Share

BAB 7

Author: awaaasky
last update Last Updated: 2025-06-04 21:01:21

Riven menatap kunci di tangannya. Rasanya dingin, seperti es batu yang tak pernah mencair. Tapi yang lebih mengganggunya bukan rasa dingin itu—melainkan suara bisikan yang masih terngiang jelas di dalam kepalanya.

"Sekarang, kalian sudah terikat dengan labirin ini."

Celine berdiri di sampingnya, wajahnya pucat pasi. "Apa yang barusan lo ambil, Riv?"

Riven membuka telapak tangannya perlahan, menunjukkan kunci logam hitam dengan ukiran rumit berbentuk seperti mata. Di tengahnya, ada simbol aneh yang berdenyut samar dengan cahaya merah.

"Gue rasa ini... kunci buat keluar dari sini," jawab Riven, suaranya terdengar ragu. "Tapi gue juga ngerasa kayak... kita makin terjebak."

Celine menatap kunci itu dengan ngeri. "Gue nggak suka bentuknya. Lo ngerasa kayak... kita udah dibawa lebih dalam ke permainan mereka?"

"Banget," desis Riven.

Tiba-tiba, suara langkah berat kembali terdengar di luar ruangan. Bayangan-bayangan dari makhluk-makhluk itu merayap ke dalam dari segala sudut.

"Riv, kita harus keluar dari sini sekarang!"

Tanpa menunggu lebih lama, Riven menggenggam tangan Celine dan menariknya keluar dari ruangan, melewati lorong yang mulai runtuh. Debu dan reruntuhan berjatuhan di belakang mereka, memaksa mereka terus berlari tanpa henti.

Mereka kembali ke jalanan kota mati itu, hanya untuk mendapati semuanya telah berubah. Bangunan-bangunan bergeser, seperti bergerak hidup. Jalanan yang tadi ada, kini lenyap. Sebaliknya, jalan baru terbuka di arah yang tidak mereka kenal.

"Ini gila," gumam Celine, terengah-engah. "Tempat ini hidup."

"Gue rasa... labirin ini punya kesadaran," sahut Riven. "Dan dia nggak mau kita keluar."

Mereka terus berjalan, menyusuri lorong-lorong sempit di antara bangunan. Kali ini, Riven memperhatikan bahwa dinding-dinding di sepanjang jalan dipenuhi tulisan aneh yang bercahaya samar. Tulisan itu seperti menari, membisikkan sesuatu dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti.

Namun, saat mereka berbelok di sudut, mereka tiba di sebuah ruangan terbuka seperti alun-alun. Di tengahnya, berdiri sebuah patung wanita berkerudung, tangannya mengulurkan sesuatu.

Kunci lain.

Riven dan Celine saling pandang. "Lo rasa kita harus ambil itu?" tanya Celine.

"Satu-satunya petunjuk yang kita punya sekarang," kata Riven sambil melangkah mendekat.

Namun saat dia menyentuh patung itu, seluruh tempat berubah.

Langit menjadi gelap. Tanah bergetar. Udara jadi panas.

Patung itu hidup.

Tangannya mencengkeram kuat tangan Riven, menariknya mendekat. Wajah kerudungnya terbuka, memperlihatkan wajah wanita tua dengan mata kosong dan senyum lebar menakutkan.

“Kau telah memilih jalan kutukan,” bisiknya dengan suara serak.

Celine menjerit. “Riven! Lepasin tangannya!”

Namun tangan patung itu makin kuat, dan dari tanah muncul tangan-tangan lain—seolah para korban sebelumnya ikut bangkit dari kubur mereka. Tangan-tangan itu mencoba mencengkeram kaki dan tubuh Celine, menariknya ke bawah.

Dengan tenaga penuh, Riven berteriak dan menghantam patung itu dengan tangan satunya. Secara mengejutkan, patung itu retak, lalu pecah menjadi debu hitam. Pegangannya terlepas.

Celine dengan sigap menarik Riven mundur. Keduanya jatuh terduduk, napas memburu. Tapi yang aneh, kunci kedua kini ada di saku Riven.

Mereka diam sejenak, lalu sama-sama saling tatap.

"Gue ngerasa... kunci itu bukan kunci keluar," kata Celine pelan. "Kayak—"

"Kayak segel kutukan," potong Riven.

Keduanya berdiri, mencoba menenangkan napas dan pikiran. Di kejauhan, mereka melihat menara tinggi menjulang. Menara itu tampak kuno dan retak, namun dari atasnya terpancar cahaya yang memecah kegelapan.

