Share

GARIS DUA

"Jangan-jangan kamu mandul."

Rachel tidak percaya kata-kata Sheila beberapa hari yang lalu mampu mengusiknya hingga seperti ini.

Pagi ini, Rachel berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ia baru saja membeli beberapa alat tes kehamilan. Ia memang tidak merasakan adanya gejala mual atau ngidam seperti perempuan hamil pada umumnya. Tetapi, ia sudah terlambat hampir dua bulan.

Hal ini sebenarnya biasa mengingat siklus bulanannya yang sering kali tidak teratur. Namun, tetap saja. Rachel terdorong untuk mengeceknya. Tidak tanggung, Rachel membeli beberapa alat tes dengan merek yang berbeda. Dan ia pun menunggu.

Satu.

Dua.

Tiga menit terlewat, sebelum akhirnya Rachel memutuskan untuk mengecek hasilnya.

Sepasang matanya membeliak ketika mendapati dua garis merah ada di salah satu alat tes--dan yang lainnya juga. Kebahagiaan membuncah di dada wanita itu hingga ia tidak memedulikan apa pun lagi dan langsung mencari suaminya.

"Aleeex!" seru Rachel dengan perasaan yang begitu gembira. 

Alex yang sedang duduk menikmati sarapan pagi bersama Sheila jelas kaget mendengar suara teriakan Rachel. Ia pun segera menghampiri istri keduanya itu. 

"Ada apa?" tanya Alex sambil mengerutkan dahinya dan menatap Rachel dengan bingung. 

"Aku baik-baik saja, tapi kamu akan segera menjadi seorang ayah," jawab Rachel dengan gembira sambil memperlihatkan testpack yang sudah memperlihatkan garis dua. Bukan hanya satu saja. Tapi, 7 alat dari 10 yang ia beli memperlihatkan hasill yang sama, positif. 

Alex terbelalak kaget saat melihat alat kehamilan itu. 

"Ini serius?" tanyanya dengan wajah datar dan ekspresi biasa.

Rachel tersenyum lebar dan mengangguk.

"Bawa saja dia ke dokter Risa. Lalu cek apakah dia memang hamil atau hanya berpura-pura," kata Sheila sedikit sinis. 

"Kamu benar." Alex setuju. Lalu pada istri keduanya, ia menambahkan, "Kamu bersiaplah, kita akan segera ke rumah sakit." 

Rachel dengan patuh menuruti kata-kata suaminya. Wanita cantik itu bergegas mengganti pakaiannya setelah Alex dan Sheila berlalu. Ia merasa tak sabar untuk mendengar hasil pemeriksaan dokter. 

Dan tiga puluh menit kemudian Rachel sudah duduk di samping Alex di dalam mobil. Mereka langsung menuju ke rumah sakit. Alex sudah menghubungi dokter kenalannnya untuk memeriksa Rachel nantinya. 

"Aku harap kamu benar-benar mengandung," kata Alex tanpa menoleh.

Sementara Rachel hanya mengangguk pasrah. "Semoga saja. Aku juga tidak sabar menggendong buah hati kita," jawabnya.

Sepanjang menunggu giliran masuk ke ruangan periksa Dokter Risa Tirani Sp.Og (K), Rachel tak henti meremas tangan Alex. Ia benar-benar merasa sangat gugup.

“Nyonya Rachel,” panggil perawat. Seketika degup jantung Rachel makin cepat.

Di dalam ruangan, Dokter Risa sudah menyambut mereka dengan senyuman.

“Kabar baik ya, Pak Alex?”

Alex hanya mengangguk, tersenyum tipis. Ekspresinya biasa saja, dingin. Memang begitulah seorang Alex.

“Silakan duduk, Bu Rachel,” ujar Dokter Risa mempersilakan. Dokter yang berumur sekitar empat puluh tahun itu kemudian melihat ke arah Rachel yang nampak begitu tegang. “Lho, kok, justru bundanya yang tegang?” kata Risa sambil tersenyum. “Tenang saja, kita nanti periksa, ya.”

Bukan kali pertama melihat pasien datang ke ruang rawatnya dengan raut tegang. Dan Dokter Risa bisa paham apa yang dirasakan Rachel kali ini.

Mula-mula, dokter menanyakan sudah berapa lama telat datang bulan, berapa lama durasi menstruasi yang biasanya Rachel alami, dan kapan hari pertama Rachel mengalami haid terakhirnya. Rachel mencoba lebih rileks dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dokter Risa.

 “Sudah coba testpack?” tanya Dokter Risa lagi.

Rachel menjawab dengan anggukan. “Sudah, bahkan saya membeli beberapa merek.”

Dokter Risa tersenyum, lalu menyilakan Rachel untuk berbaring di ranjang periksa.

“Maaf ya, saya buka sedikit pakaiannya,” ujar Dokter Risa sopan sebelum meminta perawat mengolesi gel dingin di atas perut Rachel.

