Home / Rumah Tangga / BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM / Bab 8 Dimas : Teringat Masa Silam

Share

Bab 8 Dimas : Teringat Masa Silam

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2022-06-16 13:56:59

Pov : Dimas

Dimas. Sesingkat itu nama yang diberikan kedua emak dan bapak untukku. Sesingkat kurasakan dekapan dan cinta kasih mereka. Tak sampai delapan tahun kurasakan hangat mesra kasih mereka, mereka sudah pergi ke hadapanNya.

Saat usiaku tujuh tahun, bapak meninggalkanku dan emak pergi selamanya ke hadapan Illahi. Sejak saat itu pula emak sering sakit-sakitan, hingga menyusul bapak enam bulan kemudian. 

Begitulah ... belum genap delapan tahun aku sudah yatim piatu. Berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Membantu tetangga membenarkan genting rumah, menyapu halaman, mengangkat dagangan, kuli panggul, membersihkan kebun, mencangkul dan sebagainya sudah pernah kulakukan dulu, pasca sepulang sekolah.

Sedih sekali jika membayangkan kembali kejadian beberapa tahun silam. Di saat teman-teman masih asyik dengan dunia bermainnya, aku harus sudah sibuk dengan dunia yang seharusnya kulalui setelah dewasa. Tapi sudahlah. Aku percaya jalan takdirku ini memang yang terbaik.

 

Seperti saat aku bertemu dengan Ayu. Niken Rahayu namanya. Perempuan manis yang membuatku jatuh cinta. Apalagi ibunya begitu baik dan banyak membantuku di setiap hal, bahkan saat aku kekurangan biaya untuk melunasi tunggakan SPP di sekolah menengah atas, ibu juga yang melunasi semuanya. 

 

Kebaikan ibu dan Ayu benar-benar membuatku terpesona. Aku sangat berhutang budi pada mereka. Yang pasti, jasa ibu dan Ayu sangat banyak dan berarti untuk hidupku. Mungkin karena itu pula semakin membuatku mencintai Ayu dan berjanji untuk membuatnya bahagia. 

"Kalau kamu mau menikahi Ayu boleh saja, Dim. Tapi ibu nggak mau punya menantu kerja serabutan yang nggak jelas begitu," ucap ibu Ayu yang kupanggil ibu juga kala itu. 

 

"Kamu harus jadi orang kaya dan berpendidikan, baru boleh melamar Ayu. Kamu tahu sendiri kalau Ayu mau dilamar anak pak Ahmad yang sarjana itu tapi Ayu menolak karena lebih memilih kamu, kan? Karena itulah, ibu harap kamu juga lebih bersemangat untuk maju. Lamar Ayu kalau kamu sudah sukses ya, Dim," ucap ibu lagi. 

Aku hanya mengangguk pelan namun ucapan ibu kala itu terus terngiang di benakku. 

 

"Lamar Ayu kalau kamu sudah sukses ya, Dim!" 

Berulang kali ucapan ibu terdengar jelas di telingaku hingga akhirnya aku bertekad untuk kuliah.

Iya, aku kuliah sambil bekerja bukan semata-mata untukku sendiri melainkan demi ibu dan Ayu. Walau bagaimana pun ibu sudah banyak membantu hidupku dahulu semenjak kepergian emak.

Selain tetangga dekat, ibu dan almarhum emak juga sama-sama menjanda setelah ditinggal pergi suami masing-masing. Karena itu pula aku sudah menganggap ibu seperti emakku sendiri yang wajib kubahagiakan dengan cara apa pun itu.

 

"Merantau, Di. Cari uang yang banyak agar ibu dan Ayu juga kecukupan. Jangan lupa kirim uang untuk kita kalau gajimu sudah banyak ya, Di. Walau bagaimanapun ibu juga ikut andil dalam ijazahmu itu. Kalau terus di kampung, kuliahmu itu akan sia-sia. Tetap saja kamu nggak akan maju, uangmu nggak akan seberapa jika di sini. Ke kota, jadi orang sukses untuk ibu dan Ayu," ucap ibu lagi, dua hari sebelum aku memutuskan untuk merantau ke ibukota seperti detik ini. 

Jujur saja, aku agak kurang nyaman dengan permintaan ibu dan Ayu yang sepertinya cukup memaksa. Seolah memintaku untuk lekas pergi dari rumah sederhananya demi mencari bergepok-gepok uang di kota.

Mereka tak pernah berpikir jika mencari uang di kota tak semudah membalikkan telapak tangan atau sekadar ucapan abrah kadabra saja.

