Share

Bab 2

BUKAN SALAH IBU 2

Pak Emir menepati janjinya untuk tidak membawa masalah pembullyanku ke sekolah. Tapi, aku tahu diam-diam dia mengawasiku. Helena sendiri rupanya mendapat teguran keras dari Pak Emir. Dia seringkali menatapku dengan geram, tapi tak berbuat apa-apa. Sesaat, aku merasa aman. Tapi aku tahu, hanya menunggu waktu sebelum Helena melemparkan bom yang lebih besar ke wajahku.

"Biarkan saja, Nak. Tak perlu menjelaskan dirimu pada orang yang membenci. Dia tak akan percaya."

"Tapi, Ibu benar-benar nggak ada hubungan dengan Papanya Helena kan?"

Ibu menggeleng dengan wajah sendu, tapi tak berkata apa-apa. Aku menghela napas dalam-dalam. Seperti yang Ibu minta, aku hanya cukup mempercayainya. Percaya, bahwa dia tak akan pernah membuatku kecewa.

Dulu, aku menghabiskan hari untuk bertanya siapa Ayahku. Dan setiap kali itu juga, Ibu menjawab dengan gelengan kepala dan tetesan air mata. Beranjak dewasa, aku mulai berhenti bertanya. Untuk apa? Pertanyaanku hanya membuat luka di hati Ibu tak kunjung sembuh.

"Sebentar lagi kelulusanmu. Apa kau sudah memutuskan akan kuliah dimana?"

Ibu duduk di kursi makan, menatap meja yang penuh bertebaran buku pelajaran. Aku menutup buku yang masih terbuka dan menyusunnya.

"Sebaiknya, aku kerja saja, Bu. Supaya Ibu bisa berhenti dari club malam."

Raut wajah Ibu berubah seketika.

"Jangan Bella. Kamu harus kuliah. Kalau perlu setinggi mungkin.

"Tapi dari mana biayanya? Aku tak ingin Ibu terus bekerja disana. Sekarang, mungkin Ibu belum tergoda. Tapi, bagaimana nanti?"

Ibu menatapku lekat.

"Jadi kamu nggak percaya Ibu?"

"Aku … "

"Ibu nggak pernah minta apa-apa sama kamu, selain, sekolahlah setinggi mungkin. Jadi orang sukses, hingga tak ada lelaki yang dipaksa meninggalkan dirimu hanya karena kamu miskin."

Suara Ibu bergetar. Aku terdiam, mencoba merangkai makna kalimat Ibu barusan. Apakah pada akhirnya, Ibu akan menceritakan asal-usulku, dari benih siapakah aku berasal?

Ibu mendongakkan wajah, mencegah air matanya turun. Ah, bagaimana mungkin aku tega bertanya lebih lanjut? Mungkin, asal usul diriku akan tetap menjadi misteri.

***

"Teman-teman, adakah yang mau berkenalan dengan anak seorang pela-cur!"

Suara Helena kembali terdengar siang ini. Kelas riuh oleh suara orang bercakap-cakap dan bergurau. Sebabnya tentu saja, guru bidang studi yang harusnya mengajar, izin tak masuk. Sialnya, guru pengganti-pun tak ada. Kami diminta mengerjakan tugas, tapi seperti biasa, hanya separuh siswa yang datang ke sekolah untuk sungguh-sungguh belajar.

Suara Helena yang melengking membuat semua anak menghentikan aktifitasnya. Semua menatap Helana, ingin tahu kelanjutan kalimatnya. Dengan langkah gemulai, Helena beranjak dari singgasananya di pojok belakang kelas, dan berhenti hanya satu langkah di depan kursiku.

"Ini dia anaknya! Isabella. Ibunya menghidupinya dengan uang haram hasil menjual diri. Ku ingatkan, jangan dekat dengannya kalau kalian tak ingin ketularan haram. Tapi, ya nggak heran sih. Dia sendiri anak haram."

Jleb. Kata-katanya menghujam ke dalam dada. Sakit. Aku berdiri, menatap lurus sejajar dengannya. Tinggi kami sama meski dari database kelas, usiaku lebih tua delapan bulan darinya. Tapi tentu saja, Helena tak pernah sendiri. Tiga kacung setianya berdiri dengan sikap waspada, siap menyerang jika sang majikan memberi aba-aba.

"Aku bukan anak haram, Helena. Dan satu lagi, Ibuku bukan pela-cur!" ujarku tenang. Ya, aku harus tenang. Tak akan kubiarkan dia mengobrak abrik hidupku seperti kemarin.

