Share

Bab 3

BUKAN SALAH IBU 3

Dengan tangan gemetar, Ibu meraih foto itu. Kulihat beliau meneguk ludah dengan susah payah, seakan-akan, ada segumpal batu besar menyumbat di kerongkongannya.

"Itu Papanya Helena," desisku.

"Jadi, ini Ayahnya temanmu, yang membuat kamu terluka waktu itu?"

Aku mengangguk.

"Jadi, benar? Ibu tidur dengan Papanya Helena?"

Rasa kecewa membuat suaraku bergetar. Aku ingin menangis, tapi juga ingin marah. Ibu telah membohongiku selama ini. Bagaimana mungkin aku masih punya muka untuk datang ke sekolah? Seisi kelas tahu, seluruh sekolah akan segera tahu, bahwa Ibuku, Ibu dari Isabella, si juara umum sekolah, adalah seorang pela-cur. Sungguh tak ada artinya semua prestasi yang kutorehkan. Semua terhapus oleh aib yang Ibu corengkan di jidatku.

Tapi, Tiba-tiba Ibu tersenyum, meski tampak getir.

"Jadi, kamu nggak percaya sama Ibu, Bella?"

Aku menatap Ibu tak mengerti. Bagaimana aku harus percaya jika bukti ini amat meyakinkan?

"Ibu memang pergi ke hotel itu dan bertemu Mas Wisnu, Papanya Helena. Tapi, Ibu sama sekali tidak menjual diri, Nak. Mas Wisnu adalah teman Ibu, teman sekolah, makanya kami ngobrol sebentar disana. Tolong percaya sama Ibu."

Aku menatap Ibu lekat-lekat, berusaha mencerna semua kata-katanya.

"Apa yang Ibu lakukan di hotel?"

"Ibu, bermaksud mencari pekerjaan lain. Maaf, anakku, Ibu tidak cerita sebelumnya. Tapi, jika Helena bertanya, katakan saja, Ibu dan Papanya tak sengaja bertemu."

Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata Ibu.

"Ibu sungguh-sungguh nggak ada apa-apa sama Papanya Helena kan?"

Ibu menggelengkan kepala.

"Ibu masih punya iman, masih mengerjakan salat dan ingat Tuhan meski sering kali Ibu malu karena bekerja di tempat itu."

"Ibu nggak bohong?"

"Isabella, buat apa Ibu bohong? Kalau kamu nggak nyaman sekolah disana …

"Nggak, Bu. Aku nggak mungkin pindah sekolah. Hanya beberapa bulan lagi sebelum kelulusan."

"Tapi, Helena akan terus mengganggumu."

"Kalau apa yang Ibu katakan benar, aku punya kekuatan untuk melawannya."

Ibu berdiri, memutari meja makan dan kejap berikutnya, memelukku erat-erat.

"Bella, Ibu hanya punya dirimu. Ibu akan lakukan apa saja untuk membuatmu menjadi orang besar dan dihormati orang lain. Tapi Ibu tak akan membuatmu malu, Nak. Percaya sama Ibu."

Di dalam pelukannya yang hangat, aku menemukan kedamaian. Jika ada pertanyaan, siapakah wanita terhebat di dunia ini, maka, jawabannya adalah Ibu. Ibu. Ibu.

***

"Ternyata, kamu memang nggak punya malu ya? Masih juga berani masuk sekolah."

Helena menjegatku di lorong menuju toilet. Hari masih pagi. Aku ke toilet untuk mencuci tangan setelah selesai menyapu kelas pagi ini. Seperti biasa saat jadwal piket tiba, aku selalu datang lebih awal. Berdua Niar, yang juga piket hari ini, kami bahu membahu membuat kelas terasa nyaman sebelum pelajaran dimulai.

"Kenapa aku harus malu? Helena, sebaiknya tanya Papamu baik-baik, apa yang dia lakukan. Yang jelas, Ibuku dan Papamu tidak sengaja bertemu."

"Tak sengaja bertemu di hotel?"

Helena tertawa sinis, tangannya dengan cepat mencengkram bahuku, "Bohong!"

Aku menarik tubuhku hingga cengkeramannya terlepas.

"Terserah kau mau percaya atau tidak. Sebaiknya, kau tanya Papamu. Dan oh ya, tolong jangan ganggu aku lagi. Sebentar lagi, kita akan lulus dan mungkin tak akan bertemu."

