Adam beranjak menuju kamar tidurnya dan mengumpulkan beberapa pakaian yang bisa dibawanya, kepalanya masih panas dan dipenuhi oleh emosi. Ia masih tidak terima, orang tuanya mencabut semua fasilitas dan tabungannya. Bahkan sampai mengusirnya, dalam hati Ia bertekad akan pergi selamanya dari sana.
'Lihat saja, kalian akan menyesalinya.'
Saat Adam sedang berkemas, Pak Ali masuk ke dalam kamarnya.
Pak Ali hanya diam dan melihat Adam yang sedang kesal memasukan pakaiannya kedalam tas ransel. Pak Ali paling tahu bagaimana karakter Adam, jadi dia sengaja menonton semua yang dilakukan Adam tanpa mengomentarinya sedikitpun.
"Kenapa? Apa Bapak mau menahanku disini?" Tanya Adam gusar karena Pak Ali sama sekali tidak bicara. Dia tidak keberatan seandainya Pak Ali marah atau akan memberinya nasehat seperti biasanya. Namun tidak, Pak Ali hanya diam. Situasi tersebut jauh membuatnya lebih canggung.
"Tidak, kamu dapat melakukan apapun yang kamu inginkan." Jawab Pak Ali dengan senyum tenangnya.
Setelah memasukan beberapa pakaian dalam tas ransel, Adam sedikit terdiam. Ia seperti mengumpulkan semua tekadnya untuk benar-benar memutuskan keluar dari rumah. Ini adalah kali pertama Adam pergi dari rumah dan mungkin untuk selamanya.
"Pak, aku pergi." Ucap Adam setelah bulat dengan keputusannya.
Pak Ali hanya mengangguk kecil dan tidak berkomentar banyak, Ia berucap singkat, "Ya."
Adam sampai menatap heran pada Pak Ali. Tidak biasanya Pak Ali tidak banyak bicara seperti itu.
"Bapak marah pada Adam?"
"Tidak."
"Lalu, Kenapa Bapak diam saja?"
"Bapak hanya ingin memastikan, seperti apa keyakinanmu ketika pergi hari ini."
"Bapak mendukung keputusan Papa mengusirku?" Tanya Adam terkesiap.
Pak Ali hanya mendesah dan menggelengkan kepala ringan, "Kamu lagi-lagi salah."
"Apanya yang salah Pak? Bapak kesini ingin memastikan kalau aku benar-benar pergi kan? Kalau begitu, apa bedanya Bapak dengan Papa? Bapak juga tidak ingin aku berada di sini kan? Bapak juga menganggapku sebagai kesia-siaan dalam keluarga ini, ‘kan?" Emosi Adam kembali terpancing. Percikan sekecil apapun, sepertinya akan membuat amarahnya cepat melonjak naik.
"Adakah orang tua yang membenci anaknya sendiri?" Tanya Pak Ali tenang.
Adam terdiam. Saat itu, egonya masih tinggi. Dia berkata, "Ada, mereka adalah orang tuaku. Buktinya, mereka sampai hati mengusirku seperti ini."
Pak Ali kecewa karena Adam masih saja tidak bisa melihat semuanya dengan jernih.
"Kalau begitu pergilah! Bapak hanya berpesan padamu, renungkan dirimu. Hukuman ini bukan karena orang tuamu membencimu, tapi karena mereka sangat menyayangimu."
Adam mendengus dingin, Ia hendak membantah ucapan Pak Ali namun keburu disela Pak Ali, "Kamu tidak usah menjawabnya sekarang. Cukup renungkan!"
Adam mengatupkan rahangnya. Ia tidak mungkin mendebat Pak Ali, namun perpisahan antara dirinya dengan Pak Ali tak ayal membuatnya cukup emosional. Mungkin Pak Ali lah satu-satunya orang yang akan membuatnya bersedih jika pergi meninggalkan rumah ini.
"Pak, Adam pergi dulu."
Pak Ali melepas Adam dengan tegar, "Pergilah! Jika kamu butuh sesuatu, kamu tahu bagaimana harus menghubungi Bapak."