Dalam semua proses tersebut, Alex tak pernah meninggalkan Rachel barang sejenak. Saat Rachel berbaring pun, Alex dengan setia mendampingi, memegang tangan Rachel yang masih belum bisa lepas sepenuhnya dari rasa gugup.  Rachel sendiri  mengamati layar yang sekarang menunjukkan gambar seperti gelombang itu dengan ketegangan.

 “Kalau dilihat dari keterangan Bunda tadi, usia kandungannya sudah memasuki minggu ke tujuh.” Dokter Risa memutar-mutar alat USG di atas perut Rachel. “Ini, kantong janin sudah terbentuk. Ini janinnya masih kecil, Bunda," jelas Dokter Risa penuh kesabaran.

Rachel yang merasa rasa tegang, kini perlahan mencairkan. Air matanya bahkan menetes begitu saja di pipinya saat mendengar konfirmasi dari Dokter Risa perihal kehamilannya. Alex ikut mengembangkan senyumnya. Tak tahan, dia usapkan telapak tangannya ke atas kepala Rachel tanpa menghapus jejak air mata bahagia istrinya itu.

 “Jenis kelaminnya belum ketauan ya, Dok?” tanya Rachel yang disambut senyum oleh Dokter Risa.

Dengan sabar, Dokter Risa menjelaskan, kalau biasanya jenis kelamin baru bisa dikonfirmasi di awal trimester ketiga, paling cepat. Karena kehamilan Rachel baru tujuh minggu, masih awal trimester pertama. Janinnya pun masih sangat kecil sekali, bahkan belum terbentuk dengan sempurna.

Rachel mengangguk. Diberi kabar seperti ini saja sudah membuatnya sedikit lega. Masih ada banyak waktu untuknya melihat perkembangan sang janin, sambil tentunya dia memupuk dan memantaskan diri menjadi orang tua.

Usai pemeriksaan di ranjang, Rachel kembali diminta duduk di kursi pasien, sementara Dokter Risa menuliskan hasil pemeriksaannya.

“Nanti saya resepkan vitamin ya, Bunda. Jangan capek-capek dulu. Kalo bisa, jangan angkat berat, mikir berat juga jangan,” saran dokter yang diangguki oleh Rachel dan Alex.

“Udah pernah ngerasa mual belum, Bunda? Biasanya jika sudah memasuki enam atau tujuh minggu Bunda sudah merasakan yang namanya morning sickness,” tanya Dokter Risa lagi.

“Belum, Dok. Justru itu, saya nggak ngerasa mual, lemes atau gimana pun,” tukas Rachel menggeleng.

“Nggak apa-apa. Nggak semua ibu hamil ngalamin mual-muntah, kok. Kalo mual, nggak perlu paksain makan nasi ya, Bunda. Minta ayahnya aja pijetin, buatin teh pakai madu dan lemon. Susu, boleh minum susu apa aja, nggak mesti susu hamil. Bunda bekerja?”

“Nggak, Dok. Saya tidak bekerja,” jawab Rachel.

“Kalau begitu bagus, tapi kegiatan di rumah juga dipantau. Jangan sampai terlalu lelah ya.”

Dokter Risa berpesan panjang lebar. Alex menyerap semua pesan Dokter Risa dengan antusias. Di akhir kunjungan mereka, Dokter Risa berpesan untuk kembali jika ada keluhan kram perut, nyeri di bagian perut bawah, atau jika ada flek yang keluar. Ultimatum biasa yang selalu diwejangkan ke seluruh pasien, terlebih di kehamilan pertama mereka.

“Nanti kembali lagi tiga atau empat minggu dari sekarang, ya?” pesan Dokter Risa terakhir sebelum mereka keluar dari ruang pemeriksaan.

Alex menyempatkan mengucapkan banyak terima kasih pada Dokter Risa, salah satu dokter senior di bidangnya yang cukup kompeten di rumah sakit ini. Dokter Risa sebetulnya hanya menerima pasien yang sudah punya janji kepadanya. Tapi, karena Alex kebetulan adalah teman dekat dari pemilik rumah sakit ini, maka ia pun tidak bisa menolak.

"Selamat, Pak. Semoga istri Anda sehat selalu sampai waktu persalinan nanti. Jangan lupa untuk periksa setiap bulan dan dijaga baik-baik istrinya," kata dokter Risa lagi. 

Alex hanya mengangguk dan memberi isyarat kepada Rachel untuk segera pergi dari ruangan dokter Risa.

"Terima kasih," ucapnya. "Ingat pesan dokter tadi. Jaga baik-baik calon bayi kita ini." 

Rachel hanya mengangguk, hanya begitukah sikap suaminya? Padahal dia yang menginginkan bayi. Tapi, kenapa ia hanya bersikap biasa saja? Apakah dia tidak bahagia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status