"Kalau pingin mati jangan melibatkan orang lain, Mbak. Sana,nyebur sungai!"teriak kenek truk kencang.
Keya terperanjak. "Astaghfirullah!" Untuk kesekian detik Keya memegangi dadanya. "Tidak, aku bukan orang yang sepicik itu hinggah aku harus membunuh diriku sendiri," gumannya lirih. Keya menata helmnya kembali, melajukan motornya menyusuri jalan yang di sekelilingnya hanya terhampar sawah dengan padi yang mulai menguning. Sampai akhirnya Keya tiba di depan sebuah rumah Jawa besar di ujung desa. Rasa lelah membuatnya tak bisa berpikir mau ke mana. Tak ada penginapan di desa. Dia turun dari motor. Ada sebuah bale-bale bambu di depan rumah itu, di bawah pohon mangga. Keya duduk di sana. Kerongkongannya terasa kering, sementara dia tak berfikir untuk membawa air minum seperti yang sering dia lakukan jika bepergian. "Ke mana aku akan berjalan?" Belum sempat berpikir panjang, tiba-tiba pintu rumah terbuka. "Dhuk, kamu siapa?" Keya terjaga dari pikiran bingungnya, menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba saja dibuka dari dalam. "Maaf, Bu, boleh saya duduk sebentar?" tanya Keya. Perempuan setengah tua itu menatapnya dengan seulas senyum. Lalu mengangguk. "Kamu dari mana, Dhuk?" tanyanya dengan tatap menunduk menyelidik. Melihat penampilan Keya, dia tahu anak ini bukan dari sekitar sini. Kebanyakan perempuan di desanya berbusana muslimah, sedangkan Keya hanya memakai celana jeans dan kaos pres yang membentuk tubuhnya. Rambut ikalnya tergerai menyentuh punggung. Kulitnya pun putih mulus. Anak kota, pikir Maryam, pemilik rumah itu. Keya tampak kebingungan menjawab. "Maksud Ibu, kamu dari mana dan orang mana? Sepertinya kamu bukan orang sini," ralat Maryam. "Saya dari kota, Bu. Baru saja dari desa sebelah." Keya menunjuk ke arah kanan dia duduk. Sebuah desa yang kini hanya nampak pohon bambunya yang mengelilingi desa itu, seolah di dalamnya tak ada kehidupan dan hirup pikuk anak yang bermain saat Keya datang ke rumah Nabil seperti tadi. Maryam mengangguk pelan. "Kalau boleh tahu, ke rumah siapa ya?" "Ke rumah,.." Sejenak Keya ragu mengatakannya. "Kamu nggak ingin Ibu tau?" "Maaf, Bu, bukan begitu maksud saya. Anaknya teman saya waktu SMA di Gresik. Saya kurang tahu nama orang tuanya." Keya tak menyebutkan nama Nabil. Dia takut. Di desa ini apa-apa bisa jadi omongan panjang. "Oh, itu mungkin Haji Darman atau Haji Ahmad, panggilan dia setelah dia naik haji. Cuma mereka yang anaknya sekolah jauh., sebab anak sini rata-rata sekolah di sini saja. Anaknya memang pintar, tampan lagi..." Keya menunduk. Ucapan ibu itu seperti hantaman kedua setelah penolakan dari rumah Nabil tadi. Dia semakin kebingungan, apa yang ingi dia sembunyikan ketauan, apalagi saat Maryam kembali bertanya. "Kok bawa tas besar? Mau ke mana, Dhuk?" Keya mengerjapkan matanya yang terasa buram. Dia sendiri tak tahu harus ke mana kaki melangkah. "Dhuk?" tangan tua Maryam menyentuh jari-jari Keya yang terdiam. "Saya,.." Nafas Keya sesekali tersendat, dan pada akhirnya sebulir air menetes di pipinya. "Saya sendiri sudah tidak tahu lagi mau ke mana, Bu," katanya, dan akhirnya tangis