Maaf telat. Namatin 'Menantu Impian Ibu'. Kalau yang minat mamapir, monggo, cuma 124 bab udah tamat.
“Yah… usu…” Rengean kecil Sheryn memecah keheningan kamar. Bola matanya setengah terpejam, tapi tangannya melambai-lambai, seolah sedang mencari sesuatu.Liam yang tadinya sudah hampir menyentuh gagang pintu sontak menoleh. “Sheryn? Aduh, Nak… baru saja tidur kok kebangun lagi,” gumamnya.“Mas, biar aku yang—” Keya baru hendak bangun, tapi Liam menahan dengan telapak tangan.“Biar aku saja, Ey. Kamu tenangin dia dulu,” ucap Liam sambil melangkah cepat ke dapur.Keya meraih tubuh kecil Sheryn yang menggeliat. Ia menepuk pelan punggung putrinya. “Sayang, sabar ya. Ayah lagi bikinin susu buat kamu. Nanti kamu bisa tidur lagi dengan nyenyak.”Sheryn merengek, memeluk erat leher ibunya. “Buun… au mau alang…”Keya tersenyum, mengelus rambut lembut itu. “Iya, sebentar. Ayah kan lagi ambil di dapur. Kamu anak pintar, kan? Coba hitung sama Bunda, satu… dua… tiga…”Sheryn menghitung dengan suara malas, tapi matanya mulai berbinar karena merasa diperhatikan.Sementara itu, di dapur, Liam bergega
Liam menatap wajah istrinya yang masih tampak lelah. Ia menarik napas panjang, lalu menggiring Keya masuk ke dalam rumah. Saat Keya telah duduk, dipandanginya wanita itu lalu direngkuhnya kembali. "Kamu nggak tahu betapa takutnya aku, tolong jangan diulang lagi.""Memangnya kenapa, Kak, sampai kamu takut begitu, Kakak pikir aku apa?"Liam gelagapan. Lalu mengalihkan perhatian Keya dengan mengambil Sheryn dari Bi Ira."Bi Ira istirahat saja, biar nanti aku cari makanan buat makan malam dari luar.""Terimaksih, Mas!Ini bocah emang berat.."Liam menatap bocah yang kini di pangkuannya masih tertidur.. Lalu diciumnya dengan mata yang telah buram.."Yah,.mik usu," pinta Sheryn denagn mata yang sudah membuka"Baru juga mau ditidurkan Ayah, kok udah bangun.""Uka Ayah kin au eli, ayak onyet,""Apa? Berani ngatain Ayah kayak monyet?"Sheryn terkikik"Dicium ayah lagi kamu,.." Liam makin menciumi Sheryn. Dia benar-benar takut kehilangan bocah itu. Setetes air mata mengalir begitu saja di pipin
Liam menatap kertas itu dengan dahi berkerut. "Apa ini?" tanyanya pelan.Bayang wajah Keya tersenyum singkat, kemudian berlalu dengan seolah meninggalkan satu kesedihan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang beberapa hari ini yang membuat dada Liam makin sesak. Begitu pintu kamar tertutup, Liam duduk di kursi ruang tamu. Jari-jarinya gemetar membuka lipatan kertas itu.Tulisan tangan Keya terbaca rapi, sedikit miring ke kanan.Kak, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Sejak semua ini terjadi, aku sadar banyak hal yang aku nggak bisa ubah. Tapi ada satu hal yang selalu sama—hatiku yang sekarang bergetar kalau lihat Kakak. Aku tahu aku sering bikin Kak Liam kecewa, bikin Kak Liam marah, bahkan bikin Kak Liam ragu. Tapi aku ingin Kak Liam tahu... aku akan berusaha membahagiakan kamu dengan caraku. Sekuat aku. Aku nggak mau lihat kamu terus terbebani masa lalu aku. Aku cinta sama Kakak, meski mungkin caraku mencinta nggak sempurna.Liam berhenti membaca. Matanya panas. Ia menutup wajah d
