"Kak..." suara Keya terdengar dari arah belakang Liam, memanggil suaminya yang sedang menyisir rambut ikalnya.Liam menoleh sebentar. "Kenapa, Ey?"Belum sempat Keya menjawab, suara langkah kecil terdengar tergesa dari dalam kamar. Sheryn muncul dengan pipi merona, masih mengenakan baju tidur bergambar kelinci. "Yah... idul..."Liam terkekeh melihat anaknya berlari sambil mengangkat kedua tangan. "Mau ngajak tidur Ayah?"Gadis kecil itu mengangguk, matanya berbinar. "Yah... emein...""Sheryn, bunda kan sudah berusaha menidurkan kamu," sahut Keya, mencoba tetap sabar. "Ayo, nak, tidur sama Bunda dulu. Ayah mau sholat. Lagian Ayah juga banyak pekerjaan di akhir tahun ajaran."Tapi Sheryn langsung memeluk kaki Liam erat-erat, wajahnya menunduk sambil merengek. "Aku au...ma,.. Yah..."Liam jongkok, menatap mata anaknya yang mulai berkaca-kaca. "Nak, Ayah mau sholat dulu. Tidur sama Bunda dulu, ya? Nanti kalau Ayah sudah selesai, kita main sebentar sebelum tidur."Sheryn menggeleng cepat,
"Seatbelt dulu," ucap Arfan sambil melirik sekilas. Tangannya tetap di kemudi, tapi bibirnya sedikit terangkat.Najla menarik tali pengaman, menguncinya di sisi kursi. "Sudah."Mesin mobil menyala, deru halus terdengar. Jalan desa sepi, hanya sesekali motor lewat dengan suara knalpot yang memecah tenang siang itu.Hening beberapa menit, hanya suara radio pelan mengisi udara. Najla membuka sedikit kaca jendela, membiarkan angin sore masuk."Sidang tadi lumayan tegang, ya?" tanya Arfan akhirnya.Najla menoleh sekilas. "Lumayan. Aku juga baru pertama kali lihat langsung prosesnya. Ternyata lebih banyak formalitas daripada yang aku bayangkan."Arfan terkekeh. "Kalau sidang perceraian, apalagi yang melibatkan angka besar, biasanya memang begitu. Ada tarik-ulur sebelum masuk ke pokok perkara."Najla mengangguk, matanya kembali mengamati jalan. Sesekali ia melihat anak-anak bermain sepeda di pinggir jalan, sorakan mereka mengalun, kontras dengan obrolan serius beberapa menit lalu.Ponsel Naj
Sheryn sudah berdiri di ujung teras, rok pink yang dikenakannya setengah terangkat karena berlari-lari kecil. Tangan mungilnya terangkat tinggi, minta digendong.Liam langsung tersenyum lebar. Langkahnya lebar-lebar menghampiri, lalu menunduk dan mengangkat gadis kecil itu tinggi-tinggi. "Wah, putri ayah udah pulang sekolah, ya?" candanya.Suara tawa Sheryn pecah ketika Liam menciumi pipinya berkali-kali. Pipi bulat itu wangi bedak bayi, bercampur sedikit aroma keringat siang."Jam segini udah mandi Wangi amat . Dmandiin Uti ya?"Gadis itu mengangguk. "Yah... ain..." ucapnya dengan ucapan yang belum jelas."Mainnya nanti, sekarang kita masuk dulu," jawab Liam sambil menurunkannya perlahan.Keya berdiri di teras sambil memegang tas kerjanya dan beberapa buku. Matanya menatap Liam lama, seolah membaca isi hati suaminya. "Gimana sidangnya, Kak?" tanyanya singkat.Liam melepaskan napas panjang, lalu menaruh tas kerjanya di kursi rotan teras. "Masih minta satu miliar. Udah jelas aku kasih
"Aku nunggu kamu kemarin... tapi kamu nggak datang." Suara Angga penuh emosi.Dania mau menghindar."Dania,.." suara Pak Bagus terdengar pelan tapi tegas. Ia menatap Dania seolah meminta putrinya untuk tidak langsung menutup diri.Dania menghela napas, duduk di bangku kayu dekat pintu keluar gedung. Angga berdiri tak jauh, kedua tangannya di saku celana, wajahnya dingin. Ada kemarahan di sana—tidak meledak, tapi membeku. "Kenapa kamu nggak datang kemarin?" suaranya datar, nyaris tanpa nada.Dania mengernyit. "Datang ke mana?""Bukankah kita telah janji di WBL?" Angga melangkah satu langkah mendekat. "Aku nunggu kamu di pantai sampai malam."Dania memalingkan wajah, menatap ke arah koridor. "Aku batal pergi""Batal? Enteng sekali kamu bilang begitu, tanpa kamu emmberitahu aku. Apa kamu pikir aku permainan bagimu?" tanya Angga, seperti tidak percaya. "Kamu tahu berapa jam aku nunggu? Sambil ngeliatin ombak, berharap kamu muncul?""Aku nggak suruh kamu nunggu."Tatapan Angga mengeras. "
“Masuk, Mas Liam," ucap petugas persidangan memecah riuh kecil ruang tunggu. Liam menghela napas, menegakkan punggungnya. Di sisi kanannya, Najla yang mengenakan blazer sederhana menatap penuh rasa ingin tahu.“Kamu siap?” bisik Najla.“Kenapa tanya begitu, kita udah di sini,” jawab Liam.Mereka melangkah beriringan bersama seorang pria berkemeja abu-abu muda, dasi hitam, dan map tebal di tangan. Itulah Arfan, teman SMA Liam yang kini berprofesi sebagai pengacara. Wajahnya santai, tapi langkahnya mantap.“Tenang, Li. Sidang pertama ini cuma pembacaan gugatan sama verifikasi awal. Enggak langsung dihajar pertanyaan berat,” ucap Arfan setengah berbisik."Emang kamu pikir aku takut, ya, Fan?"Arfan terkekeh pelan.Ruang sidang sudah ramai. Di sisi berlawanan, Dania duduk tegak, lipstiknya menyala terang, diapit Pak Bagus dan Bu Marya. Tatapannya singkat ke arah Liam, lalu berpindah entah kemana. Pak Bagus, memakai baju batik dengan rambut mulai memutih, duduk dengan tangan terlipat di pan
"Eh, eh... udahan deh romantisnya," suara Liam muncul sambil melangkah ke bibie pantai, tempat Najla dan Evan duduk. Senyumnya penuh godaan. "Ayo makan, ikannya keburu dingin nanti tidak enak. Lagian jangan berdua manja gitu kenapa. Nanti yang ketiga syaiton."Najla buru-buru melepas sandaran kepalanya dari dada Evan. "Kita nggak manja, kok y Evan?"Evan mengangguk sambil menatap Liam. "Bener, ini dia aja yang manja."Najla menoleh cepat. "Hah? Aku manja? Kebangetan kamu lemparkans emuanya ke aku. Kamunya aja yang kasih kesempatan.""Iya, iya, manja ke aku," Evan menahan tawa. "Dikit-dikit nyari aku."Najla melotot, berdiri sambil berkacak pinggang. "Evan!" Suaranya naik satu oktaf, tangan terangkat seolah mau memukul.Evan yang kemudian berdiri mundur setapak sambil terkekeh, lalu mendekat lagi dan dengan cepat menyentil hidung Najla. "Nah, gitu lucu."Najla meringis. "Sakit, tahu! Kebiasaan kamu."Liam tertawa terbahak. "Astaga, ini beneran kayak tontonan drama komedi. Ayo, kita ke