Home / Romansa / BUKAN MEMPELAI IMPIAN / bab 03. Bolehkah?

Share

bab 03. Bolehkah?

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2025-04-26 05:01:41

"Kalau pingin mati jangan melibatkan orang lain, Mbak. Sana,nyebur sungai!"teriak kenek truk kencang.

Keya terperanjak.

"Astaghfirullah!" Untuk kesekian detik Keya memegangi dadanya. "Tidak, aku bukan orang yang sepicik itu hinggah aku harus membunuh diriku sendiri," gumannya lirih.

Keya menata helmnya kembali, melajukan motornya menyusuri jalan yang di sekelilingnya hanya terhampar sawah dengan padi yang mulai menguning.

Sampai akhirnya Keya tiba di depan sebuah rumah Jawa besar di ujung desa. Rasa lelah membuatnya tak bisa berpikir mau ke mana. Tak ada penginapan di desa.

Dia turun dari motor. Ada sebuah bale-bale bambu di depan rumah itu, di bawah pohon mangga.

Keya duduk di sana. Kerongkongannya terasa kering, sementara dia tak berfikir untuk membawa air minum seperti yang sering dia lakukan jika bepergian.

"Ke mana aku akan berjalan?"

Belum sempat berpikir panjang, tiba-tiba pintu rumah terbuka.

"Dhuk, kamu siapa?"

Keya terjaga dari pikiran bingungnya, menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba saja dibuka dari dalam.

"Maaf, Bu, boleh saya duduk sebentar?" tanya Keya.

Perempuan setengah tua itu menatapnya dengan seulas senyum. Lalu mengangguk.

"Kamu dari mana, Dhuk?" tanyanya dengan tatap menunduk menyelidik. Melihat penampilan Keya, dia tahu anak ini bukan dari sekitar sini. Kebanyakan perempuan di desanya berbusana muslimah, sedangkan Keya hanya memakai celana jeans dan kaos pres yang membentuk tubuhnya. Rambut ikalnya tergerai menyentuh punggung. Kulitnya pun putih mulus. Anak kota, pikir Maryam, pemilik rumah itu.

Keya tampak kebingungan menjawab.

"Maksud Ibu, kamu dari mana dan orang mana? Sepertinya kamu bukan orang sini," ralat Maryam.

"Saya dari kota, Bu. Baru saja dari desa sebelah." Keya menunjuk ke arah kanan dia duduk. Sebuah desa yang kini hanya nampak pohon bambunya yang mengelilingi desa itu, seolah di dalamnya tak ada kehidupan dan hirup pikuk anak yang bermain saat Keya datang ke rumah Nabil seperti tadi.

Maryam mengangguk pelan. "Kalau boleh tahu, ke rumah siapa ya?"

"Ke rumah,.." Sejenak Keya ragu mengatakannya.

"Kamu nggak ingin Ibu tau?"

"Maaf, Bu, bukan begitu maksud saya. Anaknya teman saya waktu SMA di Gresik. Saya kurang tahu nama orang tuanya." Keya tak menyebutkan nama Nabil. Dia takut. Di desa ini apa-apa bisa jadi omongan panjang.

"Oh, itu mungkin Haji Darman atau Haji Ahmad, panggilan dia setelah dia naik haji. Cuma mereka yang anaknya sekolah jauh., sebab anak sini rata-rata sekolah di sini saja. Anaknya memang pintar, tampan lagi..."

Keya menunduk. Ucapan ibu itu seperti hantaman kedua setelah penolakan dari rumah Nabil tadi. Dia semakin kebingungan, apa yang ingi dia sembunyikan ketauan, apalagi saat Maryam kembali bertanya.

"Kok bawa tas besar? Mau ke mana, Dhuk?"

Keya mengerjapkan matanya yang terasa buram. Dia sendiri tak tahu harus ke mana kaki melangkah.

"Dhuk?" tangan tua Maryam menyentuh jari-jari Keya yang terdiam.

"Saya,.." Nafas Keya sesekali tersendat, dan pada akhirnya sebulir air menetes di pipinya.

"Saya sendiri sudah tidak tahu lagi mau ke mana, Bu," katanya, dan akhirnya tangis pun pecah. Maryam merangkul pundak Keya yang bergetar oleh tangis.

"Sepertinya kamu telah mengalami hal yang berat dalam hidupmu, Dhuk. Sabar." Maryam berdiri hendak mengambilkan air minum. Namun begitu rangkulannya dilepas, tubuh Keya lemas dan ambruk dalam pelukannya.

"Dhuk! Dhuk!" Maryam menggoyang tubuh Keya. Tak ada respon. Panik mulai merayapi dirinya. Dia berteriak minta tolong, namun malam itu kampung pasti sepi. Rumah Maryam yang berada di ujung desa, agak jauh dari pemukiman lain, membuat suaranya tak terdengar oleh tetangga.

Sebuah sepeda motor matic besar berhenti di depan rumah. Skuter keluaran terbaru berwarna merah, Honda Forza 250 terparkir.

