Share

2. PULANG KERUMAH

Adam tidak dekat dengan orang tuanya selama ini. Kesibukan mereka membuat hubungan mereka bertiga berjarak jauh. Namun, ketika mendengar ayahnya sedang sekarat, Adam merasakan perasaan tidak nyaman yang sulit untuk diungkapkannya.

Saat Adam dan Pak Ali tiba dirumah kediaman Widjaja, disana sudah terparkir beberapa mobil mewah. 

Adam bisa mengenali beberapa mobil yang ada disana, tak lain adalah mobil kerabat jauh keluarga ayahnya. Namun kedatangan mereka serasa tidak lazim, karena hari itu bukan hari spesial dimana keluarga besar harusnya berkumpul.

"Kenapa banyak orang disini, Pak?" Tanya Adam mengungkapkan rasa penasarannya.

"Kamu lupa? Bukankah Bapak sudah mengatakan padamu kalau ayahmu sedang sekarat. Semua orang disini untuk menunjukkan dukungannya pada ayahmu, dan seharusnya kamu juga begitu." Jawab Pak Ali, lalu keluar dari mobil.

Adam lagi-lagi hanya bisa terdiam. Kondisi seperti ini membuatnya merasa tidak nyaman, Ia tidak dekat dengan ayah atau ibunya. Baginya, kedua orang tuanya tidak lebih sebagai mesin ATM-nya. 

Mungkin karena alasan itu juga membuat karakter Adam cenderung labil dan impulsif. Tidak heran jika pertemuan dirinya dan orang tuanya selalu berakhir dengan pertengkaran. Adam bahkan tidak ingat lagi, kapan terakhir kali mereka benar-benar bersikap layaknya keluarga yang saling menyayangi.

Sekarang, kondisi ayahnya sedang sekarat. Semua orang yang ada di dalam sana, pasti sangat bersimpatik dengan ayahnya.

Lalu dia?

Adam bahkan tidak tahu, apa Ia harus berpura-pura terlihat sedih atau bersikap cuek layaknya selama ini.

"Nak, ayo turun. Temui ayahmu." Panggilan dari Pak Ali membuyarkan lamunan Adam. 

Adam keluar dari mobil dan berjalan mengikuti Pak Ali yang sudah masuk lebih dulu ke dalam rumah. Di dalam rumah sudah banyak anggota keluarga berkumpul dan beberapa rekan bisnis keluarganya. 

Ketika mereka melihat Adam masuk ke dalam rumah, banyak di antara mereka yang memandang sinis pada Adam. Tatapan mereka sudah cukup mengartikan,betapa jijiknya mereka melihat Adam.

Anak yang selalu membuat masalah untuk orang tuanya, anak yang hanya bisa mencoreng nama baik orang tuanya, anak yang tidak bisa diandalkan sama sekali, anak pembawa masalah, keturunan yang gagal, dan masih banyak lagi pandangan negatif yang ditujukan ke arahnya.

Namun, seperti biasa, Adam berlalu dengan cuek. Bahkan Ia sama sekali tidak perlu menunjukkan keramahan pada semua orang yang sedang menatapnya. Adam sama sekali tidak mempedulikan semua pandangan orang terhadapnya. Ia sudah terbiasa dengan semua tanggapan negatif orang-orang terhadapnya.

Jujur, Ia pun muak dengan mereka semua.

Adam menganggap mereka semua adalah orang yang munafik, toh mereka bersikap baik pada keluarganya, karena ayahnya telah memberi makan mereka semua dengan baik.

Adam berlalu dengan acuh melewati semua orang, Ia memilih untuk mengikuti langkah Pak Ali yang sedang berjalan menuju kamar orang tuanya. 

Sementara itu, didalam kamar mewah tersebut terbaring seorang pria tua. Ditangan kirinya terpasang selang infus dan wajahnya yang biasa bersemangat, hari itu terlihat sedikit gelap dan pucat. 

Dokter Pramudya yang bertugas sebagai dokter keluarga, sudah berulang kali mengingatkan agar Ia dapat menjaga kondisi pikirannya tetap tenang. Meskipun begitu, Ia bisa mengerti alasan kenapa seorang Eka Salim Widjaja bisa kembali mengalami serangan jantung. Itu semua karena perilaku putra semata wayangnya yang seakan tidak pernah berhenti untuk membuat ulah. Ada saja kelakuan nakalnya yang membuat kedua orang tuanya tidak tenang. Apa anak itu menginginkan orang tuanya cepat mati? Sampai Ia merasa puas dan berhenti berbuat onar.

