Seminggu sudah Adam menginap di losmen, keuangannya sudah sangat menipis. Biaya menginap di losmen sederhana seperti itu saja, sudah menelan uangnya 300 ribu rupiah per-malamnya. Saat ini, dalam dompet Adam hanya tersisa 50 ribu.
Jelas malam ini, Ia tidak dapat lagi menginap di losmen tersebut.
Adam coba memutar otaknya untuk bisa menghasilkan uang. Semua daftar temannya telah dihubunginya, namun tidak ada satupun dari mereka yang bersedia membantunya dan bahkan banyak dari mereka yang telah memblokir nomornya.
Tidak hanya mereka, bahkan para wanita yang pernah singgah di masa lalunya juga menolak membantu Adam dan menghindar dengan berbagai alasan. Lebih parahnya, saat ini semua orang seakan berusaha menghindari Adam.
Hal itu membuat Adam hampir frustasi.
Kenyataan ini membuatnya sadar satu hal, semua orang yang dikenalnya 'baik' dimasa lalu, hanya karena kekayaan dan status yang dimilikinya saat itu. Saat Ia menjadi orang terbuang seperti sekarang, Adam dapat melihat seperti apa wajah asli mereka semua.
Namun, Adam tidak bisa larut dengan semua penyesalan tersebut. Ia harus segera memikirkan cara untuk bisa bertahan hidup. Ia menjadi dilema, selama ini Adam tidak pernah benar-benar bekerja. Satu-satunya pekerjaan yang dilakukannya, hanyalah bersenang-senang dan menghabiskan uang orang tuanya.
Bisa dibilang, Adam tidak memiliki pengalaman pekerjaan sama sekali. Meski untuk seukuran pemuda seusianya, Ia telah memiliki dua titel yang didapatnya dari dua jurusan berbeda. Sebuah prestasi yang tidak mudah dicapai oleh orang biasa.
Keluarganya menginginkan Ia menjadi menjadi seorang ahli manajemen untuk bisa menggantikan peran ayahnya dalam mengelola perusahaan kelak. Namun, Ia menggemari dunia teknologi. Karena alasan itu, Ia mengambil dua jurusan berbeda sekaligus. Meski dimanja dengan kemewahan, satu kelebihannya Adam memiliki otak yang encer.
Dalam waktu kurang dari empat tahun, Ia berhasil menyelesaikan dua bidang keilmuan tersebut hampir bersamaan.
Namun karena terlena dengan semua yang dimilikinya, Adam tidak pernah menerapkan apa yang didapatkannya di universitas pada dunia nyata. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dan menghabiskan uang yang seakan tidak pernah ada habisnya.
Sekarang, Adam baru mulai merasakan penyesalan. Betapa canggungnya Ia menghadapi kerasnya kehidupan, saat tidak ada apapun atau siapapun yang bisa diandalkannya untuk bertahan hidup.
Waktu berlanjut, sampai ketika manajer losmen menghampiri Adam di kamarnya.
"Maaf Mas, apa Anda berencana untuk memperpanjang pemesanan kamarnya hari ini?"
Adam bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan sang manajer, Ia tentu saja masih ingin menginap disana untuk beberapa malam lagi. Tapi, uangnya sudah tidak cukup untuk menambah waktu menginap semalam lagi. Ia dengan malu berkata, "Bolehkah saya memperpanjang semalam lagi? Tapi saya baru bisa membayar tagihannya besok."
Manajer losmen langsung menyipitkan matanya melihat Adam. Ia sudah banyak memiliki pengalaman dengan pelanggan seperti ini sebelumnya, tidak sedikit yang memiliki alasan yang sama dengan Adam, lalu mereka akan kabur keesokan harinya. Ia langsung menyimpulkan jika pria tampan didepannya sudah tidak memiliki uang untuk menginap di losmennya.
Jika sebelumnya, Ia datang dengan senyum yang ramah. Namun begitu Adam coba meminta kelonggaran padanya, ekspresinya langsung berubah dingin. "Maaf, Mas. Kami memiliki aturan disini, Anda bisa menggunakan kamar di losmen kami jika Anda sudah melakukan pembayaran didepan. Kami tidak menerima pembayaran dibelakang."
Hari itu, Adam kembali harus merasakan bagaimana rasanya diusir. Bahkan pengusiran tersebut terasa lebih memalukan, karena keamanan yang ditugaskan untuk mengusirnya bersikap kasar. Ditambah dengan pandangan penuh penghinaan dari semua orang yang melihatnya.
Jika saja, tidak mengingat Ia akan kembali masuk penjara dengan menghajar orang, maka Adam bisa dipastikan sudah menghajar manajer losmen sombong dan juga keamanan suruhannya.
"Kampret, baru losmen bobrok kayak gini, kalian sudah sombong."
