Adam baru saja selesai memindahkan 50 karung beras ke dalam kiosnya Ncang Ari, salah satu juragan beras di pasar tempat dia bekerja sebagai buruh lepas.
Tiga minggu bekerja sebagai buruh lepas, Adam mulai menyadari betapa beratnya bekerja sebagai seorang buruh dan menghasilkan uang 50 hingga 70 ribu sehari. Itupun dengan harus menggunakan tenaga kasar dan sering seluruh tubuhnya terasa sakit dan sangat penat begitu selesai bekerja.
Sering bekerja di bawah terik matahari membuat Adam tidak lagi terlihat bersih seperti sebelumnya. Kulitnya mulai menggelap, rambutnya juga sudah mulai memanjang dan jambang yang tumbuh diwajahnya.
Sore itu, setelah memberikan upah pada para pekerja, Ncang Ari sengaja memanggil Adam.
Meski baru beberapa hari bekerja, ternyata Ncang Ari sudah memperhatikan Adam layaknya pekerjanya yang lain. Dari sana Ia bisa menyimpulkan, jika Adam terlihat berbeda dari seluruh buruh yang bekerja padanya.
Ncang Ari melihat Adam memiliki potensi yang tinggi, sangat aying jika semua bakatnya itu hanya dihabiskan menjadi seorang buruh dan dibayar dengan rupiah yang tidak seberapa. Sementara, menurut hemat Ncang Ari, Adam seharusnya bisa bekerja di tempat yang jauh lebih bonafit dengan penghasilan tinggi.
"Dam, Ncang lihat kamu cukup berpendidikan. Apa kamu tidak pernah mencoba melamar kerja di kantoran gitu?"
Hal itu disadari oleh Ncang Ari, begitu putri bungsunya mengeluh tentang laptopnya yang tiba-tiba mati, siang sebelumnya.
Ncang Ari mana mengerti tentang laptop, Ia malah berniat untuk mengirim laptop putrinya ke toko komputer, tidak jauh dari area pasar.
Kebetulan, Adam sedang berada di depan toko saat itu, karena truk pembawa beras belum datang. Mendengar percakapan mereka, Adam yang seorang sarjana informatika menawarkan diri untuk memeriksa laptop putrinya Ncang Ari. Daripada harus diserahkan ke tempat servis laptop yang tidak jelas dan malah menelan biaya yang tidak perlu karena permainan teknisi nakal yang suka mencari untung.
Hanya sebentar, Adam berhasil menemukan sumber masalah penyebab kerusakan laptop. 30 menit kemudian Adam berhasil menghidupkan kembali laptop yang rusak.
Ini adalah ketiga kalinya mereka berbincang.
Bicara dengan Adam, membuat Ncang Ari sadar jika pemuda tersebut memiliki wawasan yang cukup luas. Adam juga tampan dan tinggi, sangat sayang sekali jika pemuda itu hanya berkarir sebagai kuli angkut.
Mendengar pertanyaan Ncang Ari, Adam terdiam cukup lama. Sebulan terakhir, kehidupan Adam seperti roller coster. Turun naik dengan begitu cepat, sebulan yang lalu Ia masih menikmati statusnya sebagai seorang anak konglomerat ternama. Ia begitu jumawa dan petantang-petenteng dengan semua kekayaan dan status tinggi keluarganya.
Satu masalah dengan mantan kekasihnya yang saat itu sedang digoda oleh Sandi, putra salah seorang anggota dewan membuat Adam menghajarnya. Akibat beruntun dari kejadian itu, Adam sampai harus dipenjara selama sebulan, lalu sekarang Ia berakhir ditempat ini.
Tidak punya apa-apa dan bekerja sebagai kuli angkut demi dapat bertahan hidup.
Adam tidak berniat menceritakan hal itu pada Ncang Ari sebelumnya, namun sikap kebapakan juragan beras tersebut membuat Adam berani untuk menceritakan semua permasalahannya pada Ncang Ari.
