Ali sedang berada di ruang kerja Eka Salim Widjaja saat Adam menghubunginya.
Saat itu, Eka Salim Widjaja baru saja selesai kontrol kesehatan dengan dokter pribadinya. Kondisinya sudah jauh lebih baik, tapi Ia harus rutin memeriksakan kondisi kesehatannya dan menghindari beban pikiran secara berlebihan. Karena itu, Eka Widjaja harus berusaha untuk membuat pikirannya bisa tetap rileks.
Terakhir, kondisinya sampai drop kembali karena masalah dengan Adam, putranya. Satu-satunya yang mampu memberikan tekanan berat dalam pikirannya adalah anaknya. Eka menyayangi Adam dan ingin anaknya dapat berubah menjadi lebih baik. Sehingga, jika Ia tiada kelak, Adam akan dapat diandalkan untuk menggantikan dirinya.
Beruntung bagi Eka Widjaja, dia memiliki Ali Tanjung sebagai tangan kanannya. Ali bukan hanya kepala pengawalnya, tapi juga sudah dianggap sebagai bagian dari keluarganya.
Ali telah mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk selalu memantau perkembangan Adam, tanpa sepengetahuan Adam tentunya. Meski bibirnya telah berucap mengusir Adam dari keluarganya, Eka Widjaja tidak mungkin tega membiarkan anaknya terlantar di jalanan.
Sekarang melihat nama Adam tertera di layar handphone Ali, Eka menyuruhnya untuk segera menjawab panggilan tersebut dan melihat apa yang diinginkan Adam.
"Pak, Adam bisa minta bantuan?" Tanya Adam dari seberang sana dengan nada yang begitu sopan.
Tidak hanya Ali, Eka Widjaja pun tampak terperangah mendengar Adam bisa bicara dengan lembut dan sopan seperti itu, jauh dari kesan sombong yang selama ini menjadi ciri khasnya.
Ali menatap tuan besarnya untuk menunggu instruksinya, Eka Widjaja memberikan anggukan dan memintanya untuk menanyakan bantuan apa yang diinginkan Adam dari Ali.
"Bantuan apa yang bisa bapak berikan untukmu, Dam?"
Terdengar hening sesaat, sepertinya Adam coba menghilangkan keraguan dan rasa sungkannya demi tujuannya.
"Pak, Adam butuh pekerjaan. Apa bapak bisa membantu, meminta kenalan Pak Ali untuk memberikan pekerjaan pada Adam?"
Kerasnya pengalaman di lapangan selama beberapa hari terakhir, sudah cukup untuk Adam membuang seluruh egonya dan bersikap lebih lunak.
Dia telah melepaskan karakter sombongnya sebagai tuan muda dari keluarga besar, Eka Widjaja tampak cukup senang dengan perubahan drastis tersebut. Ia selalu mengikuti perkembangan Adam dari laporan orang-orang suruhannya Ali selama ini.
Eka Widjaja menuliskan sesuatu di secarik kertas dan memberikannya pada Ali.
Ali cepat memahami isi pesan yang diberikan Eka Widjaja padanya, dia berkata, "Pekerjaan yah? Hmn, sekarang ada. Gajinya tidak seberapa besar, tapi dikantoran. Kamu mau?"
"Tidak masalah pak, saya siap." Suara Adam terdengar bersemangat.
"Kamu tidak bertanya dulu, pekerjaannya apa?"
"Saya minta bantuan dari pak Ali, bagaimana saya masih memilih-milih pekerjaan. Pekerjaan apapun, saya siap pak." Jawab Adam lugas.
Tidak hanya pak Ali, Eka Widjaja yang duduk diseberang meja pun tersenyum senang mendengar jawaban Adam. Kalimat itu saja, sudah cukup menggambarkan sejauh mana perkembangan Adam sampai saat ini.
"Baguslah kalau begitu." Komentar Ali senang, lalu Ia melanjutkan, "Pekerjaan yang bapak maksud sebagai OB. Tidak apa-apa?"
"Tidak masalah, Pak. Saya siap." Terdengar jawaban Adam tanpa keraguan sedikitpun.
"Tapi, kerjanya di perusahaan Ayahmu."
Kalimat tambahan Ali berikutnya membuat Adam langsung terdiam beberapa detik lamanya.
Adam dengan ragu berkata, "Apa Papa akan tahu jika saya bekerja disana nantinya, Pak?"
Sepertinya Adam masih enggan untuk bertemu dengan Ayahnya saat ini.
Ali melirik Eka Widjaja.
Tuan besarnya memberi kode jika Ia tidak tahu menahu soal ini, sehingga Ali pun bisa berucap dengan santai, "Tidak! Ayahmu sama sekali tidak tahu akan hal ini. Ini kebetulan, bapak sempat berbincang sehari yang lalu dengan Anjas, kepala OB di perusahaan Ayahmu. Bagaimana, kamu bersedia?"