pun pecah. Maryam merangkul pundak Keya yang bergetar oleh tangis. "Sepertinya kamu telah mengalami hal yang berat dalam hidupmu, Dhuk. Sabar." Maryam berdiri hendak mengambilkan air minum. Namun begitu rangkulannya dilepas, tubuh Keya lemas dan ambruk dalam pelukannya. "Dhuk! Dhuk!" Maryam menggoyang tubuh Keya. Tak ada respon. Panik mulai merayapi dirinya. Dia berteriak minta tolong, namun malam itu kampung pasti sepi. Rumah Maryam yang berada di ujung desa, agak jauh dari pemukiman lain, membuat suaranya tak terdengar oleh tetangga. Sebuah sepeda motor matic besar berhenti di depan rumah. Skuter keluaran terbaru berwarna merah, Honda Forza 250 terparkir. "Liam, tolong!" seru Maryam memanggil pemuda itu. Liam, putranya, segera turun dan menghampiri ibunya dengan panik. "Ada apa ini, Bu?" tanyanya bingung. "Ayo bawa ke dalam." Pemuda tinggi besar itu lalu mengangkat tubuh Keya masuk ke rumah. Ia tidurkan gadis itu di balai-balai ruang tamu. Maryam datang membawa minyak kayu putih, mengusap kaki an tangan Keya dengan minyak itu. "Dhuk, bangun, Dhuk!" "Siapa dia, Bu? Kenapa bisa pingsan di depan rumah kita?" Maryam menceritakan apa yang baru saja terjadi. "Mbak, bangun!" Liam memanggilnya. Setelah Maryam mengoleskan kembali minyak ke kaki, tangan, dan tengkuk Keya, perlahan-lahan mata itu membuka. Keya mengerjap. Matanya yang sayu dengan bulu mata panjang menggantung membuat Liam tertegun sejenak."Aduh, panas," ucap Keya spontan. Keya memang tak tahan minyak kayu putih.
"Minum dulu, Dhuk." Maryam mendekatkan gelas ke bibir Keya setelah gadis itu duduk. Bibirnya kering dan pucat, tanpa sentuhan kosmetik. Sekali lagi Liam menatap gadis asing itu. Jari-jarinya halus, kulitnya bersih, terawat. Bukan gadis biasa. Pasti bukan gadis kampung. Jari jemarinya mengatakan dia tak pernah menyentuh pekerjaan kasar. Keya duduk, menatap sekeliling. Termasuk ke pria yang duduk di tepi bale-bale. Maryan yang tadi masuk, telah membawa makanan. "Makan ini, Dhuk. Perut kamu bunyi." "Bu, kenapa repot?" "Nggak repot." Keya makan makanna yang disuapkan Maryam. Setetes air mata jatuh di pipinya. "Terimakasih, Bu," ucapnya tanpa dia sadari dia sudah makan dengan baik. "Bu, sementara waktu, bolehkah saya tinggal di sini sebentar? Saya sudah tak tahu lagi harus ke mana," ucap Keya, suaranya lirih namun memohon. Maryam tampak bingung.Nabil sudah menyelesaikan ospeknya. Pagi sekali dia bermaksud pulang ke desanya.Dia menatap layar handphonenya. Wajah ceria Keya yang duduk dengannya masih menjadi wallpapernya. Kali ini kerinduan yang sangat membuat dia mencoba menelpon handphone Keya, ternyata berdering."Alhamduuulillah, tidak diblokir lagi."Nabil kembali teringat masa-masa SMA-nya bersama Keya. Walau dia tak pernah satu tim dengan Keya, dia sering bersama Keya mewakili sekolah mereka sebagai duta anak-anak yang gemar lomba karya ilmiah. Dari sanalah akhirnya cinta itu tumbuh. Kebersamaan yang kerap mengundang kagum, bahkan mengundang iri yang menimbulkan bencana. Nabil sendiri sampai sekarang tidak dapat memastikan, di antara dua puluh temannya yang mengajak mereka ke puncak, apakah semua terlibat memberi dia dan Keya obat itu. Yang jelas setelah kejadian itu, dia tak ingin lagi mengenal nama anak-anak itu, apalagi berhubungan dengan mereka—yang rata-rata juga murid berprestasi sekaligus anak orang tajir.SMA ya
