Home / Romansa / (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN / BAB 06. Sebuah Permintaan

Share

BAB 06. Sebuah Permintaan

Author: Sarana
last update Last Updated: 2024-05-06 02:22:45

Natasha terus menatap Edgar dari belakang saat mereka melangkah maju. Ia merasa bingung dan tidak percaya jika pria di hadapannya mengakuinya sebagai calon istrinya di depan para staf hotel. Meskipun tidak menyukai Edgar, tetapi sikapnya yang tegas dan percaya diri berhasil membuat Natasha merasa penasaran.

Ketika keduanya masuk ke dalam lift, Natasha mengalihkan pandangannya ke lantai. Tiba-tiba, Edgar memutuskan untuk berbicara.

"Jangan salah paham, aku melakukan itu bukan karenamu," ucap Edgar dengan datar.

Natasha merasa terkejut dan kikuk saat Edgar membaca pikirannya dengan baik. "A-Apa maksudmu?" tanya Natasha dengan canggung. 

"Jangan bilang kamu berpikir aku melakukan itu karenamu?" ucap Edgar dengan sinis, namun berhasil membuat wanita itu mati kutu.

Natasha merasa semakin gugup dan tidak tahu harus berkata apa, ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Ting

Suara pintu lift terdengar saat lift berhenti di lantai yang dituju. Tanpa mengatakan apa pun, Edgar keluar begitu saja meninggalkan Natasha di dalam sana.

"Tunggu!" ucap Natasha dengan suara terburu-buru. Ia segera keluar dari lift dan berusaha mengejar langkah Edgar.

"Edgar, bisakah kamu datang ke rumahku lagi?" tanya Natasha dengan suara terbata-bata di antara langkah-langkahnya. Namun, Edgar terus berjalan tanpa memberikan jawaban apa pun. 

"Apa dia tidak mendengarku?" gumam Natasha dalam hati. Ia pun mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Edgar, Natasha kira bahwa pria di depannya tidak mendengar ucapannya.

"Bisakah kamu datang ke rumahku lagi?" tanya Natasha kembali, berharap mendapatkan jawaban dari Edgar.

Tiba-tiba, Edgar menghentikan langkahnya dan menatap Natasha dengan tatapan tanpa ekspresi. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, membuat Natasha semakin yakin bahwa pria di hadapannya tidak mendengar ucapannya.

"Kamu mendengarku, kan?" tanya Natasha dengan ragu, mencoba untuk memastikan apakah pendengaran Edgar berfungsi dengan baik.

"Aku tidak tuli," jawab Edgar dengan datar, tanpa sedikit pun mengubah ekspresi wajahnya.

Klik

Suara pintu terdengar saat Edgar menempelkan key card pada sensor pintu.

Natasha terkejut ketika menyadari bahwa mereka berada di depan kamar Edgar. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu membawaku kemari?" tanya Natasha dengan kewaspadaan yang meningkat. Meskipun Edgar pernah mengatakan bahwa ia tidak tertarik dengan Natasha, sebagai seorang wanita, Natasha tetap perlu berhati-hati.

Edgar mengerutkan kedua alisnya hingga saling bertautan. "Bukankah ada yang ingin kamu bicarakan denganku?" tanyanya.

Natasha merasa tidak nyaman, dan memutuskan untuk tidak membicarakan masalah tersebut di tempat itu. "Ya, tapi tidak di sini," jawab Natasha dengan tegas, tidak ingin mengulangi situasi sebelumnya di dalam kamar Edgar.

"Kalau begitu, lupakan saja. Aku sedang sibuk," jawab Edgar dengan nada acuh. Tanpa kata-kata lain, ia meraih gagang pintu dan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Natasha di lorong hotel.

"Kumohon..." ucap Natasha dengan lirih, mencoba memanggil Edgar agar ia mau mendengarkan.

Saat Edgar hendak menutup pintu kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara seseorang yang tidak asing baginya berjalan di lorong hotel. Suara tersebut membuat Edgar menahan tangannya yang hendak menutup pintu.

"Jika sampai bulan depan adikmu belum menikah, Papa akan mempercayakan perusahaan itu padamu, Rio," ucap Abraham, ayah Edgar.

Sret!

Tanpa ragu, Edgar segera menarik tangan Natasha ke dalam kamarnya dengan gerakan cepat. Kemudian, ia menutup pintu kamarnya agar Abraham dan Rio tidak melihat keduanya di sana.