 

Tapi lagi-lagi aku tak ingin dianggap kacang lupa kulitnya. Benar kata ibu, walau bagaimanapun ada keringat ibu dalam ijazahku dan aku sangat berhutang budi padanya. 

 

Begitulah jalan hidup, penuh liku. Mungkin saja memang keberuntungan masih berpihak padaku, setelah beberapa hari menginjakkan kaki di ibukota, lontang-lantung belum juga mendapat pekerjaan, aku justru dipertemukan dengan seorang perempuan cacat yang baru ke luar dari mini market bersama asistennya.

 

Di saat yang sama dia sedang kecopetan. Seperti dalam FTV aku membantunya menemukan kembali tasnya yang dilempar begitu saja saat si copet babak belur kuhajar.  

 

Lagi-lagi mungkin jalanku dipermudah olehNya. Pak Rizal yang tak lain papa perempuan itu menawariku pekerjaan di kantornya sebagai staf.

 

Seperti permintaan ibu dan Ayu, aku memang harus getol mencari uang untuk membahagiakan mereka. 

 

Empat bulan kemudian saat ibu sakit, aku pulang sekalian menikah siri dengan Ayu, lagi-lagi sesuai perintah ibu.

 

Mungkin ibu tak ingin menunda-nunda lagi karena tahu pekerjaanku cukup menjanjikan. Uang yang kuberikan padanya juga cukup lumayan. 

 

"Nikah siri dulu saja sama Ayu, Dim. Yang penting sah dulu, kan? Jadi apa pun yang kalian lakukan nanti nggak masuk dalam perzinaan," ucap ibu di tengah sakit mutabernya.

 

Aku mengiyakan saja permintaan ibu. Lagipula benar juga ucapannya, tak mengapa nikah siri dulu yang penting sah secara agama daripada tak ada ikatan sah antara aku dan Rahayu.

 

Untuk menikah secara sederhana ibu selalu menolak dengan alasan Ayu anak satu-satunya jadi harus digelar cukup mewah. 

 

Seperti itulah ibu Ayu yang kini menjadi mertuaku. Selalu ingin dipandang wah oleh orang lain. 

 

"Ohya, Dim. Kenapa kamu nggak nikah saja dengan putri bosmu itu? Bukankah kamu bilang kamu yang menolong dia saat kecopetan?" Ibu kembali memberi saran.  

 

"Tapi dia cacat, Bu. Lumpuh. Lagipula aku mencintai Ayu bukan dia. Gimana ceritanya ibu memintaku untuk menikah dengan perempuan lain yang tak pernah kucintai, cacat pula," jawabku sedikit kesal. 

Jujur saja, aku seringkali tak paham dengan jalan pikiran ibu. Seharusnya kehidupan single parent membuatnya bisa belajar lebih banyak tentang hidup, menghemat uang, menabung untuk masa depan dan lainnya namun ibu memang berbeda. Bahkan uang pensiun bapak mertua selalu habis sebelum waktunya. Entah buat apa. 

 

"Justru karena dia cacat, dia tak akan pernah menuntut banyak. Kalau dia nggak cacat pasti dia juga nggak akan mau nikah sama kamu yang nggak selevel sama dia. Kamu ini gimana, sih? Masak begitu saja mesti ibu jelaskan?" 

 

Kuhembuskan napas panjang saat mendengarkan wejangan dari ibu, sedangkan Ayu seolah cuek saja.

 

Dia tak terlalu peduli bahkan masih sibuk dengan benda pipih berwarna hitam yang baru saja kubelikan untuknya. 

"Aku nggak cinta sama dia, Bu. Mana mungkin aku menikah dengannya," balasku lagi. 

 

"Sudah lah, Mas. Cinta itu urusan ke sekian. Bukannya kamu ingin aku dan ibu kecukupan? Jika kamu menikah dengan perempuan cacat itu, otomatis kamu juga yang akan menguasai semuanya. Kamu sendiri yang bilang kalau dia anak semata wayang bosmu yang baik hati itu, kan? Nah! Kaya tujuh turunan kamu nanti, Mas. Nggak perlu susah payah merangkak dari bawah, kamu pasti akan cepat naik jabatan." 

Astaghfirullah ... entah apa yang dipikirkan Ayu saat itu hingga bisa berpikir seperti itu. Bukankah itu artinya mempermainkan perasaan dan pernikahan? 

"Pokoknya aku nggak mau hidup miskin, Mas. Sudah capek," ucap Ayu lagi dengan melipat tangan ke dada. 