Helena tertawa kencang, para pelayannya mengikuti, sementara kelas hening menantikan drama ini. Helena siswi baru di sekolah ini, tapi dengan uangnya, dia mampu menggaet teman yang luar biasa banyak. Dua hari di rumah sakit, tak satupun teman menjenguk, hanya Pak Emir, yang datang memberikan amplop berisi beberapa lembar uang merah dan sekeranjang buah. Hal itu menunjukkan betapa besar pengaruh Helena di kelas ini.

"Lalu ini apa?"

Helena melemparkan selembar kertas ke dadaku. Kertas itu jatuh ke lantai, tepat di ujung sepatuku, di bawah puluhan pasang mata yang memandang. Aku memungutnya dengan dada berdebar. Sekilas, aku melihat siluet seseorang yang kukenal disana.

Itu Ibu, yang berada diluar nightclub tempatnya bekerja. Ibu berdiri amat dekat, terlalu dekat dengan seorang lelaki yang tak kukenal.

"Dan ini!"

Helena melamparkan selembar lagi foto. Kali ini, wajah Ibu tampak jelas di bawah sinar lampu sebuah lobby hotel. Ibu dengan lelaki yang sama, ada di hotel.

Dadaku bergetar. Wajahku pastilah sudah panas karena malu. Benarkah ini? Ibu ada di hotel bersama seorang lelaki. Lalu apa makna ucapan Ibu yang terus memintaku percaya padanya, padahal dia …

"Dia seorang pela-cur! Entah kau benar-benar tak tahu atau pura-pura tak tahu. Yang jelas, katakan pada Ibumu untuk menjauhi Papaku. Kalau tidak, bukan hanya kau yang akan menderita, Bella!. Akan kubalas kalian!" jerit Helena. Dia kehilangan kontrol dirinya dan berlari maju hendak menjambak rambutku. Aku yang didera rasa terkejut luar biasa, tak mampu mengelak.

Helena menarik rambutku kencang sekali hingga rasanya kulit kepalaku akan lepas dari kepala. Dia bermaksud menjedotkan kepalaku ke tembok. Aku meronta, menendang kakinya hingga dia jatuh dan pegangannya terlepas. Tapi, ketiga bodyguard nya yang berbadan besar itu langsung menggantikan tugasnya menyiksaku.

"Berhenti!"

Sebuah suara muncul di ambang pintu. Orin, salah satu kacung Helena tadi melepaskan jambakannya di rambutku.

"Kalian membuat ulah lagi?!"

Pak Emir berlari menghampiri. Dia masih memakai kaos olahraga dengan titik-titik keringat yang jelas terlihat. Beberapa orang siswa dari kelas lain yang rupanya baru kembali dari lapangan olahraga, mengintip dari balik jendela.

"Sekali ini, saya tak akan diam lagi. Kalian berempat, pergi ke ruang BP!"

Wajah Helena merah padam. Pak Emir menoleh padaku yang masih berusaha meredakan napas yang memburu.

"Kamu nggak apa-apa, Bella?"

Suaranya berubah lembut, dan bukan hanya aku yang menyadari itu. Tapi aku tak peduli. Pikiranku hanya tertuju pada Ibu, pada foto-foto yang kini kuremas dalam genggaman tangan. Aku harus tahu kebenarannya sekarang juga.

Aku menepis tubuh Pak Emir yang berusaha melindungiku, menyambar tas di atas bangku dan berlari secepat kilat keluar dari kelas. Aku tak peduli pada teriakan kaget seisi kelas. Aku tak peduli Helena dan ketiga temannya menyorakiku, aku tak peduli ketika nyaris saja menabrak Revan si ketua OSIS yang baru saja datang dari arah toilet. Kuabaikan dadaku yang nyaris meledak. Dengan motor tua yang setiap hari kugunakan untuk pergi dan pulang sekolah, aku pulang. Aku harus segera bertemu Ibu.

Dia kudapati baru saja bangun dari tidur dan sedang mengaduk kopi. Kuabaikan raut terkejutnya melihatku menerobos pintu depan. Di depan wajah Ibu, di atas meja makan, kuletakkan foto yang sudah tak berbentuk karena kuremas tadi. Aku ingin menjerit, ingin marah, ingin berteriak. Tapi, melihat wajahnya yang lelah, yang keluar dari mulutku justru pertanyaan yang mengandung tangisan.

"Jelaskan padaku, apa yang Ibu lakukan di hotel dengan Papanya Helena."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status