Share

Bab 2

Penulis: Yazmin Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-21 20:22:40

BUKAN SALAH IBU 2

Pak Emir menepati janjinya untuk tidak membawa masalah pembullyanku ke sekolah. Tapi, aku tahu diam-diam dia mengawasiku. Helena sendiri rupanya mendapat teguran keras dari Pak Emir. Dia seringkali menatapku dengan geram, tapi tak berbuat apa-apa. Sesaat, aku merasa aman. Tapi aku tahu, hanya menunggu waktu sebelum Helena melemparkan bom yang lebih besar ke wajahku.

"Biarkan saja, Nak. Tak perlu menjelaskan dirimu pada orang yang membenci. Dia tak akan percaya."

"Tapi, Ibu benar-benar nggak ada hubungan dengan Papanya Helena kan?"

Ibu menggeleng dengan wajah sendu, tapi tak berkata apa-apa. Aku menghela napas dalam-dalam. Seperti yang Ibu minta, aku hanya cukup mempercayainya. Percaya, bahwa dia tak akan pernah membuatku kecewa.

Dulu, aku menghabiskan hari untuk bertanya siapa Ayahku. Dan setiap kali itu juga, Ibu menjawab dengan gelengan kepala dan tetesan air mata. Beranjak dewasa, aku mulai berhenti bertanya. Untuk apa? Pertanyaanku hanya membuat luka di hati Ibu tak kunjung sembuh.

"Sebentar lagi kelulusanmu. Apa kau sudah memutuskan akan kuliah dimana?"

Ibu duduk di kursi makan, menatap meja yang penuh bertebaran buku pelajaran. Aku menutup buku yang masih terbuka dan menyusunnya.

"Sebaiknya, aku kerja saja, Bu. Supaya Ibu bisa berhenti dari club malam."

Raut wajah Ibu berubah seketika.

"Jangan Bella. Kamu harus kuliah. Kalau perlu setinggi mungkin.

"Tapi dari mana biayanya? Aku tak ingin Ibu terus bekerja disana. Sekarang, mungkin Ibu belum tergoda. Tapi, bagaimana nanti?"

Ibu menatapku lekat.

"Jadi kamu nggak percaya Ibu?"

"Aku … "

"Ibu nggak pernah minta apa-apa sama kamu, selain, sekolahlah setinggi mungkin. Jadi orang sukses, hingga tak ada lelaki yang dipaksa meninggalkan dirimu hanya karena kamu miskin."

Suara Ibu bergetar. Aku terdiam, mencoba merangkai makna kalimat Ibu barusan. Apakah pada akhirnya, Ibu akan menceritakan asal-usulku, dari benih siapakah aku berasal?

Ibu mendongakkan wajah, mencegah air matanya turun. Ah, bagaimana mungkin aku tega bertanya lebih lanjut? Mungkin, asal usul diriku akan tetap menjadi misteri.

***

"Teman-teman, adakah yang mau berkenalan dengan anak seorang pela-cur!"

Suara Helena kembali terdengar siang ini. Kelas riuh oleh suara orang bercakap-cakap dan bergurau. Sebabnya tentu saja, guru bidang studi yang harusnya mengajar, izin tak masuk. Sialnya, guru pengganti-pun tak ada. Kami diminta mengerjakan tugas, tapi seperti biasa, hanya separuh siswa yang datang ke sekolah untuk sungguh-sungguh belajar.

Suara Helena yang melengking membuat semua anak menghentikan aktifitasnya. Semua menatap Helana, ingin tahu kelanjutan kalimatnya. Dengan langkah gemulai, Helena beranjak dari singgasananya di pojok belakang kelas, dan berhenti hanya satu langkah di depan kursiku.

"Ini dia anaknya! Isabella. Ibunya menghidupinya dengan uang haram hasil menjual diri. Ku ingatkan, jangan dekat dengannya kalau kalian tak ingin ketularan haram. Tapi, ya nggak heran sih. Dia sendiri anak haram."

