Share

2. Berkenalan

Parmi sudah berada di Jakarta, tepatnya di depan pagar rumah majikan Mbak Yem. Bermodalkan alamat dari tetangganya itu, akhirnya Parmi sampai juga dengan selamat di sana. kepalanya celingak-celinguk mengintip keadaan rumah dari balik pagar. Rumah yang sangat sepi. Parmi memastikan alamat yang ia pegang, dengan nomor rumah yang ada tertempel di dinding samping pintu rumah.

 “Alamatnya sudah benar, tapi kenapa tak ada orang?” gumam Parmi. 

 “Assalamualaykum. Permisi! Ada orang gak? Halo! Ada orang gak?!” seru Parmi lagi dari balik pagar dengan suara sedikit berteriak. Tak lama kemudian, munculah seorang lelaki cukup dewasa dan tampan, hanya mengenakan celana boxer sebetis dan juga kaus dalam yang sudah memudar warnanya. Lelaki itu berjalan mendekat ke arah pagar sambil mengucek kedua matanya.

 Untuk sesaat Parmi tak mampu berkata-kata. Kenapa lelaki Jakarta bangun tidur saja tampan seperti ini? Sangat berbeda dengan lelaki desa yang … susah dilukiskan dengan kata-kata. Mulutnya setengah terbuka manatap tanpa berkedip lelaki tampan di depannya.

 “Mbak cari siapa?” tanya lelaki itu dengan suara serak. Seperti disengat listrik, Parmi merasakan darahnya berdesir saat ini. Apakah suara lelaki Jakarta seseksi ini hingga darahnya naik turun  tidak jelas seperti ini?

 “Mbak! ye … ditanya kok malah bengong! Mbak cari siapa?” tanya lelaki itu mulai terlihat kesal.

 “Gak cari siapa-siapa,” jawab Parmi dengan polosnya. Lelaki itu memutar bola mata malasnya sambil mendengkus kesal. Tidur siangnya benar-benar terganggu dengan kehadiran wanita tidak jelas di depannya ini.

 “Terus ngapain ada di depan rumah saya?” 

 “Mau bertemu dengan Bu Rasti. Emangnya Mas siapa? Kenapa tanya-tanya saya?” sepertinya darah lelaki itu mulai mendidih. Ia memalingkan wajah berusaha mengendalikan emosi dengan mengepalkan tangannya di belakang.

 “Saya Anton, anak dari Bu Rasti,” jawab Anton dengan wajah ketus.

 “Oh, Mas Anton yang duda dua kali ya, Mas? Apes apa doyan Mas? Kok duda sampai dua kali. He he he ….” Candaan yang menurut lelaki itu tak lucu sama sekali.

Ia semakin tak suka dengan wanita di depannya ini. Malas meladeni, Anton memilih berbalik, lalu berjalan meninggalkan Parmi yang masih saja menertawakannya di depan pagar sana.

“Dasar wanita aneh!” umpat Anton, lalu menutup pintu dengan keras.

 Parmi yang tidak jadi dibukakan pintu, bukannya sedih atau kecewa. Wanita itu malah kini tengah duduk di tembok kecil samping pagar, sambil menghubungi Mbak Yem. Ia mengatakan pada tetangga nya itu bahwa saat ini ia sudah di depan rumah majikan Mbak Yem dan bertemu dengan Malaikat Pencabut Nyawa.

 “Siapa malaikat pencabut nyawa, Mi?”

 “Tuan Karton. Ganteng, tapi judes!”

 Mbak Yem di seberang sana hanya bisa menggelengkan kepala, lalu menutup panggilan dari Parmi. Ia mengatakan pada Parmi untuk sabar menunggu karena sebentar lagi Bu Rasti akan pulang. Dengan penuh rasa sabar dan juga rasa lapar, Parmi setia menunggu di depan pintu pagar. Suara langkah kaki mendekat, membuat Parmi bangun dari duduknya, lalu tersenyum pada lelaki tadi yang kini membukakan pintu pagar begitu lebar padanya.

 “Saya udah boloeh masuk, Mas?” tanya Parmi berbasa-basi.

 “Kamu mau masuk atau mau duduk di luar saja?” balas Anton sengit.

 “Mmm … enaknya duduk di mana, Mas?” tanya Parmi balik dengan polosnya. Anton semakin sewot dan darahnya kembali mendidih.

 “Terserah kamu!”

 “Enaknya mah duduk di pelaminan,” sambung Parmi sambil terkekeh. Anton yang sudah tak tahan lagi. Ia pergi meninggalkan Parmi begitu  saja di halaman rumah.  Lelaki itu masuk kembali ke dalam rumah, tetapi tidak menutup pintu. Dengan langkah tergopoh, Parmi mengikuti langkah anak majikannya sambil memeluk tas jinjing yang ia bawa.

 “Assalamualaykum,” seru Parmi saat kaki kanannya masuk ke dalam rumah cukup besar itu.

 “Wa’alaykumussalam,” jawab Anton malas.

 “Assalamualaykum, Mas. Kalau orang mengucap salam itu harus dijawab, Mas. Masa diam saja?” Anton semakin ngeri melihat pembantu mamanya yang baru. Semoga saja darah tinggi sang mama tidak kambuh saat mempekerjakan wanita budek dan bolot seperti ini.

 “Tadi sudah saya jawab. Sudah sana ke dapur! Itu kamar kamu yang di dekat dapur,” tunjuk Anton dengan malas.

 “Jadi, saya disuruh ke dapur atau ke kamar Mas?” tanya Parmi lagi dengan polosnya.

 “Ke neraka aja bisa gak?” 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status