Share

3. DIUSIR DARI KELUARGA

"Adam, sampai kapan kamu akan seperti ini?" 

Eka Salim Widjaja bertanya dengan ekspresi serius. Sudah terlalu lama ada kerenggangan antara hubungannya dengan sang anak, tapi hari itu Ia harus membuat keputusan sebelum semuanya terlambat. Ia sudah membicarakan hal itu dengan istrinya, mereka tidak dapat membiarkan Adam terus-terusan berbuat semaunya.

Adam seperti sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan sang ayah, namun egonya terlalu tinggi untuk bisa berdamai dengan ayahnya. Dia hanya diam dan memasang ekspresi wajah datar.

Eka Salim Widjaja menghela nafas dalam, "Papa dan Mama telah mengambil keputusan. Mulai hari ini, semua fasilitas dan juga tabungan yang kamu miliki akan kami putus."

Duar

Adam tersentak dan membelalakkan matanya melihat sang ayah, Ia jelas saja tidak bisa menerima keputusan ini. Ia sudah terbiasa dengan semua fasilitas mewah yang dimilikinya selama ini, mulai dari deretan mobil mewah, tabungan yang berjumlah puluhan miliyar dalam rekeningnya, belum lagi kartu kredit yang tidak terbatas limitnya. Jika semua itu dicabut, sama saja dengan membunuhnya.

Itu bahkan lebih buruk daripada berada dalam penjara.

"Papa tidak bisa melakukan ini padaku!." Protesnya dengan nada tinggi.

"Tidak, keputusan papa sudah final. Kami selama ini terlalu memanjakanmu, sekarang saatnya kamu harus bertahan hidup dengan usahamu sendiri." 

Eka Widjaja masih berusaha untuk menahan intonasi suaranya, meski tidak dipungkiri Ia juga sangat emosi melihat betapa pembangkangnya Adam. Ia sadar, jika Ia tidak bisa larut dalam emosinya atau penyakit jantungnya akan kambuh kembali.

Namun, Adam tampak begitu marah dengan keputusan sepihak ayahnya yang dirasanya tidak adil. Matanya berkilat merah dan rahangnya mengeras, "Orang tua seperti apa kalian? Kalian membiarkanku membusuk lebih lama berada didalam penjara dan kalian masih belum puas? Sekarang kalian ingin merampas kebebasanku? Perlu aku ingatkan lagi, aku masih anak kalian." Ucap Adam berapi-api.

"Adam, jaga bicaramu!" Mamanya yang sudah tidak tahan, menegurnya marah. Ia tidak menyangka jika Adam akan sedemikian kurang ajarnya. Bahkan Ia tidak peduli dengan kondisi ayahnya yang sedang sakit dan berani bicara dengan nada tinggi seperti itu.

"Apa? Kalian memang tidak pernah menganggapku ada selama ini, ‘kan? Yang kalian pedulikan hanya harta kalian. Kalian hanya mempedulikan semua pandangan orang lain terhadap kalian. Katakan saja, jika kalian malu memiliki anak sepertiku?" Lanjut Adam dengan kata-kata yang semakin tidak terkontrol. Emosi yang sedari awal ditahannya semenjak Ia keluar dari tahanan, kini Ia muntahkan semuanya.

Eka Widjaja memegangi dadanya, Ia tidak hanya terluka dengan kata-kata Adam terhadapnya. Tapi, juga terluka karena Adam seolah menimpakan semua kesalahan pada mereka sebagai orang tuanya.

Melihat hal itu, Halimah dengan cepat memegangi lengan suaminya. Ia khawatir dengan penyakit jantung suaminya.

Halimah menatap Adam dengan mata memerah dan berkata dengan penuh kemarahan yang tertahan, "Kamu benar-benar anak durhaka, Adam."

Dokter Pramudya juga tampak waspada didekat mereka. Ia bersiap mengambil tindakan jika keadaan berubah menjadi kritis.

Dokter Pramudya khawatir jika Eka Widjaja tidak bisa menahan emosinya dan menyebabkan pembuluh darahnya sampai pecah, maka kondisinya bisa sangat mengkhawatirkan.

Adam masih ingin bicara, tapi Ia merasakan tatapan penuh kekecewaan dari kedua orang tuanya dan terlebih dari pak Ali. Ia pun jadi terdiam, tapi emosinya masih panas. Melihat ayahnya sampai kesakitan, rasa kasih dalam dirinya masih belum tersentuh. Ia lebih memilih untuk dibutakan oleh emosinya ketimbang perasaan sayang pada orang tuanya.

