"Adam, sampai kapan kamu akan seperti ini?"
Eka Salim Widjaja bertanya dengan ekspresi serius. Sudah terlalu lama ada kerenggangan antara hubungannya dengan sang anak, tapi hari itu Ia harus membuat keputusan sebelum semuanya terlambat. Ia sudah membicarakan hal itu dengan istrinya, mereka tidak dapat membiarkan Adam terus-terusan berbuat semaunya.
Adam seperti sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan sang ayah, namun egonya terlalu tinggi untuk bisa berdamai dengan ayahnya. Dia hanya diam dan memasang ekspresi wajah datar.
Eka Salim Widjaja menghela nafas dalam, "Papa dan Mama telah mengambil keputusan. Mulai hari ini, semua fasilitas dan juga tabungan yang kamu miliki akan kami putus."
Duar
Adam tersentak dan membelalakkan matanya melihat sang ayah, Ia jelas saja tidak bisa menerima keputusan ini. Ia sudah terbiasa dengan semua fasilitas mewah yang dimilikinya selama ini, mulai dari deretan mobil mewah, tabungan yang berjumlah puluhan miliyar dalam rekeningnya, belum lagi kartu kredit yang tidak terbatas limitnya. Jika semua itu dicabut, sama saja dengan membunuhnya.
Itu bahkan lebih buruk daripada berada dalam penjara.
"Papa tidak bisa melakukan ini padaku!." Protesnya dengan nada tinggi.
"Tidak, keputusan papa sudah final. Kami selama ini terlalu memanjakanmu, sekarang saatnya kamu harus bertahan hidup dengan usahamu sendiri."
Eka Widjaja masih berusaha untuk menahan intonasi suaranya, meski tidak dipungkiri Ia juga sangat emosi melihat betapa pembangkangnya Adam. Ia sadar, jika Ia tidak bisa larut dalam emosinya atau penyakit jantungnya akan kambuh kembali.
Namun, Adam tampak begitu marah dengan keputusan sepihak ayahnya yang dirasanya tidak adil. Matanya berkilat merah dan rahangnya mengeras, "Orang tua seperti apa kalian? Kalian membiarkanku membusuk lebih lama berada didalam penjara dan kalian masih belum puas? Sekarang kalian ingin merampas kebebasanku? Perlu aku ingatkan lagi, aku masih anak kalian." Ucap Adam berapi-api.
"Adam, jaga bicaramu!" Mamanya yang sudah tidak tahan, menegurnya marah. Ia tidak menyangka jika Adam akan sedemikian kurang ajarnya. Bahkan Ia tidak peduli dengan kondisi ayahnya yang sedang sakit dan berani bicara dengan nada tinggi seperti itu.
"Apa? Kalian memang tidak pernah menganggapku ada selama ini, ‘kan? Yang kalian pedulikan hanya harta kalian. Kalian hanya mempedulikan semua pandangan orang lain terhadap kalian. Katakan saja, jika kalian malu memiliki anak sepertiku?" Lanjut Adam dengan kata-kata yang semakin tidak terkontrol. Emosi yang sedari awal ditahannya semenjak Ia keluar dari tahanan, kini Ia muntahkan semuanya.
Eka Widjaja memegangi dadanya, Ia tidak hanya terluka dengan kata-kata Adam terhadapnya. Tapi, juga terluka karena Adam seolah menimpakan semua kesalahan pada mereka sebagai orang tuanya.
Melihat hal itu, Halimah dengan cepat memegangi lengan suaminya. Ia khawatir dengan penyakit jantung suaminya.
Halimah menatap Adam dengan mata memerah dan berkata dengan penuh kemarahan yang tertahan, "Kamu benar-benar anak durhaka, Adam."
Dokter Pramudya juga tampak waspada didekat mereka. Ia bersiap mengambil tindakan jika keadaan berubah menjadi kritis.
Dokter Pramudya khawatir jika Eka Widjaja tidak bisa menahan emosinya dan menyebabkan pembuluh darahnya sampai pecah, maka kondisinya bisa sangat mengkhawatirkan.
Adam masih ingin bicara, tapi Ia merasakan tatapan penuh kekecewaan dari kedua orang tuanya dan terlebih dari pak Ali. Ia pun jadi terdiam, tapi emosinya masih panas. Melihat ayahnya sampai kesakitan, rasa kasih dalam dirinya masih belum tersentuh. Ia lebih memilih untuk dibutakan oleh emosinya ketimbang perasaan sayang pada orang tuanya.
Sikapnya membuat kecewa semua orang, terutama orang tuanya.
