoh kontaknya di saku celananya, dia kemudian baru menyadari di saku celananya yang satu, yang biasa dia letakkan handphone-nya, kini tak terasa tebal. Dia berdiri, dan sekali lagi dia merogoh sakunya,... Keya benar

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   bab 03. Bolehkah?

    "Kalau pingin mati jangan melibatkan orang lain, Mbak. Sana,nyebur sungai!"teriak kenek truk kencang.Keya terperanjak. "Astaghfirullah!" Untuk kesekian detik Keya memegangi dadanya. "Tidak, aku bukan orang yang sepicik itu hinggah aku harus membunuh diriku sendiri," gumannya lirih.Keya menata helmnya kembali, melajukan motornya menyusuri jalan yang di sekelilingnya hanya terhampar sawah dengan padi yang mulai menguning.Sampai akhirnya Keya tiba di depan sebuah rumah Jawa besar di ujung desa. Rasa lelah membuatnya tak bisa berpikir mau ke mana. Tak ada penginapan di desa.Dia turun dari motor. Ada sebuah bale-bale bambu di depan rumah itu, di bawah pohon mangga.Keya duduk di sana. Kerongkongannya terasa kering, sementara dia tak berfikir untuk membawa air minum seperti yang sering dia lakukan jika bepergian."Ke mana aku akan berjalan?" Belum sempat berpikir panjang, tiba-tiba pintu rumah terbuka."Dhuk, kamu siapa?" Keya terjaga dari pikiran bingungnya, menoleh ke arah pintu ya

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 02 . Pergi!

    Keya melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Sore itu terasa dingin, angin menerpa wajahnya, membawa serta air matanya yang terus menetes tanpa bisa dia kendalikan. Tangannya yang menggenggam setang pun gemetar, bukan karena udara, tapi karena luka di dalam hatinya. Kata-kata papinya tadi terngiang berkali-kali di kepalanya."Jangan pernah kembali ke rumah ini sebelum dia mengawinimu!"Sakit. Sangat sakit. Keya bahkan tak tahu apakah jantungnya masih berdetak seperti biasa. Semua terasa kacau. Dunianya seakan runtuh. Sekolah, rumah, orangtua... tak satu pun yang menjadi tempat pulang.Sudah cukup lama ia berkendara. Tak terasa hari sudah malam, lampu-lampu jalan mulai terlihat. Hanya saja saat memasuki kawasan desa, hanya sorot lampu motornya yang menembus gelap, menuntunnya ke arah desa yang terpampang di Google Maps. Keya menyeka air matanya dan menunduk pada layar ponsel di holder motornya. Tak salah. Ini jalannya.Beberapa menit kemudian, sebuah tugu besar bertuliskan n

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 01. Cari!

    Mahda menatap dengan tatapan yang sulit diartikan."Maaf, Bu. Keya positif."Waktu seolah berhenti.Melihat wajah tetangganya yang langsung berubah gelap, Bu Mahda, bidan itu, memilih pamit dengan cepat. Ia tak ingin menjadi saksi dari badai yang siap meledak.Neyna dan Chandra menatap anak gadisnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran marah, kecewa, dan sedih yang berkelindan menjadi satu. "Key!""Ada apa ini? Bisa jelaskan ke kami?" Suara Chandra tenang, tapi dinginnya menampar lebih keras dari teriakan.Keya berdiri terpaku. Keringat dingin kembali mengalir dari pelipisnya, matanya mengembun. Tangannya gemetar, ia meremas ujung bajunya sambil menunduk."Aku... aku dan Nabil ,.." ucapnya lirih."Nabil?" suara Chandra meninggi. "Jadi dia pelakunya?Dia yang memperkosamu?""Dia nggak maksa aku, Pi. Tapi... tapi aku juga nggak pernah mau ini terjadi. Kami dijebak. Seseorang—entah siapa—menyusun semuanya. Aku... aku bahkan nggak ingat semua detailnya.""Bisa-bisanya, kalian,

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status