Pagi itu, Keya keluar dari rumah mengenakan tunik warna hijau kering—warna yang entah kenapa, sejak dulu selalu membuatnya merasa dekat dengan seseorang: Nabil. Tunik itu menggantung longgar, menutupi tubuhnya yang mulai membesar. Ia tak tahu kenapa hari ini ia merasa gugup. Mungkin karena semalam, tidurnya diganggu mimpi yang tak ia mengerti—mimpi tentang perpisahan.Di seberang jalan, di depan warung sawah, Nabil berdiri bersandar pada motornya. Seolah-olah sudah menunggu sejak subuh. Wajahnya mendung, seolah ini adalah perpisahan panjang saat dia harus empat tahun digembleng di AKPOL.Kemeja warna hijau keringnya menyembul di balik jaket kulit hitam favoritnya. Celana jeans gelap membingkai kakinya yang tegap. Tas rangsel hitam yang dikenalnya sejak SMA masih menempel di punggung.Keya mematung. Bahkan sekadar melambaikan tangan pun ia ragu. Ingin bertanya, “Mau ke mana, Nabil?” tapi yang keluar hanya napas yang tak utuh.Agak jauh, Keya melihat Nabil melangkah pelan menghampiri m
"Kak, lepaskan aku! Keya mendorong tubuh Liam hinggah lelaki bertubuh tinggi besar yang tak siap itu hampir membentur almari di belakangnya."Kamu pikir aku buta? Kamu pikir aku enggak lihat gimana kamu mandang dia barusan?" suara Liam parau, nadanya tinggi, tapi tak meledak. Ada luka dalam nadanya.Keya mendongak. "Kak, kita ini cuma... kita nikah karena keadaan. Kamu sendiri memiliki Dania.""Jangan kausebur wanita itu di dekatku lagi. Aku mencintaimu. Aku hanya mencintaimu.""Kak, ini tidak benar. Kamu,.""Kamu pikir aku enggak lihat, ya?""Tadi kamu senyum ke dia. Ke Nabil. Masih juga kamu kayak gitu meskipun udah jadi istri orang?"Keya memalingkan wajahnya. Wajahnya letih, tapi tatapannya tegas. "Jangan mulai lagi, Kak Kita ini cuma nikah karena keadaan. Kamu sendiri yang bilang mau bantu nutupin semuanya. Jadi jangan sok jadi pengatur hidupku."Liam menatap Keya lembut, nadanya tak lagi tinggi. "Aku memang bilang gitu. Tapi waktu berjalan, Key. Aku... berubah."Keya menunduk.
Keya masih mengisi acara paginya di halaman depan, dengan menyapu halaman yang tak pernah bersih oleh sampah pohon mangga dan jambu air yang berada di depan halaman rumah Liam, terlebih jambu air yang tengah berbuah lebat dan jatuh berserakan karena ada ulatnya.Keya masih melongokkan mukannya ke barat, ke arah warung yang tadi Nabil pamit ke sana. Dengan celana jeans pendek selutut dan berkaos hitam, Nabil nampak mempesona dengan tinggi badan dan bentuk tubuhnya yang proporsional. Dia masih memakai kaos hitam padahal kulitnya juga nggak putih, walau tidak hitam juga. Entah kenapa dia menyukai warna itu, selain warna hijau kering. Keya hafal betul, entah berapa banyak kaos hitam yang dia punya.Lama mereka salin menatap, padahal tadi juga telah ngobrol sekilas soal Nabil yang masih menunggu hasil tes di AKPOL, seolah mereka berusaha mengatakan banyak kerinduan hinggah akhirnya Keya menyadari bahwa itu tak boleh dia lakukan, karena Nabil bukan muhrim bagi dia, demikian yang pernah
"Ayo, Surya! Pake sandalmu, Om Nabil udah dateng tuh!" teriak Shanti dari ruang tengah sambil menahan tawa.Anak kecil berkaos hijau dengan celana pendek bermotif dinosaurus berlari-lari kecil dari dalam kamar. Rambutnya masih sedikit basah, mungkin baru saja selesai disisir pakai air. Ia menenteng mainan mobil-mobilan di tangan kanan, sambil tertawa riang."Om Nabil mau ngajak aku jalan ke warung sawah lagi ya?"Nabil yang berdiri di ambang pintu sambil menenteng tas kecil, tersenyum lebar."Iyalah. Tapi kali ini kamu yang traktir ya. Om Nabil lagi bokek."Surya langsung tertawa ngakak."Aku kan belum punya dompet!"Dari arah dapur, Hanafi muncul sambil membawa gelas teh panas."Eh, Nabil... masih betah di kampung? Nggak balik-balik ke asrama lagi?"Nabil mengangguk pelan. Topi hitam yang menutupi rambut cepaknya agak digeser ke belakang."Lagi nunggu hasil tes. Sambil nyantai dulu aja.""Kamu sih, belum jelas diterima apa enggak, sudah keluar duluh dari iTS. Seharusnya kamu beta-bet
Keya membuang pandangannya ke depan. Sama seperti yang dilakukan Liam. Tak ada yang bicara. Diam dan sunyi.Mobil berbelok ke parkiran. Liam hanya diam membuka pintu untuk Keya. Demikian juga Keya yang merasa tak enak hati, hanya diam melangkah, dan menunggu saat Liam datang ke loket pendaftaran.Sejenak Keya melirik Liam yang sudah mengeluarkan handphonenya mengisi kejenuhan. Keya bergeser. Lalu melingkarkan tangannya di lengan Liam. Gemuruh yang datang saat jemari lentik itu menyentuh kulitnya, membuat Liam memejamkan matanya sekejap, lalu memandang Keya yang juga tengah memandangnya."Jangan biarkan aku dalam diam begini, Kak," suara Keya pelan. Dia memang tak pernah tak diperhatikan oleh Liam. Rasanya aneh jika melihat sikap Liam yang seperti mengacuhkannya kini."Maaf jika Key salah," kata Keya lagi.Liam kemudian menyadari dia telah membiarkan Keya dalam ketidaknyamanan. Ditatapnya lekat Keya. "Maaf Kakak tidak bisa mengontrol diri," katanya kemudian. Dinikmatinya tangan Keya y
Nabil bersama Surya mulai keliling jalan sawah yang mengitari luar desa."Putar lagi, Om, masih kurang jauh kita muter-muternya."Nabil yang menghentikan motornya, berkata, “Berhenti makan di warung duluh ya? Ntar kamu bisa makan jajan yang enak."“Iya, Om. Lapar ya?""Iya, emang kamu yang pagi-pagi sudah makan sama minum susu.""Emang di rumah, Mbah Aji nggak kasih Om makan? Kalau aku, pagi sekali mama sudah nyuapi aku.""Udah besar kamu minta disupi juga. Punya adik juga, nggak mandiri banget kamu."Surya terkekeh.Nabil lalu menghentikan motornya. Duduk di warung sawah bersama Surya di sampingnya. Diambilkannya nasi bungkus saatu dengan teh manis yang hangat."Kayaknya enak, nasi bebeknya, Om.""Mau?"Anak itu mengangguk.Nabil lalu memeberinya sebungkus.Sekilas, Nabil mengalihkan pandangannya ke depan, ke rumah Liam yang terlihat jelas dari warung itu. Nampak saat itu Liam keluar dengan mobilnya. Keya yang hendak naik mobil entah kenapa mengedarkan pandangannya. Dan mata mereka