"Liam!" Panggilan Rifki memecah riuh halaman sekolah. Tangan sahabatnya itu menepuk bahu dengan keras sampai Liam sedikit terhuyung.Liam menoleh, senyum tipis tersungging. "Apa?""Leganya aku, sidang kemarin sudah ada titik terang. Kamu harus jaga Keya baik-baik, jangan bikin dia nangis lagi." Rifki menatap serius, lalu terkekeh. "Kalau bikin nangis, aku ikut campur."Liam tertawa hambar. "Nggak usah kamu ancam juga. Aku tahu.""Pinter!" Rifki menepuk bahunya sekali lagi, lalu melangkah pergi menuju kantin.Liam berdiri sesaat, napasnya menghela pelan. Dua hari sejak sidang itu, pikirannya masih berkecamuk. Rasa lega memang ada, tapi rasa bersalah juga tumbuh karena kecemburuannya pada Nabil. Kemarin bahkan ia terlalu acuh, sampai tatapan Keya seperti menahan luka. Ia menyesal, sungguh.Bel istirahat berbunyi. Tanpa pikir panjang, Liam meraih tas kecilnya. Langkahnya terburu menuju parkiran, menyalakan motor, lalu melaju pulang. Ia ingin menebus sikap dinginnya.Rumah itu tampak sepi
"Assalamualaikum, Bu Nyai!" Dania mengetuk pintu kayu berukir itu. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ia sudah tahu panggilan ini bukan kabar baik."Waalaikumussalam, masuk, Nak Dania," sahut suara lembut dari dalam.Bu Nyai Hajar duduk di ruang tamu. Senyumnya teduh, tapi mata itu menyimpan sesuatu yang serius. Dania menunduk, duduk bersila di hadapan."Kamu tahu kenapa saya panggil, kan?" tanya Bu Nyai, suaranya rendah tapi jelas.Dania menggigit bibir. "Saya... mungkin karena masalah saya sama Mas Liam, Bu Nyai?"Bu Nyai menghela napas panjang. "Lebih dari itu,dania. Yang paling penting adalah masalah kehamilanmu. Nak, saya ini sudah menganggap kamu seperti anak sendiri. Sejak kecil kamu di sini, besar di pesantren ini. Tapi, ada hal-hal yang tidak bisa ditolerir."Dania menelan ludah. "Saya sudah berusaha memperbaiki, Bu Nyai...""Aku tahu. Dan aku juga sayang padamu. Tapi aturan tetap aturan. Perkara yang menimpamu dengan Liam aku turut prihatin, tapi itu ujian, Dania. Seharusnya
“Yah!” Suara kecil itu melengking begitu pintu rumah terbuka saat Kwya dan Liam hampir bersamaan mengucap salam."Waalaikumussalam!" sahut Bu Aisyah dari dalam dapur. "Baru bangun dia, Key."Sheryn berlari, rambutnya masih berantakan karena baru bangun tidur. Tubuh mungilnya langsung melompat ke arah Liam, memeluk kaki ayahnya erat-erat.Liam tertegun sesaat, kemudian tertawa kecil. “Sayang, Ayah… kangen, ya?”Anak itu mengangguk sambil menyembunyikan wajah di dada ayahnya. Keya tersenyum haru, lalu mengelus punggung putrinya. “Sheryn baru bangun tidur? Pinter, mau tidur siang kamu, Nak.”Dari dapur, Bu Aisyah muncul membawa gelas teh. “Ngak tahu kenapa, dia tidurnyasekarang nggak mau di temat tidurnya sendiri. Dia maunya di tempat tidur Nabil.”Liam tersentak kecil. Tatapannya refleks menoleh ke sekeliling, seakan mencari-cari sosok itu. Namun yang ditemuinya hanya suasana rumah yang tenang. Tak ada tanda-tanda Nabil. Keringat dingin seolah mengucur begitu saja saat Liam wajahnya teg