"Kalau labirin ini dibangun buat ngebuang orang-orang seperti kita," kata Riven sambil menunjuk ke menara, "mungkin jawabannya ada di sana."

Celine mengangguk pelan. "Tapi tempat ini berubah terus. Kita butuh peta atau petunjuk lain."

Riven mengangguk. "Mungkin kunci ini bukan cuma segel kutukan. Mungkin... ini semacam petunjuk. Bagian dari teka-teki."

Mereka mulai melangkah menuju menara itu, menyusuri jalan yang tampak seperti tanah mati. Tak ada suara, hanya bisikan samar dan langkah kaki mereka sendiri.

Saat mereka berjalan, Celine melihat sesuatu di dinding bangunan yang mereka lewati. Sebuah lukisan besar.

Tapi bukan lukisan biasa.

Itu adalah lukisan wajah mereka berdua.

Riven berdiri terpaku, menatap wajahnya sendiri dalam lukisan itu. Wajahnya tampak muram, matanya hitam kosong. Di bawah lukisan itu tertulis satu kalimat:

"Satu di antara kalian akan mengkhianati yang lain."

Celine memucat. "Riven... apaan ini..."

"Ini manipulasi," desis Riven. "Tempat ini mainin pikiran kita."

Namun dalam hatinya, Riven mulai merasa was-was. Apakah tempat ini benar-benar berusaha menghancurkan mereka dari dalam—bukan hanya secara fisik, tapi juga mental dan emosional?

Mereka meneruskan perjalanan dengan beban di hati masing-masing. Celine mulai terlihat gelisah. Tangannya gemetar. Matanya kadang melirik ke arah Riven dengan ragu.

Riven juga mulai merasakan jarak. Ada sesuatu yang berubah. Mereka masih saling bergandengan tangan, tapi kepercayaan perlahan terkikis.

Saat senja buatan mulai turun di atas kota mati itu, mereka menemukan sebuah rumah kayu kecil yang tampak berbeda dari bangunan lain.

Tidak terlalu rusak, dan pintunya terbuka.

“Nginep di sini malam ini?” tanya Celine.

“Kayaknya nggak ada pilihan lain,” jawab Riven.

Mereka masuk dan menutup pintu. Rumah itu hangat, dan anehnya, tidak terasa menyeramkan. Di dalamnya ada dua kursi, meja, dan perapian yang menyala sendiri.

Mereka duduk diam dalam keheningan.

“Lo percaya apa yang ditulis di dinding tadi?” tanya Celine tiba-tiba.

Riven menoleh padanya. "Gue nggak tahu. Tapi gue percaya lo."

Celine tertunduk. "Gue takut, Riv... bukan cuma sama tempat ini, tapi sama diri gue sendiri."

Riven memegang tangannya. "Kita di sini bareng. Dan gue nggak akan ninggalin lo."

Namun, di luar rumah itu, bayangan besar berdiri.

Mata merahnya menyala.

Dan dia tidak sendirian.

Malam di rumah kayu itu seolah memberikan napas sementara, sebuah ilusi aman yang menenangkan tubuh tapi tidak pikiran. Perapian masih menyala dengan api jingga lembut, tapi tidak ada kayu, tidak ada bahan bakar. Ia menyala karena kehendak sesuatu yang lebih besar… sesuatu yang mengawasi mereka.

Riven memandangi kobaran api, mencoba mengabaikan rasa dingin yang seharusnya sudah hilang. Tapi tubuhnya tetap menggigil, bukan karena suhu, tapi karena ketakutan yang tumbuh pelan-pelan—seperti bisikan yang tak bisa dibungkam.

Celine duduk di sisi berlawanan, memeluk lutut. Matanya tidak bisa tenang. Kadang melirik pintu, jendela, atau Riven.

“Riv…” bisiknya, “kalau kita nggak bisa keluar dari sini…”

“Jangan ngomong gitu,” potong Riven cepat. “Kita pasti bisa.”

“Kalau salah satu dari kita harus dikorbankan?” tanyanya lirih.

Riven membeku.

Celine menatapnya dengan pandangan penuh luka, takut, dan sebuah rasa yang tidak bisa dijelaskan. Riven merasakan dadanya sesak. Ia ingin memeluk Celine, menguatkannya, tapi juga takut menyentuh sesuatu yang rapuh. Seperti menyentuh bunga es yang bisa hancur hanya karena nafas hangat.

“Gue nggak bakal ninggalin lo, apapun itu. Bahkan kalau tempat ini maksa, gue bakal lawan,” jawab Riven tegas.