"Kamu berpikir tidak pernah menganggapmu ada? Baiklah! aku akan menuruti keinginanmu. Sepertinya hukuman yang papa berikan padamu tidaklah cukup. Jadi... mulai sekarang..."
Eka Widjaja sekali lagi menarik nafas dalam, dadanya semakin sakit ketika akan mengucapkan kalimat berikutnya.
"... Mulai sekarang, kamu keluar dari rumah ini. Kamu... kamu tidak akan diakui sebagai anggota keluarga Widjaja lagi." Tambah Eka Widjaja dengan suara bergetar namun penuh ketegasan.
Keputusan itu terlalu mengejutkan semua orang. Tidak hanya Adam, bahkan juga Halimah. Mereka tidak pernah membicarakan keputusan ini sebelumnya dan tiba-tiba suaminya mengambil keputusan yang begitu besar disaat seperti ini.
Sebagai seorang ibu, tentu saja Ia tidak ingin jika anaknya sampai diusir dari keluarganya sendiri. Tidak peduli seberapa bebal putra tunggalnya itu.
Tapi keputusan suaminya seakan sudah bulat, Ia tahu orang seperti apa suaminya. Suaminya adalah serorang pria yang tegas dan berkomitmen penuh dengan setiap keputusan yang telah diambilnya.
Halimah merasa goyah, Ia berkata dengan terbata pada suaminya, "Pa, apa Papa serius?"
Ia bermaksud agar suaminya dapat mengurungkan keputusannya.
Tidak seperti yang diharapkan Halimah, Eka Widjaja menggelengkan kepalanya dengan tegas, "Papa hanya menuruti kemauan Adam. Bukankah dia sendiri yang mengatakan kalau kita tidak pernah menganggapnya ada selama ini, karena itu Papa hanya menuruti kemauannya. Setelah hari ini, tidak ada lagi Adam dirumah ini. Ia dikeluarkan dari daftar keluarga Widjajadan juga dari daftar warisku, sampai Ia bisa membuktikan sebaliknya." Tegas Eka Widjaja.
Halimah merasa tubuhnya melemah.
Sebagai seorang ibu, Ia tidak sanggup untuk melihat anaknya diusir dan dikeluarkan dari keluarganya. Tapi, sebagai seorang istri, Ia tidak mungkin untuk membantah kata-kata suaminya.
Adam, disisi lain merasakan kemarahan semakin menguasai dirinya. Ia tertawa sinis menatap kedua orang tuanya secara bergantian, "Baik. Aku akan keluar dari rumah ini. Tidak hanya dari rumah ini, tapi juga dari keluarga ini."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Adam berbalik pergi dengan penuh kemarahan. Bahkan Ia tidak perlu repot-repot untuk mengucapkan kata perpisahan pada orang tuanya.
Baginya, orang tuanya sama saja sudah mati.
"Nak..." Halimah memanggilnya dengan suara tertahan. Ia seperti simalakama, menahan anaknya atau mendukung keputusan suaminya?
Pak Ali merasa canggung dengan suasana disana. Ia tahu betapa kedua majikannya itu sangat menyayangi Adam, tapi Adam tidak pernah peduli dengan hal itu. Watak keras kepalanya benar-benar sudah membatu. Karena itu Ia angkat bicara untuk menenangkan majikannya, "Biar saya yang bicara dengannya, Nyonya."
Lalu, Pak Ali pergi menyusul Adam keluar kamar.
Eka Widjaja sendiri hanya berekspresi datar, seolah Ia adalah seorang ayah dan pria yang kejam karena telah mengusir anak kandungnya sendiri. Bahkan seekor harimau sekalipun tidak mungkin membuang anaknya.
Tanpa disadari oleh semua orang, dia lah yang merasa paling sakit dengan keputusan tersebut. Dia hanya punya anak satu, membuangnya sama saja menghapus pewaris satu-satunya.
Sedetik kemudian, Eka Widjaja memegangi dadanya yang terasa semakin sakit. Keputusan itu, secara langsung telah mempengaruhi emosinya dan membuat penyakit jantungnya kambuh kembali.
"Pa, kamu kenapa?" Saat itu Halimah menyadari jika wajah suaminya ternyata semakin pucat.
"Dokter Pram, tolong-cepat tolong suamiku." Ucap Halimah panik. Ia khawatir jika hari ini akan menjadi akhir hidup suaminya.
Kenapa semua cobaan datang disaat bersamaan seperti ini?