"Losmen lu ampas, kamar kalian juga jelek. Ini lebih cocok jadi rumah susun panti jompo daripada sebuah losmen."
Adam berteriak kesal diluar losmen, Ia tidak lagi peduli dengan tatapan aneh orang-orang yang melihatnya.
Adam meraih tas ranselnya dan beranjak pergi dengan perasaan malu sekaligus kesal, mulutnya masih memaki-maki petugas losmen dan semua fasilitas buruk yang ada disana.
Suaranya lumayan keras, sehingga siapapun yang berada disana dapat mendengar makiannya.
"Pria brengsek itu, apa maksudnya menjelek-jelekkan losmen kita? Padahal dia sudah menginap disini selama seminggu, bilang saja kere! Malah menyalahkan fasilitas losmen kita." Salah seorang karyawan losmen yang sedang berdiri di lobby mendengar makian dan sumpah serapah Adam malah mencibir kearahnya.
Hari sudah beranjak siang, Adam tidak tahu lagi harus pergi kemana. Ia seperti pengembara yang sedang tersesat dan tidak tahu arah tujuan.
Kriuk kriuk.
Perutnya sudah mulai protes minta diisi.
Siang itu, Adam singgah di sebuah warung makan padang yang dilewatinya. Saking laparnya, Ia sampai makan dua piring penuh tanpa memikirkan apapun, yang penting perutnya kenyang.
Saat menerima jumlah tagihan yang harus dibayarnya, kening Adam berkerut tajam. Ia membayar 45 ribu rupiah dan sekarang tinggal menyisakan 5 ribu perak didalam dompetnya.
Wajah Adam sekarang menjadi lebih pucat, bukan karena kekenyangan. Tapi, memikirkan apa yang akan dimakannya setelah ini.
Adam terpaksa harus membuang egonya, dia coba mencari pekerjaan apapun yang dapat menghasilkan uang. Pekerjaan apapun, asal dapat membuatnya tetap bisa makan dan bertahap hidup.
Ia coba melamar pekerjaan di rumah makan padang tempat Ia makan sebelumnya.
"Maaf, dek. Tapi disini sudah penuh." Jawab pemilik rumah makan menolaknya.
"Pekerjaan apapun tidak apa-apa, Pak. Mencuci piring pun saya bersedia." Ucap Adam memohon.
Si pemilik rumah makan menatap Adam dengan kasihan. Tapi, Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. "Maafkan saya, tapi saya benar-benar tidak dapat membantu Anda saat ini." Jawab si pemilik rumah makan dengan tatapan menyesal.
Adam melangkah gontai keluar rumah makan.
Dengan uang lima ribu, bagaimana bisa Ia bertahan hidup?
Ketika pergi dari rumah, Ia tidak membawa ijazahnya sama sekali. Jika tidak, Ia mungkin dapat menggunakan ijazahnya untuk coba melamar pekerjaan di perusahaan.
Setelah berusaha mencari pekerjaan seharian, akhirnya Adam berhasil mendapat pekerjaan menjadi buruh lepas sebagai kuli angkut di pasar.
Hari itu, Adam harus belajar betapa kerasnya hidup menjadi orang susah. Ia mengangkat puluhan karung beras dan memindahkannya dari truk ke dalam kios.
Meski memiliki tubuh yang bagus, namun bekerja seberat itu tak ayal membuat Adam harus berkeringat deras.
"Adam, ini upah lu hari ini." Panggil si juragan, memberikan dua lembar uang kertas berwarna hijau dengan gambar Dr. GSSJ. Ratulangi didepannya.
"Upahnya segini, Bos?" Tanya Adam seakan tidak percaya. Padahal Ia sudah hampir kehabisan tenaga dan pakaiannya sudah kotor, namun mendapat penghasilan sejumlah itu, membuat Adam tercengang.
Pertanyaan Adam membuat si induk semang marah, Ia melototi Adam dan berkata ketus, "Terus lu mau dikasih upah berapa? Sejuta? Mending lu ngerampok saja sana! Itu udah upah standar dan sudah gue lebihin, karena lu sudah bekerja baik hari ini. Lu gak puas?"
Adam hendak protes, namun begitu ingat betapa susahnya Ia mencari kerja hari itu, Adam terpaksa diam dan menerima upahnya hari itu.
"Ya, sudah. Terimakasih, Bos." Ucap Adam dengan berat hati.
"Dasar anak muda jaman sekarang! Udah tau kerja kayak gini, mau diupah besar pula." Ucap juragan beras geleng-geleng kepala setelah kepergian Adam.
