Share

Bab 7 Kembali Ngantor

Pagi-pagi sekali Mas Dimas sudah pergi. Sejak cekcok soal gaji tempo hari, mungkin dia memang cari pekerjaan sampingan. Iya, sepertinya begitu sebab dia berangkat ke kantor selalu awal dan pulang selalu telat.

Sepertinya dia sengaja membuatku kesal karena keterlambatannya. Tapi aku tak peduli. Rasa khawatir yang dulu selalu bersemayam dalam hati itu benar-benar sudah mulai mati.

Dulu aku selalu menanyakan keadaan dan keberadaannya tiap kali pulang telat, sibuk mempersiapkan makan malam dan air hangat. 

Sekarang? Semua kubiarkan berjalan sesukanya. Sekali dua kali kuminta dia agar bisa mengatur waktu namun sia-sia. Justru hanya ada percekcokan lagi dan lagi, mengungkit masalah gaji itu kembali, hingga akhirnya aku seperti detik ini. Tak peduli.

 

Pulang atau menginap, rasanya bukan urusanku lagi. Kalau tak mengingat kesehatan papa, sudah aku gugat cerai dia jauh-jauh hari.

Sayangnya papa begitu mempercayainya dan tak mungkin percaya begitu saja dengan apa yang kukatakan jika tak ada buktinya. Aku akan mengumpulkan banyak bukti dulu.

Lagipula saat ini kesehatan papa buruk. Aku tak mau terjadi sesuatu padanya jika mendengar kabar ini.

Papa segalanya bagiku. Hanya dia yang kumiliki, jadi sebisa mungkin aku harus tetap berpura-pura baik-baik saja di depan Mas Dimas.

 

Beruntung rumahku dengan papa berjarak lumayan jauh, sekitar sepuluh menit menggunakan motor, jadi papa tak terlalu curiga kalau aku dan Mas Dimas sudah jarang bersama. 

 

|Lisha, kamu datang ke rumah, ya? Papa kangen. Sekalian papa mau dengerin cerita kamu soal perkembangan kaki kamu, Sha| 

 

Sebuah pesan dari papa muncul di layar ponselku yang tergeletak di atas meja. Aku tersenyum tipis membaca pesan darinya. 

 

Hampir dua minggu aku memang nggak ke rumah papa, sibuk dengan kakiku yang Alhamdulillah sudah mulai normal sekarang.

 

Setahun lebih berteman dengan kursi roda dan kruk membuatku cukup capek. Sekarang semua sudah membaik, aku bisa berjalan seperti orang normal lainnya. 

 

|Kamu sama Dimas baik-baik saja, kan, Sha? Entah mengapa akhir-akhir ini  sering memimpikan kalian berdua. Papa harap kalian selalu bahagia|

 

Pesan kedua papa membuat hatiku kembali nyeri. 

'Ah papa, menantu kesayangan papa itu tak sebaik yang papa kira. Dia munafik, penuh dusta dan sandiwara. Aku muak hidup dengannya, pa.'

 

Air mata ini kembali menetes ke pipi. Perih itu kembali hadir menyesaki hati. Ternyata begini rasanya dikhianati dan dibohongi oleh orang yang begitu kita cintai.

 

Rasanya tak ingin percaya namun apa boleh dikata jika memang itulah yang terjadi. Istighfar. Hanya itu yang bisa kulakukan tiap kali mengingat pengkhianatannya.

 

Berharap hati lebih tenang dan tak membuatnya curiga. Perjalanan ini masih panjang untuk membuatnya jera.

 

Jangan sampai ada korban lain selain aku nantinya. Cukup aku saja yang merasakan perih ini, jangan dia atau mereka. 

 

|Pa, papa jangan memikirkan itu, ya? Sekarang papa fokus sama kesehatan papa saja. Lisha nggak ingin papa kembali sakit. Nanti sore, sepulang dari kantor InsyaAllah Lisha ke rumah papa| 

 

Pesan terkirim. Sepertinya papa sudah membaca pesan yang kukirimkan dan kini dia mulai mengetik balasan. 

 

|Kamu ke kantor, Sha? Mau ngapain? Bukannya kata dokter kamu harus banyak istirahat supaya kakimu lekas pulih?| 

 

Aku tersenyum kecil membaca pesan yang dikirimkan papa. Sebenarnya ingin sekali kukatakan padanya, jika kini kakiku sudah normal. Meski tetap saja aku harus bisa mengatur waktu saat berjalan dan istirahat, tapi setidaknya aku sudah bisa seperti orang lain yang bisa berjalan sempurna tanpa alat bantu apa pun jua.

Ingin sekali kulihat senyum bahagia papa melihat kesembuhan kakiku, tapi terpaksa aku harus tetap bersandiwara.

 

Tak mungkin aku jujur pada papa sekarang. Semua rencanaku bisa berantakan karena papa pasti akan menceritakan kabar bahagia ini dengan menantunya. 

 

Sandiwara. Ya ... aku harus melakukannya demi rencana yang sudah kususun sedemikian rupa.

 

Seperti detik ini, duduk di kursi kebesaran menggantikan papa sebagai direktur utama dengan kruk di sampingku. 

 

Jarum jam hampir menunjuk angka sepuluh, namun Mas Dimas belum juga sampai di kantor.

 

Padahal sejak pagi buta dia sudah pergi dari rumah dengan  memakai seragam kantor rapi yang sudah kupersiapkan di kamar.

 

Entah ke mana dia pergi, aku juga malas untuk sekadar menanyakannya lewat pesan.

Biar saja dia kaget saat melihatku sudah duduk di kursi ini.

 

Kursi yang tak berpenghuni semenjak papa sakit lima bulan belakangan. Aku yakin sering kali Mas Dimas juga duduk di sini, seolah memiliki kuasa penuh atas perusahaan. Begitulah cerita dari Fina yang baru kutahu pagi tadi. 

 

Bahkan aku sangat shock karena mas Dimas dengan sengaja memakai uang perusahaan puluhan juta untuk kesenangannya sendiri.

 

Korupsi yang sudah dia anggap biasa. Mungkin merasa jika perusahaan papa akan jatuh ketanganku yang tak lain ke tangannya juga. 

 

Benalu memang tak pernah punya malu! Geram sekali rasanya jika menceritakan tentang Mas Dimas.

 

Ingin rasanya memaki, namun aku masih takut dosa dan aku juga tahu kodratku sebagai istri. 

 

|Sha, kamu kenapa ke kantor segala? Bukannya Dimas sudah bisa menghandle semuanya?| 

 

Pesan papa kembali masuk ke aplikasi hijauku. Mau tak mau aku harus membalas pesannya karena takut membuat papa curiga atau penasaran. Aku tak ingin papa banyak pikiran.   

|Lisha capek di rumah terus, pa. Mulai sekarang Lisha akan menggantikan posisi papa di kantor untuk sementara. Lisha ingin membantu mas Dimas, pa. Kasihan dia kan kalau kerja sendirian, lagipula Lisha merasa baik-baik saja. Justru semakin semangat latihan berjalan karena mendapat support karyawan kantor| 

Alasan yang cukup masuk akal bagiku. Setidaknya aku tak membuat papa curiga dan bertanya-tanya. 

 

'Sabar ya, Pa. Aku pasti bisa membuat menantu papa itu menyesal sudah mengkhianati kepercayaan yang kita berikan.

 

Sudah beruntung papa mengangkat dia dari bawah hingga mendudukkannya ke atas, bukannya berterima kasih justru menusuk papa diam-diam. Benar-benar tak punya hati. 

Kupikir dulu dia sosok laki-laki yang lembut, baik hati da tahu artinya balas budi, namun kini baru kusadar jika dia hanya benalu yang pandai menggerogoti induknya tanpa peduli apa yang sudah dilakukannya.' 

 

Telepon paralel kantor berdering. Fina yang berada di seberang, entah apa yang akan diberitahukannya padaku. 

 

"Mbak Lisha, pak Dimas sudah datang. Apa saya kasih tahu saja kalau sekarang mbak Lisha yang menggantikan posisi Pak Agung sebagai direktur utama?" 

 

"Nggak perlu, Fin. Biar dia lihat sendiri kalau sekarang aku yang duduk di kursi ini. Aku ingin lihat ekspresi keterkejutannya nanti." 

 

"Baiklah kalau begitu, Mbak. Selamat berbahagia dan bersandiwara. Saya selalu mendukung mbak Lisha. Kalau ada perlu apa-apa, hubungi saya saja ya, Mbak. Barangkali bisa membantu."

Kuucap terima kasih pada Fina yang sudah menceritakan semua kejanggalan Mas Dimas di kantor ini. Meski sebagian besar dia tahu apa masalahku dengan Mas Dimas saat ini, namun aku masih berusaha menutupi sebagian masalah yang sebenarnya. Rasanya tak elok jika kubongkar semua aib keluarga padanya. 

 

Kreeekkkkk pintu terbuka sebagian. Sosok berkemeja biru muda dengan dasi biru tua itu pun muncul di baliknya. Aku tersenyum semanis mungkin saat melihatnya masuk ke dalam ruanganku. 

"Lisha! Kenapa kamu ada di sini?" Ekspresi terkejut yang benar-benar membuatku tersenyum lebar. 

'Bagaimana, Mas? Kaget, bukan? Teruskan saja kekagetanmu karena mulai sekarang tak akan kubiarkan kamu mengambil uang perusahaan sepeser pun karena itu semua bukan hakmu!' 

*** 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
nah gitu Lisha kmu hrs selamat kn perusahaan mu dr benalu2 itu dn k.u bikin laporan yg Dimas pake uang tuk d kitim k istti tua nya dn kmu bikin itu Dimas korupsi uang kantor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status