Adam merasa baik-baik saja, selama Ia tidak berhubungan dengan Ayahnya.
"Baiklah, kalau begitu saya bersedia, Pak."
"Kalau kamu bersedia, besok kamu temui Anjas jam 7 diruangannya. Saya juga akan memberitahunya tentang kedatanganmu."
"Baik, pak Ali. Terimakasih sebelumnya."
Mereka berbincang sejenak, sambil Pak Ali menanyai kabar Adam setelah pergi dari rumah. Meski sudah mengetahui secara detail kedaan Adam, Ia tidak mungkin melewatkannya jika tidak ingin Adam mencurigai jika orang-orangnya telah memata-matai Adam selama ini.
Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Ali tampak bertanya heran pada Eka Widjaja, "Apa tidak apa-apa membiarkan Adam bekerja sebagai OB, Pak?"
Ali khawatir, dengan kemampuan dan gelar sarjana yang dimiliki Adam, tuan mudanya itu sangat layak dengan posisi yang lebih bonafit seharusnya. Tapi, Eka Widjaja sama sekali tidak terpengaruh. Dia sudah sangat yakin untuk memberikan posisi OB kepada putra satu-satunya tersebut.
Eka Widjaja tampak tenang, Ia sudah memikirkannya dengan matang. Ini merupakan langkah selanjutnya jika Ia menginginkan Adam berubah ke arah yang lebih baik.
Pertama, Adam harus belajar dan merasakan bagaimana rasanya ketika tidak memiliki apapun.
Kedua, Adam harus belajar bagaimana caranya menghargai orang lain.
Ketiga, Adam harusa tahu bagaimana caranya bersikap lebih rendah hati dan mengontrol emosinya.
Ketiga hal itu adalah kekurangan paling fatal yang terdapat dalam diri Adam selama ini. Adam harus dapat mengatasi penghambat tersebut, jika ingin menjadi pemimpin yang layak untuk Widjaja Grup dimasa depan.
Setiap orang bisa menjadi bos, tapi tidak setiap bos memiliki karakter yang rendah hati dan mampu menghargai orang lain. Sebagai seorang Ayah dan juga bos besar yang sudah memiliki banyak pengalaman, Eka Widjaja ingin anaknya dapat memiliki karakter yang cakap untuk bisa menggantikan dirinya kelak.
"Tidak apa-apa. Justru kalau kita memberikannya pekerjaan dengan posisi yang baik saat ini, itu tidak akan berefek apapun pada Adam."
"Saya ingin melihat perkembangannya lebih jauh. Dia telah merasakan kerasnya bekerja sebagai buruh lepas sekarang, jadi tidak ada salahnya memberikan pekerjaan keras lainnya. Dia harus merasakan bagaimana susahnya menjadi orang susah dan penghasilan pas-pasan. Tidak hanya itu, Ia juga harus belajar bagaimana menundukkan kepala sebelum bisa menjadi seorang pemimpin yang baik."
"Belajar bagaimana caranya melayani, sebelum dilayani."
Ali berucap dengan ragu dan khawatir, "Apa pekerjaan ini tidak akan membuat Adam malu nantinya? Semua orang yang telah mengenalnya, akan merendahkannya."
Eka Widjaja menjawab tanpa keraguan sedikitpun, "Adam harus belajar mengatasi semua perasaan itu."
"30 Hari. Saya akan memberinya waktu 30 hari untuk menjalani peran barunya ini. Jika Adam bisa melewati ujian ini, maka Saya akan membawanya kembali kedalam keluarga Widjaja. Ini bukan hanya ujian untuk perubahan karakternya semata. Tapi juga sebagai ujian, apa dia pantas atau tidak menjadi penerusku."
Selanjutnya Eka Widjaja memberi intruksi tegas pada Ali, "Selama itu, jangan memberikan bantuan apapun pada Adam. Biarkan dia bekerja layaknya OB lainnya, pastikan tidak ada perlakuan istimewa apapun. Katakan juga ini pada Anjas dan siapapun yang kenal dengan Adam didalam perusahaan, untuk bersikap tidak mengenal Adam sama sekali. Jika ada yang berani melanggarnya, dia akan dikeluarkan dari perusahaan."
