Hening.Keya dan Najla saling berpandangan. Jelas terasa ada sesuatu yang mengganjal."Kenapa ini?" tanya Liam, "ada rahasia ya?" "Enggak. Kita cuma,..." Akhirnya Keya merasa bersalah, kenapa dia tak bilang ke Liam duluh sebelum memberikan sesuatu ke keluarganya dari uang yang diberikan Liam."Kak, sebentar, aku tinggal ke dalam sama Kak Liam.. Titip Sheryn ya?""Iya, aku jagain. Lagian kapan lagi kita ngobrolnya. Iya kan, Cantik?"Gadis mungil itu menatap Najla lalu tersenyum, memberikan mainannya.Suara tawa kecil terdengar dari arah teras depan rumah. "Sheryn, jangan cubit pipi Tante Najla terus, ya ampun kamu nih!"Keya tersenyum mendengar candaan itu dari ruang tengah. "Kak, temani aku bicara sebentar," kata Keya setengah berbisik sambil melirik ke arah pintu depan. Liam mengangguk pelan.Mereka masuk ke kamar. Keya duduk di sisi ranjang, sedangkan Liam bersandar di dinding. Cahaya dari jendela membuat bayangan wajah Liam terlihat letih, tapi tetap hangat.Sementara Najla yang
"Van, akhirnya pulang juga!"Suara Pak Bagus terdengar lantang begitu Evand turun dari motor matocnya yang berhenti di depan rumah.Evand mengangkat ranselnya, menyeringai lebar. "Namanya juga libur semesteran, Yah, masak di sana saja.""Habisnya kamu kerasan banget. Jarang pulan."Ibu-ibu tetangga yang sedang lewat menoleh sambil tersenyum. Salah satu di antara mereka berseru, "Anaknya Pak Bagus ya? Lho sudah ITS itu kan? Hebat, Mas! Semoga nanti bisa kayak Pak Liam, bisa menjadi anak desa yang membangun desanya dengan tehnologi."Evand menunduk sopan. "Terima kasih, Bu. Doa'akan sukses."Bu Marya sudah berdiri di teras dengan wajah berseri-seri. "Sejak mereka tahu kamu diterima tanpa tes, Van. Kamu jadi kebanggaan kampung ini sekarang. Bagaimanapun orang sini bilang, tak gampang masuk ITS. Semoga harapan mereka benar terwujud, Nak.""Aamiin... doain lancar terus, Bu," jawabnya, lalu mencium tangan sang ibu.Pak Bagus menepuk bahunya. "Sayang Nabil beda jalur, ya. Padahal kalian se
Sheryn berdiri sambil berpegangan pada sandaran kursi, tangannya menunjuk ke jendela dan menggumam, "Taa... Taa..."Keya mendekat. "Itu siapa, Sayang? Kak Najla, ya? E, kamu udah hafal kalau itu Tante." Keya yang memang sering ngobrol sama kakaknya sekarang, bahkan suka vidiocall seharyusnya nggak heran kalau Shery mengenalinya.Sheryn mengangguk cepat-cepat, lalu tersenyum lebar ketika seorang gadis tinggi mungil seperti Keya, turun dari motor yang berhenti di depan rumah. Tubuh mungilnya berjingkat tak sabar, tangan kecil menepuk-nepuk kaca jendela. Najla turun dari boncengan sambil tertawa, lalu menoleh ke pengendara motor dan melambaikan tangan. "Thank you, Van!"Evand membalas dengan anggukan cepat, lalu melirik sekilas ke arah rumah sebelum motornya melaju pelan meninggalkan halaman.Begitu pintu dibuka, Sheryn langsung berlari dengan langkah goyah, memeluk kaki Najla sambil memekik, "Taa!"Najla membungkuk, mengangkat Sheryn dengan pelukan hangat. "Ih, udah berat, ya! Tumben
"Kenapa kamu nggak di kamar, Kak?" suara Keya pelan. Tangannya masih mengusap lembut punggung Sheryn yang mulai tenang dalam pelukannya. "Apa kamu belum pulang?"Langit malam sudah larut. Suara jangkrik dan detak jam dinding bersahut di dalam kamar yang baru mereka tempati beberpa jam yang lalu. Keya duduk bersandar di sandaran tempat tidur, mengenakan rok rumahan lengan pendek namun dengan kerudung panjang yang selalu siap di saandaran kursi yang dia pakai sewaktu-waktu keluar sejak ada saudara Liam di rumah mereka . Cahaya lampu tidur menyorot wajahnya yang gelisah.Sebelumnya, ia terbangun karena suara Sheryn yang tiba-tiba menjerit. Tubuh kecil itu berguling tak tenang di kasur, wajahnya berkeringat dingin, dan tangan mungilnya menggenggam udara seolah ketakutan. Keya sontak bangkit dari tidurnya, memeluk Sheryn erat sambil membisikkan kalimat-kalimat penenang."Bunda di sini, Nak... Ssshh, nggak apa-apa... Bunda di sini..."Butuh beberapa menit sampai tubuh Sheryn mulai tenang, t
"Kamu udah tujuh bulan, Dan. Masih juga kamu bela dia yang nyata-nyata nggak cinta sama kamu," ujar Angga, suara dalam panggilan video di layar ponsel."Menurut kamu aku harus gimana?" jawab Dania sambil menahan napas, menatap wajahnya yang nampak lelah dari balik kaca rias kamarnya.Angga, pemilik stan garment sukses di Surabaya, awalnya hanya iseng mengomentari status Dania. Namun gaya bicara Dania yang lembut dan menggoda di chat membuatnya semakin ingin tahu. Suatu hari mereka bertemu di sebuah kafe kecil. Wajah Dania yang ayu dengan senyum menunduk itu menancap di benaknya. Sejak saat itu, pria pemilik sedan putih itu makin sering menghubungi, menyampaikan perasaan—meski belum mendapat balasan pasti."Aku nggak bisa. Dia cinta pertamaku," lirih Dania."Dan dia sudah menikah dengan perempuan lain. Dia nggak pernah menyentuh kamu. Kamu pikir itu wajar?" desak Angga."Dia cuma butuh waktu. Dia akan kembali," Dania bersikeras, mengelus wajahnya perlahan. Berguman lirih kalau dia perl
"Tahan pukulan itu! Jangan pakai dendam, Taruna!"Suara pelatih utama menggema keras saat Nabil menjatuhkan Edward dengan gerakan sapuan cepat. Debu naik. Edward terbaring. Pelipisnya lecet, mulutnya berdarah sedikit. Para taruna lain menahan napas."Taruna Nabil! Langkahmu berlebihan! Dia sudah menyerah!"Teriakan itu membuat Nabil mendongak. Pelatih bernama Komandan Agus - instruktur bela diri tingkat lanjut - menghampiri cepat. Tubuh tegap dan suara garangnya membuat suasana tambah menegang."Laporkan ke ruang disiplin. Sekarang!"Rere yang menyaksikan dari garis pinggir ikut menunduk. Wajahnya pucat. Edward duduk perlahan, dibantu taruna lain. Tapi matanya menatap Nabil, tak marah, malah seperti puas melihat Nabil terpancing."Mungkin dengan cara itu, dia bisa memafkan aku," bathin Edward."Kamu nggak apa-apa?" tanya Rinda, taruni yang sekamar Rere."Enggak, hanya luka begini, nanti juga sembuh.""KEbangetan banget tuh Nabil. Kayak kesetanan. Emang kalian pernah ada masaah? Bukanny