Parmi sudah berada di Jakarta, tepatnya di depan pagar rumah majikan Mbak Yem. Bermodalkan alamat dari tetangganya itu, akhirnya Parmi sampai juga dengan selamat di sana. kepalanya celingak-celinguk mengintip keadaan rumah dari balik pagar. Rumah yang sangat sepi. Parmi memastikan alamat yang ia pegang, dengan nomor rumah yang ada tertempel di dinding samping pintu rumah.
“Alamatnya sudah benar, tapi kenapa tak ada orang?” gumam Parmi. “Assalamualaykum. Permisi! Ada orang gak? Halo! Ada orang gak?!” seru Parmi lagi dari balik pagar dengan suara sedikit berteriak. Tak lama kemudian, munculah seorang lelaki cukup dewasa dan tampan, hanya mengenakan celana boxer sebetis dan juga kaus dalam yang sudah memudar warnanya. Lelaki itu berjalan mendekat ke arah pagar sambil mengucek kedua matanya. Untuk sesaat Parmi tak mampu berkata-kata. Kenapa lelaki Jakarta bangun tidur saja tampan seperti ini? Sangat berbeda dengan lelaki desa yang … susah dilukiskan dengan kata-kata. Mulutnya setengah terbuka manatap tanpa berkedip lelaki tampan di depannya. “Mbak cari siapa?” tanya lelaki itu dengan suara serak. Seperti disengat listrik, Parmi merasakan darahnya berdesir saat ini. Apakah suara lelaki Jakarta seseksi ini hingga darahnya naik turun tidak jelas seperti ini? “Mbak! ye … ditanya kok malah bengong! Mbak cari siapa?” tanya lelaki itu mulai terlihat kesal. “Gak cari siapa-siapa,” jawab Parmi dengan polosnya. Lelaki itu memutar bola mata malasnya sambil mendengkus kesal. Tidur siangnya benar-benar terganggu dengan kehadiran wanita tidak jelas di depannya ini. “Terus ngapain ada di depan rumah saya?” “Mau bertemu dengan Bu Rasti. Emangnya Mas siapa? Kenapa tanya-tanya saya?” sepertinya darah lelaki itu mulai mendidih. Ia memalingkan wajah berusaha mengendalikan emosi dengan mengepalkan tangannya di belakang. “Saya Anton, anak dari Bu Rasti,” jawab Anton dengan wajah ketus. “Oh, Mas Anton yang duda dua kali ya, Mas? Apes apa doyan Mas? Kok duda sampai dua kali. He he he ….” Candaan yang menurut lelaki itu tak lucu sama sekali.Ia semakin tak suka dengan wanita di depannya ini. Malas meladeni, Anton memilih berbalik, lalu berjalan meninggalkan Parmi yang masih saja menertawakannya di depan pagar sana.
“Dasar wanita aneh!” umpat Anton, lalu menutup pintu dengan keras.
Parmi yang tidak jadi dibukakan pintu, bukannya sedih atau kecewa. Wanita itu malah kini tengah duduk di tembok kecil samping pagar, sambil menghubungi Mbak Yem. Ia mengatakan pada tetangga nya itu bahwa saat ini ia sudah di depan rumah majikan Mbak Yem dan bertemu dengan Malaikat Pencabut Nyawa. “Siapa malaikat pencabut nyawa, Mi?” “Tuan Karton. Ganteng, tapi judes!” Mbak Yem di seberang sana hanya bisa menggelengkan kepala, lalu menutup panggilan dari Parmi. Ia mengatakan pada Parmi untuk sabar menunggu karena sebentar lagi Bu Rasti akan pulang. Dengan penuh rasa sabar dan juga rasa lapar, Parmi setia menunggu di depan pintu pagar. Suara langkah kaki mendekat, membuat Parmi bangun dari duduknya, lalu tersenyum pada lelaki tadi yang kini membukakan pintu pagar begitu lebar padanya. “Saya udah boloeh masuk, Mas?” tanya Parmi berbasa-basi. “Kamu mau masuk atau mau duduk di luar saja?” balas Anton sengit. “Mmm … enaknya duduk di mana, Mas?” tanya Parmi balik dengan polosnya. Anton semakin sewot dan darahnya kembali mendidih. “Terserah kamu!” “Enaknya mah duduk di pelaminan,” sambung Parmi sambil terkekeh. Anton yang sudah tak tahan lagi. Ia pergi meninggalkan Parmi begitu saja di halaman rumah. Lelaki itu masuk kembali ke dalam rumah, tetapi tidak menutup pintu. Dengan langkah tergopoh, Parmi mengikuti langkah anak majikannya sambil memeluk tas jinjing yang ia bawa. “Assalamualaykum,” seru Parmi saat kaki kanannya masuk ke dalam rumah cukup besar itu. “Wa’alaykumussalam,” jawab Anton malas. “Assalamualaykum, Mas. Kalau orang mengucap salam itu harus dijawab, Mas. Masa diam saja?” Anton semakin ngeri melihat pembantu mamanya yang baru. Semoga saja darah tinggi sang mama tidak kambuh saat mempekerjakan wanita budek dan bolot seperti ini. “Tadi sudah saya jawab. Sudah sana ke dapur! Itu kamar kamu yang di dekat dapur,” tunjuk Anton dengan malas. “Jadi, saya disuruh ke dapur atau ke kamar Mas?” tanya Parmi lagi dengan polosnya. “Ke neraka aja bisa gak?”****
