Suara deru motor berhenti di depan pagar rumah Anton. Sedu sedan Anton seketika ia hentikan. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan.
"Assalamualaikum," suara wanita di seberang sana. Kelihatan hanya ujung rambutnya yang menyembul dari atas pagar.
"Wa'alaykumussalam," sahut bibik dan Bu Rasti bersamaan. Keduanya saling pandang. Bu Rasti meminta bibik untuk melihat siapa tamunya. Sedangkan Anton sudah berjalan masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh bu Rasti. Mungkin minta sumbangan. Bu Rasti bermonolog, membawa kakinya masuk ke dalam kamar.
"Cari siapa Mbak?" tanya bibik sambil memperhatikan wanita di depannya dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Betul ini rumah pak guru Anton Yasin?"
"Iya betul, Mbak siapa ya?"
"Mmm ... saya teman dekat Mas Anton!" Dengan suara pelan mendayu malu dan wajah bersemu merah sambil menunduk, Susi memperkenalkan diri sebagai teman dekat Anton.
Tentu saja hal itu membuat mata bibik melot
****Pagi-pagi sekali, Anton tengah bersiap di kamarnya. Setelah sholat shubuh, ia membuat dua lapis roti dan segelas susu. Setelahnya, ia juga minum multivitamin, agar tubuh, hati dan pikirannya, mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi setelah ia sampai di kampung Parmi nanti. Alhamdulillah, Iqbal setuju untuk mengantarnya hari ini. Sehingga bisa menambah kekuatan dan semangatnya untuk menghadapi keluarga Parmi, nanti. Anton menyisir rambutnya yang sudah gondrong lalu mengolesi minyak tawon di pangkal hidung, keningnya yang setiap hari tertempel koyo juga ia olesin. Serta tengkuknya yang selalu saja terasa kesemutan.Jangan lupa, bahwa ia masih mengalami mual muntah ya. Sehingga ia juga memasukkan satu pack kantong plastik hitam ke dalam tasnya, sebagai antisipasi jika ia mabuk dan muntah di jalan nanti. Ia juga membawa antimo, tolak angin cair, balsam dan juga minyak kayu putih.(Cem nenek-nenek mau piknik ya,rempong🤣🤣🤣)
Iqbal memijat kepalanya dengan keras. Ini sudah pemberhentian kesepuluh yang ia lakukan, karena Anton sepupunya, benar-benar kepayahan dalam mengontrol rasa mual muntahnya. Perjalanan Jakarta-Sleman yang harusnya memakan waktu kurang lebih delapan jam.Tampaknya akan lebih panjang. Karena setiap satu jam sekali Anton meminta Iqbal menepikan mobil di rest area atau di pom bensin atau dimana saja, yang penting harus berhenti sesaat. Sepanjang jalan Anton menahan mulutnya agar tidak muntah, tubuhnya juga terlihat sudah sangat lemas.Iqbal menyarankan agar mereka kembali saja ke Jakarta, jika Anton telah pulih, maka Iqbal berjanji akan menemani Anton kembali ke kampung Parmi. Namun, Anton tetap bersikeras melanjutkan perjalanan sampai di kampung Parmi.Ia harus segera menemukan Parmi. Bayang-bayang Parmi dengan perut buncitnya, selalu hadir dalam mimpinya. Wajah sang istri terlihat sendu meskipun tampak sesekali tertawa. Tidak, ia harus segera menemukan Parmi.
Langit mulai gelap, suara jangkrik menemani suasana magrib yang kian syahdu di perkampungan Parmi. Suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di belakang rumah, tak membuat seorang pria dewasa sadar dari pingsannya. Bahkan ini sudah lebih dari tiga jam.Seorang wanita paruh baya keluar dari kamar mandi yang hanya ditutupi pintu yang terbuat dari seng. Wajahnya sudah lebih segar dan tenang. Ia memakai kaus kebesaran berwarna hitam, di pinggangnya terlilit kain batik yang sudah memudar warnanya. Ia berjalan melewati Iqbal yang sedang menunggui Anton yang masih belum sadar, sehabis pingsan tadi. Kepalanya yang dengan keras di keplak oleh mertuanya, membuat ia roboh seketika."Baru pake tangan dikeplak udah pingsan tiga jam, gimana kalau saya keplak pake arit saya? Mana baru diasah pula. Saya jamin, saudara kamu ini langsung almarhum," ucap sinis Bu Parti yang melirik ke arah Anton dan Iqbal. Lelaki yang sedari tadi menunggui Anton, hanya bisa menel
