Parmi tengah asik membersihkan telinganya dengan ujung korek api yang berwarna coklat di bagian ujungnya. Kebiasaan yang sangat sulit ia tinggalkan walau kini usianya tak muda lagi. matanya meram-melek menikmati kesahduan dalam melakukan ritual setiap pagi, bahkan sebelum salat Subuh. Suara kokok ayam dan alunan salawat dari musolah dekat tempat tinggalnya, menambah kenikmatan pagi sambil membersihkan telinga.
“Jangan terlalu dalam, Mi. Begini aja kuping kamu udah bermasalah, segala pake dikorek setiap hari. Nanti tambah budek loh!” tegur Parni;kakak dari Parmi. Parmi yang tengah berjongkok, langsung menoleh lalu menatap kakaknya dengan wajah tanda tanya. “Ngomong apa barusan?” tanya Parmi dengan polosnya. Jangan tanyakan bagaimana reaksi Parni saat ini. Sudah pasti wanita itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar pertanyaan adiknya. Baru saja dibilangin, udah beneran tidak dengar. Parni hanya bisa menggelengkan kepala, lalu meninggalkan Parmi yang kini mengangkat bahu tanda tak paham. “Parmi, udah itu! Jangan dalam-dalam koreknya!” kali ini Bu Parti;ibu dari Parmi yang sudah bangun dan menghampiri anaknya di dapur. “Gak dalem, Bu, yang dalam itu lautan,” sahut Parmi sambil membuang korrek api ke dalam temapt sampah. Ia bangun dari posisi jongkoknya, lalu berjalan ke depan pintu kamar mandi. Disusul oleh Bu Parti yang berdiri di belakang Parni. Benar-benar mirip antrean di depan WC umum. “Teh, cepat!” teriak Parmi sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban dari dalam. Parmi mengulangi teriakannya memanggil sang kakak yang tidak bersuara di dalam kamar mandi sana. “Ia sebentar,” jawab Parni. “Lah, jangan dijawab Teh. Di dalam kamar mandi gak boleh bicara. Nanti pantatnya bisulan loh,” ujar Parmi lagi memperingatkan. Bu Parti hanya bisa terkikik geli dengan dua anak perempuannya yang begitu spesial. Si kakak diemnya bukan main, tetapi adiknya bicara terus, seperti bebek. Ditambah lagi indera pendengarannya terganggu, sehingga Parmi cukup sulit untuk menyahuti dengan benar ucapan lawan bicaranya. Keduanya sudah sama-sama ada dalam usia matang, tetapi masih belum juga mempunyai jodoh. Parni pernha ditinggalkan sang pacar saat hari pernikahan, sedangkan Parmi saat ini sedang merajut kasih dengan sepupu jauhnya yang menderita sakit gagap. Entahlah menantu apa yang akan ia dapatkan nanti untuk kedua anak perempuannya. Semoga Allah memberikan mereka jodoh yang baik dan tepat. Bu Parti mengulum senyum memperhatikan Parni dan Parmi yang saat ini tengah berdebat di depan pintu kamar mandi. “Dah, kamu kelamaan ngoceh, Mi! biarin Ibu duluan yang masuk!” Bu Parti membelah jarak antara Parmi dan Parni. Ia masuk ke dalam kamar mandi, lalu menutup pintu dengan keras. Parmi hendak melakukan protes dengan membuka sedikit mulutnya, namun terlambat karena sang ibu sudah mengunci pintu. “Yah, Ibu mah detergen juga, nih. Kan Parmi yang lebih dulu antre, kenapa Ibu yang masuk duluan?” protes Parmi tidak terima. “Bukan detergen Parmi! Tapi nitijen.” Parni membetulkan ucapan adiknya, lalu pergi meninggalkan Parmi yang sedang berdiri menahan kesal di depan pintu kamar mandi. Begitulah kehidupan manis setiap pagi keluarga Bu Parti. Selalu ramai, seru, dan penuh canda tawa. Tak masalah bagi mereka walau hanya makan nasi dan telur mata sapi saja, yang penting hidup mereka aman dan damai. Seperti pagi ini, Parmi baru saja selesai mencuci piring, menyapu, serta mengepel lantai. Sedangkan Parni bertugas mencuci pakaian dan menjemur, serta menyetrikanya.Sesekali Parmi memasak, karena memang dia sangat hobi memasak dan beberes rumah. Lalu apa saja tugas Bu Parti di rumah? Wanita itu cukup mendoakan agar pekerjaan rumah yang dilakukan kedua anak perempuannya berjalan dengan lancar tanpa ada petikaian lemparan sapu, ataupun piring pecah.