Selamat membaca.Wanita yang biasa dipanggil Parmi itu tengah menyapu ruang tengah, saat Anton baru saja tiba di rumah orangtuanya. Sambil melenggak-lenggokkan pinggulnya, mengikuti irama musik india kesukaannya.Prem ratan dhan payo (payo)Prem ratan dhan payo (payo)Rut milan ki layooPrem ratan...Dengan lincah Parmi menggoyangkan bahu dan pinggulnya, sambil berputar-putar."Parmi!" panggil Anton sedikit keras. Namun Parmi tidak mengindahkan, karena kedua telinganya tertutup headset."Parmi!"Panggil Anton lagi semakin kencang."Budeg kali ini pembantu, hadeehh!" Anton memijat pelipisnya, menatap miris Parmi yang masih meliuk-liuk dengan gagang sapu di tangannya. Wanita ini yang akan menjadi istrinya kelak. MasyaAllah ... tampaknya lebih error dari Bulan. Anton bermonolog.Disaat yang bersamaan, Parmi tersadar bahwa ada Anton, anak majikannya yang tengah menatapnya. Parmi menghentikan gerak
Parmi sudah bangun dari pukul setengah tiga shubuh, menyiapkan menu sahur untuk keluarga tempat ia bekerja. Ada ayam goreng kremes, tahu tempe goreng, sambel, dan tumis pokcoy. Ada juga potongan buah pepaya dan melon yang ia siapkan, tak lupa teh lemon hangat.Semua sudah tertata rapi di atas meja makan. Parmi melirik jam di dinding sudah pukul setengah empat shubuh, waktunya ia membangunkan orang rumah untuk sahur. Parmi mengetuk pelan kamar Bu Rasti. Tak lama Bu Rasti keluar kamar beserta suaminya;Pak Andi."Makanan sudah siap, Bu," ucap Parmi sambil tangannya menunjuk meja makan. Bu Rasti tersenyum."Tolong bangunkan Anton ya!" titah Bu Rasti pada Parmi, yang diikuti anggukan oleh Parmi. Parmi berjalan ke kamar Anton, lalu mengetuk pintu.TokTok"Pak, bangun, sahur!"Tak ada sahutan. Parmi mencoba kembali mengetuk pintu kamar Anton.TokTok"Pak, sahur!" panggilnya dengan setengah berteriak.
"Yang warna apa sih emangnya?" Parmi bertanya dengan polosnya. "Biru, abu-abu, kuning, merah, ya pokoknya warna warni," terang Anton dengan gusar. "Kayak pelangi ya, Pak, s*mpaknya," celetuk Parmi sambil terkekeh lagi. Ia melanjutkan kembali menjemurnya, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal Anton sedang menunggu jawabannya, kemana semua dalaman yang biasa ia pakai?. "Parmi, yee ... malah lanjut jemur, ini s*mpak saya mana?" Duh gue jadi sampak s*mpak dah nih ngomong sama pembantu budeg. Anton bermonolog. Parmi tidak mendengar, masih lanjut menjemur. "Parmi!" pekik Anton lagi, habis sudah pahala puasa ia hari ini. Emosi tingkat dewa berhadapan dengan Parmi. Parmi menoleh. "Apaan sih, Tuan?" "Ya Allah, s*mpak saya, saya mau ngajar. Cepat ini tolong carikan!" "Yang gini ya?" Parmi mengangkat s*mpak basah bewarna abu-abu. "Iya itu." Anton mengangguk. "Ya udah ini." Parmi hendak memberikan sempak basah
"Bagaimana kalau kamu nikah sama saya aja?""Parmi."Parmi masih melongo menatap Anton yang memanggilnya berkali-kali."Parmi boloooot!" kesabaran Anton mulai menipis."Ah, eh... Iya Tuan, ada apa?" tanya Parmi saat tersadar dari lamunannya, mengucek kedua matanya, memastikan bahwa tadi hanya sebuah hayalan."Sempet-sempetnya ngelamun," gerutu Anton sambil memainkan bola mata malasnya."Udah saya mau berangkat, jangan kelamaan nangis, ntar rumah saya banjir!" ucap Anton sembari melebarkan langkah kakinya meninggalkan kamar Parmi."Emang hujan?" Parmi mengintip ke arah jendela, sambil menggaruk kepalanya."Gak hujan, kok. Banjir apanya? Aneh banget punya anak majikan bolot," gumam Parmi lagi."Lagian, ngelamun apaan tadi? Tuan bolot ngelamar aku, dih ogah! Udah aku bolot, nikah sama guru bolot, anaknya ya bolot bin bolotot bangetlah!" Parmi masih bergumam, mencebikkan bibirnya.****Hari in