"Liam, tolong!" seru Maryam memanggil pemuda itu. Liam, putranya, segera turun dan menghampiri ibunya dengan panik.

"Ada apa ini, Bu?" tanyanya bingung.

"Ayo bawa ke dalam."

Pemuda tinggi besar itu lalu mengangkat tubuh Keya masuk ke rumah. Ia tidurkan gadis itu di balai-balai ruang tamu.

Maryam datang membawa minyak kayu putih, mengusap kaki an tangan Keya dengan minyak itu.

"Dhuk, bangun, Dhuk!"

"Siapa dia, Bu? Kenapa bisa pingsan di depan rumah kita?"

Maryam menceritakan apa yang baru saja terjadi.

"Mbak, bangun!" Liam memanggilnya.

Setelah Maryam mengoleskan kembali minyak ke kaki, tangan, dan tengkuk Keya, perlahan-lahan mata itu membuka.

Keya mengerjap. Matanya yang sayu dengan bulu mata panjang menggantung membuat Liam tertegun sejenak.

"Aduh, panas," ucap Keya spontan. Keya memang tak tahan minyak kayu putih.

"Minum dulu, Dhuk." Maryam mendekatkan gelas ke bibir Keya setelah gadis itu duduk. Bibirnya kering dan pucat, tanpa sentuhan kosmetik.

Sekali lagi Liam menatap gadis asing itu. Jari-jarinya halus, kulitnya bersih, terawat. Bukan gadis biasa. Pasti bukan gadis kampung. Jari jemarinya mengatakan dia tak pernah menyentuh pekerjaan kasar.

Keya duduk, menatap sekeliling. Termasuk ke pria yang duduk di tepi bale-bale.

Maryan yang tadi masuk, telah membawa makanan. "Makan ini, Dhuk. Perut kamu bunyi."

"Bu, kenapa repot?"

"Nggak repot."

Keya makan makanna yang disuapkan Maryam. Setetes air mata jatuh di pipinya. "Terimakasih, Bu," ucapnya tanpa dia sadari dia sudah makan dengan baik.

"Bu, sementara waktu, bolehkah saya tinggal di sini sebentar? Saya sudah tak tahu lagi harus ke mana," ucap Keya, suaranya lirih namun memohon.

Maryam tampak bingung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Ani
sedih sekali thor
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 147. Tak sendiri

    Seharian teman Keya bercanda dan berjalan ke sawah di belakang rumah, membantu Bi Ira menangkap Bebek untuk makan mereka. Mereka juga jalan Minggu pagi menikmati suasana desa itu, hinggah tak terasa sore menjelang."Sorry ya, Key,... kalau selama kita di sini ngrepotin kamu," pamit Rina dengan memeluk Keya. Isya' baru saja berlalu."Siapa bilang ngrepoti? Aku, juga Kak Liam malah senang kalian di sini. Dia malah berharap, selama dia pergi kalian mau temani aku.""Idih, tadi malam telponan ya kok tahu kita di sini? So sweet,.. jadi ngiri nih," canda Lesti."Makanya, cowok kamu yang ngacir itu biarlah ngacir, ngapain dipikirin? Cari yang baru biar bisa sweet-sweet," oceh Lili."Iya, juga, Beb!" Senyum Lesti mengembang.Namun saat mereka sudah mau beranjak pergi, sebuah motor matic keluaran terbaru datang. Lili yang lagi berjalan sambil mengambil jambu air di depan rumah, mengerling ke Keya."Lho..." Lili menghentikan tangannya yang menggapai jambu. "Itu... siapa, Key?"Keya mengerutk

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 146. Percaya siapa

    "Aku,.. kayaknya aku pulang duluh, ya. Aku ngerasa salah bawa Sheryn ke tempat gini. Kak Liam nggak suka." Keya berusaha tersenyum agar teman-temannya tidak sakit hati dengan ucapannya.."Dia marah ya, Key?" tanya Rina."Gimana juga, dunia dia beda dengan dunia kita. Seharusnya aku yang maklum.""Jadi ngerasa salah nih, Key. Sorry ya?" sesal Mila."Nggak apa, nggak segitu juga kali," Keya tersenyum samar, "kalau kalian masih suka di sini, aku bisa naik grap kok.""Aku ikut kamu deh, Key. Takut kamu tiba-tiba pingsan di jalan," canda Rina sambil menyambar jaket denimnya."Aku juga deh," sahut Lesti. "Bentar, aku mau bangunin Sheryn duluh."Rina dan Mila hanya saling pandang."Kayaknya Liam itu agamis orangnya,"komentar Rina."Iya, aku bisa lihat dari Keya, seolah dia takut gitu ya, padahal kita kan nggak ngapa-ngapain, seneng aja, cuma cengar cengir nyanyi. Tempat ini juga nggak macam diskotik kok ya?""Udah, ayo, namanya orang nggak sama juga kayak kita yang abu-abu."Saat Keya sudah