Parmi di kamarnya sedang memijat pelan kakinya. "Kaki Parmi apa kaki gajah ya? Gede banget," gumamnya sambil memperhatikan kedua kakinya yang kian membengkak. Matanya turun ke perut besarnya. Sudah hampir enam bulan usia kandungannya, alhamdulillah sehat.Parmi tersenyum hangat sambil mengusap perutnya sayang. Ia turun dari ranjang. Berjalan ke arah lemari, membuka salah satu laci lemari disana. Ia mengeluarkan selembar kertas hasil USG pertama kali yang ia lakukan. Hasil yang tadianya ingin ia perlihatkan kepada suaminya bersamaan dengan garis dua tes pack. Parmi memandang kertas USG dalam diam."Kita pasti bisa tanpa ayah ya," bisiknya pelan sambil mengusap air matanya. Sampai saat ini ia tidak tahu. Bagaimana nanti setelah ia melahirkan. Siapa yang akan mengurusnya?bagaimana nanti saat ia harus bekerja untuk memberi makan anaknya."Teh...," suara Ali dari balik pintu kamar Parmi. Dengan cepat Parmi mengusap air matanya."Iya, Den." Parmi membukak
Ga pake target vote, asal ada yang baca saja sudah alhamdulillah😅😅😅Selamat membaca.Sudah sebulan berlalu, sejak terakhir kali Anton melihat Parmi malam itu. Lelaki itu masih setia menyusuri jalan sekitaran restoran cepat saji. Mulai dari jam sepuluh pagi, hingga menjelang ashar. Ia masih berkendara dengan motor maticnya. Matanya jeli memperhatikan setiap sudut gang atau jalan besar, berharap ia menemukan Parmi disana. Namun, tidak ada pertanda apapun.Anton berhenti sejenak di rumah makan padang, perutnya yang sudah sangat keroncongan, benar-benar minta diisi. Wajahnya masih terlihat pucat, meskipun sudah lebih segar dari kemarin. Ia memesan nasi dengan lauk ikan mujaer serta kuah gulai. Ia juga memesan air teh tawar hangat untuk menghilangkan dahaganya.Bepp..beeep..Ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Keningnya berkerut, khawatir Susi yang kembali menghubunginya. Walaupun ia sudah tiga kali memblokir nomo
Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Ali Hakim Ramadhan, kini berjalan santai meninggalkan ruang kelasnya. Mumpung masih ada waktu istirahat selama setengah jam, ia berniat menyusul beberapa temannya untuk sarapan di kantin. Sedangkan pria dewasa yang masih terduduk di kelas, mencoba menetralkan rasa mualnya dengan minum air jahe yang ia bawa dari rumah.Ia memperhatikan kotak bekal makanan yang diberikan oleh mahasiswanya yang bernama Ali. Garis bibirnya tertarik ke atas. Dalam hati mengucap syukur pada Allah untuk awal hari yang sangat baik."Saya permisi, sampai jumpa besok," pamitnya pada beberapa mahasiswa yang masih berada di dalam kelas. Sambil menggendong tas punggungnya dan membawa kotak bekal tadi. Anton berjalan keluar kelas menuju ruang dosen, yang letaknya cukup jauh dari kelas tempat ia mengajar jam pertama tadi.Sesampainya di ruang dosen, tampak ada enam orang dosen sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang fokus di lap
Selamat membaca.Anton mencoba dengan keras mengingat dimana ia pernah melihat mobil yang sangat mirip dengan mobil mahasiswanya itu. Sepanjang perjalanan, Anton kurang fokus sehingga hampir saja menyerempet seorang wanita.Ckkiiit!"Astaghfirulloh!" Pekik Anton tertahan, ia kaget melihat seorang wanita tengah hamil berdiri sangat dekat dengan motornya saat ini. Bahkan wanita itu seketika berwajah pucat, kedua lengannya ia letakkan di atas perutnya."Ya Allah, maaf, Bu." Anton mematikan mesin motornya, ia turun sambil menghampiri wanita tersebut. Jalanan tidak terlalu ramai, sehingga tidak ada yang menyadari kejadian saat Anton hampir saja menabrak wanita hamil."Ibu, mari saya antar ke rumah sakit." Anton gemetaran memapah wanita yang tengah hamil besar itu. Bahkan Anton semakin ngeri, tatkala melihat wanita tersebut mengaduh sakit.Langkah wanita itu pasrah, saat Anton memapahnya naik ke atas motornya. Beberapa orang la
Seperti dejavu, pertanyaan dosennya tadi sontak membuat Ali terdiam."Apa kamu mengenal wanita bernama Parmi?"Refleks kepala Ali menggeleng lemah. Namun, matanya masih menelisik wajah Anton tanpa berkedip. Apa ini suami teh Parmi?tanyanya dalam hati. Seketika tubuhnya lemas, aduh. Saingan berat kalau gini. Mana nih dosen cakep lagi."Ali.""Ah...iii..iya, Pak. Saya tidak kenal," sahut Ali sekali lagi, kali ini ekspresi wajahnya ia bikin seserius mungkin."Semalam saya melihat kamu di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari sini, bersama seorang wanita yang sepertinya saya kenal," cecar Anton, yang masih belum percaya jika Ali tidak mengenal Parmi."Oh...iya, Pak. Itu Teteh saya. Namanya Paramita, sedang hamil. Suaminya sedang kerja di luar negeri dan saya kebagian tugas mengantarnya memeriksa kandungan," terang Ali dengan penuh keyakinan, sehingga membuat Anton kembali lemas tak bertenaga.Mungkin benar, ia memang s