Adam beranjak menuju kamar tidurnya dan mengumpulkan beberapa pakaian yang bisa dibawanya, kepalanya masih panas dan dipenuhi oleh emosi. Ia masih tidak terima, orang tuanya mencabut semua fasilitas dan tabungannya. Bahkan sampai mengusirnya, dalam hati Ia bertekad akan pergi selamanya dari sana. 'Lihat saja, kalian akan menyesalinya.' Saat Adam sedang berkemas, Pak Ali masuk ke dalam kamarnya. Pak Ali hanya diam dan melihat Adam yang sedang kesal memasukan pakaiannya kedalam tas ransel. Pak Ali paling tahu bagaimana karakter Adam, jadi dia sengaja menonton semua yang dilakukan Adam tanpa mengomentarinya sedikitpun. "Kenapa? Apa Bapak mau menahanku disini?" Tanya Adam gusar karena Pak Ali sama sekali tidak bicara. Dia tidak keberatan seandainya Pak Ali marah atau akan memberinya nasehat seperti biasanya. Namun tidak, Pak Ali hanya diam. Situasi tersebut jauh membuatnya lebih canggung. "Tidak, kamu dapat melakukan apapun yang kamu inginkan." Jawab Pak Ali dengan senyum tenangnya.
Adam duduk disebuah Halte setelah lelah berjalan sekian lama, Ia pergi hanya membawa satu ransel pakaian dan sama sekali tidak membawa kendaraannya. Ia terlanjur emosi dan membenci orang tuanya, sehingga apapun yang diterima dari orang tuanya, ditinggalkan begitu saja. Sekarang, Adam baru merutuki keputusannya. Karena tidak ada kendaraan, Ia tidak bisa bebas pergi kemanapun yang diinginkannya. Kondisinya semakin payah, begitu Adam memeriksa dompetnya. Uangnya hanya tersisa tiga juta rupiah saja saat ini. Bagi Adam yang sudah terbiasa dengan gaya hidup mewah, melihat uang segitu seperti bencana baginya. Kartu kredit dan debit yang ada didalam dompetnya, jangan ditanya! Pasti semuanya sudah diblokir oleh orang tuanya saat ini. Sebelumnya, uang belanja Adam tidak kurang dari tigapuluh juta setiap harinya. Itu batas minimal uang jajannya dalam sehari, sekarang dengan hanya ada uang tiga juta dalam dompetnya, Adam merasa seperti orang paling sengsara di dunia. Adam coba menghubungi beb
Seminggu sudah Adam menginap di losmen, keuangannya sudah sangat menipis. Biaya menginap di losmen sederhana seperti itu saja, sudah menelan uangnya 300 ribu rupiah per-malamnya. Saat ini, dalam dompet Adam hanya tersisa 50 ribu. Jelas malam ini, Ia tidak dapat lagi menginap di losmen tersebut. Adam coba memutar otaknya untuk bisa menghasilkan uang. Semua daftar temannya telah dihubunginya, namun tidak ada satupun dari mereka yang bersedia membantunya dan bahkan banyak dari mereka yang telah memblokir nomornya. Tidak hanya mereka, bahkan para wanita yang pernah singgah di masa lalunya juga menolak membantu Adam dan menghindar dengan berbagai alasan. Lebih parahnya, saat ini semua orang seakan berusaha menghindari Adam. Hal itu membuat Adam hampir frustasi. Kenyataan ini membuatnya sadar satu hal, semua orang yang dikenalnya 'baik' dimasa lalu, hanya karena kekayaan dan status yang dimilikinya saat itu. Saat Ia menjadi orang terbuang seperti sekarang, Adam dapat melihat seperti apa
Adam baru saja selesai memindahkan 50 karung beras ke dalam kiosnya Ncang Ari, salah satu juragan beras di pasar tempat dia bekerja sebagai buruh lepas. Tiga minggu bekerja sebagai buruh lepas, Adam mulai menyadari betapa beratnya bekerja sebagai seorang buruh dan menghasilkan uang 50 hingga 70 ribu sehari. Itupun dengan harus menggunakan tenaga kasar dan sering seluruh tubuhnya terasa sakit dan sangat penat begitu selesai bekerja. Sering bekerja di bawah terik matahari membuat Adam tidak lagi terlihat bersih seperti sebelumnya. Kulitnya mulai menggelap, rambutnya juga sudah mulai memanjang dan jambang yang tumbuh diwajahnya. Sore itu, setelah memberikan upah pada para pekerja, Ncang Ari sengaja memanggil Adam. Meski baru beberapa hari bekerja, ternyata Ncang Ari sudah memperhatikan Adam layaknya pekerjanya yang lain. Dari sana Ia bisa menyimpulkan, jika Adam terlihat berbeda dari seluruh buruh yang bekerja padanya. Ncang Ari melihat Adam memiliki potensi yang tinggi, sangat aying