Saat melihat dirinya didalam cermin, Adam tersenyum getir. Ia melihat pantulan dirinya yang sedang mengenakan seragam OB berwarna biru. "Huft..." Adam menghela nafas dalam. Namun bukan saatnya Ia harus mengeluh. Bagaimanapun dia lah yang telah meminta pekerjaan kepada Pak Ali. Adam coba berpikiran positif, setidaknya pekerjaan itu jauh lebih baik dibanding menjadi buruh lepas. Ia bekerja ditempat yang jauh lebih teduh, kulitnya tidak perlu lagi terbakar dibawah terik panas matahari. Selain itu, pekerjaan ini juga jauh lebih ringan jika dibanding dengan Ia harus mengangkat karung-karung beras yang beratnya 50 kiloan lebih. "Adam, You can do it." Ucap Adam menyemangati dirinya sendiri. Hari itu, Adam resmi bekerja menjadi office boy di Widjaja Corporation. Sebenarnya, Adam bisa masuk keesokan harinya, sesuai dengan kontrak kerjanya. Tapi, Adam sendiri yang menginginkan untuk langsung masuk kerja hari itu, karena Ia juga tidak memiliki kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Secara
Baru hari pertama bekerja sebagai OB, emosi Adam sudah langsung diuji.Banyak di antara karyawan yang melihat aneh kearahnya begitu Ia keluar dari ruangan Pak Robert, namun Adam cepat berlalu disana untuk mendinginkan kepalanya yang sedang panas.Kembali ke ruang pantri, Menik dan Yaya terkejut melihat pakaian Adam sudah basah oleh tumpahan kopi."Adam, pakaian kamu kenapa jadi kotor begini?" Tanya Menik heran.Yaya melihat Adam kena tumpahan kopi, sepertinya mengerti alasan kenapa pakaian Adam sampai kotor seperti itu. Apalagi melihat wajah Adam seperti orang yang sedang menahan marah begitu. Ia dengan cepat mengambil handuk kecil yang masih bersih dan menyerahkanya pada Adam.Lalu, dengan buru-buru berkata pada Menik."Nik, sebaiknya segera anterin kopinya Pak Robert keruangannya." "Eh, pak Robert memang sudah meminta kopi?" Tanya Menik terkejut tapi tampak enggan. Sepertinya dia malas untuk pergi menemui manajer personalia tersebut."Iya, ini Adam yang mengantar kopi ke ruangannya
Hari kedua menjadi OB.Pertemuan sehari sebelumnya dengan Nadya, meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi Adam. Sampai-sampai Ia masih tersenyum ketika masuk kerja hari itu dan berharap dapat bertemu lagi dengan gadis manis tersebut lagi nantinya."Ciee kenapa nih, baru datang dah senyum-senyum aja." Sambut Yaya ketika Adam datang dengan wajah berseri bahagia."Hahaha, gak ada apa-apa, Mbak. Cuma lagi senang aja." Jawab Adam salah tingkah, tidak menyangka sudah ada Yaya di dalam ruang pantry.Ia merasa malu, seolah sedang bertingkah seperti remaja yang sedang kasmaran."Hmn, senang apa seneng nih?" Goda Yaya lebih lanjut."Eh, siapa yang senang?" Menik yang baru datang langsung ikut nimbrung pembicaraan mereka."Tanya si Adam tuh, lagi senang karena jatuh cinta kayaknya?""Hah, Adam jatuh cinta? OB lantai berapa?" Tanya Menik spontan."Huh, sembarangan. Kalau lu nanya-nya si Jafar, gak apa-apa tanya OB lantai berapa. Lah, si Adam! Ma karyawati yang bening-bening itu juga pantas kali, x
Melihat kepanikan Yaya dan Menik, membuat Jafar penasaran dengan apa yang diperbuat oleh pak Robert sampai membuat Adam semarah itu, "Loh, ada apa dengan Pak Robert emang?" "Gak ada waktu buat menjelaskannya. Cepat, kita susul Adam." Ujar Yaya sembari bergegas keluar dan bahkan coba menarifk Jafar agar megikuti mereka. "Kalian duluan, saya panggil satpam dulu." Tahan Jafar beralasan. "Ya udah, cepat ya!" Yaya dan Menik menghambur keluar dengan panik. Tanpa mereka sadari bahwa Jafar justru tersenyum sinis. Ia malah tampak duduk santai setelah itu dan tidak melakukan apa-apa. 'Justru malah bagus jika bocah sok berani tersebut menghajar Pak Robert. Dengan begitu, Ia akan terkena sangsi dan bisa dikeluarkan dari sini.' Pikir Robert senang. ... Adam berjalan dengan emosi yang siap meledak. Beberapa orang yang menatapnya heran saat berpapasan, sama sekali tidak dihiraukannya. "Mas, kamu kenapa?" Saat itu, seorang karyawan wanita yang sebelumnya memperingatinya pagi tadi menyapanya,