Pak Ali tidak suka dengan sikap pembangkangnya Adam terhadap orang tuanya. Tapi, saat melihat Adam pergi hari itu, Ia juga merasakan kesedihan menyusup dalam hatinya. Tapi, keputusan tersebut adalah yang terbaik, Adam harus bisa belajar mandiri dan menemukan pelajaran hidupnya sendiri diluar sana.
Seperti kata yang diucapakannya pada Adam sebelum ini, hukuman itu adalah bentuk cinta orang tuanya pada Adam. Pak Ali hanya berharap, Adam dapat merenungkan semua kesalahannya dan berubah menjadi lebih baik dimasa depan. Bagaimanapun, dia adalah harapan satu-satunya yang dimiliki orang tuanya.
Meski keputusan itu terlihat kejam, namun Pak Ali sadar jika tuan besarnya pasti telah memikirkannya dengan matang.
Ketika Adam berjalan turun kelantai bawah dengan ransel di punggungnya, semua orang yang masih berada disana memandangnya dengan terkejut. Namun tidak lama sebelum tatapan tersebut beralih menjadi tatapan penuh cibiran.
Semua orang disana tampak merasa senang melihat Adam pergi, sepertinya mereka telah lama mengharapkan hal itu menjadi kenyataan. Mereka berpikir jika Adam pantas mendapatkan hal itu.
Namun ada juga beberapa orang yang tampak bersimpatik dengan kondisi Adam.
"Apa yang kalian lihat?" Bentak Adam dan membuat semua orang tidak berani berkomentar apapun dan bersikap seolah mereka tidak melihat Adam ada disana.
Adam berlalu tanpa mengacuhkan lebih jauh semua tatapan yang diarahkan padanya.
Saat Adam keluar dari rumah, baru semua orang berani mengeluarkan opininya.
"Akhirnya dia pergi dari sini. Dia hanya bisa membawa masalah pada keluarga ini."
Ada juga yang berkomentar lebih sinis, "Pergi? Sepertinya bukan begitu. Dia jelas-jelas telah diusir. Om Eka sepertinya sudah tidak tahan lagi dengan ulahnya."
"Seharusnya sejak dulu dia diusir dari keluarga. Ada dia dalam keluarga Widjaja hanya membawa bencana dan merusak nama besar keluarga ini."
"Iya, dia selalu berulah dan bersikap sombong dan membuat pusing semua keluarga."
Komentar sinis mereka silih berganti.
Begitu Adam keluar dari rumah, berita tentang pengusiran Adam beredar dengan sangat cepat. Dalam waktu singkat, semua orang sudah tahu jika Adam bukan lagi bagian dalam keluarga Widjaja.
Adam duduk disebuah Halte setelah lelah berjalan sekian lama, Ia pergi hanya membawa satu ransel pakaian dan sama sekali tidak membawa kendaraannya. Ia terlanjur emosi dan membenci orang tuanya, sehingga apapun yang diterima dari orang tuanya, ditinggalkan begitu saja. Sekarang, Adam baru merutuki keputusannya. Karena tidak ada kendaraan, Ia tidak bisa bebas pergi kemanapun yang diinginkannya. Kondisinya semakin payah, begitu Adam memeriksa dompetnya. Uangnya hanya tersisa tiga juta rupiah saja saat ini. Bagi Adam yang sudah terbiasa dengan gaya hidup mewah, melihat uang segitu seperti bencana baginya. Kartu kredit dan debit yang ada didalam dompetnya, jangan ditanya! Pasti semuanya sudah diblokir oleh orang tuanya saat ini. Sebelumnya, uang belanja Adam tidak kurang dari tigapuluh juta setiap harinya. Itu batas minimal uang jajannya dalam sehari, sekarang dengan hanya ada uang tiga juta dalam dompetnya, Adam merasa seperti orang paling sengsara di dunia. Adam coba menghubungi beb