Aku melangkah dengan cepat, namun tiba-tiba saja, Helena menjegal kakiku. Nyaris saja aku terjerembab seandainya tak ada sepasang tangan menahan tubuhku. Sepasang tangan miliki seseorang yang baru saja keluar dari toilet lelaki.

"Hey, apa yang kalian berdua lakukan disini?!" seru Revan, si pemilik tangan.

Aku terdiam sejenak, berusaha meredakan debaran di dada. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku kembali berlari menuju kelas. Kuhenyakkan pan-tat di atas kursi sambil menata jantungku yang berdebar keras akibat berlari. Kelas dan sekolahan ini, terasa seperti neraka bagiku, tapi, aku akan tetap bertahan. Tak akan kubiarkan mereka menghancurkan cita-citaku. Cita-cita Ibu.

***

Bel panjang berbunyi nyaring, pertanda waktu pulang telah tiba. Kubereskan semua buku yang berserakan dan mengunci resleting tas.

"Kamu nggak apa-apa, Bella?"

Eh?

Aku terkejut, menoleh pada Niar yang duduk di sebelahku. Hanya dia satu-satunya teman yang agak dekat denganku. Sayangnya, Niar tak pernah punya nyali. Dia akan langsung menghindariku setiap kali melihat Helena datang. Sebesar itulah pengaruh Helena di kelas ini.

"Aku nggak apa-apa."

"Maaf," bisiknya.

Aku menoleh lagi, "Maaf untuk apa?"

Kelas mulai lengang, satu persatu murid telah meninggalkan ruangan. Dari sudut mata aku melihat Helena keluar sendirian. Ketiga bodyguard nya mengikuti dari belakang, menjaga jarak. Sepertinya gadis itu sedang terburu-buru hingga tak punya waktu mengusiliku.

"Maaf karena selama ini aku tak pernah membantumu. Jujur saja, waktu itu aku melihat kamu dipukuli. Aku sedih dan marah karena tak bisa berbuat apa-apa. Ayahku bekerja di kantor Papanya Helena. Kalau dia sampai tahu … "

Aku tersenyum dan menepuk bahunya.

"Nggak apa-apa, Niar. Aku ngerti kok. Kamu ngomong kayak gini aja, aku udah seneng. Lagipula, nggak ada yang bisa melindungi diri kita selain kita sendiri."

Niar terdiam. Aku berdiri dan menyandang tas di bahu. Kami berjalan beriringan tanpa bicara apa-apa lagi, tapi disini, di dalam dada, ada yang hangat menjalar dalam hati.

Kami tiba di parkiran khusus siswa. Mobil-mobil mewah milik siswa kaya sudah tak ada. Hanya tersisa beberapa sepeda motor, salah satunya motorku. Kendaraan Niar sendiri adalah motor matic seri terbaru yang cantik. Sebuah keajaiban tersendiri aku bisa sekolah di sini. Kalau bukan dengan belajar mati-matian agar beasiswaku tetap di tangan, mungkin aku sudah didepak dari sekolah elit ini.

"Aku duluan ya, Bella. Emm … setelah kupikir-pikir, sepertinya, aku ingin bersahabat denganmu lebih dari kemarin. Aku sering memperhatikanmu diam-diam. Kamu hebat."

Aku tertawa kecil. Kami saling melambaikan tangan saat motornya lebih dulu maju menuju gerbang sekolah yang terbuka lebar. Aku memakai helm dan segera melaju. Beruntung, motor tua ini masih berfungsi dengan baik.

Dan di depan gerbang, aku melihatnya. Sosok seorang lelaki setengah baya yang tengah bicara pada satpam. Ada Helena di sebelahnya, menunggu dengan raut wajah masam seperti biasa. Helena lalu naik ke sebuah mobil putih berkilat yang masih tampak mulus dan lelaki itu memutari mobil menuju pintu pengemudi. Sejenak, seperti tahu kuperhatikan, lelaki itu menoleh dan tatapan mata kami bertemu. Matanya yang kecoklatan itu menghujamku. Hanya sesaat sebelum dia memalingkan wajah dan naik ke mobil.

Apa yang kurasakan ini?

Sebuah perasaan asing. Perasaan, seolah-olah aku telah mengenalnya sangat lama.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status