"Bang, ada masalah." "Masalah apa, Jas?" Terdengar suara ragu dari seberang telpon, "Itu Bang, mas Adam memukul salah seorang manajer di perusahaan, Robert Januzi. Manajer Personalia." "Terus bagaimana situasinya?" "Saat ini mas Adam ditahan di pos security dan pria yang dipukulinya sedang diurus oleh tim medis perusahaan." "Hmn.. tapi, ada masalah sedikit bang." Ucap Anjas ragu, lalu melanjutkan, "Pria yang dipukuli mas Adam berniat melaporkan hal ini kepada polisi. Saya sudah coba mendamaikan mereka, tapi Robert tidak bisa ditenangkan dan tetap bersikeras menaikkan kasus ini." "Hmn, apa dia berniat cari mati? Tenang saja, biar saya yang urus. Kamu cukup pastikan mereka berdua masih berada di perusahaan, mengerti?" "Paham, Bang. Mengerti!" Anjas menyapu keringat dingin di keningnya, begitu Ia menutup ponselnya. Ia tidak menyangka, baru hari kedua putra bos besarnya bekerja di sana dan sudah menimbulkan masalah. Beruntung, security perusahaan sedang patroli untuk memeriksa kea
"Hai, Nad!" "Nad, entar siang makan tempat biasa yah!" "Halo, Nad. Nanti bantuin finishing job gue yah!" "Hmn... Kalau Nadya dah datang, aura ruangannya jadi berbeda gitu yah." "Eh, eh main comot aja, baru juga gue buka snacknya." Begitulah sapaan orang-orang kantor jika Nadya sudah datang. Suasananya langsung berubah ceria dan bersemangat. Itu karena sifat Nadya yang supel dan dekat dengan siapapun. Nadya seperti pelangi yang membuat suasana dimanapun tempat ia berada langsung berubah penuh warna. Sekaligus juga magnet yang dapat membuat siapapun akan mendekatinya, begitulah arti keberadaan Nadya di antara semua orang. Nadya baru saja duduk di depan mejanya dan baru saja meletakkan tasnya di atas meja. Tapi, keningnya menjadi sedikit berkerut begitu menemukan keganjilan yang menganggu matanya. "Gira, siapa yang merapikan meja saya yah?" Tanya Nadya penasaran pada teman sebelah mejanya. Meja antara karyawan dibatasi oleh sekat setinggi monitor komputer mereka untuk memberi pri
Mungkin inilah yang disebut, sengsara membawa nikmat. Dipindahkan bekerja ke lantai lannya sebagai hukuman karena aksi nekatnya menyerang salah seorang manajer, Adam malah dipertemukan dengan seorang wanita yang telah membuat jantungnya bergetar, Nadya Elvaretta Pramudya. Seorang wanita cantik dan sangat ramah yang bekerja sebagai arsitektur di perusahaan Ayahnya. Wanita anggun yang telah berhasil menggetarkan hati Adam ketika pertama kali bertemu. Kejadian dimana Nadya mencarinya karena 'salah' merapikan meja kerjanya, membuat Adam mulai mengenal kebiasaan 'unik' Nadya. Adam jadi tersenyum sendiri, mengingat betapa menariknya sikap Nadya di mata Adam. Itu karena Adam merapikan peralatan kerja Nadya, yang sebelumnya terlihat cukup berantakan. Padahal, jika Nadya sedikit saja lebih teliti memeriksa meja kerjanya, ia akan dapat langsung menemukan peralatan kerjanya yang telah tersusun rapih. Hanya saja, seperti penjelasan Susan padanya. Nadya itu orangnya memiliki kebiasaan unik,
Adam baru saja mengantarkan minuman untuk beberapa karyawan di lantai 16. Dia celingukan sesaat ke mejanya Nadya, namun tidak menemukan gadis manis tersebut di sana. Padahal saat itu masih jam kerja, "Nadya kemana ya?" Pikir Adam penasaran. "Adam, kamu lihat siapa sih? Gira?" Adam tidak menyadari jika Prita sedang memperhatikannya. "Eh? Tidak. Ini aku mau ngantar vanilla untuk Nadya." Adam sedikit gugup dan ia tidak sepenuhnya berbohong, karena di atas nampan yang dibawanya memang ada secangkir vanilla susu yang khusus disiapkannya untuk Nadya. Awalnya, Adam berinisiatif untuk mengantar susu vanilla kesukaan Nadya, agar ia lebih semangat bekerja. Karena Adam tahu jika Nadya sangat menyukai minuman itu. "Oh pesanannya Nadya toh! Eh, tapi gosip itu beneran, 'kan?" "Gosip yang mana?" Tanya Adam bingung. Prita celingukan sebentar, ia sedikit merendahkan suaranya dan agak mencondongkan badannya ke arah Adam. Ia berkata, "Katanya kamu sama Gira jadian." Adam terbatuk. 'Sial, si