Jleb. Kata-katanya menghujam ke dalam dada. Sakit. Aku berdiri, menatap lurus sejajar dengannya. Tinggi kami sama meski dari database kelas, usiaku lebih tua delapan bulan darinya. Tapi tentu saja, Helena tak pernah sendiri. Tiga kacung setianya berdiri dengan sikap waspada, siap menyerang jika sang majikan memberi aba-aba.

"Aku bukan anak haram, Helena. Dan satu lagi, Ibuku bukan pela-cur!" ujarku tenang. Ya, aku harus tenang. Tak akan kubiarkan dia mengobrak abrik hidupku seperti kemarin.

Helena tertawa kencang, para pelayannya mengikuti, sementara kelas hening menantikan drama ini. Helena siswi baru di sekolah ini, tapi dengan uangnya, dia mampu menggaet teman yang luar biasa banyak. Dua hari di rumah sakit, tak satupun teman menjenguk, hanya Pak Emir, yang datang memberikan amplop berisi beberapa lembar uang merah dan sekeranjang buah. Hal itu menunjukkan betapa besar pengaruh Helena di kelas ini.

"Lalu ini apa?"

Helena melemparkan selembar kertas ke dadaku. Kertas itu jatuh ke lantai, tepat di ujung sepatuku, di bawah puluhan pasang mata yang memandang. Aku memungutnya dengan dada berdebar. Sekilas, aku melihat siluet seseorang yang kukenal disana.

Itu Ibu, yang berada diluar nightclub tempatnya bekerja. Ibu berdiri amat dekat, terlalu dekat dengan seorang lelaki yang tak kukenal.

"Dan ini!"

Helena melamparkan selembar lagi foto. Kali ini, wajah Ibu tampak jelas di bawah sinar lampu sebuah lobby hotel. Ibu dengan lelaki yang sama, ada di hotel.

Dadaku bergetar. Wajahku pastilah sudah panas karena malu. Benarkah ini? Ibu ada di hotel bersama seorang lelaki. Lalu apa makna ucapan Ibu yang terus memintaku percaya padanya, padahal dia …

"Dia seorang pela-cur! Entah kau benar-benar tak tahu atau pura-pura tak tahu. Yang jelas, katakan pada Ibumu untuk menjauhi Papaku. Kalau tidak, bukan hanya kau yang akan menderita, Bella!. Akan kubalas kalian!" jerit Helena. Dia kehilangan kontrol dirinya dan berlari maju hendak menjambak rambutku. Aku yang didera rasa terkejut luar biasa, tak mampu mengelak.

Helena menarik rambutku kencang sekali hingga rasanya kulit kepalaku akan lepas dari kepala. Dia bermaksud menjedotkan kepalaku ke tembok. Aku meronta, menendang kakinya hingga dia jatuh dan pegangannya terlepas. Tapi, ketiga bodyguard nya yang berbadan besar itu langsung menggantikan tugasnya menyiksaku.

"Berhenti!"

Sebuah suara muncul di ambang pintu. Orin, salah satu kacung Helena tadi melepaskan jambakannya di rambutku.

"Kalian membuat ulah lagi?!"

Pak Emir berlari menghampiri. Dia masih memakai kaos olahraga dengan titik-titik keringat yang jelas terlihat. Beberapa orang siswa dari kelas lain yang rupanya baru kembali dari lapangan olahraga, mengintip dari balik jendela.

"Sekali ini, saya tak akan diam lagi. Kalian berempat, pergi ke ruang BP!"

Wajah Helena merah padam. Pak Emir menoleh padaku yang masih berusaha meredakan napas yang memburu.

"Kamu nggak apa-apa, Bella?"

Suaranya berubah lembut, dan bukan hanya aku yang menyadari itu. Tapi aku tak peduli. Pikiranku hanya tertuju pada Ibu, pada foto-foto yang kini kuremas dalam genggaman tangan. Aku harus tahu kebenarannya sekarang juga.

Aku menepis tubuh Pak Emir yang berusaha melindungiku, menyambar tas di atas bangku dan berlari secepat kilat keluar dari kelas. Aku tak peduli pada teriakan kaget seisi kelas. Aku tak peduli Helena dan ketiga temannya menyorakiku, aku tak peduli ketika nyaris saja menabrak Revan si ketua OSIS yang baru saja datang dari arah toilet. Kuabaikan dadaku yang nyaris meledak. Dengan motor tua yang setiap hari kugunakan untuk pergi dan pulang sekolah, aku pulang. Aku harus segera bertemu Ibu.