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 145. Lupa

    "Aku... pingin ngomong sesuatu," suara Liam terdengar pelan dari layar ponsel.Keya menahan napas. Tangannya mengepal di atas pangkuan. Dia sebenarnya juga ingin ngomong ke Liam, kenapa Liam membohonginya dengan bilang hanya kapan hari itu saja terpeleset menghabiskan hasrat bersama Dania, namun kenyataannya Dania bilang seolah-olah mereka tak hanya sekali saja. Namun sebelum ia sempat bicara, suara lain menyela dari samping."Eh, itu siapa? Ganteng juga!" Lili tiba-tiba muncul di samping Keya dan menatap layar ponsel dengan mata membulat.Keya buru-buru memiringkan layar, tapi terlambat. Wajah Liam sudah terpampang jelas dan Lili langsung berseru, "Wah, beneran cakep! Ini yang katanya suami kamu itu, ya?""Lili, jangan..." Keya berbisik, menahan malu."Kamu masih muda, Mas. Yang aku dengar kalian beda jauh." Lili ikut bicara ke layar. "Sumpah, mukanya kayak seumuran Andra. Atau malah lebih muda, ya?""Aku sepuluh tahun lebih tua dari Keya," jawab Liam, mencoba tetap sopan walau jelas

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 145. Saat Rindu

    Di pesantren, suasana aula perlahan mereda. Keya masih berdiri kaku dengan bingkisan di tangannya. Dania menyodorkan semua amplop penghargaan padanya."Ini semua untukmu. Kamu yang mendampingi Mas Liam sekarang. Aku hanya... singgah sebentar, Keya," ucap Dania pelan.Keya menatap amplop di tangannya. Tebal. Berat. Tapi bukan isinya yang membuat hatinya lunglai."Kenapa Kakak melakukan ini?" tanya Keya."Karena aku lelah membenci. Dan kamu... kamu tidak pantas dibenci oleh siapa pun. Bahkan oleh aku."Kata-kata itu mengendap di benaknya sepanjang perjalanan pulang. Bahkan saat beberapa guru perempuan menyentuh bahunya dengan nasihat berbeda-beda."Kalau kamu bisa legowo, kamu hebat sekali. Itu perempuan surga, Bu Keya," ujar Bu Tutik lirih."Tapi jangan sampai kamu disusupi. Hati-hati, ya. Ada hal-hal yang kalau dibiarkan, bisa makan kamu dari dalam," bisik Bu Mar.Setiba di rumah, Keya terperangah. Teras rumahnya ramai. Mila melambaikan tangan dengan antusias, disusul Lesti, Rina, dan

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 144. Kenapa?

    Tatapan-tatapan berputar ke segala penjuru aula. Sebagian menoleh ke arah Dania, sebagian lagi — tanpa sadar — melihat ke tempat duduk Keya.Keya menunduk. Tangannya mengepal di atas rok panjangnya. Wajahnya menegang, pipinya memanas.Ia ingin menghilang saat itu juga.Beberapa guru PAUD menoleh ke arahnya.Tapi bukan dia yang berdiri.Perlahan, seseorang dari arah tengah aula bangkit dari duduknya.Langkahnya ringan, percaya diri.Dania.Ya, Dania berdiri.Semua yang hadir mulai berbisik. "Bukannya Bu Keya ya yang istri pertama, seharusnya dia dong yang maju.""Tapi dia itu masih muda banget, lebih pantas Mbak Dania yang maju."Semua orang mengeluarkan pendapatnya."Lagian Dania kan sudah pulang ke rumah orang tuanya.""Itu kan cuma cara agar tak satu rumah. Bagimanapun nggak enak satu rumah dengan bini dua""Iya, kapan hari aku juga lihat Pak Liam datang ke rumah Mbak Dania. Mungkin biar mereka akur saja. Buktinya ya, tadi Mbak Dania akrab banget kan sama Bu Keya.""Cuma aku lihat

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 143. Penghargaan

    "Keya?"Seseorang memanggilnya. Suaranya tak asing walau sekarang terdengar lebih ramah. Keya menoleh perlahan.Wanita itu tersenyum, bahkan melambaikan tangan sebelum mendekat. Langkahnya mantap, seperti tak membawa beban apa pun."Alhamdulillah ketemu juga," ujar Dania dengan ramah. Lalu merangkul Keya dengan hangat, seolah semuanya terkesan tulus. "Aku tadi di bangku pojok, duduk bareng ibu-ibu yayasan."Dania llau mengedarkan pandangannya. " Kamu sendirian, Keya?"Keya mengangguk kecil. Seolah tak percaya dengan apa yang ditampakkan wanita yang kini sejengkal di depannya. "Saya bareng guru-guru PAUD.""Ohh, iya, ya,.." Dania memandang ke arah Bu Siti dan yang lain, lalu tersenyum. "Kalau gitu duduk di sebelahku aja, yuk?"Keya mengerutkan kening halus. "Makasih, Kak. Saya di sini aja, bareng teman-teman sekolah.""Oh... iya, nggak apa-apa," jawab Dania, senyumnya tetap terjaga walau tatapannya sekilas meredup. "Mungkin nanti kita bisa ngobrol, ya?"Keya hanya membalas dengan angguk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status