Tok! Tok!“Assalamualaykum, Mbak Parti,” seru suara seorang wanita dari depan pintu rumah yang tertutup.
“Wa’alaykumussalam. Ya, tunggu sebentar,” sahut Bu Parti yang sedang duduk menonton Parmi mengepel lantai. Ia berjalan ke arah pintu, lalu membuka dengan lebar pintu itu untuk melihat siapa tamunya. “Eh Mbak Yem. Lagi di sini toh? Ayo masuk!” Bu Parti menyambut ramah wanita setengah baya yang merupakan tetangga dekatnya. Mbak Yem duduk di depan Bu Parti sambil melayangkan senyuman pada Parmi yang saat ini juga tersenyum padanya sambil memegang gagang pel. “Tumben pagi-pagi ke sini. Ada apa Mbak?” tanya Bu Parti sambil tersenyum. “Ini Mbak, saya mau cuti dulu dari tempat saya kerja. Dendi sering sakit, Mbak. Saya dengar-dengar Mbak Parmi mau ikut kerja ke Jakarta. Bagaimana kalau Mbak Parmi menggantikan saya bekerja di rumah majikan saya? Gajinya gede, Mbak, tiga juta lima ratus bersih.” Seketika itu juga indera pendengaran Parmi berfungsi dengan baik. Wanita itu menoleh, lalu berjalan ke ruang tamu. Kain pel yang tadi ia pegang, kini ia letakkan kembali ke dalam ember yang masih terisi air karbol. “Mbak Yem bilang apa tadi? Gajinya tiga juta lima ratus? Iya saya mau,” ujar Parmi dengan antusias. Bu Parti hanya bisa mengulas senyum sambil memperhatikan anaknya dengan seksama. Bisakah anaknya bekerja? Parmi belum pernah memiliki pengalaman kerja di rumah orang lain, selain rumahnya sendiri. Apakah majikan Iyem tak keberatan dengan sakit pendengaran yang dimiliki olah Parmi? “Begini, Mbak. Mbak’kan tahu sendiri kalau Parmi belum pernah bekerja sebagai ART. Ditambah lagi ada masalah cukup besar dengan telinganya. Apakah majikan Mbak Yem gak keberatan?” tanya Bu Parti pada tetangganya itu. “Oh, itu mah bisa diatur, Mbak. Biar nanti saya yang sampaikan pada majikan saya. Mereka lagi benar-benar butuh pembantu. Ada lagi, majikan saya punya anak yang duda loh. Namanya Anton, kali aja jodoh sama Parmi. Kayak di novel-novel itu loh,” terang Mbak Yem sambil tertawa melihat ke arah Parmi. “Jaman sekarang, emang masih ada ya orang tua kasih nama anaknya yang aneh-aneh,” sambung Parmi sambil menggelengkan kepalanya. Bu Parti dan Mbak Yem sontak menoleh ke arah Parmi dengan mengernyitkan kening mereka. Perasaan, tidak ada yang aneh dalam ucapannya. Mbak Yem bermonolog tak paham. “Aneh di mananya, Mi?” tanya Bu Parti. “Lha, itu. Masa nama anaknya karton.” “Bukan karton!!” secara serentak Bu Parti dan Mbak Yem menjawab ucapan Parmi. “Anton, Mi. Anton. Lihat mulut gue ini kebukanya gimana! An-ton! Bukan karton!”Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i
Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu