Jangan marah duluh y
"Van, akhirnya pulang juga!"Suara Pak Bagus terdengar lantang begitu Evand turun dari motor matocnya yang berhenti di depan rumah.Evand mengangkat ranselnya, menyeringai lebar. "Namanya juga libur semesteran, Yah, masak di sana saja.""Habisnya kamu kerasan banget. Jarang pulan."Ibu-ibu tetangga yang sedang lewat menoleh sambil tersenyum. Salah satu di antara mereka berseru, "Anaknya Pak Bagus ya? Lho sudah ITS itu kan? Hebat, Mas! Semoga nanti bisa kayak Pak Liam, bisa menjadi anak desa yang membangun desanya dengan tehnologi."Evand menunduk sopan. "Terima kasih, Bu. Doa'akan sukses."Bu Marya sudah berdiri di teras dengan wajah berseri-seri. "Sejak mereka tahu kamu diterima tanpa tes, Van. Kamu jadi kebanggaan kampung ini sekarang. Bagaimanapun orang sini bilang, tak gampang masuk ITS. Semoga harapan mereka benar terwujud, Nak.""Aamiin... doain lancar terus, Bu," jawabnya, lalu mencium tangan sang ibu.Pak Bagus menepuk bahunya. "Sayang Nabil beda jalur, ya. Padahal kalian se
Sheryn berdiri sambil berpegangan pada sandaran kursi, tangannya menunjuk ke jendela dan menggumam, "Taa... Taa..."Keya mendekat. "Itu siapa, Sayang? Kak Najla, ya? E, kamu udah hafal kalau itu Tante." Keya yang memang sering ngobrol sama kakaknya sekarang, bahkan suka vidiocall seharyusnya nggak heran kalau Shery mengenalinya.Sheryn mengangguk cepat-cepat, lalu tersenyum lebar ketika seorang gadis tinggi mungil seperti Keya, turun dari motor yang berhenti di depan rumah. Tubuh mungilnya berjingkat tak sabar, tangan kecil menepuk-nepuk kaca jendela. Najla turun dari boncengan sambil tertawa, lalu menoleh ke pengendara motor dan melambaikan tangan. "Thank you, Van!"Evand membalas dengan anggukan cepat, lalu melirik sekilas ke arah rumah sebelum motornya melaju pelan meninggalkan halaman.Begitu pintu dibuka, Sheryn langsung berlari dengan langkah goyah, memeluk kaki Najla sambil memekik, "Taa!"Najla membungkuk, mengangkat Sheryn dengan pelukan hangat. "Ih, udah berat, ya! Tumben
"Kenapa kamu nggak di kamar, Kak?" suara Keya pelan. Tangannya masih mengusap lembut punggung Sheryn yang mulai tenang dalam pelukannya. "Apa kamu belum pulang?"Langit malam sudah larut. Suara jangkrik dan detak jam dinding bersahut di dalam kamar yang baru mereka tempati beberpa jam yang lalu. Keya duduk bersandar di sandaran tempat tidur, mengenakan rok rumahan lengan pendek namun dengan kerudung panjang yang selalu siap di saandaran kursi yang dia pakai sewaktu-waktu keluar sejak ada saudara Liam di rumah mereka . Cahaya lampu tidur menyorot wajahnya yang gelisah.Sebelumnya, ia terbangun karena suara Sheryn yang tiba-tiba menjerit. Tubuh kecil itu berguling tak tenang di kasur, wajahnya berkeringat dingin, dan tangan mungilnya menggenggam udara seolah ketakutan. Keya sontak bangkit dari tidurnya, memeluk Sheryn erat sambil membisikkan kalimat-kalimat penenang."Bunda di sini, Nak... Ssshh, nggak apa-apa... Bunda di sini..."Butuh beberapa menit sampai tubuh Sheryn mulai tenang, t
"Kamu udah tujuh bulan, Dan. Masih juga kamu bela dia yang nyata-nyata nggak cinta sama kamu," ujar Angga, suara dalam panggilan video di layar ponsel."Menurut kamu aku harus gimana?" jawab Dania sambil menahan napas, menatap wajahnya yang nampak lelah dari balik kaca rias kamarnya.Angga, pemilik stan garment sukses di Surabaya, awalnya hanya iseng mengomentari status Dania. Namun gaya bicara Dania yang lembut dan menggoda di chat membuatnya semakin ingin tahu. Suatu hari mereka bertemu di sebuah kafe kecil. Wajah Dania yang ayu dengan senyum menunduk itu menancap di benaknya. Sejak saat itu, pria pemilik sedan putih itu makin sering menghubungi, menyampaikan perasaan—meski belum mendapat balasan pasti."Aku nggak bisa. Dia cinta pertamaku," lirih Dania."Dan dia sudah menikah dengan perempuan lain. Dia nggak pernah menyentuh kamu. Kamu pikir itu wajar?" desak Angga."Dia cuma butuh waktu. Dia akan kembali," Dania bersikeras, mengelus wajahnya perlahan. Berguman lirih kalau dia perl
"Tahan pukulan itu! Jangan pakai dendam, Taruna!"Suara pelatih utama menggema keras saat Nabil menjatuhkan Edward dengan gerakan sapuan cepat. Debu naik. Edward terbaring. Pelipisnya lecet, mulutnya berdarah sedikit. Para taruna lain menahan napas."Taruna Nabil! Langkahmu berlebihan! Dia sudah menyerah!"Teriakan itu membuat Nabil mendongak. Pelatih bernama Komandan Agus - instruktur bela diri tingkat lanjut - menghampiri cepat. Tubuh tegap dan suara garangnya membuat suasana tambah menegang."Laporkan ke ruang disiplin. Sekarang!"Rere yang menyaksikan dari garis pinggir ikut menunduk. Wajahnya pucat. Edward duduk perlahan, dibantu taruna lain. Tapi matanya menatap Nabil, tak marah, malah seperti puas melihat Nabil terpancing."Mungkin dengan cara itu, dia bisa memafkan aku," bathin Edward."Kamu nggak apa-apa?" tanya Rinda, taruni yang sekamar Rere."Enggak, hanya luka begini, nanti juga sembuh.""KEbangetan banget tuh Nabil. Kayak kesetanan. Emang kalian pernah ada masaah? Bukanny
Hampir seminggu kakak-kakak Liam berada di rumah orangtuanya. Kadang hanya ngobrol bersama atau sekedar berjalan-jalan ke belakang rumah yang kini ditanami padi yang mulai menguning. Kadang juga ke resort sekalian melihat wisata pantai di dekat situ. Resort lama yang masih berdiri adalah milik keluarga mereka. Sebulan sekali Liam menghitung pengeluaran dan pemasukan resort lalu membagikan ke kakak-kakaknya sesuai prosentase yang pernah mereka sepakati. Sementara setengah bagian lainnya adalah milik Liam sendiri, yang dibangunnya hampir bersamaan dengan pernikahannya dengan Keya, yang membuat Liam memiliki ide mengusung konsep pengantin saat awal pernikahan mereka. Sebagai bentuk kerinduan Liam untuk mendapatkan Keya. Walau sampai kini, satu resort yang tidak pernah disewakan karena Liam pikir itu spesial untuk dia dan Keya, baru terpakai kapan hari.Selama itu, rumah terasa hangat dan ramai. Sheryn bahkan hanya kapan hari dibawa ke H Darman karena Rosmala dan Ratna berebut mengasuhny