Adam baru saja selesai memindahkan 50 karung beras ke dalam kiosnya Ncang Ari, salah satu juragan beras di pasar tempat dia bekerja sebagai buruh lepas. Tiga minggu bekerja sebagai buruh lepas, Adam mulai menyadari betapa beratnya bekerja sebagai seorang buruh dan menghasilkan uang 50 hingga 70 ribu sehari. Itupun dengan harus menggunakan tenaga kasar dan sering seluruh tubuhnya terasa sakit dan sangat penat begitu selesai bekerja. Sering bekerja di bawah terik matahari membuat Adam tidak lagi terlihat bersih seperti sebelumnya. Kulitnya mulai menggelap, rambutnya juga sudah mulai memanjang dan jambang yang tumbuh diwajahnya. Sore itu, setelah memberikan upah pada para pekerja, Ncang Ari sengaja memanggil Adam. Meski baru beberapa hari bekerja, ternyata Ncang Ari sudah memperhatikan Adam layaknya pekerjanya yang lain. Dari sana Ia bisa menyimpulkan, jika Adam terlihat berbeda dari seluruh buruh yang bekerja padanya. Ncang Ari melihat Adam memiliki potensi yang tinggi, sangat aying
Ali sedang berada di ruang kerja Eka Salim Widjaja saat Adam menghubunginya. Saat itu, Eka Salim Widjaja baru saja selesai kontrol kesehatan dengan dokter pribadinya. Kondisinya sudah jauh lebih baik, tapi Ia harus rutin memeriksakan kondisi kesehatannya dan menghindari beban pikiran secara berlebihan. Karena itu, Eka Widjaja harus berusaha untuk membuat pikirannya bisa tetap rileks. Terakhir, kondisinya sampai drop kembali karena masalah dengan Adam, putranya. Satu-satunya yang mampu memberikan tekanan berat dalam pikirannya adalah anaknya. Eka menyayangi Adam dan ingin anaknya dapat berubah menjadi lebih baik. Sehingga, jika Ia tiada kelak, Adam akan dapat diandalkan untuk menggantikan dirinya. Beruntung bagi Eka Widjaja, dia memiliki Ali Tanjung sebagai tangan kanannya. Ali bukan hanya kepala pengawalnya, tapi juga sudah dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Ali telah mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk selalu memantau perkembangan Adam, tanpa sepengetahuan Adam te
Saat melihat dirinya didalam cermin, Adam tersenyum getir. Ia melihat pantulan dirinya yang sedang mengenakan seragam OB berwarna biru. "Huft..." Adam menghela nafas dalam. Namun bukan saatnya Ia harus mengeluh. Bagaimanapun dia lah yang telah meminta pekerjaan kepada Pak Ali. Adam coba berpikiran positif, setidaknya pekerjaan itu jauh lebih baik dibanding menjadi buruh lepas. Ia bekerja ditempat yang jauh lebih teduh, kulitnya tidak perlu lagi terbakar dibawah terik panas matahari. Selain itu, pekerjaan ini juga jauh lebih ringan jika dibanding dengan Ia harus mengangkat karung-karung beras yang beratnya 50 kiloan lebih. "Adam, You can do it." Ucap Adam menyemangati dirinya sendiri. Hari itu, Adam resmi bekerja menjadi office boy di Widjaja Corporation. Sebenarnya, Adam bisa masuk keesokan harinya, sesuai dengan kontrak kerjanya. Tapi, Adam sendiri yang menginginkan untuk langsung masuk kerja hari itu, karena Ia juga tidak memiliki kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Secara
Baru hari pertama bekerja sebagai OB, emosi Adam sudah langsung diuji.Banyak di antara karyawan yang melihat aneh kearahnya begitu Ia keluar dari ruangan Pak Robert, namun Adam cepat berlalu disana untuk mendinginkan kepalanya yang sedang panas.Kembali ke ruang pantri, Menik dan Yaya terkejut melihat pakaian Adam sudah basah oleh tumpahan kopi."Adam, pakaian kamu kenapa jadi kotor begini?" Tanya Menik heran.Yaya melihat Adam kena tumpahan kopi, sepertinya mengerti alasan kenapa pakaian Adam sampai kotor seperti itu. Apalagi melihat wajah Adam seperti orang yang sedang menahan marah begitu. Ia dengan cepat mengambil handuk kecil yang masih bersih dan menyerahkanya pada Adam.Lalu, dengan buru-buru berkata pada Menik."Nik, sebaiknya segera anterin kopinya Pak Robert keruangannya." "Eh, pak Robert memang sudah meminta kopi?" Tanya Menik terkejut tapi tampak enggan. Sepertinya dia malas untuk pergi menemui manajer personalia tersebut."Iya, ini Adam yang mengantar kopi ke ruangannya