Dia kudapati baru saja bangun dari tidur dan sedang mengaduk kopi. Kuabaikan raut terkejutnya melihatku menerobos pintu depan. Di depan wajah Ibu, di atas meja makan, kuletakkan foto yang sudah tak berbentuk karena kuremas tadi. Aku ingin menjerit, ingin marah, ingin berteriak. Tapi, melihat wajahnya yang lelah, yang keluar dari mulutku justru pertanyaan yang mengandung tangisan.

"Jelaskan padaku, apa yang Ibu lakukan di hotel dengan Papanya Helena."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 50 (ENDING)

    BUKAN SALAH IBU 50 (ENDING)Aku, Ayah dan Ibu nyaris berlari menuju bangsal rumah sakit umum, rumah sakit terdekat dengan rumah tahanan khusus wanita tempat Tante Meira ditahan. Berita itu sepertinya belum masuk televisi dan kami dihubungi langsung oleh pihak rutan karena kamilah keluarga yang tertera di data tahanan.Subuh tadi, terjadi kebakaran hebat di rutan, diduga karena adanya hubungan arus pendek. Kondisi subuh yang dingin, disaat nyaris semua penghuninya sedang lelap di alam mimpi, membuat korban berjatuhan. Salah satunya Tante Meira. Kini, bersama puluhan korban lainnya, Tante Meira telah berada di IGD rumah sakit.Ponselku berulang kali bergetar. Helena terus menelepon, ingin tahu keadaan Mamanya. Susah payah aku membujuknya agar tetap tenang."Aku akan segera pulang, Bella. Mas Abim akan cari tiket. Ya Allah, Bella, tolong, bilang dokter untuk selamatkan Mama. Mama mungkin bukan orang baik, tapi dia orang yang melahirkan aku."Di seberang telepon, Helena menangia tersedu-s

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 49

    BUKAN SALAH IBU 49PoV BELLASuara minyak yang sudah panas terdengar mendesis. Kumasukkan bumbu berupa dua macam bawang, cabai merah, kunyit dan jahe yang sudah diiris halus, menambahkannya dengan daun jeruk, daun salam, serta lengkuas dan sereh yang sudah di geprek. Setelah semuanya layu dan menguarkan aroma harum, kumatikan kompor, dan memindahkan bumbu tadi ke dalam rebusan tulang iga yang sedang menggelegak. Tak lama, aroma harum pindang iga memenuhi dapur, membawaku ke masa setahun yang lalu.Setahun yang lalu, sehari sebelum berangkat ke Samarinda, tempatnya sekarang tinggal, Helena memintaku mengajarinya masak pindang iga. Itu makanan kesukaannya. Dia bisa menghabiskan satu mangkuk penuh jika Ibu memasaknya. Dan karena sejak kecil aku sudah suka membantu Ibu, aku tahu bagaimana cara memasaknya. Meski dulu, kami hanya bisa makan daging seperti itu setahun sekali, saat lebaran idul adha."Syukurlah bumbunya diiris saja, aku nggak bisa ngulek."Helena cekikikan. "Apa gunanya Chop

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 48

    BUKAN SALAH IBU 48Dia pergi, membawa setengah hatiku bersamanya. Sungguh singkat kebersamaan kami. Sembuh dari sakit, lalu menikah. Hari-hari yang kami lalui seakan berlompatan. Tahu-tahu, dia dibawa pergi suaminya. Suaminya. Adikku Helena kini telah menjadi seorang istri. Dia menjelma menjadi istri yang manis dan menyenangkan. Helena yang dulu membully-ku disekolah benar-benar telah mati. Ulat itu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah.(Kami transit di Jakarta. Tiba-tiba saja aku ingin merasakan malam di kota tua. Jadi kami menunda keberangkatan. Untung saja kamu kasih saran untuk nggak pesan tiket langsung ke Kalimantan.)Pesannya masuk kemudian, disusul foto-fotonya berpose di kota tua. Aku tersenyum, dia tampak sangat cantik dengan dandanan ala Nonik Belanda.(Pastikan kau selalu bersama Abimanyu.)(Okey)(Apa kepalamu masih suka sakit?)(Nggak lagi. Aku bahagia. Kakak jangan mengkhawatirkan aku. Sekarang waktunya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri.