Ncang mengangguk-angguk kecil sambil mengusap jenggot tipisnya. Ia mulai memahami bagaimana jalan pikiran Adam berdasarkan ceritanya. Ia tidak serta merta menyalahkan sikap Adam, karena menurut penilaiannya, Adam bersikap seperti itu karena kurangnya perhatian dari orang tuanya.
Ncang Ari berkata dengan bijak, "Dam, ncang bukan bermaksud menolak kamu kerja di sini. Kamu itu seorang sarjana, sangat sayang jika bakat besarmu berakhir di tempat ini. Coba pikir, tahun ini usiamu sudah 25 tahun. Dengan usiamu yang masih muda, kamu mau menghabiskan sisa hidupmu sebagai tukang angkat beras?”
"Sekarang, kamu kembalilah pulang! Berdamailah dengan keluargamu.Tidak ada salahnya mengalah pada orang tua, meski kamu merasa benar sekalipun."
"Coba, jangan hanya memikirkan perasaanmu sendiri. Pikirkan bagaimana perasaan orang tuamu, mereka pasti menginginkan yang terbaik untukmu."
Ncang Ari diam sejenak sambil melihat bagaimana reaksi Adam, tampak banyak pertentangan dalam ekspresinya saat ini. Mungkin pengalaman beberapa hari terakhir, sudah cukup banyak mengubah pandangan Adam tentang pendiriannya.
"Kamu lihat ncang, Dam. Ncang hanya lulusan SLTA, karena itu ncang bekerjakeras hingga sampai pada titik ini. Itu semua demi apa? Agar anak-anak ncang bisa hidup lebih baik dari ncang kelak. Meski dengan begini, ncang hampir tidak ada waktu untuk menemani mereka tumbuh dewasa."
"Mungkin, bedanya Ncang dengan orang tuamu. Ncang terbuka dengan mereka semua tentang tujuan usaha ini adalah untuk mereka semua."
"Namun, mereka tidak bercerita sekalipun. Kamu seharusnya tahu, jika semua usaha yang mereka lakukan adalah untuk dirimu. Kamu adalah satu-satunya anak mereka, siapa lagi yang akan mewarisi kekayaan mereka jika bukan dirimu?"
Kalimat Ncang Ari sederhana, namun sangat dalam dengan makna hidup. Penjelasan Ncang Ari sedikit banyaknya membuka pemikiran Adam tentang orang tuanya. Jika Ncang Ari terbuka dengan anak-anaknya, orang tua Adam sama sekali tidak pernah mengungkapkan hal itu padanya.
Sekarang, Adam mulai menyadari tentang tujuan kedua orang tuanya bekerja keras dan mengorbankan semua waktu mereka dengan Adam, semua itu adalah untuk masa depannya..
Namun, sebelumnya Adam terlalu bebal dan tinggi hati untuk mengakuinya. Ia merasa, ketika semua fasilitas yang selama ini dicabut oleh orang tuanya, menunjukkan kebencian mereka kepadanya. Ia tidak pernah berpikir dari sisi sebaliknya.
"Ta-tapi, mereka sudah mengusir saya dari rumah, Ncang." Ucap Adam dengan suara sedikit bergetar. Emosinya melonjak dan terombang ambing begitu sebuah realita baru menyentak kesadarannya.
Ncang Ari tertawa kecil, Ia mengusap pundak Adam layaknya seorang bapak menenangkan anaknya. Ncang Ari berkata, "Tidak ada seorang Ayahpun yang membenci anaknya. Mungkin Ia menghukummu untuk membuat dirimu tumbuh menjadi lelaki yang bijak dan bisa bersikap lebih dewasa."
"Kamu lihat seekor harimau jantan? Dia tidak membunuh harimau jantan muda karena takut kekuasaan akan diambil kelak. Tapi Ia membiarkan harimau yang lebih muda untuk keluar dari kawanannya, agar si harimau muda dapat menemukan kehidupannya sendiri dan suatu saat, saat Ia dewasa, harimau muda tersebut yang akan maju menjadi pemimpin kawanan selanjutnya."
