Share

BUKAN SALAH IBU
BUKAN SALAH IBU
Penulis: Yazmin Aisyah

Bab 1

BUKAN SALAH IBU

"Dasar anak pel-acur! Berani-beraninya kamu sekolah disini!"

Sepasang tangan mendorongku dengan keras dari belakang. Aku terjerembab dan jatuh ke lantai sekolah yang menyisakan jejak-jejak tapak sepatu berdebu. Mendongakkan kepala, kudapati Helena dan gerombolannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Aku menelan ludah, berusaha berdiri tapi sepatu putih gadis itu telah mendarat di atas kepalaku.

Sungguh, ini adalah hinaan yang paling menyakitkan. Aku berontak, berusaha berdiri, dan kejap berikutnya, kudorong gadis itu sekuat tenaga, tanganku mencari-cari bagian tubuhnya, apa saja, yang bisa kupakai untuk membalasnya.

"Ibuku bukan pelacur!" teriakku histeris.

Tentu saja aku kalah. Helena dan ketiga temannya memiting tanganku, menyandarkan tubuhku ke dinding. Gadis itu menamparku berulang kali, keras sekali, hingga kurasakan cairan asin menetes dari sudut bibir.

"Ibumu menjual dirinya pada laki-laki! Apa namanya kalau bukan pel-acur?!" teriak Helena di depan wajahku.

"Ibuku bekerja sebagai pelayan di club. Dia tidak menjual tubuhnya."

Cuih!

Sepercik ludah milik Helena mendarat tepat di pipiku. Darahku mendidih oleh amarah yang kian membara. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Kedua teman Helena mencengkram tangan kiri dan kananku, sementara satu orang lagi, meremas daguku kuat-kuat hingga kepalaku bahkan tak bisa bergerak. Sial bagiku, Helena memilih teman-teman bertubuh besar untuk menjadi bodyguardnya.

"Kau tidak tahu, Bella! Setiap malam, Ibumu dibawa pergi lelaki ke hotel. Aku tidak akan peduli seandainya salah satu dari lelaki itu bukan ayahku! Bukan ayahku! Kau dengar?!"

Helena berteriak kuat-kuat. Ada titik bening yang mengembun di sela-sela matanya, bercampur dengan amarah. Untuk terakhir kalinya, dia menendangku kuat-kuat, tepat mengenai perut hingga rasa sakitnya tak terperi. Aku menjerit dengan sisa tenaga. Sebelum kegelapan menyambutku dengan sempurna, kudengar sebuah suara berseru keras!

"Ya Tuhan! Isabella, Helena! Hentikan!"

***

Aku terbangun oleh suara lirih seseorang. Membuka mata dan menghirup napas pertama secara sadar, aroma khas rumah sakit menusuk hidung. Ada selang di hidungku, dan tiang infus yang tersambung ke punggung tangan kiri. Gerakan lemahku membuat seseorang yang sedang menelepon itu, menoleh, menurunkan ponsel dari telinganya dan berdiri menghampiriku.

"Pak Emir?"

"Kamu sudah sadar, Bella? Saya takut sekali karena kamu tak juga bangun."

Pak Emir, guru olahragaku. Aku ingat, suaranyalah yang kudengar terakhir kali sebelum jatuh pingsan.

"Berapa lama saya pingsan, Pak?"

"Sekitar tiga jam. Ini sudah hampir malam."

Malam seperti ini, Ibu tentu sedang bersiap berangkat bekerja. Oh, apakah benar yang dituduhkan Helena tadi siang? Bahwa Ibu bukan hanya bekerja menjadi pelayan, tapi … menjual dirinya?

"Saya menghubungi Ibumu, beliau katanya akan segera datang."

Tidak! Jangan sampai Pak Emir bertemu Ibu. Bagaimana kalau tuduhan Helena benar dan ternyata semua orang tahu hal yang sebenarnya tentang Ibu?

"Kenapa teman-temanmu melakukan hal ini?"

"Mereka bukan teman saya," ucapku getir. Ya, mana mungkin ada teman seperti itu?

"Saya akan melaporkan kasus bullying yang kamu alami ke pihak sekolah. Kalau kamu sudah membaik, kepala sekolah akan mempertemukan kamu dan Ibumu, dengan keempat temanmu beserta orang tuanya masing-masing."

Mataku seketika membola. Tanpa peduli apapun, kucabut dengan kasar selang oksigen itu dan duduk di atas pembaringan, tak peduli perutku langsung mual dan kepala pusing akibat bergerak secara mendadak.

"Jangan, Pak. Tidak perlu sampai ke sekolah. Saya akan menyelesaikan ini sendiri."

Pak Emir menatapku lama sekali.

"Cerita sama Bapak, Bella. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Suaranya lembut sekali. Sesaat, aku tertegun menatap lelaki itu. Pak Emir, guru olahraga yang tampan, idola para gadis di sekolahku. Dia belum menikah. Konon, usianya baru dua puluh empat tahun.