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 47

    BUKAN SALAH IBU 47"Helen, aku … ""Aku sayang kakak."Helena tiba-tiba memelukku. Aku terkejut, menyambut tubuhnya dan membalas pelukan itu. Hatiku menghangat oleh rasa haru. Oh, Tuhan, salahkah jika aku ingin dia amnesia selamanya? Biarlah dia melupakan masa lalu. Biarlah dia hanya mengingat aku, Ayah dan Ibu sebagai keluarganya saja. Dosakah aku, Tuhan?"Kakak juga sayang kamu. Ayo masuk, sebentar lagi magrib, nggak baik ada diluar rumah.""Aku masih suka duduk disini.""Kita akan sering duduk disini, asalkan tidak menjelang magrib.""Tapi aku suka kursi ini. Bolehkah kursi ini untukku?"Aku tertegun sejenak. Kursi rotan itu, baru, dibeli Ayah untuk menggantikan kursi kayu yang dulu kugunakan untuk duduk menunggunya. Seperti de javu, apa yang ku katakan pada Helena sekarang adalah, apa yang sering dikatakan Ibu padaku dulu : masuklah, Bels, tak baik diluar menjelang magrib begini."Tentu saja. Tak ada yang boleh duduk disini selain dirimu."Helena tersenyum, dengan manja dia mengge

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 46

    BUKAN SALAH IBU 46Aku terbangun di pagi hari dalam keadaan yang jauh lebih baik. Infus di tanganku rupanya bekerja dengan cepat. Alarm tubuh membangunkanku sesaat setelah azan subuh selesai. Aku melihat Ibu yang sedang salat sendirian dan itu membuatku lega. Semalam, Ibu datang cukup larut, membantuku salat isya dan menyuruhku langsung tidur lagi. "Operasinya sukses, Helena sudah dipindahkan ke ICU. Berdoalah semoga besok dia sadar."Aku termangu. Dari rekaman CCTV di lapangan parkir kampus, Helena ternyata memang sengaja menunggu disana. Dia melihat bagaimana mobil itu nyaris menabrakku dan berlari secepat mungkin, mengorbankan diri dan keselamatannya sendiri. Teman-teman yang menceritakan hal itu. Mereka mendapat informasi dari staff keamanan. Semalaman, aku nyaris tak bisa berhenti menangis membayangkan gadis itu melakukan hal berbahaya agar aku selamat.Seandainya tak ada Helena, maka akulah yang kini berbaring di ruang ICU."Bels? Sudah bangun? Ayo Ibu bantu salat subuh."Aku m

  • BUKAN SALAH IBU   Bab 45

    BUKAN SALAH IBU 45PoV BELLA"Sampai besok, Bels. Jangan lupa, kasih badanmu istirahat. Kamu kelihatan capek banget."Aku melambaikan tangan pada Rena, berterima kasih atas perhatiannya. Dia sahabat baru di kampus. Rasanya menyenangkan sekali punya sahabat setelah menghabiskan masa SMA yang sepi dulu. Sejak pagi, badanku memang terasa tidak nyaman, tenggorokan sakit dan kepala sedikit pusing. Sepertinya aku akan flu berat.Dengan langkah yang kuusahakan agar cepat, aku melangkah menuju mobil. Parkiran kampus ramai sekali. Motor dan mobil sibuk lalu lalang akibat jam pulang yang berbarengan. Aku berjalan sambil menurunkan ransel, merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil. Fokusku sedikit teralih karena kunci itu tak juga kutemukan. Sepertinya aku meletakkannya di kantong sebelah kanan, kenapa nggak ada ya?Tiinnn!"Bella! Bella! Awas!Tiinnn!Aku mendongak, merasakan atmosfer yang berubah seketika. Teriakan panik, pekikan menyebut namaku menggema, lalu suara deru mobil … Aku berbalik,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status