"Menurut, Ncang. Ayahmu juga begitu. Ia ingin kamu sadar dan dewasa dengan jalanmu sendiri, karena Ia tidak dapat mengubahmu dewasa secara langsung. Jadi harus kamu sendiri yang menemukan tujuan hidupmu. Ncang yakin, Ayahmu pasti juga menderita dengan keputusan ini. Tapi Ia mempercayakanmu pada takdir, takdir yang dapat mengubahmu menjadi harimau dewasa dan dapat mengantikannya kelak sebagai pemimpin keluarga berikutnya."
Tanpa sadar, mata Adam milai memerah. Bukan karena dongeng harimau dan kawanan yang diceritakan oleh Ncang Ari. Tapi, satu poin yang membuat Adam terhenyak. Ayahnya menginginkan Adam berubah agar dapat menggantikan dirinya kelak. Saat itu, Adam sadar jika karakternya selama ini sangat sulit diatur. Ia tidak pernah mau mendengarkan apa yang dinasehatkan oleh orang tuanya.
"Benar kata Ncang."
Adam terdiam sejenak, "Tapi, aku sudah bertekad untuk tidak kembali saat ini. Paling tidak, aku ingin membuktikan jika aku bisa mandiri terlebih dahulu. Ta-tapi, saat ini aku sebatang kara dan tidak punya apapun dan juga siapapun untuk diandalkan."
"Coba hubungi teman-temanmu, pasti ada di antara mereka yang dapat membantumu."
Adam menggeleng lemah, Ia tersenyum getir dan berkata, "Aku sudah menghubungi semua orang yang kukenal, Ncang. Semuanya menolakku dengan berbagai alasan."
"Sanak familimu yang lain?"
Adam teringat dengan satu nama, begitu Ncang Ari menyinggung keluarganya.
"Ada, Ncang." Jawab Adam bersemangat.
Ia langsung teringat dengan Pak Ali, sebelumnya Ia hanya memikirkan bantuan dari teman-temannya dan melupakan Pak Ali. Padahal Pak Ali sudah mengingatkan Adam agar menghubunginya jika membutuhkan bantuannya.
Adam langsung mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Pak Ali.
"Halo, Adam?" Tanya Pak Ali dari seberang sana. Ia sudah lama menantikan waktu dimana Adam menghubunginya.
"Pak, Adam bisa minta bantuan?"
Ali sedang berada di ruang kerja Eka Salim Widjaja saat Adam menghubunginya. Saat itu, Eka Salim Widjaja baru saja selesai kontrol kesehatan dengan dokter pribadinya. Kondisinya sudah jauh lebih baik, tapi Ia harus rutin memeriksakan kondisi kesehatannya dan menghindari beban pikiran secara berlebihan. Karena itu, Eka Widjaja harus berusaha untuk membuat pikirannya bisa tetap rileks. Terakhir, kondisinya sampai drop kembali karena masalah dengan Adam, putranya. Satu-satunya yang mampu memberikan tekanan berat dalam pikirannya adalah anaknya. Eka menyayangi Adam dan ingin anaknya dapat berubah menjadi lebih baik. Sehingga, jika Ia tiada kelak, Adam akan dapat diandalkan untuk menggantikan dirinya. Beruntung bagi Eka Widjaja, dia memiliki Ali Tanjung sebagai tangan kanannya. Ali bukan hanya kepala pengawalnya, tapi juga sudah dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Ali telah mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk selalu memantau perkembangan Adam, tanpa sepengetahuan Adam te