 

"Benar, Dim. Dalam agama juga diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu kok bahkan batasnya sampai empat," timpal ibu lagi.

 

"Tapi kalau misal takut nggak bisa adil, dianjurkan satu saja, Bu," jawabku tak mau kalah. 

"Adil? Soal uang pasti bisa lah. Kamu bakal banyak duit kalau nikah sama perempuan itu. Tiap bulan kamu bisa kirim buat Ayu. Beres, kan?" 

 

"Adil bukan soal duit saja, Bu tapi waktu juga," ucapku lagi. 

"Waktu kamu bisa saja ambil beberapa hari atau sebulan sekali, bilang saja ada tugas kantor atau apa. Istrimu kan nggak mungkin ngintilin kamu ke kantor. Buat dia percaya sama semua ucapanmu, jadi tak ada lagi curiga di hatinya." 

Entah mengapa aku selalu mengikuti permintaan ibu. Rasanya tak tega jika menolak perintahnya. Karena aku tahu, ibu sangat berjasa dalam hidupku.

 

Kini setelah aku dewasa, aku sudah berjanji dalam hati untuk membahagiakannya. 

Seperti itulah jalanku, hingga akhirnya aku bisa benar-benar menjadi menantu di keluarga Rizal Abdullah.

Papa mertuaku yang begitu penyayang, baik hati bahkan mempercayakan semua urusan kantor padaku semenjak dia sakit lima bulan yang lalu. 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 45. Menerima TakdirNya (Tamat)

    POV : Dimas Aku tak tahu siapa yang harus kucurigai perihal foto menjijikkan itu kecuali Brama. Namun sepertinya dugaan Nila ada benarnya. Ayu bukan tipe perempuan yang mudah menyerah, dia bahkan tipe perempuan ambisius yang menghalalkan segala cara demi impiannya. Ketiga istriku, hanya dia yang memiliki sifat paling berbeda. Dia terlalu kasar sementara istriku yang lain cenderung lembut dan lebih sopan. Setidaknya, mereka masih lebih menghargai statusku sebagai suami dan tak semena-mena. Kebetulan hari ini ada interview di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Aku berharap kali ini lamaranku diterima, sebab telah puluhan email kukirimkan ke sana-sini tapi sia-sia. Sebagian perusahaan menginginkan calon karyawan yang berpengalaman dengan lampiran surat pengalaman kerja masing-masing, sayangnya aku tak memiliki itu sebab dipecat begitu saja oleh Lisha. Perusahaan lain menginginkan karyawan yang fresh graduate, sementara aku justru sebaliknya. Aku hanya bisa pasrah dan per

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 44. Fitnah Menjijikkan

    POV : Dimas Beban hidup terasa semakin berat serang. Ekonomi belum stabil ditambah harus menuruti kemauan Ayu yang terkadang kelewat batas. Dia semakin menjadi sejak berpisah dengan mantan suaminya itu. Kesakitan karen pengkhianatan yang dilakukan suaminya, seolah dia lampiaskan padaku yang tak tahu apa-apa. Harusnya aku tak perlu menghidupinya, tapi Adam tetaplah anak kandungku. Bagaimana mungkin aku tega melihat dia kedinginan dan kelaparan bersama ibunya, sementara aku bisa tidur lelap dengan perut kenyang sekalipun banyak beban pikiran. Mau tak mau aku mengontrakkan Ayu dan Adam tak jauh dari kontrakanku. Di sana Ayu bekerja sebagai tukang cuci gosok, cukup buat makan sehari-hari sementara uang kontrakan tetaplah aku yang membayarnya. Awalnya Nila menolak, tapi mau tak mau dia harus mengiyakannya sebab nggak mungkin juga meminta Ayu dan Adam untuk tinggal satu atap di sini. Kasihan juga dia kalau nggak kucarikan kontrakan. Ayu sudah tak memiliki rumah di kampung dan ta

