"Sebentar," kata Maryam, lalu menarik tangan putranya. Setelah berunding beberapa menit, akhirnya mereka keluar.
"Kamu boleh tinggal di sini sebentar, Dhuk, apalagi ini sudah malam. Kalau kamu pergi belum ada tujuan, bagaimana?" Biar nanti Liam yang bilang ke Pak RT," kata Maryam mengelus rambut Keya. "O, ya...siapa namamu?" "Keya, Bu,... panggil saja Key. Terima kasih sudah diperkenankan menginap di sini." Keya terlihat berbinar matanya. Setidaknya untuk sementara dia bisa tenang, tidak tahu bagaimana besok harus ke mana. "Saya Bu Maryam, panggil saja...., Ibu, Dhuk." Maryam lalu menengok ke belakang. "Itu anak ibu yang terakhir, namanya Liam." Liam mengangguk dan tersenyum. "Mana kontakmu, biar motormu dimasukkan Liam ke dalam, nanti kamu ibu tunjukkan kamarmu." Keya merogoh kontaknya di saku celananya, dia kemudian baru menyadari di saku celananya yang satu, yang biasa dia letakkan handphone-nya, kini tak terasa tebal. Dia berdiri, dan sekali lagi dia merogoh sakunya,... Keya benar-benar kebingungan. Diangsurkannya kontaknya, dan dengan tergesa, dia pun beranjak keluar. Maryam dan Liam yang kebingungan, membuntutinya. "Ada barangmu yang hilang?" Liam bertanya. Keya menoleh sebentar ke sumber suara lalu kembali celingukan di teras depan. "Handphone-ku, Kak. Sepertinya jatuh. Gak tahu jatuhnya di mana." Liam dan ibunya pun ikut mencari, tapi semuanya tak menemukan suatu apa pun. Keya mengibas-ngibaskan jaketnya yang tadi ditaruh di motor. Bahkan mengeluarkan isi ranselnya untuk memastikan barang berharga itu. "Sudahlah, Bu. Mungkin ini sudah nasib aku, aku menyerah." "Kalau begitu, ayo, Dhuk, aku tunjukkan kamarmu. Kamu bisa mandi menghangatkan air, lalu sholat. Ini sudah malam." Keya mengikuti langkah wanita tua yang sejak pertama sudah membuat Keya merasa disayang. Sementara Liam memasukkan motor Keya. Sambil masuk Keya mengedarkan pandangannya di rumah Jawa kuno yang ditempati Maryam. Rumah besar, rumah model dahulu yang pilar dan dindingnya masih dari kayu jati. Di depan ada ruang tamu ukuran besar, bisa untuk rapat satu RT. Di sudut ruangan ada meja kursi ukiran Jepara dengan di sisinya ada buket yang diisi dengan banyak foto keluarga sini, lalu masuk ke ruang keluarga yang juga besar, dihiasi ukiran jati Jepara juga di pernik-perniknya. Ada dua kamar besar di samping ruang keluarga sisi kiri, juga dua kamar besar di sisi kanan. Di samping ruang keluarga. Terlihat ada kamar mandi di tengah dua kamar itu. "Kamar dua sebelah sana itu kamar Ibu sama Liam," kata Maryam menunjukkan kamarnya. Lalu mengantar Keya ke kamar sebelah kiri. "Ini dulu kamar putri Ibu, kamu pakai sekarang," kata Maryam setelah kamar terbuka. Sebuah kamar cukup luas dengan dipan kayu jati berukir. Di sisinya ada almari besar. Juga ada meja rias dari kayu jati juga. "Kamu mandilah dulu, lalu sholat." "Iya, Bu. Terima kasih. Tapi saya nggak usah mandi." "Bawa mukena, Dhuk?" "Iya, Bu," jawab Keya lagi sambil mengeluarkan mukena dan baju ganti, juga handuk. Keya memang tidaklah rajin beribadah, sholatnya setengah-setengah. Tadi Maghrib juga tidak sholat. Walau begitu dia akan membutuhkan mukena hingga saat berangkat pergi dari rumahnya, mukena turut dia bawa. "Ini kamar Ratna, putri pertama ibu yang sekarang tinggal jauh di Banjarmasin. Di dalam almari itu baju-baju dia masih disimpan rapi saat dia remaja dulu, seusiamu tinggal di sini. Karena tugas suaminya dia ikut ke Banjarmasin, pulang paling kalau lebaran atau liburan sekolah. Dia juga mengajar seperti Liam," kata Maryam sambil beranjak pergi. "Ibu rasa baju Ratna pas di kamu, kamu boleh pakai." "Terima kasih, Bu. Gak usah, lagian besok Keya kan juga harus pergi," kata Keya getir, mengingat dia harus pergi ke mana. Setelah mengambil air wudhu