Saat melihat dirinya didalam cermin, Adam tersenyum getir. Ia melihat pantulan dirinya yang sedang mengenakan seragam OB berwarna biru. "Huft..." Adam menghela nafas dalam. Namun bukan saatnya Ia harus mengeluh. Bagaimanapun dia lah yang telah meminta pekerjaan kepada Pak Ali. Adam coba berpikiran positif, setidaknya pekerjaan itu jauh lebih baik dibanding menjadi buruh lepas. Ia bekerja ditempat yang jauh lebih teduh, kulitnya tidak perlu lagi terbakar dibawah terik panas matahari. Selain itu, pekerjaan ini juga jauh lebih ringan jika dibanding dengan Ia harus mengangkat karung-karung beras yang beratnya 50 kiloan lebih. "Adam, You can do it." Ucap Adam menyemangati dirinya sendiri. Hari itu, Adam resmi bekerja menjadi office boy di Widjaja Corporation. Sebenarnya, Adam bisa masuk keesokan harinya, sesuai dengan kontrak kerjanya. Tapi, Adam sendiri yang menginginkan untuk langsung masuk kerja hari itu, karena Ia juga tidak memiliki kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Secara
Baru hari pertama bekerja sebagai OB, emosi Adam sudah langsung diuji.Banyak di antara karyawan yang melihat aneh kearahnya begitu Ia keluar dari ruangan Pak Robert, namun Adam cepat berlalu disana untuk mendinginkan kepalanya yang sedang panas.Kembali ke ruang pantri, Menik dan Yaya terkejut melihat pakaian Adam sudah basah oleh tumpahan kopi."Adam, pakaian kamu kenapa jadi kotor begini?" Tanya Menik heran.Yaya melihat Adam kena tumpahan kopi, sepertinya mengerti alasan kenapa pakaian Adam sampai kotor seperti itu. Apalagi melihat wajah Adam seperti orang yang sedang menahan marah begitu. Ia dengan cepat mengambil handuk kecil yang masih bersih dan menyerahkanya pada Adam.Lalu, dengan buru-buru berkata pada Menik."Nik, sebaiknya segera anterin kopinya Pak Robert keruangannya." "Eh, pak Robert memang sudah meminta kopi?" Tanya Menik terkejut tapi tampak enggan. Sepertinya dia malas untuk pergi menemui manajer personalia tersebut."Iya, ini Adam yang mengantar kopi ke ruangannya
Hari kedua menjadi OB.Pertemuan sehari sebelumnya dengan Nadya, meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi Adam. Sampai-sampai Ia masih tersenyum ketika masuk kerja hari itu dan berharap dapat bertemu lagi dengan gadis manis tersebut lagi nantinya."Ciee kenapa nih, baru datang dah senyum-senyum aja." Sambut Yaya ketika Adam datang dengan wajah berseri bahagia."Hahaha, gak ada apa-apa, Mbak. Cuma lagi senang aja." Jawab Adam salah tingkah, tidak menyangka sudah ada Yaya di dalam ruang pantry.Ia merasa malu, seolah sedang bertingkah seperti remaja yang sedang kasmaran."Hmn, senang apa seneng nih?" Goda Yaya lebih lanjut."Eh, siapa yang senang?" Menik yang baru datang langsung ikut nimbrung pembicaraan mereka."Tanya si Adam tuh, lagi senang karena jatuh cinta kayaknya?""Hah, Adam jatuh cinta? OB lantai berapa?" Tanya Menik spontan."Huh, sembarangan. Kalau lu nanya-nya si Jafar, gak apa-apa tanya OB lantai berapa. Lah, si Adam! Ma karyawati yang bening-bening itu juga pantas kali, x
Melihat kepanikan Yaya dan Menik, membuat Jafar penasaran dengan apa yang diperbuat oleh pak Robert sampai membuat Adam semarah itu, "Loh, ada apa dengan Pak Robert emang?" "Gak ada waktu buat menjelaskannya. Cepat, kita susul Adam." Ujar Yaya sembari bergegas keluar dan bahkan coba menarifk Jafar agar megikuti mereka. "Kalian duluan, saya panggil satpam dulu." Tahan Jafar beralasan. "Ya udah, cepat ya!" Yaya dan Menik menghambur keluar dengan panik. Tanpa mereka sadari bahwa Jafar justru tersenyum sinis. Ia malah tampak duduk santai setelah itu dan tidak melakukan apa-apa. 'Justru malah bagus jika bocah sok berani tersebut menghajar Pak Robert. Dengan begitu, Ia akan terkena sangsi dan bisa dikeluarkan dari sini.' Pikir Robert senang. ... Adam berjalan dengan emosi yang siap meledak. Beberapa orang yang menatapnya heran saat berpapasan, sama sekali tidak dihiraukannya. "Mas, kamu kenapa?" Saat itu, seorang karyawan wanita yang sebelumnya memperingatinya pagi tadi menyapanya,