Seminggu sudah Adam menginap di losmen, keuangannya sudah sangat menipis. Biaya menginap di losmen sederhana seperti itu saja, sudah menelan uangnya 300 ribu rupiah per-malamnya. Saat ini, dalam dompet Adam hanya tersisa 50 ribu. Jelas malam ini, Ia tidak dapat lagi menginap di losmen tersebut. Adam coba memutar otaknya untuk bisa menghasilkan uang. Semua daftar temannya telah dihubunginya, namun tidak ada satupun dari mereka yang bersedia membantunya dan bahkan banyak dari mereka yang telah memblokir nomornya. Tidak hanya mereka, bahkan para wanita yang pernah singgah di masa lalunya juga menolak membantu Adam dan menghindar dengan berbagai alasan. Lebih parahnya, saat ini semua orang seakan berusaha menghindari Adam. Hal itu membuat Adam hampir frustasi. Kenyataan ini membuatnya sadar satu hal, semua orang yang dikenalnya 'baik' dimasa lalu, hanya karena kekayaan dan status yang dimilikinya saat itu. Saat Ia menjadi orang terbuang seperti sekarang, Adam dapat melihat seperti apa
Adam baru saja selesai memindahkan 50 karung beras ke dalam kiosnya Ncang Ari, salah satu juragan beras di pasar tempat dia bekerja sebagai buruh lepas. Tiga minggu bekerja sebagai buruh lepas, Adam mulai menyadari betapa beratnya bekerja sebagai seorang buruh dan menghasilkan uang 50 hingga 70 ribu sehari. Itupun dengan harus menggunakan tenaga kasar dan sering seluruh tubuhnya terasa sakit dan sangat penat begitu selesai bekerja. Sering bekerja di bawah terik matahari membuat Adam tidak lagi terlihat bersih seperti sebelumnya. Kulitnya mulai menggelap, rambutnya juga sudah mulai memanjang dan jambang yang tumbuh diwajahnya. Sore itu, setelah memberikan upah pada para pekerja, Ncang Ari sengaja memanggil Adam. Meski baru beberapa hari bekerja, ternyata Ncang Ari sudah memperhatikan Adam layaknya pekerjanya yang lain. Dari sana Ia bisa menyimpulkan, jika Adam terlihat berbeda dari seluruh buruh yang bekerja padanya. Ncang Ari melihat Adam memiliki potensi yang tinggi, sangat aying
Ali sedang berada di ruang kerja Eka Salim Widjaja saat Adam menghubunginya. Saat itu, Eka Salim Widjaja baru saja selesai kontrol kesehatan dengan dokter pribadinya. Kondisinya sudah jauh lebih baik, tapi Ia harus rutin memeriksakan kondisi kesehatannya dan menghindari beban pikiran secara berlebihan. Karena itu, Eka Widjaja harus berusaha untuk membuat pikirannya bisa tetap rileks. Terakhir, kondisinya sampai drop kembali karena masalah dengan Adam, putranya. Satu-satunya yang mampu memberikan tekanan berat dalam pikirannya adalah anaknya. Eka menyayangi Adam dan ingin anaknya dapat berubah menjadi lebih baik. Sehingga, jika Ia tiada kelak, Adam akan dapat diandalkan untuk menggantikan dirinya. Beruntung bagi Eka Widjaja, dia memiliki Ali Tanjung sebagai tangan kanannya. Ali bukan hanya kepala pengawalnya, tapi juga sudah dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Ali telah mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk selalu memantau perkembangan Adam, tanpa sepengetahuan Adam te
Saat melihat dirinya didalam cermin, Adam tersenyum getir. Ia melihat pantulan dirinya yang sedang mengenakan seragam OB berwarna biru. "Huft..." Adam menghela nafas dalam. Namun bukan saatnya Ia harus mengeluh. Bagaimanapun dia lah yang telah meminta pekerjaan kepada Pak Ali. Adam coba berpikiran positif, setidaknya pekerjaan itu jauh lebih baik dibanding menjadi buruh lepas. Ia bekerja ditempat yang jauh lebih teduh, kulitnya tidak perlu lagi terbakar dibawah terik panas matahari. Selain itu, pekerjaan ini juga jauh lebih ringan jika dibanding dengan Ia harus mengangkat karung-karung beras yang beratnya 50 kiloan lebih. "Adam, You can do it." Ucap Adam menyemangati dirinya sendiri. Hari itu, Adam resmi bekerja menjadi office boy di Widjaja Corporation. Sebenarnya, Adam bisa masuk keesokan harinya, sesuai dengan kontrak kerjanya. Tapi, Adam sendiri yang menginginkan untuk langsung masuk kerja hari itu, karena Ia juga tidak memiliki kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Secara