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 43. Malaikat Kecil

    POV : Lisha Sejak menikah dengan Bang Akbar, hari-hariku semakin bahagia. Dia tulus, tak seperti mantan suamiku yang ternyata hanya modus. Perhatian dan cinta yang diberikan Bang Akbar membuat duniaku terasa lebih indah. Aku lebih bisa menghargai diri sendiri dan semakin yakin jika Allah memberikan sesuatu di saat yang tepat bukan terlambat. Kehamilan ini masuk minggu ke-18. Menginjak trimester dua yang tak lagi mual dan pusing seperti trimester sebelumnya. Aku sudah mulai mau makan dan tak lagi pusing jika mencium aroma menyengat. Syukuran empat bulanan sudah digelar beberapa hari yang lalu dengan dihadiri para tetangga dan saudara. Mereka mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku dan janin yang ada dalam rahimku. Teringat kembali ucapan mereka saat itu. "Mbak Lisha, selamat berbahagia akhirnya merasakan hamil yang begitu mendebarkan dan menggemaskan. Aku yakin nanti kalau anaknya cewek, pasti bakal cantik seperti mamanya dan kalau cowok pasti tampan seperti papan

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 42 Kehidupan Berbeda

    Pov : Dimas Hari-hari buruk akan mulai menyapaku lagi. Aku yang baru mulai bangkit, kembali diterpa badai karena kedatangan Ayu tiba-tiba. Iya, Niken Rahayu. Dia mantan istri pertamaku yang kini kembali ke Jakarta untuk menemuiku bersama Ahmad, buah hatiku dengannya yang kini berusia dua tahunan. Mau tak mau, bisa tak bisa aku mengajak Ayu ke kontrakan. Tak mungkin tega membiarkan dia lontang-lantung dengan Ahmad di kota sebesar ini, bukan? Jelas aku tak tega, sekalipun aku dengannya sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Kecuali sebatas mantan dan orang tua kandung Ahmad saja. "Itu kontrakanku bersama keluarga Nila. Tolong jangan jaga sikapmu pada mereka, sebab aku tak ingin membuat masalah lagi," ucapku setelah mematikan motor dan meminta Ayu untuk turun. "Harusnya aku yang bilang begitu, Mas. Kalau kamu nggak banyak tingkah, hidup kita juga aman saja. Nggak berantakan," balas Ayu sengit. "Sudah. Sudah. Nggak ada gunanya saling menyalahkan. Semua ini salah kita karena memanfaa

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 41 Masalah Baru

    Pov : Dimas Kehidupan jungkir balik mulai kulalui. Tenggelam dalam sesal jelas kurasakan. Namun hidup terus berjalan. Aku ngga mungkin selalu dirasuki rasa bersalah berlarut-larut. Lisha sudah bahagia dan aku harusnya juga begitu. Sama-sama bahagia meski dari ekonomi jelas berbeda. Tak mengapa, aku benar-benar ingin belajar dari nol hingga sukses. Lagipula, sebelum bertemu Lisha aku juga hidup dengan sangat sederhana. Aku bekerja keras untuk membahagiakan Ibu dan Niken. Iya, Niken. Entah bagaimana kabarnya. Terakhir kali aku mengiriminya uang tiga bulan yang lalu. Sampai sekarang aku belum transfer lagi karena memang nggak ada dana yang bisa dikirim. Buat makan sekeluarga aja sangat susah dan amat seadanya. Aku nggak mungkin kirim uang untuk Niken jika keluarga di sini masih sangat kekurangan. Biarlah. Lagipula suaminya juga bertanggungjawab, InsyaAllah dia nggak kekurangan jika sekadar makan. Nanti setelah ekonomi ku stabil, aku janji akan mengiriminya uang lagi untuk Ahmad.

  • BUKAN SUAMI ALIM TAPI DZALIM   Bab 40 Semakin Hancur

    POV : Dimas Aku tak tahu apa yang kurasakan detik ini saat kembali membayangkan Lisha bersanding dengan dokter itu di pelaminan. Rasanya benar-benar sulit dijelaskan. Sakit dan nelangsa. Teringat kembali ucapan Lisha waktu itu bahwa ada kalanya dia kecewa dan terluka karena pengorbanan dan kesetiaannya selama ini aku sia-siakan. Nyatanya kini roda itu benar-benar berputar. Dia sudah menemukan kebahagiaan dan cinta sejatinya, sementara aku justru sebaliknya. Aku tenggelam pada deretan masalah pelik yang selama ini belum pernah kurasakan. Depresi Nila belum sepenuhnya sembuh, ditambah masalah baru tentang tunggakan rumah ibu. Empat juta yang harus kulunasi minggu ini. Tak hanya itu saja, hutang ibu pun semakin menumpuk di warung karena memang hanya mengandalkan aku sebagai tulang punggung. Sebenarnya tak masalah hanya aku yang mengurus keuangan rumah, etidaknya bapak dan ibu lebih menghargai kerja kerasku. Tak selalu menuntut ini itu bahkan seolah meremehkan usaha yang sudah kul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status