Tentu saja hal itu membuat Natasha terkejut, dan ia segera meraih gagang pintu seraya berkata dengan nada tegas, "Buka pintunya! Kamu tidak akan bisa menjebakku lagi!" teriaknya dengan kencang.

Natasha pikir Edgar akan menggunakan trik yang sama untuk menekannya, seperti yang Edgar lakukan sebelumnya, dengan menggunakan foto CCTV sebagai alat untuk mengancamnya.

Namun, alih-alih melakukannya, Edgar justru membekap mulut Natasha, agar teriakannya tidak terdengar hingga ke luar.

"Hmp! Hmp!" Natasha terus berusaha memberontak dan melepaskan tangan Edgar.

Setelah berhasil melepaskan diri, Natasha mengatur napasnya dan menatap tajam ke arah pria tersebut. "Apa kamu tidak mengerti ucapanku? Sudah ku katakan jangan pernah menyentuhku, kenapa kamu masih melakukannya!" serunya dengan nada kesal.

"Ada urusan apa Papa dan Rio kemari?" gumam Edgar tanpa memperhatikan apa yang dikatakan Natasha.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Edgar segera melangkah ke arah telepon yang terletak di atas nakas untuk menghubungi resepsionis.

"Selamat sore, dengan resepsionis ada yang bisa saya bantu?" ucap seorang wanita setelah menjawab panggilan dari Edgar.

"Ada urusan apa Papaku dan Rio datang ke hotel ini?" tanya Edgar tanpa mengulur waktu.

"Mereka ingin menemui salah satu klien yang menginap di hotel ini, Tuan," jawab resepsionis dengan sopan.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Edgar meletakkan teleponnya dengan kasar. Wajahnya tampak tegang dan tangannya terkepal kuat saat ia merasa diasingkan oleh ayahnya sendiri.

"Kenapa aku tidak diberitahu tentang klien ini?" gumam Edgar dalam hati. "Kenapa hanya Rio? Bukankah aku juga putranya?" pertanyaan itu terus berputar di kepala Edgar.

Tak ingin membuang banyak waktu, ia meraih ponselnya dan langsung menghubungi Julian.

Tut.. Tut.. Tut..

"Julian, siapkan cincin berlian untuk wanita. Aku tunggu di kediaman Natasha," perintah Edgar pada sahabatnya melalui sambungan suara.

Setelah memberikan instruksi tersebut, Edgar memutuskan panggilannya tanpa menunggu jawaban dari Julian. 

Tanpa memberikan penjelasan pada Natasha, Edgar bergegas keluar dari kamarnya dengan menarik tangan wanita bercadar itu. Natasha mencoba untuk memberontak dan meminta agar Edgar melepaskan pegangannya, namun permintaannya tidak diindahkan oleh Edgar.

***

Asiyah terus melamun, mengurung dirinya di dalam kamar. Meskipun ia marah pada Natasha, namun Asiyah tak bisa menghilangkan kekhawatiran yang melanda dirinya. Ia menatap ke arah jendela, menunggu kedatangan putri semata wayangnya yang belum juga pulang sejak tadi.

"Ke mana anak itu pergi? Apa dia sudah makan?" gumam Asiyah dengan suara lirih, diiringi perasaan cemas yang semakin mendalam. 

Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu yang berhasil mengalihkan perhatian Asiyah dari lamunannya.

Tok.. Tok.. Tok..

"Mau sampai kapan Ibu mengurung diri seperti ini? Ayo kita makan, Bu," bujuk Adam dari balik pintu. 

Tok.. Tok.. Tok..

Adam kembali mengetuk pintu kamarnya saat Asiyah tak menjawab ucapannya. 

"Bu–"

"Ibu tidak lapar, Pak," jawab Asiyah dengan cepat, hingga membuat ucapan Adam berhenti seketika.

Adam hanya bisa menghela napas pasrah saat Asiyah sudah mengatakan hal itu. Ia memutuskan memberikan ruang sedikit lebih lama untuk istrinya.

***

Edgar mengangguk mengerti ketika Natasha menceritakan semua kesalahpahaman yang terjadi pada kedua orang tuanya. Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju rumah Adam, dan Natasha dengan hati-hati menjelaskan bagaimana kesalahpahaman itu terjadi.

Sambil mengemudikan mobilnya, Edgar berusaha memahami setiap kata yang diucapkan Natasha. "Aku akan mengurus semuanya," ucap Edgar.