Namun dalam hati, bayangan kalimat di lukisan tadi muncul lagi: “Satu di antara kalian akan mengkhianati yang lain.”

Apa maksudnya? Siapa? Kapan?

Sebelum Celine sempat menjawab, terdengar ketukan pelan di pintu.

Sekali. Dua kali. Lalu berhenti.

Riven langsung berdiri dan meraih kayu panjang dari dekat perapian. Celine menahan napas.

Pintu tidak terbuka. Tapi bayangan mengalir dari bawah celah pintu. Bayangan itu bukan sekadar bayangan—ia punya bentuk, seperti tangan, tapi cair dan hitam seperti tinta hidup.

Riven mundur sambil bersiap. Celine berdiri cepat, mengambil kursi kayu.

Bayangan itu menembus lantai, menyusup ke dalam ruangan, dan mendadak membentuk tulisan di dinding.

"Menara kematian. Kunci ketiga ada di sana. Tapi satu harus tetap di rumah."

Tulisan itu bercahaya merah darah sebelum menguap menjadi asap.

“Permainan apa lagi ini…” gumam Celine.

“Jadi sekarang mereka nyuruh kita pisah?” tanya Riven, mulai kesal. “Setelah semua yang kita lewati bareng, sekarang malah…”

Celine menatapnya. “Mungkin… kita harus ikuti dulu. Kalau kita lawan, malah makin parah.”

“Tapi gue nggak mau ninggalin lo sendirian,” Riven mendekat, menggenggam tangannya erat. “Nggak akan.”

“Riv,” Celine menggigit bibirnya, “tempat ini mainin perasaan lo. Mereka tahu lo care sama gue. Itu kenapa mereka narget lo buat milih.”

Riven memejamkan mata.

Opsi pertama: dia tinggal dan membiarkan Celine masuk ke menara sendirian—tempat yang jelas-jelas disebut ‘menara kematian’.

Opsi kedua: dia pergi dan meninggalkan Celine sendirian di rumah, tempat yang bisa diserang kapan saja.

Tidak ada pilihan yang baik.

“Gue yang pergi,” kata Celine akhirnya. “Lo butuh istirahat, Riv. Lo udah bawa kita sejauh ini. Sekarang giliran gue.”

Riven ingin protes, tapi mata Celine tidak memberi ruang. Ia melihat keberanian di sana—bukan karena tidak takut, tapi karena tahu kapan harus berkorban.

“Kalau lo nggak balik dalam satu jam, gue bakal nyusul lo,” ucap Riven dengan suara berat.

Celine mengangguk.

Setelah memberi pelukan terakhir, Celine melangkah keluar, dan rumah langsung menutup pintunya sendiri setelah kepergiannya.

Riven terdiam. Lalu pelan-pelan duduk kembali di dekat perapian.

Tapi kali ini, rumah tidak lagi terasa hangat.

Sementara itu, Celine menyusuri jalan menuju menara. Bayangan tinggi menara itu seolah menatapnya—diam, namun mengintimidasi. Semakin dekat, ia makin bisa melihat retakan-retakan di tembok menara, simbol-simbol aneh yang menyala merah, dan… suara tangisan.

Tangisan anak kecil.

Celine menahan napas. Tangisan itu berasal dari balik pintu besi tua yang setengah terbuka. Dia mendekat perlahan.

“Hallo…?” panggilnya lirih.

Tak ada jawaban.

Celine mendorong pintu. Derit keras memecah keheningan. Di dalamnya gelap gulita.

Dia masuk.

Langkah demi langkah. Tangisan semakin keras. Lalu—BRUK!

Pintu menutup sendiri di belakangnya. Suara tangisan langsung berhenti.

Celine membeku. Jantungnya berdetak kencang. Nafasnya cepat.

Tiba-tiba, nyala api biru muncul di sekelilingnya. Cahaya itu membentuk lingkaran sihir. Di dinding, muncul bayangan-bayangan wajah—menangis, tertawa, berteriak.

Dan di tengah ruangan…

Seseorang berdiri.

Tinggi. Mengenakan jubah hitam. Wajahnya tertutup topeng dengan simbol mata di dahi.

"Selamat datang, penjaga kutukan ketiga," katanya dengan suara berat dan bergema.

Celine melangkah mundur.

“Siapa lo?!”

“Yang sudah menunggumu,” jawabnya. “Dan yang tahu… bahwa kaulah pengkhianat itu.”

Tubuh Celine membeku.

"Apa maksud lo?!"