Ali sedang berada di ruang kerja Eka Salim Widjaja saat Adam menghubunginya. Saat itu, Eka Salim Widjaja baru saja selesai kontrol kesehatan dengan dokter pribadinya. Kondisinya sudah jauh lebih baik, tapi Ia harus rutin memeriksakan kondisi kesehatannya dan menghindari beban pikiran secara berlebihan. Karena itu, Eka Widjaja harus berusaha untuk membuat pikirannya bisa tetap rileks. Terakhir, kondisinya sampai drop kembali karena masalah dengan Adam, putranya. Satu-satunya yang mampu memberikan tekanan berat dalam pikirannya adalah anaknya. Eka menyayangi Adam dan ingin anaknya dapat berubah menjadi lebih baik. Sehingga, jika Ia tiada kelak, Adam akan dapat diandalkan untuk menggantikan dirinya. Beruntung bagi Eka Widjaja, dia memiliki Ali Tanjung sebagai tangan kanannya. Ali bukan hanya kepala pengawalnya, tapi juga sudah dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Ali telah mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk selalu memantau perkembangan Adam, tanpa sepengetahuan Adam te
Saat melihat dirinya didalam cermin, Adam tersenyum getir. Ia melihat pantulan dirinya yang sedang mengenakan seragam OB berwarna biru. "Huft..." Adam menghela nafas dalam. Namun bukan saatnya Ia harus mengeluh. Bagaimanapun dia lah yang telah meminta pekerjaan kepada Pak Ali. Adam coba berpikiran positif, setidaknya pekerjaan itu jauh lebih baik dibanding menjadi buruh lepas. Ia bekerja ditempat yang jauh lebih teduh, kulitnya tidak perlu lagi terbakar dibawah terik panas matahari. Selain itu, pekerjaan ini juga jauh lebih ringan jika dibanding dengan Ia harus mengangkat karung-karung beras yang beratnya 50 kiloan lebih. "Adam, You can do it." Ucap Adam menyemangati dirinya sendiri. Hari itu, Adam resmi bekerja menjadi office boy di Widjaja Corporation. Sebenarnya, Adam bisa masuk keesokan harinya, sesuai dengan kontrak kerjanya. Tapi, Adam sendiri yang menginginkan untuk langsung masuk kerja hari itu, karena Ia juga tidak memiliki kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Secara
Baru hari pertama bekerja sebagai OB, emosi Adam sudah langsung diuji.Banyak di antara karyawan yang melihat aneh kearahnya begitu Ia keluar dari ruangan Pak Robert, namun Adam cepat berlalu disana untuk mendinginkan kepalanya yang sedang panas.Kembali ke ruang pantri, Menik dan Yaya terkejut melihat pakaian Adam sudah basah oleh tumpahan kopi."Adam, pakaian kamu kenapa jadi kotor begini?" Tanya Menik heran.Yaya melihat Adam kena tumpahan kopi, sepertinya mengerti alasan kenapa pakaian Adam sampai kotor seperti itu. Apalagi melihat wajah Adam seperti orang yang sedang menahan marah begitu. Ia dengan cepat mengambil handuk kecil yang masih bersih dan menyerahkanya pada Adam.Lalu, dengan buru-buru berkata pada Menik."Nik, sebaiknya segera anterin kopinya Pak Robert keruangannya." "Eh, pak Robert memang sudah meminta kopi?" Tanya Menik terkejut tapi tampak enggan. Sepertinya dia malas untuk pergi menemui manajer personalia tersebut."Iya, ini Adam yang mengantar kopi ke ruangannya
Hari kedua menjadi OB.Pertemuan sehari sebelumnya dengan Nadya, meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi Adam. Sampai-sampai Ia masih tersenyum ketika masuk kerja hari itu dan berharap dapat bertemu lagi dengan gadis manis tersebut lagi nantinya."Ciee kenapa nih, baru datang dah senyum-senyum aja." Sambut Yaya ketika Adam datang dengan wajah berseri bahagia."Hahaha, gak ada apa-apa, Mbak. Cuma lagi senang aja." Jawab Adam salah tingkah, tidak menyangka sudah ada Yaya di dalam ruang pantry.Ia merasa malu, seolah sedang bertingkah seperti remaja yang sedang kasmaran."Hmn, senang apa seneng nih?" Goda Yaya lebih lanjut."Eh, siapa yang senang?" Menik yang baru datang langsung ikut nimbrung pembicaraan mereka."Tanya si Adam tuh, lagi senang karena jatuh cinta kayaknya?""Hah, Adam jatuh cinta? OB lantai berapa?" Tanya Menik spontan."Huh, sembarangan. Kalau lu nanya-nya si Jafar, gak apa-apa tanya OB lantai berapa. Lah, si Adam! Ma karyawati yang bening-bening itu juga pantas kali, x