Pagi-pagi sekali Mas Dimas sudah pergi. Sejak cekcok soal gaji tempo hari, mungkin dia memang cari pekerjaan sampingan. Iya, sepertinya begitu sebab dia berangkat ke kantor selalu awal dan pulang selalu telat.
Pov : Dimas Dimas. Sesingkat itu nama yang diberikan kedua emak dan bapak untukku. Sesingkat kurasakan dekapan dan cinta kasih mereka. Tak sampai delapan tahun kurasakan hangat mesra kasih mereka, mereka sudah pergi ke hadapanNya. Saat usiaku tujuh tahun, bapak meninggalkanku dan emak pergi selamanya ke hadapan Illahi. Sejak saat itu pula emak sering sakit-sakitan, hingga menyusul bapak enam bulan kemudian. Begitulah ... belum genap delapan tahun aku sudah yatim piatu. Berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Membantu tetangga membenarkan genting rumah, menyapu halaman, mengangkat dagangan, kuli panggul, membersihkan kebun, mencangkul dan sebagainya sudah pernah kulakukan dulu, pasca sepulang sekolah. Sedih sekali jika membayangkan kembali kejadian beberapa tahun silam. Di saat teman-teman masih asyik dengan dunia bermainnya, aku harus sudah sibuk dengan dunia yang seharusnya kulalui setelah dewasa. Tapi sudahlah. Aku percaya jalan takdirku ini memang yang terbaik. Seper
Pov : Dimas Ponsel di atas meja kerja berdering begitu nyaring sejak beberapa menit lalu. Rasanya malas untuk sekadar melihat layarnya. Sudah pasti Rahayu, siapa lagi yang sibuk menerorku sepagi ini kalau bukan dia. Makin lama dibiarkan bukannya berhenti, justru semakin membuat polusi telinga. Terpaksa, mau tak mau aku harus mengangkatnya juga. Kalau tidak, dia tak akan pernah berhenti meneror. Kadang aku nggak habis pikir, berapa pun uang yang kukirim tiap bulan untuk Ayu pasti habis tak bersisa. Kupikir buat tabungan namun ternyata buat membeli barang-barang branded yang sekadar dijadikan pajangan semata. Diupload di sosial medianya agar dipandang wah oleh orang lain. Transfer banyak atau pun sedikit, tak ada bedanya sama sekali. Dia juga bakal minta jatah lagi dan lagi. Bahkan 15 juta yang kuberi seringkali habis belum pada waktunya. Tiap akhir bulan dia minta lagi sekian juta untuk sekadar makan bersama teman atau beli susu buat anak. Padahal sudah kuminta dia kasih A
Pov : Niken Rahayu (Ayu) Aku adalah anak tunggal. Bapak sudah pergi semenjak aku sekolah dasar. Aku dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja serabutan sebagai buruh cuci di rumah-rumah orang. Selain bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, ibu juga harus membayar hutang-hutang bapak yang dia tinggalkan. Sedih, kecewa dan kesal mungkin ibu rasakan, tapi apa mau dikata. Hutang tetap harus dibayar sebab tanggungjawabnya sampai akhirat. Ibu jelas nggak ingin bapak sengsara karena hutangnya di dunia belum terselesaikan. Sekalipun bapak tak pernah mempedulikan ibu, tapi ibu tetap dan mencintai dan menghormatinya sebagai suami. Ibu paham bagaimana kodrat seorang istri. Selama ini, kami hidup di bawah garis kemiskinan bukan karena ibu malas bekerja atau karena aku foya-foya, namun memang karena bapak kurang bertanggung jawab atas keluarga. Bahkan saat pergi pun harus menyisakan hutang puluhan juta yang ibu sendiri tak paham, uang-uang itu digunakan untuk apa. Bapak selal
Pov : Lisha Weekend. Hari ini aku ingin ke rumah papa. Sudah cukup lama aku tak menengoknya. Selain melepas rindu, aku juga ingin menenangkan pikiran. Sepertinya aku harus belajar mengontrol emosi karena boleh jadi mulai hari ini banyak masalah yang harus aku hadapi. Semua berawal dari Mas Dimas yang akan mengajak perempuan itu ke Jakarta. "Lisha ... besok Ayu sama anaknya datang ke sini. Kamu nggak apa-apa, kan? Kasihan dia jarang ketemu suaminya. Mungkin di rumah kesepian, makanya mau ke kota sekadar cari hiburan," ucap mas Dimas kemarin sore, saat aku duduk di gazebo belakang sembari membaca novel online. Aku memang tetap bersandiwara seperti biasanya. Pura-pura tak tahu dan tak kenal siapa Rahayu sebenarnya."Kamu bilang sekadar cari hiburan, Mas? Memangnya kamu pikir rumah ini tempat wisata? Lagipula di kampung bukannya ada ibunya? Kesepian gimana sih?" tanyaku sekenanya. Tak menoleh sedikit pun ke arah Mas Dimas sampai dia ikut duduk di sampingku lalu mencomot pi
Rencana pertama mengusir perempuan itu dari rumah ini berhasil. Mas Dimas benar-benar mengontrakkan Ayu di rumah Pak Burhan. Rumah di seberang jalan yang letaknya tepat di depan rumahku. Rumah itu adalah rumah Pak Burhan yang stroke pasca ditinggal pergi istrinya menghadap Illahi, hingga akhirnya dia memilih pindah ke Semarang untuk tinggal bersama anak sulungnya, sedangkan rumah ini di kontrakkan. Meski aku secara halus mengusir dia dari rumah ini, namun aku tak lantas mengacuhkannya sebagai tamu. Aku tetap meminta Bik Minah untuk melayani dan mempersiapkan kebutuhan makannya. Aku pun tahu bagaimana caranya memuliakan tamu, hanya saja aku memang kurang nyaman jika dia serumah denganku. Kalau soal shopping itu urusannya pribadi, aku tak mau tahu. "Sha, pinjam uangnya dulu lah buat ngontrakin Ayu tiga bulan. Ini cuma ada buat ngontrak dia sebulan," ucap mas Dimas pagi tadi. Enak banget main pinjam-pinjam segala. Selama ini juga dia bebas menggunakan uangnya, salah sendiri nggak
"Sha, kenapa kamu nggak latihan berjalan? Akhir-akhir ini kulihat kamu kok malas-malasan, ya? Biasanya kamu semangat banget kalau diminta latihan jalan," ucap Mas Dimas tiba-tiba datang dan duduk di kursi depan meja kerjaku, saat aku masih sibuk memeriksa laporan keuangan. Aku mendongak sekilas, menatap wajahnya yang tenang. Benar-benar lihai sekali dia bersandiwara. Selalu merasa baik-baik saja seolah tak ada masalah serius yang dia lakukan. Masalah yang perlu dikhawatirkan jika tiba-tiba terbongkar. "Nggah ah, Mas. Kapan-kapan saja latihannya, lagipula sudah pakai kruk juga, kan? Kalau di kantor juga duduk manis," balasku sekenanya. "Kamu nggak capek seharian kerja? Jangan terlalu diforsir lah, Sha. Ingat pesan papa, kamu harus banyak istirahat. Kamu juga harus banyak latihan jalan supaya otot-ototnya nggak kaku," ucapnya lagi. "Iya sih, Mas. Hari ini rencananya aku juga mau pulang lebih awal, mau ke rumah papa." Mas Dimas seketika tersenyum. Aku curiga dia akan berbuat sesua
Bakda ashar kupacu mobil menuju rumah papa yang tak terlalu jauh dari rumahku, sekitar 15 menitan untuk sampai ke sana. Kulihat mobil dokter Akbar terparkir di garasi. Akhir-akhir ini dia memang sering mengontrol kesehatan papa, kadang sekadar ngobrol atau cerita panjang lebar agar papa tak jenuh saat tak berkunjung ke rumahnya. Mereka menoleh ke arah mobilku saat aku mulai memasuki garasi, memarkir mobil bersebelahan dengan mobil Sang Dokter. Dua laki-laki beda usia itu pun menoleh seketika. Gegas kubuka pintu lalu mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum. Oh ada Dokter Akbar juga, ya," ucapku mengawali pembicaraan. "W*'alaikumsalam. Tumben ke sini nggak kasih papa kabar dulu, Sha. Ada apa?" tanya papa dengan wajah berbinar. Entah kebahagiaan apa yang menyelimuti hatinya detik ini. Aku merasakan aura berbeda di wajahnya yang menua. "Iya, pa. Kasih kejutan aja buat papa," balasku singkat. Kulihat papa tersenyum kecil sembari melirik Dokter Akbar. "Ohya Dokt
Jarum jam sudah menunjuk angka delapan malam. Sejak papa sampai di rumah sakit, Dokter Akbar yang membantu mengurus keperluannya. Dia begitu pengertian karena memang aku tak bisa ke sana-sini dengan cepat. Kakiku masih menggunakan kruk sementara Mas Dimas belum tahu kalau aku dan papa berada di rumah sakit. Aku sengaja belum mengabarinya. Bukan tanpa alasan tapi aku ingin melihat dan mendengar jawaban papa. Aku ingin tahu apa solusi atau pun nasehat yang akan diberikan papa untuk masalah ini. Segera berpisah atau justru membiarkanku bersandiwara untuk membuat mereka jera. |Mas, Si Lisha nggak ada di rumah, kan, sekarang? Makan di luar yuk| Tak sengaja aku membuka pesan dari Ayu yang masuk ke ponsel Mas Dimas. Begini enaknya menyadap ponsel pasangan, dia tak akan bisa mengelak lagi saat nanti aku beberkan semuanya di persidangan. |Dapat duit dari mana, Sayang? Di Atm ludes sekarang, bagi hasil dari bisnis properti yang kuceritakan waktu itu juga belum datang. Entah mengapa bisa te