Topeng itu perlahan retak, dan dari dalamnya, muncul wajah yang sangat ia kenal.

Wajahnya sendiri.

Celine teriak dan jatuh terduduk. Wajah itu tersenyum padanya—sama persis, hanya saja mata yang satu berwarna hitam legam.

“Aku adalah sisi yang selalu kamu sembunyikan,” kata sosok itu. “Ketakutanmu, ambisimu, keinginanmu untuk bertahan… bahkan jika harus menghancurkan Riven.”

“Lo bohong,” gumam Celine. “Gue nggak bakal—”

“Buktikan,” potongnya. “Ambil kunci di ujung ruangan. Tapi begitu kamu ambil, kamu akan memilih. Keluar… atau tinggal dan biarkan Riven mati menggantikanmu.”

Seketika, api biru menyala terang. Di tengah ruangan, di atas altar batu, ada kunci ketiga. Ukurannya besar, dan berdenyut seperti nadi manusia.

Tangannya gemetar saat mendekat.

Langkah demi langkah.

Tapi dalam hatinya, suara Riven menggema: “Gue percaya lo.”

Air mata mulai mengalir dari matanya. Kepalanya penuh konflik. Tapi kakinya terus melangkah.

Sampai…

Tangannya menyentuh kunci itu.

Dan dunia pun kembali berubah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKU TERLARANG   BAB 41

    Langkah kaki mereka menggema di lorong bawah tanah itu, semakin dalam, semakin dingin. Dinding-dindingnya berlumut dan berdebu, tapi di balik kelembaban itu, tertanam banyak rahasia yang telah dikubur puluhan tahun lalu.Auryn menggenggam lengan Lucien erat. “Kita mau ke mana?”“Ke ruang pusat data,” jawab Lucien pelan. “Semua yang berkaitan dengan Project Rantai Mawar ada di sana. Kalau benar kamu bukan satu-satunya… kita harus tahu siapa yang satunya lagi.”Jantung Auryn berdebar tak menentu. Bayangan yang ia lihat di cermin… senyum itu… bukan khayalan.Mereka berhenti di depan pintu besi besar yang dilapisi sidik jari dan retina scanner. Lucien menempelkan matanya ke sensor, lalu pintu terbuka perlahan.Aura dingin menyapu mereka berdua.Ruangan itu tampak seperti laboratorium masa depan—mesin-mesin mati yang masih menyala redup, layar-layar besar berisi file video lama, dan di tengah ruangan ada satu kapsul kaca. Di dalamnya… sosok perempuan yang mirip Auryn.Tapi bukan dia.Sosok

  • BUKU TERLARANG   BAB 8

    Riven menatap jam tua di atas perapian. Jarumnya tidak bergerak. Seolah waktu pun terperangkap bersama mereka. Sudah berapa lama Celine pergi? Lima menit? Sepuluh? Atau sudah lebih dari satu jam?Ia tidak tahu.Yang pasti, hatinya semakin sesak. Ada rasa tak enak, seperti napas yang tertahan terlalu lama.Tiba-tiba... suara pelan terdengar dari arah jendela.Suara… tawa?Riven berdiri. Langkahnya pelan. Ia mendekati jendela dengan hati-hati, lalu mengintip keluar.Tidak ada siapa pun.Tapi saat ia menoleh kembali ke dalam ruangan—semuanya berubah.Perapian padam. Jendela tertutup rapat dengan kayu disilang. Dinding yang tadinya polos, kini penuh dengan cermin—besar, kecil, retak, utuh, menggantung di seluruh sisi.Dan di dalam setiap cermin... bukan pantulan dirinya.Tapi pantulan Riven yang berbeda.Ada yang menangis. Ada yang tertawa seperti orang gila. Ada yang berdarah. Ada yang... tidak punya mata.Dia tersentak mundur. Kepalanya pening. Matanya menatap satu cermin paling besar d

  • BUKU TERLARANG   BAB 7

    Riven menatap kunci di tangannya. Rasanya dingin, seperti es batu yang tak pernah mencair. Tapi yang lebih mengganggunya bukan rasa dingin itu—melainkan suara bisikan yang masih terngiang jelas di dalam kepalanya."Sekarang, kalian sudah terikat dengan labirin ini."Celine berdiri di sampingnya, wajahnya pucat pasi. "Apa yang barusan lo ambil, Riv?"Riven membuka telapak tangannya perlahan, menunjukkan kunci logam hitam dengan ukiran rumit berbentuk seperti mata. Di tengahnya, ada simbol aneh yang berdenyut samar dengan cahaya merah."Gue rasa ini... kunci buat keluar dari sini," jawab Riven, suaranya terdengar ragu. "Tapi gue juga ngerasa kayak... kita makin terjebak."Celine menatap kunci itu dengan ngeri. "Gue nggak suka bentuknya. Lo ngerasa kayak... kita udah dibawa lebih dalam ke permainan mereka?""Banget," desis Riven.Tiba-tiba, suara langkah berat kembali terdengar di luar ruangan. Bayangan-bayangan dari makhluk-makhluk itu merayap ke dalam dari segala sudut."Riv, kita haru

