Setelah sholat Maghrib, kakak-kakak Liam bergantian berdatangan dengan keluarga mereka. Ratna dengan kedua anaknya cowok cewek, juga Raihan dengan dua anaknya pula yang cowok dua-duanya.Rosmala, istri Raihan dan Ratna saling merangkul dengan Keya. Lalu membuka kain kafan yang menutupi wajah Ibu, dan menciumnya dengan derai air mata, demikian juga dengan Raihan yang juga menangis, mengingat dia jarang sekali pulang. Bahkan ibunya yang sudah 9 bulan sakit, hanya sekali dijenguknya, itu pun saat pernikahan Liam dan Dania, juga tak lama hanya karena mereka tak sreg dengan Dania yang menurut mereka hanya akan menghancurkan hidup Liam.Kain kafan yang atas kembali dirapikan Pak Hasan selaku modin. Lalu Bu Maryam dibawa ke Masjid desa yang tak jauh dari Rumah Liam.Selesai sholat Isya', Pak Kyai Abdurrahman memimpin sholat jenazah. Masjid yang begitu besar, namun masih tak muat untuk orang yang menshalati jenazah Bu Maryam karena banyaknya. Hinggah sholat dilakukan dua kali.Ditandu Liam da
"Ehem!" Seseorang berdehem, dialah Neina, namun Liam dan Keya masih sibuk saling menatap.Neina tak segera beranjak pergi, masih memperhatikan Keya dan Liam yang melakukan apa-apa setelah itu dengan selalu berdua. Bahkan Liam tak pernah berhenti mencuri pandang pada Keya dengan mesra. Liam memang merasa begitu bahagia di akhir hidup ibunya bisa dirawat dengan tulus oleh Keya. Wanita yang tanpa jijik sekalipun dia harus mengganti pempersnya dan membalurkan bedak bayi tiap selesai membersihkan ibunya. Dia juga tak segan masak apa yang diinginkan ibunya ayng di akhir hayatnya terlihat sangat rewel itu.Tiada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata kebahagiaan Liam di akhir hidup Bu Maryam dia bisa bermanja pada seorang putri seperti yang selama ini diimpikannya dan tidak bisa dia dapatkan karena satu-satunya putrinya jauh darinya."Apa Ibu tak cukup aku ada di sisimu?" tanya Liam suatu hari sebelum ibunya jatuh sakit dan belum ada Keya di rumah itu."Bagaimanapun kamu itu lelaki dan Ibu
Liam dan Keya berlari mendekati Bu Maryam."Ibu..." ucap Keya dan Liam bersamaan. Nafas mereka memburu, langkah mereka terburu-buru seperti ingin menahan waktu yang tak mau diajak kompromi.Bu Maryam yang terbaring di ranjang, menoleh perlahan. Matanya sayu, tapi senyum masih mengembang di bibir pucatnya. Tangannya lemah melambai menyambut dua anak yang paling akhir menemaninya.Sheryn yang digendong Keya menangis, seolah tahu sesuatu sedang berakhir."Ibu bahagia melihat kalian..." suara Bu Maryam seperti desir angin. Lemah, tapi penuh makna. Ia mengangkat tangannya dan menggenggam tangan Liam dan Keya sekaligus, menariknya ke dekat wajahnya."Jangan tinggalkan... Liam... Key... Dia,... sangat mencintaimu,..."Genggaman itu melemah. Mata Bu Maryam menatap ke atas. Bibirnya bergerak pelan, menyebut asma Allah.Lalu, hening.Tarikan nafas terakhir itu adalah pertanda yang tak bisa ditolak."Ibu,.."Keya dan Liam menunduk, menempelkan wajah mereka ke tangan Bu Maryam yang masih hangat.
Keya dan Bu Maryam sontak menoleh. Dania berdiri di ambang pintu ruang tengah. Matanya menyala, rahangnya mengeras.Keya segera berdiri. Tubuhnya gemetar. Dia ingat rambutnya masih setengah basah, sisa mandi tadi."Dania, bukan itu maksud Ibu. Ibu mau,..."Namun ucapan itu tak sempat selesai."Aku tahu selama ini kalian kompak tak senang aku di sini, Tapi kalian jangan berharap aku akan pergi begitu saja. Aku yang seharusnya lebih berhak di rumah ini daripada wanita yang kausayang itu.""Kak, tolong yang lebih sopan. Dia Ibu kita, Kak. Kalau aku memang salah ada diantara kalian, aku minta maaf.""Jangan berpura-pura sopan, Keya." Mata Dania menajam. Tatapannya menelusuri Keya dari kepala sampai kaki, lalu berpindah ke ranjang Bu Maryam."Aku dengar dengan jelas, kok kalian ngobrol tadi. Kammu pikir aku tuli apa?"Wajah Bu Maryam berubah pucat. "Dania... dengarkan dulu.""Dengar apa, Bu? Penjelasan soal istri simpanan yang tinggal seatap dan diam-diam mengundang suamiku ke kamarnya mal
"Ey...?"Suara Liam parau saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Dia memang kaget."Aku masakin air, Kak Liam segera mandi. Aku tunggu sholat Subuh mumpung Sheryn belum bangun.Keya, mengenakan gamis lembut berwarna salem, rambutnya masih basah tergerai sepunggung. Aroma sabun masih menempel."Kamu dari kamar mandi?" tanya Liam pelan, kaget.Keya mengangguk, bingung menatap wajah Liam yang tegang."Ada apa?"Liam menoleh ke arah ranjang. "Boneka itu..." Keya kaget seolah akan terkuak apa yang diberikan Nabil untuk putrinya. "Kenapa?""Matanya," Liam menatap lekat wajah boneka berpita merah muda itu. "Tadi seperti... mengedip."Prasangka yang salah membut Keya terkekeh. Terlebih melihat sikap Liam. "Memang bisa begitu. Dari pabriknya. Shery suka mainin kelopaknya."Liam menghela napas, lalu tertawa pendek. "Aku pikir..."Kata-katanya menggantung. Ia melangkah pelan ke arah Keya. Tangannya menyentuh lengan istrinya itu, lalu menuruni pergelangan. Jemarinya dingin."Kakak pik
Malamnya,...Bu Maryam duduk di kursi roda. Bu Yana dan Keya duduk di kursi yang menghadap meja.Sheryn yang duduk sendiri segera dibimbing Keya untuk meniup lilin kecil di kue ulang tahun yang lebih besar dari yang dimakannya sore tadi."Selamat ulang tahun, Sayang!"Semua mata menatap pria yang berdiri dengan senyum mengembang."Selamat ulang tahun, Princess!" Liam mendekat dengan menggenggam beruang cokelat hampir sebesar tubuhnya. Wajah Sheryn langsung berseri, tangannya terentang, pipi bulat merah jambu."Ayah!" teriaknya.Tawa lembut mengisi ruang makan mungil. Bu Yana menepuk tangan senang, sementara Bu Maryam tersenyum haru dari kursi roda. Keya berdiri terpaku, napasnya tersangkut di tenggorokan; masih ada basah tipis di mata yang belum sempat hilang.Liam berlutut. "Tiup lilinmu, Sayang. Ini hadiah kamu""Aku?" Mata gadis itu berbinar dengan segera memeluk bonekanya. "Acih!"Sheryn meniup satu-satunya lilin mungil di atas kue keju. Api padam tak perlu bantuan angin. Tepuk t