"Bang, ada masalah." "Masalah apa, Jas?" Terdengar suara ragu dari seberang telpon, "Itu Bang, mas Adam memukul salah seorang manajer di perusahaan, Robert Januzi. Manajer Personalia." "Terus bagaimana situasinya?" "Saat ini mas Adam ditahan di pos security dan pria yang dipukulinya sedang diurus oleh tim medis perusahaan." "Hmn.. tapi, ada masalah sedikit bang." Ucap Anjas ragu, lalu melanjutkan, "Pria yang dipukuli mas Adam berniat melaporkan hal ini kepada polisi. Saya sudah coba mendamaikan mereka, tapi Robert tidak bisa ditenangkan dan tetap bersikeras menaikkan kasus ini." "Hmn, apa dia berniat cari mati? Tenang saja, biar saya yang urus. Kamu cukup pastikan mereka berdua masih berada di perusahaan, mengerti?" "Paham, Bang. Mengerti!" Anjas menyapu keringat dingin di keningnya, begitu Ia menutup ponselnya. Ia tidak menyangka, baru hari kedua putra bos besarnya bekerja di sana dan sudah menimbulkan masalah. Beruntung, security perusahaan sedang patroli untuk memeriksa kea
"Hai, Nad!" "Nad, entar siang makan tempat biasa yah!" "Halo, Nad. Nanti bantuin finishing job gue yah!" "Hmn... Kalau Nadya dah datang, aura ruangannya jadi berbeda gitu yah." "Eh, eh main comot aja, baru juga gue buka snacknya." Begitulah sapaan orang-orang kantor jika Nadya sudah datang. Suasananya langsung berubah ceria dan bersemangat. Itu karena sifat Nadya yang supel dan dekat dengan siapapun. Nadya seperti pelangi yang membuat suasana dimanapun tempat ia berada langsung berubah penuh warna. Sekaligus juga magnet yang dapat membuat siapapun akan mendekatinya, begitulah arti keberadaan Nadya di antara semua orang. Nadya baru saja duduk di depan mejanya dan baru saja meletakkan tasnya di atas meja. Tapi, keningnya menjadi sedikit berkerut begitu menemukan keganjilan yang menganggu matanya. "Gira, siapa yang merapikan meja saya yah?" Tanya Nadya penasaran pada teman sebelah mejanya. Meja antara karyawan dibatasi oleh sekat setinggi monitor komputer mereka untuk memberi pri
Mungkin inilah yang disebut, sengsara membawa nikmat. Dipindahkan bekerja ke lantai lannya sebagai hukuman karena aksi nekatnya menyerang salah seorang manajer, Adam malah dipertemukan dengan seorang wanita yang telah membuat jantungnya bergetar, Nadya Elvaretta Pramudya. Seorang wanita cantik dan sangat ramah yang bekerja sebagai arsitektur di perusahaan Ayahnya. Wanita anggun yang telah berhasil menggetarkan hati Adam ketika pertama kali bertemu. Kejadian dimana Nadya mencarinya karena 'salah' merapikan meja kerjanya, membuat Adam mulai mengenal kebiasaan 'unik' Nadya. Adam jadi tersenyum sendiri, mengingat betapa menariknya sikap Nadya di mata Adam. Itu karena Adam merapikan peralatan kerja Nadya, yang sebelumnya terlihat cukup berantakan. Padahal, jika Nadya sedikit saja lebih teliti memeriksa meja kerjanya, ia akan dapat langsung menemukan peralatan kerjanya yang telah tersusun rapih. Hanya saja, seperti penjelasan Susan padanya. Nadya itu orangnya memiliki kebiasaan unik,