Aku membuang pandang, meredam getaran yang tiba-tiba muncul di dada.

"Terima kasih Bapak sudah menolong saya. Tapi, saya mohon beri kesempatan saya dan Ibu menyelesaikannya sendiri."

Bagaimana mungkin aku membiarkan seluruh sekolah tahu profesi Ibu?

Pak Emir pamit pulang ketika malam telah larut dan Ibu tak kunjung datang. Tak mungkin baginya menemaniku, berduaan saja di kamar kelas satu ini. Kamar kelas satu! Astaga, bagaimana cara Ibu membayarnya nanti?

Aku panik, mencoba menghubungi Ibu dengan smartphone murah yang Ibu beli untukku sekedar agar bisa berkomunikasi, tapi hingga aku lelah dan putus asa, beliau tak juga mengangkat teleponku. Selama ini aku tak pernah menelepon jika Ibu bekerja karena beliau melarang. Namun, kata-kata Helena tadi kembali terngiang. Kata-kata yang diucapkannya sambil menangis.

Benarkah Ibu seorang pel-acur? Benarkah Ibu menjual diri, bukan sekedar menjadi pelayan? Dan benarkah, bahwa Papanya Helena tidur dengan Ibu?

***

Pagi-pagi sekali, Ibu datang. Wajahnya yang cantik tampak sangat lelah.

"Kenapa Ibu nggak angkat teleponku?"

Ibu menoleh sejenak, memberi jeda pada kegiatannya membuka kotak styrofoam yang beraroma bubur ayam.

"Ibu kerja, Nak."

"Apakah pekerjaan Ibu lebih penting dari aku? Bagaimana kalau aku mati saat Ibu lagi kerja?"

Ibu tampak sangat terkejut. Dia benar-benar berhenti menyajikan makanan di atas meja.

"Bella, jangan bilang seperti itu. Ibu melakukan ini untukmu."

Mataku terasa panas. Air mata yang berusaha keras menerobos pertahananku sejak semalam, kini mendesak keluar.

"Apa benar Ibu bukan hanya menjadi pelayan di club? Apa benar Ibu menjual diri?"

Kini, Ibu sempurna terkejut.

"Siapa yang bilang begitu?"

Bibir dan suaranya bergetar. Dipandanginya wajahku yang kini basah air mata. Peristiwa kemarin, dan ketidakhadiran Ibu semalam cukup menjadi alasanku menangis. Hatiku nelangsa dan perih tak terhingga. Semalam, aku berharap dia datang, berharap tidur dalam pelukannya setelah menjalani hari yang berat.

"Apa benar, Ibu tidur dengan Ayahnya temanku?"

Pertanyaan terakhir itu akhirnya lolos juga. Ibu seperti kehilangan kemampuannya bernapas dalam waktu beberapa detik lamanya. Dan tiba-tiba saja, Ibu merengkuh kepalaku, tenggelam dalam pelukannya.

"Anakku, tolong jangan berkata seperti itu. Jangan bertanya dan jangan dengarkan orang lain. Bisakah kau hanya percaya pada Ibu saja?"

Suaranya bergetar dan mengandung tangis. Tanpa kuminta, bagai sebuah slide film, hidup kami yang entah selama ini membayang di mataku. Sosok Ayah yang tak pernah ada, membuat Ibu harus bekerja keras membesarkan aku seorang diri. Segala pekerjaan telah Ibu lakoni. Berdagang sarapan, menjadi buruh cuci gosok, hingga menjadi pelayan di kios buah. Disanalah Ibu bertemu dengan teman lamanya yang kemudian mengajaknya bekerja di club malam. Hanya sebagai pelayan, janji Ibu padaku waktu itu.

"Bisakah kau tak menanyakan hal itu lagi, Bella? Percaya sama Ibu. Tolong, Nak. Apa artinya hidup Ibu jika satu-satunya alasan Ibu bertahan sejauh ini, justru meragukan Ibu?"

Aku tergugu, melepaskan diri dari pelukannya. Kutatap wajahnya yang sendu, dengan dua garis air mata menganak sungai. Di matanya itu, terbayang kepahitan hidup yang telah sama-sama kami lalui. Pada wajahnya yang sendu, terpeta rasa cintanya yang luar biasa padaku. Bagaimana mungkin aku meragukan dirinya?

Bukan seberat ini beban yang seharusnya ada di pundak Ibu. Ini bukan salah Ibu.

"Ibu, maafkan aku, Ibu."

Kami bertangisan, di subuh yang dingin diiringi suara gerimis yang menelusup masuk lewat jendela. Seharusnya, semua tidak seperti ini. Seharusnya, Ibu tak perlu bersusah payah seperti ini. Jika saja lelaki yang menyebabkan diriku hadir ke dunia, tak meninggalkan kami.

Jika saja, lelaki yang katanya mencintai Ibu, bisa dipercaya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status