di pancuran belakang, Keya sholat di mushola yang terletak di belakang, di samping dapur besar rumah ini. Mushola juga terbilang besar, 10 orang saja muat. Di belakangnya ada kaca besar yang menghadap ke sawah juga. Rumah ini memang terletak di sisi kanan sebuah sawah, jika mata memandang dari jendela kamar, yang terlihat adalah sawah, begitu juga jika kita melihat ke belakang, juga sawah. Maryam menutup korden panjang untuk menutupi kacanya karena sudah malam. Keya meneteskan air mata. Selama ini ternyata dia begitu jauh dari Tuhan, dengan mengerjakan sholat sesukanya, padahal maminya juga sering menegurnya. Mungkin karena itu hingga Tuhan menghukumnya dengan semua kejadian ini. Keya lalu ke kamarnya. "Key!" terdengar ibu memanggil. "Sudah tidur, Dhuk?" Dengan cepat Keya mengusap air matanya. Dibukanya pintu dan tersenyum. "Keya tidak bisa tidur, Bu." "Kenapa gak keluar saja tadi kalau gak tidur?" Liam yang datang dari masjid karena ada rapat desa, menatap Keya. Mengenakan sarung coklat dengan baju taqwa senada, dia tampak tampan dengan kulitnya yang kuning langsat dan tubuhnya yang tinggi besar. Sesaat Keya menatap pria itu dengan menyunggingkan senyumnya. Demikian juga dengan Liam yang kemudian segera menundukkan wajahnya. Maryam merasa tak enak hati dengan melihat pakaian Keya. Sebuah rok setinggi lutut yang menampakkan kaki putihnya yang jenjang. Keya yang kemudian masuk kamar, menekuk lututnya. Dia tak dapat tidur. Entah apa yang bisa dia kerjakan esok setelah keluar dari rumah itu."Assalamu'alaikum," suara dari depan pintu membuat Bi Ira menghentikan kegiatan melipat kain. Ia bergegas menuju ruang tamu.Seorang perempuan dengan balutan gamis berwarna marun dan wajah datar berdiri di ambang pintu. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti menatap Bi Ira.“Siapa kamu?” tanya Dania dengan nada datar tapi matanya menyelidik tajam.Bi Ira yang membuka pintu menatap perempuan muda itu dari atas ke bawah. “Saya Ira. Saya yang mengasuh Non Keya sejak dia masih kecil.""O, jadi kamu pembantu wanita sialan itu!"Bi Ira langsung menajamkan matanya."Saya Dania." Dania mengangkat alis. “Saya istri sah Pak Liam. Mau ambil barang saya yang masih ada di kamar.”Bi Ira menegakkan tubuh. “Kamar yang mana?"Tapi Dania masih beranjak.. "Ei, tunggu. Kamu nggak bisa masuk sesukanya. Saya baru dengar kalau ada wanita lain selain Keya yang menjadi istri Liam. Tunggu saja Non Keya pulang, ya.”"Bisa Nggak, kalau kamu panggil Pak sama suami saya. Bagimanapun dia itu majikan kamu.""Tapi
"Akhirnya cucu Aba datang juga." H Darman menyambut Keya yang baru datang di depan rumah.Keya segera memarkir motornya.Disapa seperti itu, gadis kecil itu tersenyum dengan mengeluarkan kata-kata. Tangannya yang kecil melambai-lambai. H Darman kemudian mengambil dari gendongan Keya dan membawanya masuk."Sheryn ya, Ba?" Bu Aisyah keluar dengan tergopoh-gopoh. Sepertinya sudah begitu lama dia tak bertemu dengan cucunya dia amat rindu. Diciuminya gadis itu."Makin nakal, Mi. Kerjaannya manjat melulu. Ghak ada diemnya," kata Keya."Ghak apa, itu namanya anak pinter. Nabil duluh juga ghak pernah mau diam, beda dengan Hanafi." ucap Bu Aisyah tentang Nabil, lalu tersadar setelah melihat Keya terdiam.Keya masuk dan meletakkan keperluan Sheryn. Nampak di ruang keluarga, berbagai jenis mainan untuk anak seusia Sheryn, begitu banyaknya. Sekilas Keya merasa ada yang aneh, bagaimana mungkin orang seperti H Darman dan Bu Aisyah bisa mengerti soal mainan-mainan edukatif itu. Saat ditanya, katanya
