"Ini kunci kamarnya," Liam mengangkat sebuah gantungan kayu bertulis angka 101. "Kamar pengantin, view langsung ke pantai. Untuk Aba sama Umi."H Darman mengangkat alis, menatap Bu Aisyah yang tersenyum malu. "Ah, Liam… ini kan berlebihan. Kita udah tua, masaka iya memakai kamar pengantin. Yang benar saja kamu ini. Liburan di tempat seperti ini juga masih baru buat kami, jadi jangan yang berlebihan."Liam tersenyum. "Biar ganti suasana, Ba. Ngak mikirin harga gabah terus."Semua terkekeh."Lagian, Ba, berlebihan apanya? Aba masih 51, Umi baru 46. Masih cocok bulan madu lagi," Hanafi menepuk bahu ayahnya sambil terkekeh. "Siapa tahu pulang dari sini, aku sama Nabil punya adik baru. Kalua ceewk kan Aba sama Ummi suka ya?""Dasar nggak sopan!" Jitakan mendarat di kepala Hanafi, membuat semua tergelak.Chandra yang sudah memegang kunci nomor 102 menimpali, "Kalau begitu, Mami sama Papi juga bulan madu, dong." Ia melirik Neina yang malah nyengir."Kenapa tidak?" jawab Neina santai. "Anggap
"Udah aku kirim pesannya," ucap Rena pelan, jemarinya menurunkan ponsel ke meja kecil di samping ranjang. Tatapannya menyapu kamar di rumah tipe 36 itu. Cat dinding krem tampak masih baru , tirai jendela bergoyang pelan karena kipas angin di sudut. Aroma wangi sabun dari kamar mandi masih terasa samar.Suara gesekan pintu kamar mandi terdengar. Angga keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Kaos abu-abu yang dipakainya masih lembap. Cahaya lampu redup membuat bayangan wajahnya semakin tajam."Pesan apa?" tanya Angga, berjalan mendekat.Rena menatapnya sambil menyibakkan selimut. "Biar dia nggak ganggu kita lagi malam ini"Angga berhenti di ujung ranjang. "Kamu serius kirim pesan itu?""Kenapa nggak? Aku cuma mau jaga malam ini nggak rusak," jawab Rena datar. Senyum tipis terselip di ujung bibirnya, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lain."Kamu tadi hebat, lho. Aku jadi malas mandi.""Pingin lagi?" goda Angga.Lampu temaram membuat bayangan wajah mereka samar, tapi tata
"Hamil?" suara Angga akhirnya terdengar, serak dan berat, seolah keluar setelah menahan napas lama. "Jadi… itu anakku?"Dania menggenggam ponsel lebih erat. "Kamu pikir aku bohong?""Enggak," jawab Angga cepat, lalu hening lagi. "Aku percaya."Ada jeda. Napasnya terdengar panjang, nyaris seperti keluhan yang ia tahan. "Cuma… kamu tahu nggak, waktu dulu aku datang ke rumah kamu? Waktu aku minta restu?"Dania terdiam. Ingatan itu muncul begitu saja—teras rumah, tatapan dingin ayahnya, suara ibunya yang tegas menyuruh Angga menunggu."Mereka bilang tunggu sampai kamu cerai," lanjut Angga. "Katanya nggak mau ada gosip. Aku nurut, Dania. Aku nunggu. Aku pikir… ya, ini cuma soal waktu. Tapi sekarang, kamu nelpon tengah malam, bilang kamu hamil… sementara status kamu masih istri orang."Dania mengusap matanya dengan punggung tangan. "Aku nggak mau ini terjadi kayak gini. Tapi aku nggak bisa bohong, ini anak kamu.""Nggak bisa bohong atau nggak mau bohong?" nada suaranya berubah tajam.Dania
Ruangan hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan.Dania menggigit bibir. Nafasnya tak teratur. "Itu... bukan urusan siapa-siapa. Itu urusan aku.""Tapi kehamilan itu yang kamu pakai untuk menjatuhkan orang lain," ucap Evan."Evan..." Bu Marya berbisik, suaranya lemah. Wajahnya mulai kehilangan warna.Pak Bagus memejamkan mata sejenak, lalu berkata, "Kita akan selesaikan semua ini malam ini. Aku nggak mau lagi ada kebohongan. Termasuk soal siapa sebenarnya laki-laki yang bertanggung jawab atas kehamilanmu, Dania."Evan menoleh ke arah kakaknya. "Kalau kamu nggak bilang, aku yang akan cari tahu. Aku sudah cukup diam selama ini mendengar ulahmu dari cerita temanku di desa ini, Mbak."Dania menunduk. Bahunya gemetar."A-Angga..." suaranya nyaris tak terdengar. "Angga... dia yang waktu itu..."Bu Marya menutup mulutnya dengan tangan, terperanjat.Sementara Pak Bagus yang sejak tadi berdiri dengan tangan di saku, akhirnya melangkah maju. Sorot matanya tajam dan dingin menusuk."K
"Bagaimana bisa kamu pulang satu mobil dengan keluarga brengsek itu, Evan?!"Suara Bu Marya membelah ruang tamu seperti cambuk. Evan berdiri kaku di ambang pintu, belum sempat menanggalkan sepatu. Pak Bagus duduk di ujung sofa, hanya menatap kosong ke layar televisi yang tak benar-benar ia tonton. Sementara Dania, berdiri di balik ibunya, menyilangkan tangan di dada, sorot matanya tajam menusuk."Lalu di mana motor kamu?" tanya Dania."Di rumah Najla." "Kenapa motor kamu ada di sana? Kenapa kamu bahkan datang ke rumah mereka? Kamu pikir, setelah semua yang mereka lakukan ke Dania, kamu masih bisa main baik-baik ke rumah itu?!"Evan menghela napas. "Aku cuma..., ingin ketemu Najla. Sudah lama dia KKN di desa. Aku lama nggak ketemu dia. Ternyata saat aku datang, mereka mau berangkat ke sini karena Sheryn ulang tahun. Rencananya langsung balik, jadi aku tinggal motorku.""Kamu tahu, keluarga itu sudah cukup bikin kita malu. Dania mau cerai, tahu?! Kamu ini kebanggaan keluarga, Evan! Jan
“Sheryn, ini cucu siapa yang paling cantik sedunia?”Pak Chandra merunduk sambil mengangkat tinggi-tinggi bocah mungil itu, membuatnya terkikik. “Cucu Opa Candra, kan?”Sheryn mengangguk cepat sambil mencium pipi kakeknya. “Iya, Opa Anda! Aku apat ua oneka loh!”“Tuh kan,” gumam Chandra sambil mencubit pipinya gemas. “Ulang tahunmu spesial banget. Semua ngumpul cuma buat Sheryn.”Ia melirik cepat ke arah Liam yang masih menatap boneka yang baru saja keluar suara Nabil dengan sorot sulit dijelaskan.Neina berjalan ke arah mereka sambil tersenyum. “Liam, sekali-kali kita ini diajak liburan ke resort. MumpungMami sekolah libur. Kamu juga libur an. Kasihan kita-kita yang tua ini butuh udara segar.”Chandra mengangguk. “Iya, iya. Betul itu. Biar suasana segar. Gak terus-terusan tegang begini." Chandra msaih berusaha menetralkan menantunya. " Apa harus pakai bayar juga? Kalo iya, biar Aba aja yang baru panen yang nraktir. Iya kan, Ba?"H Darman yang juga ikut merasa ta enakhati setelah men