Sore ini buka puasa di rumah Anton, lebih terasa ramai, karena ada Iqbal yang bertandang kesana. Papa Anton juga pulang lebih awal, mereka semua berkumpul di meja makan."Enak banget kolaknya ya," puji Iqbal saat menyantap kolak buatan Parmi."Enak dong, buatan calon mantu Bude kamu ini," sahut Bu Rasti sambil menyeringai. Matanya melirik Anton, yang makan dengan khusyu."Kalau Anton gak mau, buat saya aja gak papa, Bude.""Enak aja, limited edition gitu mah, harus jadi mantu Bude."Ada ya, budeg limited edition!" celetuk Anton, bertepatan dengan Parmi yang lewat di dekatnya, sambil menenteng piring kotor yang ia bawa dari kamarnya. Karena Parmi lebih memilih buka puasa di dalam kamarnya."Siapa yang budeg? Tuan?" tanya Parmi melihat ke arah Anton cukup serius."Periksa Tuan, jangan dibiarkan nanti tambah parah, jadi tuna wisma. Tau kan tuna wisma itu apa?"Iqbal, Papa dan Mama Anton sudah terbahak mendengar percaka
Tepat pukul tiga shubuh, mereka tiba di kampung halaman Parmi. Terlihat ibu dan kakak Parmi yang bernama Parni, sudah menunggu di pelataran rumah mereka. Rumah jaman dahulu dengan halaman luas, hanya saja masih berlantaikan tanah."Parmi!" ibu Parmi setengah berteriak, menyusul Parmi. Diiringi Parni yang mengekori ibunya. Parmi dan yang lainnya turun dari mobil. Parmi tersenyum sangat senang, menyambut ibu dan kakaknya. Mereka berpelukan cukup lama, maklum saja sudah tiga bulan Parmi tidak pulang, sebelumnya, Parmi tidak pernah kerja jauh dari rumahnya."Tuan, nyonya, bapak, tuan Iqbal. Kenalkan ini ibu dan kakak saya. " ucap Parmi memperkenalkan anggota keluarganya. Ibi dan kakak Parmi mencium punggung tangan Bu Rasti, Pak Andi, bahkan Iqbal dan Anton."Eh, jangan Bu." Anton menepis lembut tangan calon mertuanya."Mari masuk Pak, Bu!" Bu Parti mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam rumah sederhana mereka.Semuanya duduk rapi
Pukul satu siang, keluarga Anton, kembali ke kediaman Parmi. Kedua tangan orang tua Anton, turut membawa bingkisan hantaran sederhana untuk Parmi. Bagaimana pun saat ini mereka sedang melamar anak gadis orang, jadi tetap harus dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang tengah. Tampak Parmi duduk di samping ibunya, begitu juga dengan Parni, kakaknya."Jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar nak Parmi, untuk menjadi menantu di keluarga kami. Tepatnya untuk menjadi istri anak kami, Anton." Ucap Pak Andi dengan jelas."Bagaimana, Bu. Parmi?""Saya sebagai orangtua, sangat bersyukur akhirnya ada yang melamar anak gadis saya. Namun semua keputusan kembali lagi pada..""Huuuuaachhiimmm..." Parmi bersin di tengah-tengah keseriusan yang terjadi."Ehh ...maaf," ucap Parmi sungkan, sambil menutup hidungnya. Semua yang ada disana menyeringai, begitu juga Anton."Merusak suasana saja Si P
Bu Rasti, Anton dan Parmi. Kini tengah mengantre di sebuah rumah sakit. Tepatnya di poli THT. Parmi bersikeras agar Anton memeriksakan kesehatan telinganya. Padahal berkali-kali Bu Rasti dan Anton memberitahukan bahwa telinga Anton baik-baik saja. Akhirnya Anton memberikan syarat kepada Parmi, agar ia juga ikut memeriksakan telinganya. Pada awalnya Parmi menolak, ia mengatakan bahwa ia mendengar cukup baik hanya sesekali suka budeg, tapi itu hanya sesekali katanya.Parmi duduk tepat tidak jauh dari Anton, sesekali Parmi melirik Anton, yang wajahnya terlihat sedikit kesal. Sedangkan Bu Rasti masih asik dengan ponselnya."Ngapain sih, Ma?" tanya Anton sambil melirik ke arah ponsel mamanya."Ini, mama lagi pilihkan baju kebaya untuk Parmi dan jas untuk kamu." sahut Bu Rasti, matanya masih fokus di layar ponsel."Sewa aja Mah, biar irit!""Hush...nikah sama anak perawan, semua harus baru. Pamali ah sewa!"Anton memutar bola mata mala