Sikapnya membuat kecewa semua orang, terutama orang tuanya.

"Kamu berpikir tidak pernah menganggapmu ada? Baiklah! aku akan menuruti keinginanmu. Sepertinya hukuman yang papa berikan padamu tidaklah cukup. Jadi... mulai sekarang..."

Eka Widjaja sekali lagi menarik nafas dalam, dadanya semakin sakit ketika akan mengucapkan kalimat berikutnya.

"... Mulai sekarang, kamu keluar dari rumah ini. Kamu... kamu tidak akan diakui sebagai anggota keluarga Widjaja lagi." Tambah Eka Widjaja dengan suara bergetar namun penuh ketegasan.

Keputusan itu terlalu mengejutkan semua orang. Tidak hanya Adam, bahkan juga Halimah. Mereka tidak pernah membicarakan keputusan ini sebelumnya dan tiba-tiba suaminya mengambil keputusan yang begitu besar disaat seperti ini.

Sebagai seorang ibu, tentu saja Ia tidak ingin jika anaknya sampai diusir dari keluarganya sendiri. Tidak peduli seberapa bebal putra tunggalnya itu.

Tapi keputusan suaminya seakan sudah bulat, Ia tahu orang seperti apa suaminya. Suaminya adalah serorang pria yang tegas dan berkomitmen penuh dengan setiap keputusan yang telah diambilnya. 

Halimah merasa goyah, Ia berkata dengan terbata pada suaminya, "Pa, apa Papa serius?" 

Ia bermaksud agar suaminya dapat mengurungkan keputusannya.

Tidak seperti yang diharapkan Halimah, Eka Widjaja menggelengkan kepalanya dengan tegas, "Papa hanya menuruti kemauan Adam. Bukankah dia sendiri yang mengatakan kalau kita tidak pernah menganggapnya ada selama ini, karena itu Papa hanya menuruti kemauannya. Setelah hari ini, tidak ada lagi Adam dirumah ini. Ia dikeluarkan dari daftar keluarga Widjajadan juga dari daftar warisku, sampai Ia bisa membuktikan sebaliknya." Tegas Eka Widjaja.

Halimah merasa tubuhnya melemah.

Sebagai seorang ibu, Ia tidak sanggup untuk melihat anaknya diusir dan dikeluarkan dari keluarganya. Tapi, sebagai seorang istri, Ia tidak mungkin untuk membantah kata-kata suaminya. 

Adam, disisi lain merasakan kemarahan semakin menguasai dirinya. Ia tertawa sinis menatap kedua orang tuanya secara bergantian, "Baik. Aku akan keluar dari rumah ini. Tidak hanya dari rumah ini, tapi juga dari keluarga ini."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Adam berbalik pergi dengan penuh kemarahan. Bahkan Ia tidak perlu repot-repot untuk mengucapkan kata perpisahan pada orang tuanya.

Baginya, orang tuanya sama saja sudah mati.

"Nak..." Halimah memanggilnya dengan suara tertahan. Ia seperti simalakama, menahan anaknya atau mendukung keputusan suaminya?

Pak Ali merasa canggung dengan suasana disana. Ia tahu betapa kedua majikannya itu sangat menyayangi Adam, tapi Adam tidak pernah peduli dengan hal itu. Watak keras kepalanya benar-benar sudah membatu. Karena itu Ia angkat bicara untuk menenangkan majikannya, "Biar saya yang bicara dengannya, Nyonya."

Lalu, Pak Ali pergi menyusul Adam keluar kamar.

Eka Widjaja sendiri hanya berekspresi datar, seolah Ia adalah seorang ayah dan pria yang kejam karena telah mengusir anak kandungnya sendiri. Bahkan seekor harimau sekalipun tidak mungkin membuang anaknya.

Tanpa disadari oleh semua orang, dia lah yang merasa paling sakit dengan keputusan tersebut. Dia hanya punya anak satu, membuangnya sama saja menghapus pewaris satu-satunya. 

Sedetik kemudian, Eka Widjaja memegangi dadanya yang terasa semakin sakit. Keputusan itu, secara langsung telah mempengaruhi emosinya dan membuat penyakit jantungnya kambuh kembali.

"Pa, kamu kenapa?" Saat itu Halimah menyadari jika wajah suaminya ternyata semakin pucat.

"Dokter Pram, tolong-cepat tolong suamiku." Ucap Halimah panik. Ia khawatir jika hari ini akan menjadi akhir hidup suaminya.

Kenapa semua cobaan datang disaat bersamaan seperti ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status