Natasha, yang duduk di kursi belakang merasa lega saat Edgar mau mendengarkan permintaannya. Beban yang sedari tadi ada di pundaknya seakan mulai terangkat.

"Ada lagi?" tanya Edgar dengan suara datar.

"Tidak ada."

Setelah itu, suasana menjadi hening, kedua orang itu saling diam tanpa mengeluarkan kata-kata. 

Namun, ketika mobil Edgar hampir mencapai kediaman Adam, Natasha tiba-tiba memutuskan untuk mengucapkan sesuatu. "Turunkan aku di sini. Aku tidak ingin Bapak dan Ibu melihat kita datang bersama."

Tanpa ragu, Edgar menginjak rem dengan tiba-tiba, menyebabkan ban mobil mengeluarkan suara derit yang menusuk telinga. Dahi Natasha terbentur dengan keras pada headrest mobil, menyebabkan rasa sakit yang tak terelakkan.

"Ahh!" serunya kesakitan, sambil meraba bagian dahi yang terbentur. Natasha merasa sakit dan terkejut dengan kejadian tersebut. Dengan hati-hati, dia menenteng sandal miliknya yang putus dan keluar dari mobil Edgar.

Edgar melirik Natasha sejenak sebelum dia menutup pintu mobilnya. "Kenapa sandal rusak itu belum kamu buang?" tanya Edgar dengan nada sinis.

Natasha mengangkat sandalnya dan menjawab dengan lembut, "Sandal ini masih bisa diperbaiki. Sayang sekali jika dibuang."

Edgar mengerutkan keningnya, menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya mengerti alasan Natasha. Bagi Edgar, yang berasal dari keluarga kaya, barang yang rusak biasanya langsung diganti dengan yang baru.

"Biasanya aku menggunakan paku pada bagian ini untuk memperbaiki sandal jepitku yang putus," jelas Natasha sambil menunjukkan titik tali yang akan dipasangkan dengan paku nantinya.

Namun, tampaknya Edgar tidak terlalu memperhatikan. Dia memalingkan wajahnya ke depan, tapi tiba-tiba ada yang menarik perhatiannya di bawah sana.

Edgar meraih benda tersebut, lalu mengangkatnya ke atas. "Siapa yang meletakkan sepatu boots kuning ini di mobilku?" gumam Edgar dengan suara yang penuh penekanan di setiap kalimatnya. "Ini pasti milik Julian," lanjutnya dengan rasa kesal. Pasalnya, hanya Edgar dan Julian yang menggunakan mobil tersebut.

Edgar membuka jendela mobilnya dan melemparkan sepatu boots kuning milik Julian keluar. "Kamu bisa gunakan itu jika kamu mau!" teriak Edgar pada Natasha dari dalam mobil.

Setelah mengatakan itu, Edgar menutup kembali jendela mobilnya dan melajukan mobilnya menjauh, meninggalkan Natasha di sana.

"Aku tidak butuh sepatu bootsmu!" teriak Natasha dalam hati sambil menatap kepergian mobil Edgar.

Sikap Edgar yang memberikan sepatu dengan cara melemparkannya jelas membuat Natasha kesal.

"Aku lebih baik berjalan hanya dengan kaos kaki daripada menerima sepatu boots itu!" gerutu Natasha dengan rasa kesal yang masih terasa.

Natasha melangkah pergi, meninggalkan sepatu boots yang dilempar oleh Edgar di tempatnya. Namun, setelah berjalan beberapa langkah, dia merasakan panas yang tidak tertahankan di kakinya saat aspal yang dia injak terasa terlalu panas akibat terik matahari.

"Tidak, tidak!" ucap Natasha pada dirinya sendiri saat dia mempertimbangkan untuk menggunakan sepatu boots yang diberikan oleh Edgar.

Namun, rasa panas yang semakin tak tertahankan di telapak kakinya yang hanya dilapisi oleh kaos kaki membuat Natasha buru-buru berbalik dan berlari menuju sepatu boots tersebut.

"Natasha?" Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah belakang. Suaranya terdengar lembut dan akrab di telinga Natasha.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Neng Nengsih
sipp banget ini ***
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 148. Menghilang di Jalan

    Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 147. Gugatan Cerai

    Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 146. Keputusan Terberat

    Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 145. Tertipu

    "Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 144. Palsu

    "Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul

  • (BUKAN) PENGANTIN SEWAAN   BAB 143. Melawan Trauma

    Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status