Gambaran di kamar taruna AKPOL ini hanya gambaran fiktif. maaf jika tidak sama.
"Nomor yang Anda hubungi, sekarang berada di luar area."Mata Keya berkaca-kaca. Nabil, yang dulu bisa ia ajak tertawa saat resah, kini seperti hilang. Ia coba kirim pesan, tapi centang satu.Ia menghela napas berat. "Masa pendidikan emang gitu ya? Benar-benar nggak bisa dihubungi seperti katanya kapan hari."Keya memegang lututnya sendiri. Rasa sunyi tampa ada yang bisa diajak bicara begitu menyiksanya. Syukurlah, dengan kebaradaannya mengajar anak-anak, itu sudah lumayan menghibur.Tiba-tiba saja, pintu kamar diketuk."Keya, aku minta maaf soal hari itu..." suara Liam nyaris tenggelam oleh desiran angin sore yang menyapu seisi rumah.Keya menunduk. Kedua tangannya meremas ujung bajunya sendiri. "Waktunya periksa, dan aku entah sudah berapa bulan tak periksa ke dokter kandungan," gumamnya pelan, seolah ingin mengakhiri pembicaraan. Ia berdiri, lalu berbalik menuju pintu."Biar aku yang antar," ujar Liam cepat.Keya langsung menghentikan langkah. Bahunya mengeras. "Enggak usah," kat
"Kamu kenapa dengan Keya?" suara Bu Maryam terdengar lembut, tapi tajam menembus ke dalam dada Liam. Tangannya sibuk melipat mukena, sementara matanya tak lepas dari wajah anak bungsunya.Liam mendesah pelan. Ia duduk di sisi ibunya di dekat jendela mushola , menatap ke luar dengan mata kosong. "Nggak kenapa-napa, Bu.""Jangan bohong sama Ibu. Ibu perempuan, Liam. Ibu bisa lihat sesuatu dari cara perempuan memandang seseorang. Ibu lihat Keya menjauh. Ada yang berubah. Kamu ngelakuin sesuatu, ya?"Liam tertunduk. Jantungnya berdetak cepat. "Bu, aku... aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku sayang sama Keya. Nggak tahu kenapa. Makin hari perasaan ini makin besar, susah dikendalikan. Aku pengin ngomong, tapi aku juga tahu aku salah."Suara gesekan mukena terhenti. Bu Maryam duduk di sofa, menyentuh tangan Liam. "Nak, kamu itu sudah tunangan. Sama Dania. Perempuan baik. Ibu tahu belum bisa mencintainya, tapi kamu sudah buat pilihan. Dan Keya, dia perempuan yang sedang rapuh. Kamu tahu itu.""
"Aku hanya berandai-andai saja," ucap Edgar."Aku nggak tahu ya, Gar. Tapi kalau itu beneran terjadi, mungkin aku bakal sedih... marah... tapi ujung-ujungnya aku percaya, yang bener bakal tetap berdiri. Yang salah... ya tinggal nunggu waktunya jatuh sendiri."Edgar menatap Nabil tajam. "Yuk mandi dulu, sebelum Maghrib."Saat Nabil keluar kamar, Edgar terduduk di ranjang. Nafasnya pendek-pendek. Tangannya gemetar saat menyentuh dada sendiri.Dia harus bilang.Entah bagaimana, entah kapan, tapi kebenaran harus keluar.Kalau tidak... dia akan terus hidup dalam penjara yang dia bangun sendiri."Kita kayak balik ke zaman pesantren, ya? Tapi ini versi semi-militer. Disuruh bangun subuh, disuruh baris, disuruh hormat." Nabil tertawa pelan saat darikamar mandi, dia lalu duduk di atas ranjang atas sambil menggoyangkan kaki.Edgar hanya mengangguk, tangannya sibuk membuka resleting tas. Dari dalam, ia mengeluarkan kaos, handuk, dan botol minum. Semuanya dilipat rapi, nyaris kaku."Tadi kamu du
"Eh, kamar nomor dua belas, berarti... sini ya?"Langkah Nabil terhenti di depan pintu kayu bercat coklat muda. Di atasnya tertempel pelat logam kecil bertuliskan angka 12. Sejenak ia menarik napas, lalu memutar kenop pintu perlahan. Kamar itu cukup sederhana. Dua tempat tidur tingkat berada di sisi kanan dan kiri, dilengkapi meja belajar kecil dan satu lemari baja warna abu-abu di tiap sudut.Koper Nabil ia dorong masuk, lalu matanya mengamati jendela yang terbuka setengah, membiarkan angin masuk dan menggoyang gorden tipis warna cokelat."Dingin juga ya udaranya sore gini," gumamnya, lalu menarik kemeja dalam kopernya dan melemparkannya ke kasur bawah yang masih kosong.Tak lama suara langkah mendekat dari lorong."Nabil?"Nabil menoleh. Seorang cowok jangkung muncul dengan rambut rapi dan seragam kasual resmi yang disarankan panitia. Wajahnya familiar. Senyum Nabil mengembang."Edgar?"Edgar tersenyum canggung. "Iya. Ternyata... kita sekamar?"Nabil tertawa kecil. "Wah, asik banget
Sementara itu, di rumah keluarga Nabil, pagi terasa berat. Bu Aisyah duduk di ruang makan, matanya sembab. Ia belum sepenuhnya ikhlas melepas anak lelakinya. Meskipun ia bangga, tetap saja hati seorang ibu sulit menyembunyikan sedih."Nabil benar-benar berangkat hari ini?" guman Bu Aisyah pada suaminya.H Darman menatap istrinya dengan wajah datar. "Dia keras kepala seperti biasa. Sudah kutanya berapa kali, bahkan aku rela mengucurkan uang berapapun agar dia mengurungkan niatnya dan masuk universitas swasta saja, tetap pilih jadi polisi, karena katanya dia sudah mantap dengan pilihan masa kecilnya itu Dan apa yang terjadi katanya itu hanya jalan yang dipilihkan Allah untuknya.""Tapi dia mencintai Keya, Ba. Dia tak mungkin bisa membawa gadis itu ke rumah, kalau benar Liam menikahi Dania," suara Bu Aisyah lirih, nyaris tak terdengar. Matanya memandang bingkai foto Nabil yang masih tergantung di dinding."Memang siapa yang mau bawa gadis itu ke rumah kita? Apa kata tetangga, kata oran
"Titip jaga dia, Keke. Aku pergi dulu." Ucapan dengan panggilan kesayangan untuknya itu menggantung di kepala Keya. Ia berdiri mematung, masih tak percaya dengan kata-kata Nabil. Ia hanya bisa menatapnya saat lelaki itu membuka kaca helm teropongnya, menampakkan senyum manis yang selama ini menggetarkan hatinya. Lalu, Nabil melajukan motornya menjauh, membelah pagi yang masih berembun.Keya masih terpaku di depan rumah, menatap punggung Nabil yang makin mengecil. Ada rasa sesak di dadanya, semacam kehilangan yang tak bisa ditahan. Ia menggenggam ujung tuniknya erat-erat, warna hijau kering yang sengaja ia kenakan hari ini, warna kesukaan Nabil. Ia tak menyadari ada seseorang yang berdiri di belakangnya.Ketika Keya berbalik, tubuhnya menabrak dada Liam yang bersidekap. Pria itu berdiri tegak, dengan wajah tak bersahabat."Sudah selesai acara perpisahannya?" cibir Liam dengan nada tajam. Keya hanya menatapnya sejenak, tak berani menjawab. Ia melangkah masuk ke rumah, menuju kamarnya.