  • BUKU TERLARANG   BAB 6 - PINTU MENUJU KEGELAPAN

    Kilatan cahaya yang muncul dari buku itu begitu menyilaukan hingga Riven harus memejamkan mata. Suara-suara jeritan dari dalam buku menggema di seluruh perpustakaan, membuat udara terasa berat dan menekan.Celine berteriak di sampingnya, "Riven! Tutup bukunya!"Tapi sebelum dia bisa melakukan apa pun, sesuatu menarik tubuhnya ke dalam cahaya itu.Seketika, dunia di sekelilingnya berubah.Saat Riven membuka mata, dia tidak lagi berada di perpustakaan.Udara di sekelilingnya dingin dan lembap. Langit di atasnya berwarna merah gelap, tanpa matahari, tanpa bulan. Di kejauhan, bangunan-bangunan kuno menjulang tinggi, seperti reruntuhan peradaban yang telah lama ditinggalkan.Dia menoleh ke samping. Celine ada di sana, terjatuh di tanah dengan wajah pucat."Celine! Lo nggak apa-apa?"Celine mengerang pelan sebelum membuka matanya. "Dimana kita?"Riven menggeleng. "Gue nggak tahu… Tapi ini jelas bukan perpustakaan."Celine duduk dan memandang sekeliling. "Jangan bilang kita masuk ke dalam bu

  • BUKU TERLARANG   BAB 5 - CAHAYA DALAM KEGELAPAN

    Riven menatap buku itu, jari-jarinya masih menyentuh sampulnya yang terasa aneh—dingin, seperti batu nisan. Cahaya gelap yang muncul dari dalamnya perlahan memudar, meninggalkan kesunyian yang lebih menyeramkan daripada sebelumnya.Celine berdiri di sampingnya, tubuhnya sedikit gemetar. "Lo yakin kita bisa ngancurin ini?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi ruangan.Riven menarik napas dalam-dalam. "Nggak ada pilihan lain, Celine. Kalau kita biarin, buku ini bakal terus menelan orang-orang yang membacanya."Tapi masalahnya, bagaimana cara menghancurkan sesuatu yang bahkan tidak seharusnya ada?Perpustakaan di sekeliling mereka kini terasa lebih sempit, seolah-olah ruangan itu mulai mengamati mereka, menunggu keputusan yang akan diambil. Rak-rak buku yang sebelumnya diam kini berderak pelan, seakan bergerak dengan sendirinya.Celine menggenggam lengan Riven. "Lo denger suara itu?"Riven mengangguk pelan. Suara-suara bisikan itu tidak berhenti, semakin ban

  • BUKU TERLARANG   BAB 4 - PERPUSTAKAAN YANG TERKUNCI

    Rahasia dalam KegelapanRiven menatap Elias dengan tatapan serius. "Perpustakaan terlarang? Maksud Anda, ada tempat yang menyimpan buku ini sejak awal?"Elias mengangguk pelan. "Ya. Itu adalah tempat di mana buku itu seharusnya tetap tersegel. Tapi seseorang membawanya keluar… dan sejak saat itu, masalah dimulai."Celine menggigit bibirnya. "Lalu, di mana perpustakaan itu?"Elias menghela napas panjang sebelum menjawab, "Tempat itu tersembunyi. Tidak ada yang tahu pasti di mana letaknya, karena pintunya hanya muncul di waktu-waktu tertentu… dan hanya bagi mereka yang telah disentuh oleh buku itu."Riven merasakan bulu kuduknya meremang. "Jadi, kita harus menunggu sampai pintunya muncul sendiri?"Elias menatap mereka dalam-dalam sebelum akhirnya mengeluarkan selembar kertas kuno dari laci mejanya. "Ada satu cara untuk mempercepatnya," katanya sambil menyerahkan kertas itu kepada Riven.Riven dan Celine melihatnya. Itu adalah peta tua, penuh dengan simbol aneh dan coretan tangan."Ini…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status