Baru hari pertama bekerja sebagai OB, emosi Adam sudah langsung diuji.Banyak di antara karyawan yang melihat aneh kearahnya begitu Ia keluar dari ruangan Pak Robert, namun Adam cepat berlalu disana untuk mendinginkan kepalanya yang sedang panas.Kembali ke ruang pantri, Menik dan Yaya terkejut melihat pakaian Adam sudah basah oleh tumpahan kopi."Adam, pakaian kamu kenapa jadi kotor begini?" Tanya Menik heran.Yaya melihat Adam kena tumpahan kopi, sepertinya mengerti alasan kenapa pakaian Adam sampai kotor seperti itu. Apalagi melihat wajah Adam seperti orang yang sedang menahan marah begitu. Ia dengan cepat mengambil handuk kecil yang masih bersih dan menyerahkanya pada Adam.Lalu, dengan buru-buru berkata pada Menik."Nik, sebaiknya segera anterin kopinya Pak Robert keruangannya." "Eh, pak Robert memang sudah meminta kopi?" Tanya Menik terkejut tapi tampak enggan. Sepertinya dia malas untuk pergi menemui manajer personalia tersebut."Iya, ini Adam yang mengantar kopi ke ruangannya
Hari kedua menjadi OB.Pertemuan sehari sebelumnya dengan Nadya, meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi Adam. Sampai-sampai Ia masih tersenyum ketika masuk kerja hari itu dan berharap dapat bertemu lagi dengan gadis manis tersebut lagi nantinya."Ciee kenapa nih, baru datang dah senyum-senyum aja." Sambut Yaya ketika Adam datang dengan wajah berseri bahagia."Hahaha, gak ada apa-apa, Mbak. Cuma lagi senang aja." Jawab Adam salah tingkah, tidak menyangka sudah ada Yaya di dalam ruang pantry.Ia merasa malu, seolah sedang bertingkah seperti remaja yang sedang kasmaran."Hmn, senang apa seneng nih?" Goda Yaya lebih lanjut."Eh, siapa yang senang?" Menik yang baru datang langsung ikut nimbrung pembicaraan mereka."Tanya si Adam tuh, lagi senang karena jatuh cinta kayaknya?""Hah, Adam jatuh cinta? OB lantai berapa?" Tanya Menik spontan."Huh, sembarangan. Kalau lu nanya-nya si Jafar, gak apa-apa tanya OB lantai berapa. Lah, si Adam! Ma karyawati yang bening-bening itu juga pantas kali, x
Melihat kepanikan Yaya dan Menik, membuat Jafar penasaran dengan apa yang diperbuat oleh pak Robert sampai membuat Adam semarah itu, "Loh, ada apa dengan Pak Robert emang?" "Gak ada waktu buat menjelaskannya. Cepat, kita susul Adam." Ujar Yaya sembari bergegas keluar dan bahkan coba menarifk Jafar agar megikuti mereka. "Kalian duluan, saya panggil satpam dulu." Tahan Jafar beralasan. "Ya udah, cepat ya!" Yaya dan Menik menghambur keluar dengan panik. Tanpa mereka sadari bahwa Jafar justru tersenyum sinis. Ia malah tampak duduk santai setelah itu dan tidak melakukan apa-apa. 'Justru malah bagus jika bocah sok berani tersebut menghajar Pak Robert. Dengan begitu, Ia akan terkena sangsi dan bisa dikeluarkan dari sini.' Pikir Robert senang. ... Adam berjalan dengan emosi yang siap meledak. Beberapa orang yang menatapnya heran saat berpapasan, sama sekali tidak dihiraukannya. "Mas, kamu kenapa?" Saat itu, seorang karyawan wanita yang sebelumnya memperingatinya pagi tadi menyapanya,