"Kamu mau menggugurkan bayimu?" tanya Maryam mengikuti pertanyaan Liam.Keya menganggukkan kepala dengan tertunduk. Dia sudah tak dapat berfikir lain. Hatinya terombang ambing."Sabar, Dhuk, jangan melakukan dosa besar. Yang telah kamu lakukan itu salah, jangan menambah dosa lagi.""Bukan salah saya, Bu. Saya hanya korban. Kami dijebak dengan diberi minuman yang dicampur obat," bela Keya."Maksud kamu?" Liam heran dengan perkataan Keya."Aku dan..." Keya menutup mulutnya agar tak keceplosan bicara tentang Nabil. "Aku dan dia dijebak hingga kami melakukan perbuatan tak bermoral itu, Bu. Bukan keinginan kami."Maryam dan Liam menatap prihatin. Dari awal mereka memang tidak yakin jika gadis seperti Keya bukanlah gadis baik-baik. Sikapnya bahkan seperti seorang anak polos yang masih tak memahami hal-hal yang aneh-aneh."Masih ada waktu saya masuk kuliah, Bu. Tinggal beberapa hari lagi, jika saya tak masuk saya dianggap tidak menjadi mahasiswi lagi. Sedangkan menjadi dokter adalah impian s
Liam mengucek matanya. Sepertinya dia tertidur setelah melaksanakan shalat tahajut. Hanya sekejap, tapi yang sekejap itu memberinya jawaban. Pertanyaan yang sejak kemarin dia seperti pernah melihat gadis itu entah di mana. Ternyata dia adalah gadis yang pernah hadir di mimpi-mimpi Liam beberapa hari yang lalu. Mimpi sekejap seperti saat ini. Biasanya setelah sholat Tahajut dia tak pernah tidur, tapi berzikir atau membaca Al Qur'an sampai Subuh pergi ke masjid, tapi saat itu, sama seperti hari ini, dia mengantuk sekali dan terlelap dalam duduk, lalu datanglah mimpi itu.Kembali Liam mempertanyakan makna mimpinya, terlebih gadis itu kini telah di rumahnya dengan keadaan yang sepertinya tak baik.-baik saja. Maryam ataupun dirinya belum berani menanyakan apa sebab dia pergi dari rumahnya. Padahal dia masih teramat muda, belum mengenal apapun.Apakah ini artinya mereka harus menolong gadis itu seperti yang kini Maryam dan dia lakukan? Liam tak memiliki adik. Dia bungsu dari 3 bersaudara. B
"Sebentar," kata Maryam, lalu menarik tangan putranya. Setelah berunding beberapa menit, akhirnya mereka keluar."Kamu boleh tinggal di sini sebentar, Dhuk, apalagi ini sudah malam. Kalau kamu pergi belum ada tujuan, bagaimana?" Biar nanti Liam yang bilang ke Pak RT," kata Maryam mengelus rambut Keya."O, ya...siapa namamu?""Keya, Bu,... panggil saja Key. Terima kasih sudah diperkenankan menginap di sini." Keya terlihat berbinar matanya. Setidaknya untuk sementara dia bisa tenang, tidak tahu bagaimana besok harus ke mana."Saya Bu Maryam, panggil saja...., Ibu, Dhuk." Maryam lalu menengok ke belakang."Itu anak ibu yang terakhir, namanya Liam."Liam mengangguk dan tersenyum."Mana kontakmu, biar motormu dimasukkan Liam ke dalam, nanti kamu ibu tunjukkan kamarmu."Keya merogoh kontaknya di saku celananya, dia kemudian baru menyadari di saku celananya yang satu, yang biasa dia letakkan handphone-nya, kini tak terasa tebal. Dia berdiri, dan sekali lagi dia merogoh sakunya,... Keya benar