"Aku pergi duluh ya, Kak."Liam mengulurkan tangannya. Keya mencium punggung tangan suaminya dengan lembut."Salim sama Ayah, Cantik," kata Keya kepada putrinya yang masih balita. Gadis kecil itu menurut, lalu mengangkat tangan kecilnya, mengucapkan salam. Liam membungkuk, mencium pipinya dengan gemas.Belum juga beranjak ke pintu, Liam berbalik arah dan memeluk Keya dengan erat."Kak, ini kenapa sih kok lebay banget?" tanya Keya sambil terkikik pelan."Hati-hati kalau di rumah," bisik Liam, mencium kening istrinya."Kan sudah ada Bi Ira yang nemenin aku dari pagi sampai malam. Kenapa Kakak jadi khawatir?"Liam tersenyum, mengusap pipi Keya. Sejak kemarin, ada keresahan yang tak bisa ia jelaskan. Semalaman ia memeluk Keya seperti ingin menahan waktu. Ia tahu, ini hanya pelatihan satu bulan untuk guru di pesantren, tapi hatinya tidak bisa dibohongi. Ada kecemasan yang tumbuh.Ia masuk kembali ke rumah, menatap koper hitam di dekat pintu. Setelah memastikan semua sudah lengkap, ia menu
"Bagaimana, Dik, sudah beres?" tanya Ratna yang pagi itu hendak berpamitan pergi bersama yang lain."Aku ngerasa sudah saja, Mbak," jawab Liam pelan. Liam seolah ragu menceritakan apa yang terjadi sebagai syarat Dania melepaskannya."Maksudnya?""Aku udah ngucapin talak ke dia." Liam menepuk-nepuk setang motornya yang masih panas karena baru saja diparkir."Xyukurlah kalau sudah beres, Dik," katanya lebih lembut."Sekali lagi jangan bilang ke Keya dulu ya, Mbak. Biar nanti surat cerainya sampai duluan. Aku yang bakal kasih dia kejutan." Senyum pahit mengembang di wajah Liam.Ratna mengangguk, menyimpan rahasia itu di dalam dadanya."Setidaknya kamu bisa lebih tenang setelah ini," katanya kemudian."Iya, dari kapan hari aku sempat bingung ngasih tahu Keya kalau aku sebentar lagi mau pergi. Untungnya sekarang ada Bi Ira yang nemani dia."Tepat saat itu Keya datang dari belakang. Tubuhnya ramping, dengan hijab instan yang dia pakai nampak cerah di wajahnya. Ratna langsung memeluknya era
Begitu mobil dibuka dan Keya turun. Sheryn berlari lebih dulu, langsung memeluk Neina yang sudah berdir menyambutnya.“Maaa!” teriaknya senang.Neina membalas pelukan cucunya sambil mencium pipi kecilnya berkali-kali. “Aduh, cucu Omah makin montok aja. Kayak lama nggak ketemu, ya?, padahal kan juga belum lama sejak Yangti meninggal. ""Dia kalau menyusu kuat dari bayi, Mi. Jadi pantas cepet gendut. Makannya juga nggak nolak. Terlebih di utinya dia terus dimanja dengan banyak makanan.""Masih suka ke sana kamu, Sayang?""Ya,..ya?" Gadis kecil itu mengangguk-angguk.Keya yang keceplosan, sekilas menatap Liam dengan tak enak hati. Padahal Liam hanya tersenyum, walau samar. Dia tahu, yang dikatakan 'ya,..ya,..' oleh Sheryn bukanlah untuknya.Keya mendekat ke Liam, memegang tangannya seolah sebagai permintaan maaf. Dan Liam membalasnya dengan genggaman hangat. Dia tahu, ada masa di mana dia harus siap bersinggungan dengan hal seperti itu.“Assalamualaikum,” ucap Liam sopan.“Waalaikumsalam
"Ayo, Kak Najla... kita ke resort aja. Refreshing sebentar, ya? Biar lebih tenang hatimu."Liam membuka pembicaraan sambil menuang teh hangat ke gelas Najla yang masih duduk di dekat Sheryn.Najla tersenyum kecil, menggeleng pelan. "Nggak, Liam. Aku nggak ingin ke mana-mana. Rasanya... pengin sendiri aja dulu."Keya yang duduk di sebelahnya menatap wajah kakakknya dengan lembut. “Tapi kamu nggak sendiri, Kak. Jangan murung terus. Ada kita di sini.”Liam ikut menimpali. “Aku ngerti, kamu masih kaget. Tapi siapa tahu angin laut bisa bantu bikin hati adem.”Najla menunduk. “Bukan tempatnya yang bikin aku adem, Liam... tapi pulangnya. Aku nggak tahu, bakal ada masalah apa lagi nanti. Bagaimana bisa aku melupakan begitus aja hanya dengan ke laut?"Suasana jadi sepi sejenak. Hanya terdengar suara Sheryn yang berceloteh di lantai bermain dengan balok kayunya.Liam berdiri, mengeluarkan ponselnya dari saku. "Aku telepon Mbak Ratna dulu, ya. Biar dia tahu kita batal ke resort."Keya menoleh.