Padahal Adam, putra tunggalnya Eka Salim Widjaja sudah berusia 25 tahun. Namun, Ia lebih suka hidup bermalas-malasan dan bergaya semaunya. Eka Widjaja tentu saja sangat pusing memikirkan perilaku anaknya, padahal Adam adalah harapan satu-satunya yang Ia miliki sebagai penerusnya kelak.

Saat itu, terdengar ketukan di pintu kamar mereka yang sengaja dibiarkan terbuka. Disana sudah berdiri Pak Ali dengan Adam berada disampingnya.

Pak Ali dengan sopan meminta ijin untuk masuk ke dalam kamar.

Setelah Eka Widjaja mempersilakan mereka untuk masuk, barulah Pak Ali berani masuk ke dalam kamar tuan dan nyonyanya tersebut. Adam sendiri tampak begitu acuh berjalan dibelakangnya Pak Ali. Sepertinya, Ia masih kesal karena orang tuanya terlalu lama mengeluarkannya dari penjara.

Sadar jika mereka akan membahas masalah internal keluarga, Dokter Pramudya berencana keluar dari ruangan itu. Namun Halimah yang sudah tahu apa yang telah direncanakan suaminya dengan kedatangan Adam hari itu, sengaja menahan langkah Dokter Pram.

Mereka tidak keberatan dengan keberadaan Dokter Pramudya yang sudah mereka anggap sebagai bagian dari keluarga. Halimah justru merasa lebih cemas jika Dokter Pram tidak ada saat emosi suaminya meledak dan membuat penyakit jantungnya kambuh nantinya.

Melihat putranya masuk ke dalam kamar, Eka Salim merasakan keperihan dalam dadanya setiap kali melihat Adam. Selama ini, mereka mungkin telah salah karena kurang memperhatikan pertumbuhan Adam sedari kecil, tapi semua yang mereka lakukan agar anak mereka bisa mendapatkan yang terbaik dimasa depan.

Kerja keras mereka selama ini, terbayarkan dengan semua pencapaian yang telah mereka raih. Tapi dibalik itu semua, mereka seakan mengorbankan kebutuhan dasar anak mereka satu-satunya, yaitu kasih sayang.

Berbagai cara sudah mereka lakukan untuk menebus kembali apa yang tidak pernah mereka berikan untuk Adam. Tapi, Adam sepertinya sudah berjalan terlalu jauh menuju arah yang salah. Sehingga apapun yang coba dilakukan oleh kedua orang tuanya, tidak pernah dipandangnya layak.

Ia berkembang menjadi karakter liar dan sukar untuk dikendalikan.

"Duduklah!" Pinta Eka Widjaja dengan lembut meski suaranya terdengar serak sambil menunjuk tepian kasur tempatnya berbaring.

Adam bukannya melakukan apa yang diperintahkan oleh ayahnya, Ia justru mengabaikannya dan melengah ke arah lain. Seolah Ia enggan untuk duduk didekat ayahnya.

Apa yang dilakukan oleh Adam, membuat irisan kecil didalam hati Eka Widjaja dan juga Halimah.

"Adam, duduk dekat ayahmu." Ujar Pak Ali tegas, Ia tidak tahan melihat sikap berontak Adam. Bahkan saat ayahnya dalam kondisi seperti itu, Ia masih menunjukkan sikap angkuhnya.

Setelah itu, Ia menatap tuan besarnya dengan tatapan meminta maaf. Bagaimanapun itu adalah reaksi spontannya melihat Adam yang tidak mengindahkan perintah ayahnya.

Eka mengangguk kecil dan memberikan tatapan yang menunjukkan rasa terimakasihnya karena Pak Ali telah membantunya bicara.

Adam memang sangat segan dengan pak Ali, begitu mendengar Pak Ali ikut bicara dengan nada yang tegas. Adam baru beranjak duduk diatas kasur sebelah sang ayah.

Dengan dibantu istrinya, Eka Widjaja menegakkan posisi duduknya. Ia harus bicara terus terang dan membuat keputusan hari itu juga. Sebelum semuanya terlambat atau sebelum ajalnya datang menjemput.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status