"Kalau pingin mati jangan melibatkan orang lain, Mbak. Sana,nyebur sungai!"teriak kenek truk kencang.Keya terperanjak. "Astaghfirullah!" Untuk kesekian detik Keya memegangi dadanya. "Tidak, aku bukan orang yang sepicik itu hinggah aku harus membunuh diriku sendiri," gumannya lirih.Keya menata helmnya kembali, melajukan motornya menyusuri jalan yang di sekelilingnya hanya terhampar sawah dengan padi yang mulai menguning.Sampai akhirnya Keya tiba di depan sebuah rumah Jawa besar di ujung desa. Rasa lelah membuatnya tak bisa berpikir mau ke mana. Tak ada penginapan di desa.Dia turun dari motor. Ada sebuah bale-bale bambu di depan rumah itu, di bawah pohon mangga.Keya duduk di sana. Kerongkongannya terasa kering, sementara dia tak berfikir untuk membawa air minum seperti yang sering dia lakukan jika bepergian."Ke mana aku akan berjalan?" Belum sempat berpikir panjang, tiba-tiba pintu rumah terbuka."Dhuk, kamu siapa?" Keya terjaga dari pikiran bingungnya, menoleh ke arah pintu ya
Keya melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Sore itu terasa dingin, angin menerpa wajahnya, membawa serta air matanya yang terus menetes tanpa bisa dia kendalikan. Tangannya yang menggenggam setang pun gemetar, bukan karena udara, tapi karena luka di dalam hatinya. Kata-kata papinya tadi terngiang berkali-kali di kepalanya."Jangan pernah kembali ke rumah ini sebelum dia mengawinimu!"Sakit. Sangat sakit. Keya bahkan tak tahu apakah jantungnya masih berdetak seperti biasa. Semua terasa kacau. Dunianya seakan runtuh. Sekolah, rumah, orangtua... tak satu pun yang menjadi tempat pulang.Sudah cukup lama ia berkendara. Tak terasa hari sudah malam, lampu-lampu jalan mulai terlihat. Hanya saja saat memasuki kawasan desa, hanya sorot lampu motornya yang menembus gelap, menuntunnya ke arah desa yang terpampang di Google Maps. Keya menyeka air matanya dan menunduk pada layar ponsel di holder motornya. Tak salah. Ini jalannya.Beberapa menit kemudian, sebuah tugu besar bertuliskan n
Mahda menatap dengan tatapan yang sulit diartikan."Maaf, Bu. Keya positif."Waktu seolah berhenti.Melihat wajah tetangganya yang langsung berubah gelap, Bu Mahda, bidan itu, memilih pamit dengan cepat. Ia tak ingin menjadi saksi dari badai yang siap meledak.Neyna dan Chandra menatap anak gadisnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran marah, kecewa, dan sedih yang berkelindan menjadi satu. "Key!""Ada apa ini? Bisa jelaskan ke kami?" Suara Chandra tenang, tapi dinginnya menampar lebih keras dari teriakan.Keya berdiri terpaku. Keringat dingin kembali mengalir dari pelipisnya, matanya mengembun. Tangannya gemetar, ia meremas ujung bajunya sambil menunduk."Aku... aku dan Nabil ,.." ucapnya lirih."Nabil?" suara Chandra meninggi. "Jadi dia pelakunya?Dia yang memperkosamu?""Dia nggak maksa aku, Pi. Tapi... tapi aku juga nggak pernah mau ini terjadi. Kami dijebak. Seseorang—entah siapa—menyusun semuanya. Aku... aku bahkan nggak ingat semua detailnya.""Bisa-bisanya, kalian,