Hari kedua menjadi OB.Pertemuan sehari sebelumnya dengan Nadya, meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi Adam. Sampai-sampai Ia masih tersenyum ketika masuk kerja hari itu dan berharap dapat bertemu lagi dengan gadis manis tersebut lagi nantinya."Ciee kenapa nih, baru datang dah senyum-senyum aja." Sambut Yaya ketika Adam datang dengan wajah berseri bahagia."Hahaha, gak ada apa-apa, Mbak. Cuma lagi senang aja." Jawab Adam salah tingkah, tidak menyangka sudah ada Yaya di dalam ruang pantry.Ia merasa malu, seolah sedang bertingkah seperti remaja yang sedang kasmaran."Hmn, senang apa seneng nih?" Goda Yaya lebih lanjut."Eh, siapa yang senang?" Menik yang baru datang langsung ikut nimbrung pembicaraan mereka."Tanya si Adam tuh, lagi senang karena jatuh cinta kayaknya?""Hah, Adam jatuh cinta? OB lantai berapa?" Tanya Menik spontan."Huh, sembarangan. Kalau lu nanya-nya si Jafar, gak apa-apa tanya OB lantai berapa. Lah, si Adam! Ma karyawati yang bening-bening itu juga pantas kali, x
Melihat kepanikan Yaya dan Menik, membuat Jafar penasaran dengan apa yang diperbuat oleh pak Robert sampai membuat Adam semarah itu, "Loh, ada apa dengan Pak Robert emang?" "Gak ada waktu buat menjelaskannya. Cepat, kita susul Adam." Ujar Yaya sembari bergegas keluar dan bahkan coba menarifk Jafar agar megikuti mereka. "Kalian duluan, saya panggil satpam dulu." Tahan Jafar beralasan. "Ya udah, cepat ya!" Yaya dan Menik menghambur keluar dengan panik. Tanpa mereka sadari bahwa Jafar justru tersenyum sinis. Ia malah tampak duduk santai setelah itu dan tidak melakukan apa-apa. 'Justru malah bagus jika bocah sok berani tersebut menghajar Pak Robert. Dengan begitu, Ia akan terkena sangsi dan bisa dikeluarkan dari sini.' Pikir Robert senang. ... Adam berjalan dengan emosi yang siap meledak. Beberapa orang yang menatapnya heran saat berpapasan, sama sekali tidak dihiraukannya. "Mas, kamu kenapa?" Saat itu, seorang karyawan wanita yang sebelumnya memperingatinya pagi tadi menyapanya,
"Bang, ada masalah." "Masalah apa, Jas?" Terdengar suara ragu dari seberang telpon, "Itu Bang, mas Adam memukul salah seorang manajer di perusahaan, Robert Januzi. Manajer Personalia." "Terus bagaimana situasinya?" "Saat ini mas Adam ditahan di pos security dan pria yang dipukulinya sedang diurus oleh tim medis perusahaan." "Hmn.. tapi, ada masalah sedikit bang." Ucap Anjas ragu, lalu melanjutkan, "Pria yang dipukuli mas Adam berniat melaporkan hal ini kepada polisi. Saya sudah coba mendamaikan mereka, tapi Robert tidak bisa ditenangkan dan tetap bersikeras menaikkan kasus ini." "Hmn, apa dia berniat cari mati? Tenang saja, biar saya yang urus. Kamu cukup pastikan mereka berdua masih berada di perusahaan, mengerti?" "Paham, Bang. Mengerti!" Anjas menyapu keringat dingin di keningnya, begitu Ia menutup ponselnya. Ia tidak menyangka, baru hari kedua putra bos besarnya bekerja di sana dan sudah menimbulkan masalah. Beruntung, security perusahaan sedang patroli untuk memeriksa kea
"Hai, Nad!" "Nad, entar siang makan tempat biasa yah!" "Halo, Nad. Nanti bantuin finishing job gue yah!" "Hmn... Kalau Nadya dah datang, aura ruangannya jadi berbeda gitu yah." "Eh, eh main comot aja, baru juga gue buka snacknya." Begitulah sapaan orang-orang kantor jika Nadya sudah datang. Suasananya langsung berubah ceria dan bersemangat. Itu karena sifat Nadya yang supel dan dekat dengan siapapun. Nadya seperti pelangi yang membuat suasana dimanapun tempat ia berada langsung berubah penuh warna. Sekaligus juga magnet yang dapat membuat siapapun akan mendekatinya, begitulah arti keberadaan Nadya di antara semua orang. Nadya baru saja duduk di depan mejanya dan baru saja meletakkan tasnya di atas meja. Tapi, keningnya menjadi sedikit berkerut begitu menemukan keganjilan yang menganggu matanya. "Gira, siapa yang merapikan meja saya yah?" Tanya Nadya penasaran pada teman sebelah mejanya. Meja antara karyawan dibatasi oleh sekat setinggi monitor komputer mereka untuk memberi pri